Minggu, 31 Juli 2011

. Sejarah Hidup Al-Asy’ari


Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari lahir di kota Basrah pada tahun 260 H/873 M. Dia lahir dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mengikuti faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Ayahnya, Ismail seorang ulama ahli hadits yang menganut faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Hal ini terbukti, bahwa ketika Ismail menjelang wafat, dia berwasiat agar al-Asy’ari diasuh oleh al-Imam al-Hafizh Zakariya al-Saji, pakar hadits dan fiqih madzhab al-Syafi’i yang sangat populer di kota Basrah.
Pada masa kecilnya, al-Asy’ari selain berguru kepada al-Saji, dia juga menimba ilmu dari ulama-ulama ahli hadits yang lain, seperti Abdurrahman bin Khalaf al-Dhabbi, Sahal bin Nuh al-Bashri, Muhammad bin Ya’kub al-Maqburi dan lain-lain. Sehingga hal tersebut mengantar al-Asy’ari menjadi ulama yang menguasai hadits, tafsir, fiqih, ushul fiqih dan lain-lain.
            Hanya saja, setelah dia berusia sepuluh tahun, ada unsur asing yang sangat berpengaruh dan bahkan mengubah jalan hidupnya, yaitu kehadiran Abu Ali al-Jubba’i – tokoh Mu’tazilah terkemuka di kota Basrah dalam keluarganya, yang menjadi ayah tirinya dengan menikahi ibunya, dan kemudian mengarahkan al-Asy’ari menjadi penganut Mu’tazilah hingga berusia 40 tahun.
Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahhab bin Salam al-Jubba’i (235-303 H/849-916 M) adalah tokoh Mu’tazilah terkemuka. Hubungan yang sangat dekat antara guru dan murid ini, menjadikan al-Asy’ari menjadi kader Mu’tazilah dan pada akhirnya mengantarnya menjadi salah satu tokoh Mu’tazilah yang populer. al-Asy’ari memiliki kecerdasan yang luar biasa, dan kemampuan yang hebat dalam membungkam lawan debatnya, sehingga tidak jarang al-Asy’ari mewakili Abu Ali al-Jubba’i dalam forum perdebatan dengan kelompok luar Mu’tazilah.


Sejarah Munculnya Faham Ahlussunah Khalafiyah Asy’ariyah


            Faham ini dinisbatkan kepada pendirinya yaitu Imam Abu Hasan al-Asy’ari, beliau masih keturunan dari sahabat besar Abu Musa Al-Asy’ari, seorang pelaku tahkim dalam peristiwa perang shiffin dari pihak syaidina Ali bin Abi Tholib.Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Ali Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asy’ari. Nama al-Asy’ari merupakan nisbat terhadap Asy’ar, nama seorang laki-laki dari suku Qahthan yang kemudian menjadi nama suku dan tinggal di Yaman.



AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH


Istilah Ahlussunnah terbentuk dua kata yaitu: Ahl, berarti keluarga, golongan atau pengikut. Sunnah secara harfiah berarti tradisi. Sunnah secara etimologis adalah jalan, meskipun tidak diridai. Sedangkan menurut terminologis syara’ ialah nama bagi jalan dan perilaku yang diridai dalam agama yang ditempuh oleh Rasulallah SAW atau orang-orang yang mendapat teladan dalam beragama seperti para sahabat, berdasarkan sabda Rasulallah SAW ”Ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku”.
Ahlussunnah berarti orang-orang yang secara konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammmad, dalam hal ini adalah tradisi Nabi dalam tuntunan lisan maupun amalan beliau serta sahabat mulia beliau. Istilah yang lebih dikenal dalam masyarakat adalah Ahlussunnah waljamaah atau disingkat Aswaja. Jamaah menurut Harun Nasution diartikan sebagai golongan yang bepegang pada sunnah dan merupakan mayoritas.
Ahlusunnah waljamaah adalah merupakan ajaran yang mengikuti semua yang telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Sebagai pembeda dengan yang lain. Ringkas kata Ahlussunnah waljamaah adalah orang-orang yang mengikuti cara hidup Nabi Muhammad dan golongan terbesar.
Sementara pakar menyatakan bahwa kelompok Ahlussunnah khalafiyah muncul sebagai reaksi atas paham Mu’tazilah yang disebar pertama kali oleh Wasil bin Atho’ (w 131 H/748 M) dan sangat mengandalkan akal dalam memahami dan menjelaskan ajaran Islam.
Dalam surat syaikh al-Azhar, Salim al Bisyri kepada tokoh Syiah yaitu Abdul Husain Syarfuddin al Musawa dipahami bahwa yang dimaksud dengan Ahlussunnah adalah golongan aliran Asy’ariyah dalam urusan akidah.
Istilah Ahlussunnah sebagai suatu paham sebenarnya belum dikenal pada masa al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M) tokoh yang dianggap sebagai salah seorang pendiri paham ini. Bahkan para pengikut Al-Asy’ari sendiri seperti al Bagillani (403) al-Baghdadi (w 429), Al Juwaini (w 478 H) al Ghozali 505 H dan asy-Syahrashani 548 H juga belum pernah menyebut menyebut terma tersebut. Pengakuan secara eksplisit mengenai adanya paham ahlussunnah baru baru dikemukakan az-Zabidi (w. 1205 H) yang menyatakan, bahwa apabila disebut ahlussunnah maka yang dimaksud adalah pengikut al-Asy’ ari dan al-Maturidi. Hal ini berarti paham ahlussunnah baru dikenal jauh setelah wafatnya tokohnya.
Refrensi:
Muhyiddin Abdushomad, Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah terjemah syarh ‘Aqidah al-‘awam (Surabaya: Khalista, 2009)
M. Quraish Shihab. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan: Mungkinkah? (Jakarta: Lentera Hati, 2007)
M. Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl  Al-Sunnah wal al-Jamaah (Jombang: Maktabah al-Turats,  1998)
Abubakar Aceh, Salaf: Islam dalam masa murni (Solo: Ramadhani, 1996)
Muhyiddin Abdushomad, Fiqh TradisionalJawaban pelbagai persolan keagamaan sehari-hari (Surabaya: Khalista, 2006)
Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah batsul masail 1926-1999(Yogyakarta: LKiS, 2004)
Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998)
Muhammad Idrus Ramli, Madzhab Al-Asy’ari Benarkah Ahlussunnah Wal-Jamaah Jawaban Terhadap Aliran Salafi (Surabaya: Khalista, 2009)
Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam. (Jakarta: Rajawali Press, 1991)
Nasution, Harun, 1978, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press