Senin, 29 Agustus 2011

Wahabi-Salafi Menentang Syeikh Ibnu Taimiyah


makam ibnu taimiyahTak dipungkiri, banyak umat Islam resah dengan keberadaan Wahabi alias Salafy — demikian mereka menjatidirikan kelompoknya. Cara dakwah yang mereka lakukan, membuat umat Islam gerah. Mereka kerap mencela, bahkan menista ulama besar dan gerakan Islam di luar kelompoknya. Pelbagai tuduhan, hujatan, dan lontaran kata-kata kasar keluar dari mulut kaum Wahabi. Dengan enteng, mereka memberi cap-cap (stigma) buruk dengan sebutan ahlu bid’ah, khurafi, penyembah kubur, gerakan sempalan sesat, kepada tokoh dan gerakan Islam yang bukan kelompoknya. Anehnya,  ketika (ulama) wahabi dikritik gerakan Islam lain karena hujjahnya, mereka tidak rela, bahkan menyerang balik habis-habisan para pengkritiknya.
Sebetulnya, kalau mereka mau menelaah ulang kitab para pendahulunya, seperti Ibnu Taimiyah sebagai tokoh sentral mereka. Mereka akan sadar bahwa Ibnu Taimiyah sendiri tidak se-ekstrem kaum salafi sekarang. Peringatan maulid misalnya, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa merayakan maulid dengan dasar cinta Nabi Saw. adalah bernilai pahala. Kaum wahabi berpendapat sebaliknya. Mereka mengatakan perbuatan itu sebagai bid’ah, kurafat, dan pengkultusan yang ujung-ujungnya adalah syirik.
Bagi masyarakat Muslim, jika ada kelompok yang suka menyalahkan, mencaci-maki dan membid’ahkan amalan-amalan ahlussunnah, cukuplah dijawab dengan dalil-dalil imam mereka sendiri, yang akan kita bahas satu persatu. Dijamin, mereka bakal kelabakan dan diam seribu bahasa. Sebab, nyatanya mereka melabrak pendapat-pendapat para imam mereka sendiri.
Berikut kami tunjukkan beberapa bukti yang shahih.
PERTAMA, tentang maulid. Ibnu Taimiyah dalam kitabnya, Iqtidha’ as-Sirath al-Mustaqim hal.269 menyatakan bahwa mereka yang mengagungkan maulid mendapat pahala besar karena tujuan baik dan pengagungan mereka kepada Rasulullah Saw..”
Video berikut akan memperjelas buktinya
Terjemah narasi:
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta. Amma ba’du
Peringatan maulid Nabi Saw. itu tergolong bid’ah hasanah. Peringatan semacam ini sudah ditradisikan sejak ratusan tahun lalu. Peringatan ini merupakan kesepakatan yang dilakukan oleh raja-raja, para ulama’, masayikh. Termasuk para ahli hadits, pakar fikih, orang-orang zuhud, para ahli ibadah dan berbagai individu dari kalangan awam.
Di samping itu, peringatan ini punya dasar kuat yang diambil dengan cara istinbath seperti telah dijelaskan Imam al-Hafid Ibnu Hajar dan para ulama ahlussunnah lainnya.
Diantara bidah dan kesesatan para penentang tawassul, mereka mengharamkan maulid dengan ekstrem. Bahkan seorang tokoh mereka, Abubakar Aljazairi –semoga Allah memberinya petunjuk- menyatakan, sembelihan yang disediakan untuk suguhan maulid lebih haram dari babi. Wal iyadzu billah, semoga Allah melindungi kita dari membenci Rasulillah Saw.
Begitu antinya mereka terhadap maulid. Namun yang menarik, Ibnu Taimiyah sendiri tidak mengharamkan, bahkan dalam sebagian fatwanya dia katakan, “Jika maulid dilaksanakan dengan niat baik akan membuahkan pahala,” artinya sah-sah saja dilakukan.
Marilah kita simak kitab Iqtidha’ as-Sirath al-Mustaqim karya seorang filosof mujassim Ahmad ibn Taimiyah (meninggal tahun 728 hijriah) cet. Darul Fikr Lebanon th.1421 H. Pada hal.269 Ibnu Taimiyah berkata,
“Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara rutinan, segolongan orang terkadang melakukannya. Dan mereka mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah Saw..”
Jika semua ini telah jelas, maka bersama siapakah kelompok sempalan wahabi ini? Mereka tidak bersama ahlussunnah wal jamaah. Tidak pula bersama tokohnya, Ibnu Taimiyah. Sepatutnya mereka mencela diri mereka sendiri, dan bertaubat dari kesesatan mereka selama masih ada kesempatan. Cukuplah sebagai kehinaan, penilaian buruk mereka terhadap hal yang telah disepakati kaum muslimin berabad-abad di penjuru timur dan barat bumi.
Segala puji bagi Allah yang telah memberi kita taufiq untuk menjelaskan hal ini. Semoga salawat dan rahmat Allah tetap tercurah atas Rasulullah Saw..
KEDUA, Ibnu Taimiyah meriwayatkan kisah Abdullah bin Umar yang sembuh dari lumpuhnya setelah ia ber-istighasah dengan memanggil nama Rasulullah Saw..
Simak video berikut:
Terjemahnya:
Alhamdulillah Rabbil Alamin. Salawat dan salam atas junjungan kita Nabi Muhammad Saw.. Amma ba’du, ini adalah kitab “al-Kalimut Toyyib” karya filsuf mujassim Ahmad bin Taimiyah al Harrani (w.728 H) cet. Darul kutub ilmiyah Beirut 1417 H

“عن الهيثم بن حنش قال كنا عند عبد الله بن عمر رضي الله عنهما فخدرت رجله أي أصابها مثل شلل فقال له رجل اذكر أحب الناس إليك فقال يا محمد فكأنما نشط من عقال -أي تعافى فورا-”.

Pada halaman 123 Ibnu Taimiyah berkata
“Dari al-Haitsam bin Hanasy dia berkata, ‘Kami sedang bersama Abdullah bin Umar r.a. tatkala tiba-tiba kakinya mendadak lumpuh, maka seorang menyarankan ’sebut nama orang yang paling kau cintai!’ maka Abdullah bin Umar berseru, ‘Ya Muhammad!’ maka dia pun seakan-akan terlepas dari ikatan, artinya sembuh seketika.”
Inilah yang diterangkan Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “al-Kalimut Toyyib” (perkataan yang baik), yakni dia menilai baik semua isi kitabnya.
Yang dilakukan Abdullah bin Umar ini adalah istighatsah dengan Rasulullah Saw. dengan ucapan ‘Ya Muhammad’
Dalam Islam ini diperbolehkan, Ibnu Taimiyah menganggapnya baik, menganjurkannya, dan mencantumkan dalam kitabnya, “al-Kalimut Toyyib”.
Ini menurut wahabi sudah termasuk kufur dan syirik, artinya istighasah dengan memanggil Nabi Saw. setelah beliau wafat adalah perbuatan kafir dan syirik menurut wahabi.
Apa yang akan dilakukan kaum wahabi sekarang? Apakah mereka akan mencabut pendapatnya yang mengkafirkan orang yang memanggil ‘Ya Muhammad’ ataukah mereka tidak akan mengikuti Ibnu Taimiyah dalam masalah ini? Padahal dialah yang mereka juluki Syeikhul islam.
Alangkah malunya mereka, alangkah malunya para imam yang diikuti Ibn Abdil Wahab karena pendapatnya bertentangan dengan pendapat kaum muslimin.
Dalam hal ini, kaum wahabi, dengan akidah mereka yang rusak, telah mengkafirkan Ibnu Taimiyah, karena ia telah menganggap baik hal yang syirik dan kufur menurut anggapan mereka.
Ini semua adalah bukti bahwa mereka adalah kelompok mudzabdzab (plin-plan),  kontradiksi dan menyimpang dari ajaran Ahlussunnah wal Jamaah
Segala puji selamanya bagi Allah, di permulaan dan penghujung.
KETIGA, dalam Majmu Fatawanya Jilid 4 Hal.379 Ibnu Taimiyah mengakui keberadaan wali qutb, autad dan abdal. Dia juga menegaskan, jika malaikat membagi rejeki dan mengatur alam maka orang-orang saleh bisa berbuat lebih dari para malaikat. Apalagi para wali qutb, Autad, Ghauts, wali abdal dan Nujaba’. (Scan kitab klik di sini)
وَقَدْ قَالُوا : إنَّ عُلَمَاءَ الْآدَمِيِّينَ مَعَ وُجُودِ الْمُنَافِي وَالْمُضَادِّ أَحْسَنُ وَأَفْضَلُ . ثُمَّ هُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ يُلْهَمُونَ التَّسْبِيحَ كَمَا يُلْهَمُونَ النَّفَسَ ؛ وَأَمَّا النَّفْعُ الْمُتَعَدِّي وَالنَّفْعُ لِلْخَلْقِ وَتَدْبِيرُ الْعَالَمِ فَقَدْ قَالُوا هُمْ تَجْرِي أَرْزَاقُ الْعِبَادِ عَلَى أَيْدِيهِمْ وَيَنْزِلُونَ بِالْعُلُومِ وَالْوَحْيِ وَيَحْفَظُونَ وَيُمْسِكُونَ وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنْ أَفْعَالِ الْمَلَائِكَةِ . وَالْجَوَابُ : أَنَّ صَالِحَ الْبَشَرِ لَهُمْ مِثْلُ ذَلِكَ وَأَكْثَرُ مِنْهُ وَيَكْفِيك مِنْ ذَلِكَ شَفَاعَةُ الشَّافِعِ الْمُشَفَّعُ فِي الْمُذْنِبِينَ وَشَفَاعَتُهُ فِي الْبَشَرِ كَيْ يُحَاسَبُوا وَشَفَاعَتُهُ فِي أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَدْخُلُوا الْجَنَّةَ . ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ تَقَعُ شَفَاعَةُ الْمَلَائِكَةِ وَأَيْنَ هُمْ مِنْ قَوْلِهِ : { وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ } ؟ وَأَيْنَ هُمْ عَنْ الَّذِينَ : { وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ } ؟ وَأَيْنَ هُمْ مِمَّنْ يَدْعُونَ إلَى الْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ ؛ وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً ؟ وَأَيْنَ هُمْ مِنْ قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” { إنَّ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَشْفَعُ فِي أَكْثَرَ مِنْ رَبِيعَةَ وَمُضَرَ } ” ؟ وَأَيْنَ هُمْ مِنْ الْأَقْطَابِ وَالْأَوْتَادِ والأغواث ؛ وَالْأَبْدَالِ وَالنُّجَبَاءِ ؟
Apakah ini pendapat Ibnu Taimiyah ini tergolong khurafat, takhayul dan bid’ah? Adakah dasarnya dari Qur’an dan Sunnah?
KEEMPAT, tentang hadiah pahala, Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa barangsiapa mengingkari sampainya amalan orang hidup pada orang yang meninggal maka ia termasuk ahli bid’ah. Dalam Majmu’ fatawa jilid 24 halaman 306 ia menyatakan, “Para imam telah sepakat bahwa mayit bisa mendapat manfaat dari hadiah orang lain. Ini termasuk hal yang pasti diketahui dalam agama Islam, dan telah ditunjukkan dengan dalil kitab, sunnah, dan ijma’ (konsensus) ulama’. Barang siapa menentang hal tersebut, maka dia termasuk ahli bid’ah”. (Scan kitab klik di sini)
Hal senada juga diungkapkannya berulang-ulang di kitabnya, Majmu’ Fatawa, diantaranya  pada Jilid 24 hal. 324 (scan kitab klik di sini)
KELIMA, tentang tasawuf. Dalam kumpulan fatwa jilid 10 hal. 507, Syeikh Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun para imam sufi dan para syeikh yang dulu dikenal luas, seperti Imam Juneid bin Muhammad beserta pengikutnya, Syeikh Abdul Qadir Jaelani serta yang lainnya. Maka, mereka adalah orang-orang yang paling teguh dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah.”
Selanjutnya, pada jilid. 11 hal. 18 Ibnu Taimiyah berkata,

والصواب أنهم مجتهدون في طاعة الله

“Yang benar, para sufi adalah mujtahidin dalam taat kepada Allah.” (scan kitab klik di sini)
KEENAM, pujian Ibnu Taimiyah terhadap para ulama sufi. Berikut ini kutipan dari surat panjang Ibnu Taimiyah pada jamaah Imam Sufi Syekh Adi bin Musafir Al Umawi, (Majmu’ Fatawa jilid 3 hal. 363-377). Ini sudah cukup menjadi bukti, begitu hormatnya Ibnu Taimiyah pada kaum sufi.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ أَحْمَدَ ابْنِ تيمية إلَى مَنْ يَصِلُ إلَيْهِ هَذَا الْكِتَابُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ الْمُنْتَسِبِينَ إلَى السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ ؛ الْمُنْتَمِينَ إلَى جَمَاعَةِ الشَّيْخِ الْعَارِفِ الْقُدْوَةِ . أَبِي الْبَرَكَاتِ عَدِيِّ بْنِ مُسَافِرٍ الْأُمَوِيِّ ” – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَمَنْ نَحَا نَحْوَهُمْ –

Dari Ahmad Ibnu Taimiyah kepada penerima surat ini, kaum muslimin yang tergolong Ahlussunnah wal Jamaah, yang bernisbat pada jamaah Syeikh al-Arif, seorang panutan, Yang penuh berkah, Adi bin Musafir Al Umawi (Scan kitab klik di sini)

وَلِهَذَا كَثُرَ فِيكُمْ مِنْ أَهْلِ الصَّلَاحِ وَالدِّينِ..

Karenanya, banyak diantara kalian orang-orang saleh yang taat beragama.. (scan kitab klik di sini)

وَفِي أَهْلِ الزَّهَادَةِ وَالْعِبَادَةِ مِنْكُمْ مَنْ لَهُ الْأَحْوَالُ الزَّكِيَّةُ وَالطَّرِيقَةُ الْمَرْضِيَّةُ وَلَهُ الْمُكَاشَفَاتُ وَالتَّصَرُّفَاتُ . وَفِيكُمْ مِنْ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ الْمُتَّقِينَ مَنْ لَهُ لِسَانُ صِدْقٍ فِي الْعَالَمِينَ

Diantara orang-orang zuhud dan ahli ibadah dari golongan kalian terdapat mereka yang punya kepribadian bersih,  jalan yang diridoi, ahli mukasyafah dan tasarruf. Diantara kalian juga terdapat para wali Allah yang bertakwa dan menjadi buah tutur yang baik di alam raya. (Scan kitab klik di sini)
Cermati kata-kata yang dipakai  Ibnu Taimiyah dalam risalahnya berikut: panutan, Abil barakat, berkepribadian bersih,  jalan yang diridoi, ahli mukasyafah dan tasarruf, para wali Allah. Semua itu menyuratkan pengakuan beliau akan kebesaran orang-orang sufi yang bersih hati. Adakah orang-orang wahabi sekarang ini meneladani beliau?
Surat tersebut selengkapnya juga bisa dibaca di Maktabah Syamilah versi 2 Juz 1 hal. 285-286.
KETUJUH, Ibnu Taimiyah mengakui khirqah sufiyah dalam kitabnya, Minhajus Sunnah Jilid 4 Hal. 155

الخرق متعددة أشهرها خرقتان خرقة إلى عمر وخرقة إلى علي فخرقة عمر لها إسنادان إسناد إلى أويس القرني وإسناد إلى أبي مسلم الخولاني وأما الخرقة المنسوبة إلى علي فإسنادها إلى الحسن البصري

“Khirqah itu ada banyak macamnya. Yang paling masyhur ada dua, yakni khirqah yang bersambung kepada Sayidina Umar dan khirqah yang bersambung kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib. Khirqah Umar memiliki dua sanad, sanad kepada Uwais Al-Qarniy dan sanad kepada Abu Muslim Al-Khawlaniy. Adapun khirqah yang dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib, sanadnya sampai kepada Imam Hasan Al-Bashri.” (Scan kitab klik di sini)
Jelas sudah, Ibnu Taimiyah menyatakan keberadaan sanad khirqah ini. Lantas, apakah beliau punya sanad khirqah? Dalam kitab yang sama beliau memberi jawab,

وقد كتبت أسانيد الخرقة لأنه كان لنا فيها أسانيد

“Aku telah menulis sanad-sanad khirqah, karena kami juga punya beberapa sanad khirqah” (scan kitab klik di sini)
Kini kita telah paham, Ibnu Taimiyah ternyata memiliki khirqah. Tak hanya satu, tapi beberapa. Lantas apakah Syaikh-syaikh wahabi saat ini juga punya khirqah seperti halnya Ibnu Taimiyah?.
KEDELAPAN, Pernyataan bahwa seluruh alam takkan diciptakan kalau bukan karena Rasulullah Saw. bisa dibenarkan. (Majmu’ Fatawa jilid 11 hal. 98)

وَمُحَمَّدٌ إنْسَانُ هَذَا الْعَيْنِ ؛ وَقُطْبُ هَذِهِ الرَّحَى وَأَقْسَامُ هَذَا الْجَمْعِ كَانَ كَأَنَّهَا غَايَةُ الْغَايَاتِ فِي الْمَخْلُوقَاتِ فَمَا يُنْكَرُ أَنْ يُقَالَ : إنَّهُ لِأَجْلِهِ خُلِقَتْ جَمِيعهَا وَإِنَّهُ لَوْلَاهُ لَمَا خُلِقَتْ فَإِذَا فُسِّرَ هَذَا الْكَلَامُ وَنَحْوُهُ بِمَا يَدُلُّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ قُبِلَ ذَلِكَ

“Nabi Muhammad Saw. adalah esensi kedua mata ini. Beliau adalah poros segala pergerakan alam ini. Ia laksana puncak dari seluruh penciptaan. Maka tak bisa ditepis lagi bahwa untuk beliaulah seluruh alam ini diciptakan. Kalau bukan karena beliau, takkan wujud seluruh semesta ini. Bila ucapan ini dan semisalnya ditafsir sesuai dengan Al-Quran dan Hadis maka hendaknya diterima.”  (Scan kitab klik di sini)
Demikianlah sekelumit data dari hasil penelitian obyektif pada kitab-kitab Ibnu Taimiyah sebagai rujukan kaum wahabi. Tak ada sentimen pribadi yang melandasi tulisan ini. Kami hanya berharap semua pihak bisa menerima kebenaran secara obyektif, lalu tak ada lagi sikap cela-mencela di antara sesama muslim

Albani, Muhaddis Tanpa Sanad Andalan Wahabi


albaniDi kalangan salafi (wahabi), lelaki satu ini dianggap muhaddis paling ulung di zamannya. Itu klaim mereka. Bahkan sebagian mereka tak canggung menyetarakannya dengan para imam hadis terdahulu. Fantastis. Mereka gencar mempromosikannya lewat berbagai media. Dan usaha mereka bisa dikata berhasil. Kalangan muslim banyak yang tertipu dengan hadis-hadis edaran mereka yang di akhirnya terdapat kutipan, “disahihkan oleh Albani, ”. Para salafi itu seolah memaksakan kesan bahwa dengan kalimat itu Al-Albani sudah setaraf dengan Imam Turmuzi, Imam Ibnu Majah dan lainnya.
Sebetulnya, kapasitas ilmu tukang reparasi jam ini sangat meragukan (kalau tak mau dibilang “ngawur”). Bahkan ketika ia diminta oleh seseorang untuk menyebutkan 10 hadis beserta sanadnya, ia dengan entengnya menjawab, “Aku bukan ahli hadis sanad, tapi ahli hadis kitab.” Si peminta pun tersenyum kecut, “Kalau begitu siapa saja juga bisa,” tukasnya.
Namun demikian dengan over pede-nya Albani merasa layak untuk mengkritisi dan mendhoifkan hadis-hadis dalam Bukhari Muslim yang kesahihannya telah disepakati dan diakui para ulama’ dari generasi ke generasi sejak ratusan tahun lalu. Aneh bukan?.
Siapakah Nashirudin al- Albani?
Dia lahir di kota Ashkodera, negara Albania tahun 1914 M dan meninggal dunia pada tanggal 21 Jumadal Akhirah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yordania. Pada masa hidupnya, sehari-hari dia berprofesi sebagai tukang reparasi jam. Dia memiliki hobi membaca kitab-kitab khususnya kitab-kitab hadits tetapi tidak pernah berguru kepada guru hadits yang ahli dan tidak pernah mempunyai sanad yang diakui dalam Ilmu Hadits.
Dia sendiri mengakui bahwa sebenarnya dia tidak hafal sepuluh hadits dengan sanad muttashil (bersambung) sampai ke Rasulullah, meskipun begitu dia berani mentashih dan mentadh’iftan hadits sesuai dengan kesimpulannya sendiri dan bertentangan dengan kaidah para ulama hadits yang menegaskan bahwa sesungguhnya mentashih dan mentadh’ifkan hadits adalah tugas para hafidz (ulama ahli hadits yg menghapal sekurang-kurangnya seratus ribu hadits).
Namun demikian kalangan salafi menganggap semua hadits bila telah dishohihkan atau dilemahkan Albani mereka pastikan lebih mendekati kebenaran.
Penyelewengan Albani
Berikut diantara penyimpangan-penyimpangan Albani yang dicatat para ulama’
1) Menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya sebagaimana dia sebutkan dalam kitabnya berjudul Almukhtasar al Uluww hal. 7, 156, 285.
2) Mengkafirkan orang-orang yang bertawassul dan beristighatsah dengan para nabi dan orang-orang soleh seperti dalam kitabnya “at-Tawassul” .
3) Menyerukan untuk menghancurkan Kubah hijau di atas makam Nabi SAW (Qubbah al Khadlra’) dan menyuruh memindahkan makam Nabi SAW ke luar masjid sebagaimana ditulis dalam kitabnya “Tahdzir as-Sajid” hal. 68-69,
4) Mengharamkan penggunaan tasbih dalam berdzikir sebagaimana dia tulis dalam kitabnya “Salsalatul Ahadits Al-Dlo’ifah” hadits no: 83.
5) Mengharamkan ucapan salam kepada Rasulullah ketika shalat dg kalimat “Melarang Assalamu ‘alayka ayyuhan-Nabiyy”. Dia berkata: Katakan “Assalamu alan Nabiyy” alasannya karena Nabi telah meninggal, sebagaimana ia sebutkan dalam kitabnya yang berjudul “Sifat shalat an-Nabi”.
6) Memaksa umat Islam di Palestina untuk menyerahkan Palestina kepada orang Yahudi sebagaimana dalam kitabnya “Fatawa al Albani”.
7) Dalam kitab yang sama dia juga mengharamkan Umat Islam mengunjungi sesamanya dan berziarah kepada orang yang telah meninggal di makamnya.
8 ) Mengharamkan bagi seorang perempuan untuk memakai kalung emas sebagaimana dia tulis dalam kitabnya “Adaab az-Zafaaf “,
9) Mengharamkan umat Islam melaksanakan solat tarawih dua puluh raka’at di bulan Ramadan sebagaimana ia katakan dalam kitabnya “Qiyam Ramadhan” hal.22.
10) Mengharamkan umat Islam melakukan shalat sunnah qabliyah jum’at sebagaimana disebutkan dalam kitabnya yang berjudul “al Ajwibah an-Nafiah”.
Ini adalah sebagian kecil dari sekian banyak kesesatannya, dan Alhamdulillah para Ulama dan para ahli hadits tidak tinggal diam. Mereka telah menjelaskan dan menjawab tuntas penyimpangan-penyimpangan Albani. Diantara mereka adalah:
1.Muhaddits besar India, Habibur Rahman al-’Adhzmi yang menulis “Albani Syudzudzuhu wa Akhtha-uhu” (Albani, penyimpangan dan kesalahannya) dalam 4 jilid;
2.Dahhan Abu Salman yang menulis “al-Wahmu wath-Thakhlith ‘indal-Albani fil Bai’ bit Taqshit” (Keraguan dan kekeliruan Albani dalam jual beli secara angsuran);
3.Muhaddits besar Maghribi, Syaikh Abdullah bin Muhammad bin as-Siddiq al-Ghumari yang menulis “Irgham al-Mubtadi` ‘al ghabi bi jawazit tawassul bin Nabi fil radd ‘ala al-Albani al-Wabi”; “al-Qawl al-Muqni` fil radd ‘ala al-Albani al-Mubtadi`”; “Itqaan as-Sun`a fi Tahqiq ma’na al-bid`a”;
4.Muhaddits Maghribi, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin as-Siddiq al-Ghumari yang menulis “Bayan Nakth an-Nakith al-Mu’tadi”;
5.Ulama Yaman, ‘Ali bin Muhammad bin Yahya al-’Alawi yang menulis “Hidayatul-Mutakhabbitin Naqd Muhammad Nasir al-Din”;
6.Muhaddits besar Syria, Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah yang menulis “Radd ‘ala Abatil wal iftira’at Nasir al-Albani wa shahibihi sabiqan Zuhayr al-Syawish wa mu’azirihima” (Penolakan terhadap kebatilan dan pemalsuan Nasir al-Albani dan sahabatnya Zuhayr al-Syawish serta pendukung keduanya);
7.Muhaddits Syria, Syaikh Muhammad ‘Awwama yang menulis “Adab al-Ikhtilaf” dan “Atsar al-hadits asy-syarif fi ikhtilaf al-a-immat al-fuqaha”;
8.Muhaddits Mesir, Syaikh Mahmud Sa`id Mamduh yang menulis “Tanbih al-Muslim ila Ta`addi al-Albani ‘ala Shahih Muslim” (Peringatan kepada Muslimin terkait serangan al-Albani ke atas Shahih Muslim) dan “at-Ta’rif bil awham man farraqa as-Sunan ila shohih wad-dho`if” (Penjelasan terhadap kekeliruan orang yang memisahkan kitab-kitab sunan kepada shohih dan dho`if);
9.Muhaddits Arab Saudi, Syaikh Ismail bin Muhammad al-Ansari yang menulis “Ta`aqqubaat ‘ala silsilat al-ahadits adh-dha`ifa wal maudhu`a lil-Albani” (Kritikan atas buku al-Albani “Silsilat al-ahadits adh-dha`ifa wal maudhu`a”); “Tashih Sholat at-Tarawih ‘Isyriina rak`ataan war radd ‘ala al-Albani fi tadh`ifih” (Kesahihan tarawih 20 rakaat dan penolakan terhadap al-Albani yang mendhaifkannya); “Naqd ta’liqat al-Albani ‘ala Syarh at-Tahawi” (Sanggahan terhadap al-Albani atas ta’liqatnya pada Syarah at-Tahawi”;
10.Ulama Syria, Syaikh Badruddin Hasan Diaab yang menulis “Anwar al-Masabih ‘ala dhzulumatil Albani fi shalatit Tarawih”.
Saran kami. Hendaknya seluruh umat Islam tidak gegabah menyikapi hadis pada buku-buku yang banyak beredar saat ini, terutama jika di buku itu terdapat pendapat yang merujuk kepada Albani dan kroni-kroninya.

Sejarah “Hitam” Kaum Wahabi

Oleh: MN Harisudin
Sejarah NU adalah sejarah perlawanan terhadap kaum Wahabi. Seperti dituturkan KH Abd. Muchith Muzadi, sang Begawan NU dalam kuliah Nahdlatulogi di Ma’ had Aly Situbondo dua bulan yang silam, jam’iyyah Nahdlatul Ulama didirikan atas dasar perlawanan terhadap dua kutub ekstrem pemahaman agama dalam Islam. Yaitu: kubu ekstrem kanan yang diwakili kaum Wahabi di Saudi Arabia dan ekstrem kiri yang sekuler dan diwakili oleh Kemal Attartuk di Turki, saat itu. Tidak mengherankan jika kelahiran Nahdlatul Ulama di tahun 1926 M sejatinya merupakan simbol perlawanan terhadap dua kutub ekstrem tersebut.
Hanya saja, kali ini, karena keterbatasan space, saya akan membatasi tulisan ini pada bahasan kutub ekstrem yang pertama, Wahabi. Pun bahwa saya akan membatasi pembahasan Wahabi secara khusus pada sejarah kelamnya di masa lampau, belum pada doktrin-doktrin, tokoh-tokohnya atau juga yang lainnya. Saya berharap bahwa fakta sejarah ini akan dapat kita gunakan untuk memprediksi kehidupan sosial keagamaan kita di masa-masa yang akan datang. Karena bagaimanapun juga, apa yang dilakukan oleh kaum Wahabi saat itu merupakan goresan noda hitam. Goresan noda hitam inilah yang kini mengubah wajah Islam yang sejatinya pro damai menjadi sangat keras dan mengubah Islam yang semula ramah menjadi penuh amarah.
***
Sebagaimana dimaklumi, kaum Wahabi adalah sebuah sekte Islam yang kaku dan keras serta menjadi pengikut Muhammad Ibn Abdul Wahab. Ayahnya, Abdul Wahab, adalah seorang hakim Uyainah pengikut Ahmad Ibn Hanbal. Ibnu Abd Wahab sendiri lahir pada tahun 1703 M/1115 H di Uyainah, masuk daerah Najd yang menjadi belahan Timur kerajaan Saudi Arabia sekarang. Dalam perjalanan sejarahnya, Abdul Wahab, sang ayah harus diberhentikan dari jabatan hakim dan dikeluarkan dari Uyainah pada tahun 1726 M/1139 H karena ulah sang anak yang aneh dan membahayakan tersebut. Kakak kandungnya, Sulaiman bin Abd Wahab mengkritik dan menolak secara panjang lebar tentang pemikiran adik kandungnya tersebut (as-sawaiq al-ilahiyah fi ar-rad al-wahabiyah). (Abdurrahman Wahid: Ilusi Negara Islam, 2009, hlm. 62)
Pemikiran Wahabi yang keras dan kaku ini dipicu oleh pemahaman keagamaan yang mengacu bunyi harfiah teks al-Qur’an maupun al-Hadits. Ini yang menjadikan Wahabi menjadi sangat anti-tradisi, menolak tahlil, maulid Nabi Saw, barzanji, manaqib, dan sebagainya. Pemahaman yang literer ala Wahabi pada akhirnya mengeklusi dan memandang orang-orang di luar Wahabi sebagai orang kafir dan keluar dari Islam. Dus, orang Wahabi merasa dirinya sebagai orang yang paling benar, paling muslim, paling saleh, paling mukmin dan juga paling selamat. Mereka lupa bahwa keselamatan yang sejati tidak ditunjukkan dengan klaim-klaim Wahabi tersebut, melainkan dengan cara beragama yang ikhlas, tulus dan tunduk sepenuhnya pada Allah Swt.
Namun, ironisnya pemahaman keagamaan Wahabi ini ditopang oleh kekuasaan Ibnu Saud yang saat itu menjadi penguasa Najd. Ibnu Saud sendiri adalah seorang politikus yang cerdas yang hanya memanfaatkan dukungan Wahabi, demi untuk meraih kepentingan politiknya belaka. Ibnu Saud misalnya meminta kompensasi jaminan Ibnu Abdul Wahab agar tidak mengganggu kebiasaannya mengumpulkan upeti tahunan dari penduduk Dir’iyyah. Koalisipun dibangun secara permanen untuk meneguhkan keduanya. Jika sebelum bergabung dengan kekuasaan, Ibnu Abdul Wahab telah melakukan kekerasan dengan membid’ahkan dan mengkafirkan orang di luar mereka, maka ketika kekuasaan Ibnu Saud menopangnya, Ibnu Abdul Wahab sontak melakukan kekerasan untuk menghabisi orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.
Pada tahun 1746 M/1159 H, koalisi Ibnu Abdul Wahab dan Ibnu Saud memproklamirkan jihad melawan siapapun yang berbeda pemahaman tauhid dengan mereka. Mereka tak segan-segan menyerang yang tidak sepaham dengan tuduhan syirik, murtad dan kafir. Setiap muslim yang tidak sepaham dengan mereka dianggap murtad, yang oleh karenanya, boleh dan bahkan wajib diperangi. Sementara, predikat muslim menurut Wahabi, hanya merujuk secara eklusif pada pengikut Wahabi, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Unwan al-Majd fi Tarikh an-Najd. Tahun 1802 M /1217 H, Wahabi menyerang Karbala dan membunuh mayoritas penduduknya yang mereka temui baik di pasar maupun di rumah, termasuk anak-anak dan wanita.
Tak lama kemudian, yaitu tahun 1805 M/1220 H, Wahabi merebut kota Madinah. Satu tahun berikutnya, Wahabi pun menguasai kota Mekah. Di dua kota ini, Wahabi mendudukinya selama enam tahun setengah. Para ulama dipaksa sumpah setia dalam todongan senjata. Pembantaian demi pembantaian pun dimulai. Wahabi pun melakukan penghancuran besar-besaran terhadap bangunan bersejarah dan pekuburan, pembakaran buku-buku selain al-Qur’an dan al-Hadits, pembacaan puisi Barzanji, pembacaan beberapa mau’idzah hasanah sebelum khutbah Jumat, larangan memiliki rokok dan menghisapnya bahkan sempat mengharamkan kopi.
Tercatat dalam sejarah, Wahabi selalu menggunakan jalan kekerasan baik secara doktrinal, kultural maupun sosial. Misalnya, dalam penaklukan jazirah Arab hingga tahun 1920-an, lebih dari 400 ribu umat Islam telah dibunuh dan dieksekusi secara publik, termasuk anak-anak dan wanita. (Hamid Algar: Wahabism, A Critical Essay, hlm. 42). Ketika berkuasa di Hijaz, Wahabi menyembelih Syaikh Abdullah Zawawi, guru para ulama Madzhab Syafii, meskipun umur beliau sudah sembilan puluh tahun. (M. Idrus Romli: Buku Pintar Berdebat dengan Wahabi, 2010, hlm. 27). Di samping itu, kekayaan dan para wanita di daerah yang ditaklukkan Wahabi, acapkali juga dibawa mereka sebagai harta rampasan perang.
Di sini, setidaknya kita melihat dua hal tipologi Wahabi yang senantiasa memaksakan kehendak pemikirannya. Pertama, ketika belum memiliki kekuatan fisik dan militer, Wahabi melakukan kekerasan secara doktrinal, intelektual dan psikologis dengan menyerang siapapun yang berbeda dengan mereka sebagai murtad, musyrik dan kafir. Kedua, setelah mereka memiliki kekuatan fisik dan militer, tuduhan-tuduhan tersebut dilanjutkan dengan kekerasan fisik dengan cara amputasi, pemukulan dan bahkan pembunuhan. Ironisnya, Wahabi ini menyebut yang apa yang dilakukannya sebagai dakwah dan amar maruf nahi mungkar yang menjadi intisari ajaran Islam.
***
Membanjirnya buku-buku Wahabi di Toko Buku Gramedia, Toga Mas, dan sebagainya akhir-akhir ini, hemat saya, adalah merupakan teror dan jalan kekerasan yang ditempuh kaum Wahabi secara doktrinal, intelektual dan sekaligus psikologis terhadap umat Islam di Indonesia. Wahabi Indonesia yang merasa masih lemah saat ini menilai bahwa cara efektif yang bisa dilakukan adalah dengan membid’ahkan, memurtadkan, memusyrikkan dan mengkafirkan orang yang berada di luar mereka. Jumlah mereka yang minoritas hanya memungkinkan mereka untuk melakukan jalan tersebut di tengah-tengah kran demokrasi yang dibuka lebar-lebar untuk mereka.
Saya yakin seyakin-yakinnya jika suatu saat nanti kaum Wahabi di negeri ini memiliki kekuasaan yang berlebih dan kekuatan militer di negeri ini, mereka akan menggunakan cara-cara kekerasan dengan pembantaian dan pembunuhan terhadap sesama muslim yang tidak satu paham dengan mereka. Jika wong NU, jam’iyyah Nahdlatul Ulama, dan ormas lain yang satu barisan dengan keislaman yang moderat dan rahmatan lil alamien tidak mampu membentenginya, saya membayangkan Indonesia yang kelak menjadi Arab Saudi jilid kedua. Saya tidak dapat membayangkan betapa mirisnya jika para kiai dan ulama kita kelak akan menjadi korban pembantaian kaum Wahabi, terutama ketika mereka sedang berkuasa di negeri ini. Naudzubillah wa naudzubilah min dzalik.

Menggugat Aqidah Salafy (1)

 Tentang definisi Salafus Sholeh. 
Yang pertama, kita lihat secara bahasa salaf berasal dari akar kata :
a- Salafa – Yaslufu – wa Salfan --- Al-Ardha : yang berarti ‘meratakan tanah’ .

b- Salafa – Yaslufu – wa Salafan --- ketika org arab mengatakan ‘salaffa asy-syai’a’ berarti ‘mendahulukan sesuatu’.

Berkata Imam Ibn Mandzur : "Salaf ialah sesiapa yang telah mendahului engkau yang terdiri dari ibu bapa atau kaum kerabat yang lebih tua pada umur dan kedudukan." Ia juga bisa berarti nenek moyang atau generasi terdahulu (Salafun ; Aslafun). Sehingga secara bahasa yang dimaksud dengan Madzhab As-Salaf adalah madzhab generasi terdahulu. Sehingga menurut bahasa Imam An-Nabhani, Imam Hasan Al-Banna, Imam Ad-Dahlawwi, Imam Al-Maududi, Imam Abul Hasan An-Nadwi dll adalah termasuk Salaf Ash-sholeh (yaitu generasi terdahulu yang sholeh), karena sejarah telah membuktikan mereka adalah para Ulama yang ikhlas yang memimpin umat untuk mengembalikan Izzul Islam wa Muslimun !!!??
Kemudian ada sebagian Ulama yang menggunakan istilah Salaf Ash-Sholeh untuk menyebut generasi para shahabat-, tabi'in-, dan tabi'ut tabi'in, terutama Ibn Taimiyah dlm karya2-nya seperti Al-Aqidah Al-Washitiyyah, Majmu’ul Fatawa dll. Tapi belum pernah ada satupun riwayat yang shohih, yang sampai kepada kita bahwa ada diantara para Imam Mujtahid seperti: Imam Syafi’I, Abu Hanifah, Ahmad Ibn Hambal, Malik dll yang menyebut diri mereka dan pengikutnya sebagai kelompok Salafi; ‘hatta’ para Imam ahli hadis seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi dll yang menyebut dirinya sebagai Salafi !!!!

Padahal merekalah yang sebenarnya paling layak untuk disebut sebagai Salafi (yaitu penerus madzhab shahabat-, tabi'in-, dan tabi'ut tabi'in), karena mereka mengambil ilmu dien ini langsung dari mereka. Seperti kasus Imam Malik yang Kitabnya yang berjudul Al-Muwatho (sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Imam Malik dalam muqadimah kitabnya) mendapat rekomendasi dari 70 ulama Madinah yang merupakan anak keturunan dan murid sahabat atau tabi’in dan tabiu’t tabi’in di Madinah, bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Abu Hanifah pernah bertemu dengan para Sahabat dll.

Seandainya penyebutan atau labelisasi seperti ini adalah ‘sangat penting’ (seperti klaim Salafi), maka harusnya merekalah yang paling layak untuk menggunakan sebutan sebagai kelompok Salaf, dan pastilah mereka yang pertama kali akan ‘mempopulerkan’ istilah ini, ‘hatta’ sampai Ibn Taimiyyah-pun tidak pernah mengunakan istilah salafi untuk menyebut dan mendefinisikan madzhabnya dan para pengikutnya !!!

Lalu dari mana munculnya istilah Salafi, untuk menyebut “org yang mengklaim dirinya sebagai satu2-nya penerus madzbab Salaf Ash-Sholeh yaitu Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in”. Yang jelas bukan dari para Ulama Mujtahid seperti Imam Syafi’I, Abu Hanifah, Ahmad Ibn Hambal, Malik dll yang menyebut diri mereka dan pengikutnya sebagai kelompok Salafi; hatta para imam ahli hadis seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi dll !!??! Tapi adalah Albani-lah yang pertama kali menggunakan istilah ini, sebagaimana terekam dalam sebuah dialognya antara Albani dengan (salah satu pengikutnya yaitu Abdul Halim Abu Syuqqah) (Lihat Majalah As-Sunnah 06\IV\1420; hal 20-25) !!!

Lalu Albani-lah yang memberi definisi Salafi sebagai ‘orang-orang yang mengikuti cara beragamanya para salaf dalam memahami islam’. Dan supaya terlihat ‘keren’ lalu dinukillah sejumlah ayat, hadis, atsar dan pendapat sebagian Ulama (nb: yang tentunya ditakwil sesuai dengan kepentingan kelompok Neo Salafi ini !!!), untuk menunjukkan bahwa seakan-akan yang menggunakan istilah itu adalah para Imam diatas, padahal klaim itu tidaklah benar (nb : silahkan tunjukkan satu riwayat saja, yang shohih dr para imam mujtahid dan Imam Ahli Hadis yang memperkuat klaim kelompok Salafi ini) !!!?

Walhasil, untuk menilai apakah Imam Taqiyyudin atau Hasan Al-Banna dll mengikuti manhaj para salafus shalih atau tidak, tidak ditentukan oleh penilaian Albani, Utsaimin, Ibn Baz dll ( kualitas keilmuannya jauh dibawah para Imam ini !!??). Tapi hujjah dan argumentasi yang mereka gunakan !!! Dan itu harus dikaji kasus per kasus, tidak bisa digeneralisasi (nb: tidak seperti cara Ikhwan dan kelompoknya yang sengaja mencari-cari kesalahan para Imam ini lalu digunakan untuk menyatakan bahwa seluruh pendapat mereka adalah salah dan menyimpang !!?). Sedang klaimnya bahwa Albani, Utsaimin, Ibn Baz min firqoh As-Salafiyah Al-Jadidah (Kelompok Neo Salafi) adalah termasuk ulama salafy, dan merekalah satu2-nya yang layak mengikuti cara beragamanya para salaf dalam memahami islam adalah sebatas klaim kelompok salafi dan orang2 yang sepakat dengan pemikirannya !
Kritik Atas Sebagian Doktrin Aqidah Salafy 

Wahabi atau mereka lebih senang disebut “Salafy”, menurut versi mereka adalah sebuah gerakan yang meneruskan jejak dakwah Rasulullah, para sahabat, murid-muridnya terus berlanjut hingga masa Ibn Taimiyah sampai ke Abdul Wahab dan ulama mereka masa sekarang seperti Syaikh al-Bany, bin Baz, Utsaimin, Muqbil dsb dengan penyucian akidah dan ibadah (tafsiyah dan tarbiyah) yang sebagian besar menurut pendapat madzhab mereka (Majalah as-Sunnah 8 Zahrah : 52-63). Yang perlu dipertanyakan lalu dimana letak jutaan ulama kaum muslimin yang tidak meyakini bahkan berbeda pendapat dengan apa yang mereka bawa karena mereka meyakini manhaj (metode) dakwah merekalah yang paling sesuai sunah dan yang lain…?. Berikut kami petikkan beberapa perbedaan pendapat mereka dengan ulama lain.

Al-Hafidz Ibnul jauzi, seorang ulama besar Hanabilah, sebagaimana dikutip dalam Tarikh al-Madzahib dan Al-Aqidah Al-Islamiyah Kamajj’a Bihaa Al-Qur’an Al-Karim (Zahrah : 52-63) mengomentari konsepsi akidah Ibnu Taimiyah (Al-Aqidatul Muhammadiyyatul Kubra, hal. 249) yang banyak diambil oleh kaum Wahabi: “ Saya melihat diantara sahabat-sahabat kami ada yang berbicara tentang masalah ushul dengan cara yang tidak patut. Aku lihat mereka telah turun ke tingkat awam. Mereka mengartikan sifat-sifat Allah menurut jangkauan indera. Mereka mendengar bahwa Allah ta’ala menciptakan Adam sesuai bentuk-Nya, lalu mereka tetapkan bagi-Nya bentuk dan wajah disamping zat, kedua mata, mulut, gigi, sinar wajah, kedua tangan, jari jemari, telapak tangan, jari kelingking, ibu jari, dada, paha, dan kedua betis. Mereka berkata: “Kami tidak mendengar sebutan kepala. Begitulah mereka mendengar makna dhahirnya dalam mengartikan nama-nama dan sifat-sifat, padahal tiada dalil bagi mereka, baik naqli maupun akal. Juga mereka tidak memperhatikan nash-nash yang telah dialihkan dari dhahirnya kepada makna-makna yang wajib bagi Allah Ta’ala dan penghapusan tanda-tanda ciptaan (hadis) yang ditimbulkan oleh pengertian dhahir tersebut. Mereka tidak merasa puas dengan hanya mengatakan: “ sifat perbuatan, “ hingga mereka katakan: “ Ia adalah sifat zat." (Zahrah : 56)

Ringkasnya beliau tidak menyetujui hal-hal berikut:

a). Ia tidak menyetujui bahwa madzhab salaf adalah yang menafsirkan lafadz-lafadz yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadits yang dhahirnya menunjukkan anggota-anggota tubuh seperti tangan, wajah, dan kaki menurut makna-maknanya yang dhahir, tapi mengalihkannya kepada makna-makna majaz. “ tangan” (yad) diartikan kenikmatan dan kekuasaan, “wajah” diartikan Zat yang Maha Tinggi. Hal ini dianggapnya sudah masyhur (dikalangan orang arab) dan sudah logis, disamping itu mustahil zat yang Maha Tinggi mempunyai tangan dan lainnya.

b). Beliau tidak menyetujui bahwa penafsiran lafadh-lafadh ini menurut dhahirnya sebagai madzhab Hambali (salaf)

c). Dengan aksioma ia berpendapat bahwa mengalihkan lafadh-lafadh kepada dhahirnya menimbulkan, bahwa Allah adalah konkrit dan merupakan materi tubuh seperti tubuh-tubuh lainnya.

d). Imam Hambali tidak berpendapat bahwa penafsiran seperti itu adalah tafwidl (Penyerahan maksud kejelasannya kepada Allah) , sebab tafwidl adalah berhenti pada nash tanpa berusaha mengetahui maksudnya. Maka orang yang menafsirkannya secara konkrit (berdasar indra) tidaklah menyerahkan maksud makna lafadh itu kepada-Nya, tetapi ia menafsirkannya, walaupun tidak menakwilkannya.

e). Imam Hambali berpendapat bahwa dengan mendakwakan bahwa Allah mempunyai tangan tetapi tidak seperti tangan kita, mata tidak seperti mata kita, dst sesungguhnya berarti mengeluarkan lafadh dari dhahirnya, karena dhahirnya lafadh menunjukkan tangan dan mata yang konkrit. Maka pemalingannya dari yang konkrit (berdasar indra) kepada makna lainnya adalah merupakan penakwilan dan penafsiran

Muhammad bin Abdul Wahhab berpendapat bahwa barang siapa berziarah kemakam Rasulullah, mereka tidak boleh mengqashar shalatnya saat diperjalanan karena tujuannya perjalanannya adalah berbuat dosa berdasarkan: La tusyaddul rihaalu illa tsalatsati masaajida : masjidiy hadzaa, walmasjidil haram walmasjidil aqsha (HR. Bukhari & Muslim). Sedang madzhab lain tidak berpendapat demikian berdasarkan: Kuntu nahaytukum ‘ an ziyaarotil qubuuri alaa fazuruhaa (HR. Muslim, Ahmad, Turmudzi, & Ibnu Majah). Dengan demikian berziarah kemakam Rasulullah lebih utama dibanding lainnya. Dan hadits Abdul Wahhab diatas dikhususkan untuk ziarah kemasjid-masjid saja, karena sifatnya tidak umum “ Janganlah bersusah payah melakukan perjalanan kecuali ketiga masjid”, jadi berziarah pada masjid hanya untuk tiga masjid diatas saja.

Pada tahun 1344 H, mereka menghancurkan pemakaman Baqi’ dan peninggalan-peninggalan keluarga Rasul dan sahabatnya. Untuk mendapatkan fatwa ulama Madinah mereka mengutus Hakim Agung Nejd, Sulaiman bin Bulaihad, guna menanyakan fatwa ulama disana dengan menyelipkan pendapat Wahabi tentang masalah yang ditanyakan. Maksudnya agar para ulama disana menjawab dengannya atau dianggap kafir dan jika tidak bertaubat maka akan dibunuh.

Soal jawab ini dimuat dimajalah Ummul Qura, terbitan Makkah, bulan Syawal tahun 1344 H. Maka terjadilah keributan dikalangan muslim syi’ah maupun ahlus-sunnah karena mereka tahu dengan fatwa dari 15 ulama Madinah itu penghancuran bekas-bekas ahlul bait dan sahabat Rasulullah akan segera dilaksanakan. Dan pada 8 Syawal tahun itu juga mereka menghancurkannya. Berikut cuplikannya: Sulaiman bin Bulaihad dalam pertanyaannya mengatakan: Bagaimanakah pendapat ulama Madinah (semoga Allah menambah kefahaman dan ilmu mereka) mengenai membangun kuburan dan menjadikannya sebagai masjid, apakah boleh atau tidak? Jika ditanah waqaf seperti Baqi’ yang bangunannya mencegah untuk menggunakan bagian yang dibangun, apakah ini termasuk qashab yang harus segera dihilangkan, karena hal itu merupakan aniaya terhadap orang-orang yang berhak, dan menghalangi mereka dari haknya atau tidak?

Ulama Madinah dengan wajah ketakutan menjawab : Mendirikan bangunan menurut ijma’ hukumnya adalah terlarang bersandar pada hadits Ali dari Abul Hayyaj, Ali berkata: Aku menyeru engkau kepada suatu perbuatan dimana Rasulullah telah menyeru aku dengannya, yaitu tidaklah engkau melihat patung kecuali engkau musnahkan, dan kuburan yang menonjol kecuali hendaknya engkau ratakan (HR. Muslim, Tirmidzi, an-Nasa’I).

Ada perbedaan pendapat mengenai hal ini, berdasarkan al-Qur’an surat al-Hajj 32: ..Dan barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. Dalam Majma’ Al-Bayan disebutkan sya’ir disini adalah tanda-tanda agama Allah, seperti halnya Shafa dan Marwah. Selain itu hadits ini dalalahnya (maknanya) juga tidak seperti yang difahami kaum wahabi saja. “Wa laa qabran musyrifan illa sawwaytahu”, as-Syarafu dalam al-Munjid diartikan sebagai ketinggian (seperti Punuk unta) sedang sawwaytahu berarti menyamakan / meratakan / meluruskan sesuatu yang miring. Jadi seperti penjelasan Imam Nawawi dalam syarah muslim “ Sunnahnya ialah, kuburan tidak terlalu ditinggikan dari atas tanah dan tidak dibentuk seperti punuk unta, akan tetapi ditinggikan satu jengkal. Jadi bukan dihancurkan sama sekali dan bukan merupakan dalil mengharamkan bangunan diatas kuburan ( Subhani, Ja’far, Wahabiyah fi Al-Mizan, Muassasah Al-Nasyr Al-Islamiy At-Tarbiyah Li Jama’ah).

Dimasa sekarang hubungan Wahabi dan keluarga Saud, yang kini menjadi antek Amerika, tetap berjalan seperti dulu kala. Sedangkan dakwah Wahabi masih juga berkutat pada TBC (Tauhid, Bid’ah, dan Khurafat). Dalam kajian-kajiannya mereka senantiasa menghidupkan permasalahan-permasalahan ‘masa lalu’ seperti kesalahan –kesalahan kelompok Mu’tazilah, Syi’ah, Murji’ah dan sebagainya. Permasalahan-permasalahan semisal politik, ekonomi, dan semacamnya jangan pernah berharap akan dibahas dengan komprehensif, “sekarang yang diperbaiki akidahnya dulu, bagaimana mau berpolitik wong akidahnya masih rusak” kutipan dari salah seorang ustadz mereka. Jelas pernyataan ini masih perlu dibahas dan didiskusikan lebih lanjut.

Dan yang paling penting mereka sangat getol mengkritisi (atau lebih tepatnya menghujat) gerakan-gerakan Islam pada umumnya. Hizbut Tahrir mereka katakan Mu’tazilah Gaya Baru, Ikhwan al-Muslimin dikatakan sufi maupun ahlul-hawa, Jama’ah Tabligh dikatakan sufi gaya baru. Dari sisi analisa politik kami melihat bahwa hal ini tidak lepas dari peran keluarga Saud yang jelas tidak ingin kekuasaannya digantikan oleh gerakan Islam yang ingin menegakkan Negara Islam dan memanfaatkan Wahabi sebagai corong untuk mereka atau lebih jauh mereka mendapat “pesan” dari bosnya, A.S untuk melakukan langkah-langkah konkrit melawan “Islam Fundamentalis”. Dari sisi ide kami menilai kritik mereka memang harus ditempatkan sebagaimana mestinya, dinilai dari kekuatan argumentasinya, dan sudah banyak kitab yang menjawab kritik-kritik yang dilontarkan mereka.

Mafahim Yujib an-Thushahah yang ditulis, Syaikh Alwi al-Maliki membantah tulisan mereka tentang isu-isu tawasul, istighasah, maulud dan sebagainya, Hadits Ahad dalam Masalah Akidah yang ditulis oleh Dr. Fathi M. Salim, Fiqh al-ikhtilaf Yusuf Qardhawi yang juga mengkritik jama’ah-jama’ah lain selain Wahabi, 'Abd al-Ghani an-Nabulusi, Al-Hadiqat an-nadiyya, h. 182, Istanbul, 1290. Ahmad Zaini Dahlan', Ad-durar as-saniyya fi 'r-raddi 'ala 'l-Wahhabiyya in Cairo in 1319 (1901 M) dan masih banyak lagi.

Hadits Dhoif Dalam Aqidah Salafy


Kelompok ‘Neo Salafi’ berpendapat bahwa seluruh khabar (hadis) dari rasul SAW yang terbukti shohih baik mutawatir atau ahad adalah dalil dalam masalah aqidah !!!? Tetapi apakah realitasnya sesuai dengan klaim diatas, kita dapat menyimaknya sebagai berikut : seperti yang termaktub dalam kitab Syarhu Lum’ah Al-I’tiqod Al-Hadi ila Sabil Ar-Rasyad lil Imam Ibn Qudamah Al-Maqdisi dengan syarah dari Ibn Utsaimin, dengan penelitian dan takhrij hadis oleh Asyiraf Ibn Abdul Maqsud Ibn Abdur Rahim – Penerbit Maktabah Thabariyah/cetakan pertama tahun 1992 M – 1412 H !.


Ibn Abdur Rahim yang meneliti hadis dan atsar dalam kitab ini, menyatakan sejumlah hadis dan atsar (baik yang terdapat dalam matan dari Ibn Qudamah atau syarh-nya oleh Ibn Utsaimin) adalah hadis atau atsar yang dhoif :

Hadis no. 24 pada bagian syarh oleh Ibn Utsimin (hal. 59) adalah hadis dhoif.

Hadis no. 27 pada bagian syarh oleh Ibn Utsimin (hal. 62) adalah hadis dhoif.

Hadis no. 30 pada bagian syarh oleh Ibn Utsimin (hal. 66) adalah hadis dhoif.

Hadis no. 32 pada bagian syarh oleh Ibn Utsimin (hal. 67) adalah hadis dhoif.

Hadis no. 41 pada bagian syarh oleh Ibn Utsimin (hal. 75) adalah hadis dhoif.

Hadis no. 44 pada bagian matan (poin 33) oleh Ibn Qudamah (hal. 81) adalah hadis dhoif.

Atsar no. 47 pada bagian matan (poin 36) oleh Ibn Qudamah (hal. 82) adalah hadis dhoif.

Hadis no. 55 pada bagian matan (poin 45) oleh Ibn Qudamah (hal. 90) adalah hadis dengan sanad yang dhoif.

Hadis no. 112 pada bagian syarh oleh Ibn Utsimin (hal. 129) adalah hadis dhoif.

Hadis no. 127 pada bagian matan (poin 78) oleh Ibn Qudamah (hal. 139) adalah hadis dengan sanad yang dhoif.

Hadis no. 140 pada bagian matan (poin 85) oleh Ibn Qudamah (hal. 148) adalah hadis dhoif.

Walhasil, bukan hanya hadis ahad yang shohih saja yang digunakan oleh kelompok Neo Salafi ini, sebagai dalil dalam masalah aqidah tapi hadis dhoif-pun jika cocok dengan pendapat dan hawa nafsunya akan dijadikan sebagai dalil untuk masalah aqidah !!!?

Bukankan Ibn Utsaimin dianggap sebagai ‘konseptor utama’ Salafi dalam masalah aqidah, bukankan kitab-kitabnya seperti Fathu rabbir barriyah bi talkhishil alhumuwiyah, Nubadz fi Al-Aqidah Al-Islamiyah, Al-Qawa’id Al-Mutsla fi sifatillah wa asmaihi a-Husna, Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Syarh Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Syarh Aqidah Al-Washitiyah li Ibn Taimiyah dll adalah referensi utama kelompok Neo Salafi dalam masalah aqidah (selain juga ada kitab-kitab yang lain) !!!? Sedang Syarh Lum’ah Al-I’tiqad adalah karangan Ibn Utsaimin, sehingga wajar ini dianggap ‘representasi umum’ dari aqidah kelompok Neo Salafi ini !!!? Lalu apa yang sebenarnya diinginkan oleh kelompok Neo Salafi ini dengan menyatakan : “Tidak cukup Al-Qur’an dan hadis mutawatir saja sebagai dalil dalam masalah aqidah, tapi pada saat yang bersamaan menerima hadis dhoif sebagai dalil dalam masalah aqidah” (baik itu yang tercantum dalam matan atau syarh-nya) !!!

Tidak cukup sampai disini, Ibn Utsaimin pun menyatakan ada pendapat dari Imam Ibn Qudamah yang bertentangan dengan pendapat Ahlus sunnah wal jama’ah !!! Seperti ketika Ibn Qudamah berkata : “Min Sifatillah Innahu Mutakalimun bi kalamil qadim” (Termasuk sifat Allah berbicara dengan kalam Al-Qadim) (pada pasal kalam Allah – poin 21), oleh Ibn Utsaimin pernyataan ini di komentari sbb : ‘….La Yaslahu ila hadzal ma’na ‘ala madzhabi ahlis sunnah wal jama’ah….’ (Tidak dianggap layak makna seperti ini untuk dinisbahkan kepada ahlus sunnah wal jama’ah) hal. 74 dalam Fasal Ta’liq ‘Ala kalam Al-Mualif fi fashlil kalam (Pasal komentar atas pendapat penulis (yaitu Ibn Qudamah) teatang masalah kalam) dalam kitab yang sama !!!?

Walhasil, menurut Ibn Utsaimin ada pendapat yang bertentangan dengan pendapat Ahlus sunnah wal jama’ah !!! Dimana Imam Ibn Qudamah (menurut Ibn Utsaimin) masih ‘sempat’ mengadopsi pendapat yang bertentangan Ahlus sunnah wal jama’ah !!! Jadi yang menentukan apakah pendapat Imam Ibn Qudamah ini cocok atau tidak dengan pendapat Ahlus sunnah wal jama’ah adalah Ibn Utsaimin !??!!

Sehingga terbukti mereka bukanlah penerus manhaj Salaf, tetapi ‘sebatas’ korektor pendapat dan karya para Ulama Salaf, artinya merekalah yang berhak (nb : menurutt klaim mereka yg salah) memberi ‘stempel’ seorang ulama salaf itu layak untuk dimasukkan jajaran Ulama Penerus Manhaj Salaf atau tidak, jika mereka (para Ulama itu) sudah ‘lulus sensor’ baik aqidah, manhaj atau pendapat2-nya agar sesuai dengan aqidah, manhaj dan fiqh kelompok “neo Salafi” ini maka absahlah status mereka sebagai Ulama Salaf dan pendapat2nya dan kemudian karya-karya para Ulama ini dapat dijadikan rujukan dan referensi !!! Waliyadzu billlah !!!??! Haihata haihata Ya Ghulat Al-Mudzabdzib As-Salafi !

Celaan Salafi Atas Aqidah Imam Ahlus Sunnah Abu Ja’far Ath-Thahawi.

Tentang pernyataan (yaitu pengikut Salafi bernama Ikhwan) : “namun karena terlalu mengutamakan masalah yang bukan masalah ushul untuk didakwahkan akhirnya mereka melupakan bahwasanya kaum muslimin saat ini juga telah jauh tidak hanya dari syari'at Allah tetapi juga dengan aqidah yang shahih” !!??.

Kami hendak bertanya: Aqidah shohih menurut siapa, wahai Ikhwan ??? Apakah aqidah shohih menurut Ibn Baz, Utsaimin, Albani dll !!? Kalau anta mengklaim bahwa aqidah yang anta dan kelompokmu perjuangkan adalah aqidahnya para Salaf, apa buktinya !!!?.

Al-Hafidz Ibn Abdil Bar Al-Andalusi (630 H) pernah menulis kitab Isti’ab fi Ma’rifatil Ashab yang berisi biografi dari 3500 orang sahabat, kemudian Al-hafidz Ibnul Atsir menulis kitab Usudul Gabah fi Ma’rifatil Amais Sahabah yang berisi biografi dari 7554 orang sahabat , bahkan Al-Hafidz Ibn hajar menulis kitab Al-Isabah fi Tamyiz Sahabah yang berisi 12.267 biografi sahabat (9.447 untuk sahabat laki2 yang dikenal dengan nama aslinya; 1.268 sahabat yang dikenal dengan nama kuniyah; 1.522 untuk nama asli dan kuniyah dari sahabat wanita) !!!

Sekarang kami menantang anta, wahai Ikhwan – Coba tunjukkan satu saja dari sekian sahabat diatas yang memberi rekomendasi terhadap salah satu dari kitab aqidah yang engkau klaim sbg satu2-nya kitab aqidah yang mewakili aqidah para Salaf ini !!??

Rekomendasi seperti itu harus ada, apalagi bagi kelompok yang mengklaim aqidah ‘versi’ kelompoknya adalah satu2-nya aqidah yang paling shahih, kemudian anta dan kelompokmu tidak dapat menunjukkan rekomendasi yang dimaksud, maka klaim anta dan kelompokmu adalah klaim semu dan berlebih2-an, kalau tidak bisa dikatakan dusta !!! Bahkan seorang Imam Abu Ja’far Ath-Thohhawi tidak berani mengklaim bahwa aqidah yang beliau tulis adalah satu2-nya yang mewakili aqidah para Salaf Ash-Sholeh (yaitu Sahabat, Tabi’in, Tabiut Tabi’in) !!!??.

Coba perhatikan bahwa Imam Abu Ja’far Ath-Thohawi hanya menyatakan bahwa kitab aqidah yang beliau tulis adalah aqidah yang mewakili madzhab aqidah menurut madzhab Imam Abu Hanifah dkk, teks lengkapnya spt berikut : “hadza dzikru bayan aqidah ahlis sunnah ‘ala madzhab fuqoha’ al-millah : Abu Hanifah Ibn Nu’man Ats-Tsabit, Abi Yusuf ibn Ibrahim Al-Anshori, Abi Abdilllah Muhammad Ibn Al-Hasan Asy-Syaibani ridhwanullahi a’laihim ajma’in “ (Ini adalah piagam yang berisi penjelasan tentang aqidah Ahlus - sunnah menurut madzhab Imam Fuqaha’ : ‘Abu Hanifah Ibn Nu’man Ats-Tsabit, Abi Yusuf ibn Ibrahim Al-Anshori, Abi Abdilllah Muhammad Ibn Al-Hasan Asy-Syaibani ra.’) (Lihat Kitab Matan Al-Aqidah Ath-Thohawiyah, Bagian Muqadimmah) !!?.

Lalu bagaimana dengan klaim Kelompok ‘neo salafi’ ini, bahwa aqidah mereka adalah satu2-nya aqidah yang mewakili para Salaf, tapi mereka tidak bisa menunjukkan seorang-pun dari para Sahabat ini yang memberi rekomendasi kpd aqidah ‘versi’ kelompok Salafi ini, tidak sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Ath-Thohhawi !!?.

Apalagi kalau dikatakan semua Salaf Ash-Sholeh sepakat dengan aqidah mereka, maka Kelompok ‘neo salafi’ ini harus bisa menyebut satu persatu nama dr para sahabat yang berjumlah 7554 orang sahabat (menurut Al-hafidz Ibnul Atsir) atau dari 12.267 orang sahabat (menurut Hafidz Ibn Hajar Al-Asqolani) yang memberi rekomendasikan atas kitab2 aqidah yang mereka klaimkan sbg satu2-nya kitab aqidah yang mewakili aqidah para Salaf Ash-Sholeh !!!

Lagipula Kitab Al-Aqidah Ath-Thohawiyah ini juga diklaim oleh para pengikut Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (nb: yang dikenal dengan Asy’ariyah) sebagai kitab referensi aqidah Asy’ariyyah, dimana kelompok Asy’ariyyah ini merupakan ‘musuh abadi’ Salafi !!.

Buktinya sbb : pada poin ke 5 dari kitab aqidahnya Imam Ath-Thohawiyah menyatakan “Qodimun bila ibtidain, daimun bila intihaun ( Ia Allah adalah Al-Qadim (Maha Awal) tanpa permulaan, Ad-Daim (Yang Maha Kekal) tanpa akhir)”. Lalu Ibn Baz mengkritiknya dengan mengatakan : hadza lafdzun lam yarud fi asmaaillah al-husnaa, kamaa nabbaha a’laihi Asy-syarih rahimahullah wa ghoiruhu. Innama dzakarahu katsirun min ‘ulamail kalam, liyutsbituu bihi wujudahu qabla kulli syaiin” (lafadz ini (Al-Qadim) tidak termasuk Asmaul Husna, sebagaimana banyak digunakan oleh para Ahlul Kalam untuk menetapkan wujud-Nya sebelum segala sesuatu) (Lihat Matan Al-Aqidah Ath-Thohawiyah ta’liq ibn baz, syarah poin ke – 5). Coba perhatikan bahwa Ibn Baz telah menuduh Imam Ath-Thohawiyah memasukkan dalam kitab Aqidah-nya filsafat dan ilmul kalam, padahal kitab aqidah ini adalah yang dklaim oleh kelompok Salafiyah dan Asy’ariiyah sbg kitab aqidah para Salaf.

Tidak cukup sampai disini penghinaan Ibn Baz thd Imam Abu Jafar Ath-Thohawi, ketika Imam Ath-Thohawi mengatakan bahwa : “Al-Iman wahidun wa ahluhu fi ashlihi sawaaun” (iman adalah satu, ahlul iman pada dasarnya adalah sama) – Ibn Baz berkata : “Hadza fiihi nadzirun, bal huwa bathilun” (Pendapat ini harus dikaji, bahkan ini termasuk ucapan yang bathil) (Lihat Lihat Matan Al-Aqidah Ath-Thohawiyah ta’liq ibn baz, syarah poin ke – 64) !!! Imam Abu Abdillah Jamal berkata : “Jika kamu lihat seseorang mencerca ulama As Sunnah dan manhaj Salafus Shalih di negeri ini dan lainnya maka ketahuilah bahwa ia adalah pengikut hawa.”

yang lebih mengherankan lagi, kalau Salafi telah menjadikan kitab Al-Aqidah Ath-Thohawi ini sebagai refensi utama dlm masalah aqidah, padahal tokohnya sendiri yaitu Ibn Baz menyatakan kitab aqidah Ath-Thohawiyah telah tercampur dengan filsafat , ilmu kalam dan perkara yang batil !!! Walhasil, akhirnya kelompok Salafi ini mengakui bahwa aqidah merekalah yang berlumur filsafat dan ilmu kalam -- Wal iyadzu billah !!!!

Apalagi ada pendapat yang mengatakan bahwa pandangan Imam Abu ja’far Ath-Thahawi (dalam masalah aqidah) mirip dengan Abul Manshur Al-Maturidi, karena keduanya sama-sama bermadzhab hanafi termasuk dalam masalah aqidah. Dimana kemudian ia berkembang dan lebih dikenal dengan madzhab Al-Maturidiyah yaitu sebuah kelompok yang dinisbatkan kepada pendirinya yaitu Abu Manshur Al-Maturidi, yang berasal dari samarkand. Secara umum, yang secara umum pandangan akidah dari madzhab ini sama dengan ahlus sunnah versi abu hanifah. Demikian juga dengan At-Thahawiyah, yang dinisbatkan kepada nama pendirinya, yaitu Imam Abu Ja’far Ath-Thahawii (asal mesir). Sebagaimana dinyatakan dalam bukunya, beliau menyatakan bahwa aqidahnya sama dengan aqidah Abu Hanifah (lihat kitab Al-Bayan As-Sunnah wa Al-Jama’ah oleh Imam Ath-Thahawii (ed. Muh. Muti’ Al-Hafidz) hal. 25; Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyyah – Syeikh Abu Zahrah). Padahal menurut Salafi, Al-Maturidi sama sesatnya dengan mu’tazilah dan jabariyah. Walhasil, tidak aneh kalau Salafi selain ‘mencatut’ pendapat Imam Ath-Thahawi, mereka juga mengkritk dengan keras dan menvonisnya dengan vonis yang tidak selayaknya kepada seorang ulama ‘sekaliber’ imam Ath-Thahawi (sebagaimana diatas) !!!

Bahkan ketika mereka (kelompok Salafi) kebingungan karena banyak Ulama yang pendapatnya berseberangan dengan mereka, maka dengan ‘beraninya” mereka (kelompok Salafi) menyalahkan mereka semua dan memperingatkan umat akan penyimpangan aqidah para Imam ini pada umat , buktinya adalah sbb : Adalah hal yang sangat aneh adalah kalau orang yang mencoba menukil pendapat Al-Hafidz Ibn Hajar sebenarnya adalah orang yang sangat keras mengkritik pendapat Ibn Hajar dalam masalah Aqidah, mereka menulis beberapa kitab yang isi mengkritik dan memperingatkan umat Islam akan penyimpangan Ibn Hajar dalam masalah Aqidah, diantara :

- Al-Tanbih ala Al-Mukholalifat Al-Aqidah fi Fath Al-Bari (Peringatan ttg penyimpangan Aqidah dlm ktb Fath Al-Bari ) oleh Syeikh Ibn Baz, Syeikh Sholeh Fauzan, Syeikh Abdullah ibn Mani’, Syeikh Abdullah Al-Naiman.

- Al-Akhtho’ Al-Asasiyah fi Al-Aqidah wa tauhid Al-Uluhiyah min kitab Fath Al-Bari bi Syarh Shohih Al-Bukhori (kesalahan mendasar dalam hal Aqidah dan tauhid Uluhiyyah kitab Fath Al-Bari yang mrpkn Syarh dr Shohih Al-Bukhori ) oleh Syeikh Abdullah ibn Sa’di Al-Ghomidi.

Akan tetapi yang aneh adalah Syeikh Salim I’ed Al-Hilali kembali menukil pendapat Ibn Hajar dalam kitabnya Al-Adilah wa Asy-Syawahid ala Wujub Al-Akhdzi bi khobar Al-Wahid fi Al-Ahkam wa Al-Aqoid. Baru kali ini terjadi ada sekelompok orang yang memperingatkan penyimpangan Aqidah dari seorang Imam Hadis kepada umat Islam, lalu tetap menukil dan menggunakan pendapatnya dalam masalah Aqidah untuk mempertahankan pendapatnya yang lemah dan dibumbui dengan berbagai dalil yang digunakan tidak pada tempatnya (asal comot saja). Tidak hanya itu Imam Nashir As-Sunnah (Imam Pembela Sunnah) Asy-Sya’tibi-pun tidak luput dari serangan mereka seperti yang dipaparkan oleh Nashir Ibn Hamd Al-Fahd dalam kitab I’lam bi mukholafat Al-Muwafaqot wa Al-I’thishom (Peringatan akan penyimpangan dlm kitab Al-Muwafaqot dan Al-I’thishom) !!

Imam Abu Hatim berkata : “Salah satu tanda ahli bid’ah adalah adanya cercaan mereka terhadap Ahli Atsar.” (Al Lalikai 1/179). Imam Abu Abdillah Jamal berkata : “Jika kamu lihat seseorang mencerca ulama As Sunnah dan manhaj Salafus Shalih di negeri ini dan lainnya maka ketahuilah bahwa ia adalah pengikut hawa.” Imam Ash Shabuni berkata : Dan tanda-tanda ahli bid’ah itu sangat jelas terlihat pada mereka dan salah satu tanda yang paling menonjol adalah kerasnya permusuhan mereka terhadap para pembawa berita dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, menghina, dan meremehkan mereka.” (Ibid 101 nomor 162) !!!?

Sungguh aneh padahal dua kitab ini yaitu Al-Muwafaqot dan Al-I’thishom, adalah referensi yang sering mereka rujuk untuk mendukung dan mengungatkan pendapatnya terutama untuk mebenarkan klaim mereka dan melegalisasi tuduhan mereka atas harakah Islam yang lain dengan tuduhan sesat atau menyimpang dari manhaj Salaf (nb: mnrt fahamnya albani, utsaimin, ibn baz dll) !!! Sehingga terbukti mereka bukanlah penerus manhaj Salaf, tetapi ‘sebatas’ korektor pendapat dan karya para Ulama Salaf, artinya merekallah yang berhak (nb : menurut klaim mereka yang salah) memberi ‘stempel’ seorang ulama salaf itu layak untuk dimasukkan jajaran Ulama Penerus Manhaj Salaf atau tidak, jika mereka (para Ulama itu) sudah ‘lulus sensor’ baik aqidah, manhaj atau pendapat2-nya agar sesuai dengan aqidah, manhaj dan fiqh kelompok “neo Salafi” ini maka absahlah status mereka sebagai Ulama Salaf dan pendapat2nya dapat dijadikan rujukan dan referensi !!! Waliyadzu billlah !!!??!

Meluruskan Paham Tentang Ilmu Kalam

- Ilmu Kalam secara Etimologis (Bahasa)

Ilmu kalam secara bahasa berasal dari bahasa arab yakni ‘ilm al-kalam. Lafadz tersebut berbentuk tarkib idhafi, atau susunan mudhaf dan mudhaf ilaih, yaitu ilmu (pengetahuan) dan al-kalam (perdebatan). Lafadz ilmdalam bahasa arab adalah ma’rifah (pengetahuan) dan fahm (pemahaman) (Lihat Istidhal bi dzon fil aqidah – Syeikh Fathi Salim hal. 36). Lembaga bahasa arab Mesir, mengartikan lafadz ilmu sebagai akumulasi permasalahan dan dasar yang menyeluruh tentang suatu pemabahsan, yang dibahas dengan metode kajian tertentu dan berakhir dengan lahirnya teori dan hukum (Lihat Majma’ Lughah Al-Arabiyah, Al-Mu’jam Al-Arabiyah, hal. 432). Al-Juwaini (w. 478 H\1086 M) menjelaskan makna ‘ilm dengan : ma’rifah al-ma’lum ‘ala ma huwa bihi (pengetahuan mengenai obyek yang diketahui (al-ma’lum) melalui pengetahuan tadi seperti apa adanya) (Mukhtar Ash-Shihah - Imam Ar-Razi, hal. 577). Sedangkan lafadz al-kalam yang digunakan dalam pembahasan ini menururt Abu Bakar Ar-Razi (w. 240 H\855 M) diambil dari lafadz al-kalam yang berarti al-jurh (cacat atau kelemahan) (Al-Juwaini lihat kitab Al – Irsyad ila qawati’I al-adilati fi ushul al-I’tiqad, hal. 10). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh At-Taftazani (w. 783 H/1391 M) (Lihat kitab Syarh Aqoid An-Nasafiyah – Imam At-Taftazani, hal. 6). dari analisis dapat disimpulkan bahwa lafadz al-kalam dapat diingriskan dengan kata dialektik yang berarti diskusi atau perdebatan. Kata dialektik sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dialektika, yang berarti perdebatan dengan tujuan unutk membantahargumentasi lawan atau mengarahkan lawan pada kontradiksi, dilema dan paradoks (Lihat kamus filsafat – Tim Penulis Rosda, hal. 78).

- Ilmu Kalam secara Terminologis (Istilah)

Ilmu kalam banyak didefinisikan. Jahm ibn sufyan, washil ibn atha’, Al-juwaini, al-iji al-jurjani dll, misalnya menganggap ilmu kalam sebagai disiplin ilmu yang membahasas akidah islam (Lihat Al-Aqoid wa al-ilmul kalam – DR. Mahmud Al-Khalidi, hal. 20).

Al-Farabi (w. 325 H\956 H) misalnya mendefinisikan ilmu kalam dengan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mempertahankanpandangan dan sikap terpuji, yang mamapu memperjelas kedudukan agama serta menganggap palsu papa saja yang bertentangan dengan pendapat-pendapat (Aqaawil) (Lihat Ihsa’ Al-Ulum – Ibn Arabi, hal. 131).

Al-Iji mendefinisikan ilmu kalam sebagai ilmu yang mamapu menguatkan teologi keagamaan (al-aqa’id al-dinniyah) dengan menyatakan berbagai argumentasi dan menolak keraguan (Lihat kitab Al-Mawaqif ma’a Syarh Al-Sayid Al-Sindi – Imam Al-Iji, hal. 7). Sementara Ibn Khaldun (w. 785 H\1390 M) mendefinisikan ilmu kalam sebagai ilmu yang berisi berbagai argumentasi teologis dan dalil rasional (aqliyah) serta kritik terhadap ahlul bid’ah yang melakukan penyimpangan teologis terhadap dari madzhab salaf dan ahlus sunnah (Lihat kitab Al-Muqadimah – Ibn Khaldun, hal. 507). Definisi yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun sebenarnya juga telah dikemukakan oleh Al-Ghazali (w. 5050 H\ 1111 M) (Lihat Kitab Al-Munqidh min adh-dhallal – Imam Al-Ghazali, hal. 59-60).

- Obyek Pembahasan Ilmu Kalam

Sebagai pengetahuan, ilmu kalam mempunyai obyek pembahasan yang spesifik. Sehingga layak disebut sebagai pengetahuan. Berdasarkan definisi bahwa ilmu kalam adalah pengetahuahn yang membahas berbagai argumentasi akidah keimanan dengan dalil-dalil rasional, serta krtitik terhadap penyimpangan akidah ahlul bid’ah dari madzhab salaf dan ahus sunnah, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi obyek pembahasan ilmu kalam adalah polemik pemikiran dikalangan para filosuf, seperti freewill epikuarenisme, dengan fatalisme stoisisme, antara filosuf dengan mutakalimin, serta polemik teologi antara subtansi dan aksiden antara Kristen dengan mu’tazilah – Abu Hudhayl, serta antara mutakalimin sendiri antara mu’tazilah dengan jabariyah, antara jabariyah dengan ahlus sunnah yakni asyariyah dan maturidiyah. Juga antara Ahlussunnah dengan ibn taimiyah dan pengikutnya.

Obyek pembahasan yang diperdebatkan oleh sesama mutakalimin :

1-Masalah pengetahuan (al-ma’rifah) dan cara memperolehnya. Pembahasan ini bertujuan untuk mengukuhkan keyakinan mengenai keyakinan informative (Al-ma’rifah al-khabariyah) khususnya yang dibawa dari Rasul SAW. Tujuannya adalah membantah pandangan thummamiyah dan safsata’iyyah yang menolak pengetahuan informative.

2- Masalah kebaharuan alam (huduts al-alam), yang bertujuan untuk membuktikan wujud Zat Yang Maha Pencipta. Ini merupakan bantahan akan pandangan materialis, yang berpendapat tentang kedahuluan alam (qudum al-alam).

3- Masalah keesaaan Allah sebagai bantahan terhadap pandangan tsanawiyah yang meyakini eksitensi Tuhan cahaya (An-Nur) dan Tuhan Kegelapan (Adz-Dzulmah).

4- Masalah tanzih (penyucian Allah) dan penolakan tasybih (penyerupaan Allah atas makhluk). Tujuannya adalah untuk membantah Yahudi yang menambahkan pada Allah dengan ciri-ciri manusia.

5- Masalah sifat Allah dan hubungannya dengan zat-Nya, apakah zat-Nya sama dengan sifat-Nya, ataupun berbeda. Ini merupakan bantahan terhadap mu’tazilah, yang terpengaruh dengan perdebatan seputar sifat-sifat Allah sebagai akibat dari pengaruh filsafat yunani. Ketika konsep jauhar (subtansi) dan aradh (aksiden) 173 (Lihat kitab Al-Anshaf - Imam Al-Baqilani \ hal. 16), serta aqnumiyyah (oknum dalam teologi Kristen) yang digunakan untuk memberi justifikasi atas konsepsi teologi mereka, dimana Tuham merupakan akumulasi dari 3 oknum, yaitu oknum bapak, anak dan ruh kudus 174 (Lihat kitab Al-Irsyad – Imam Al –Juwaini \ hal. 24-26).

6-Masalah kalam Allah, baik qadim maupun huduts. Ini terpengaruh pandangan Kristen yang menganggap Al-Masih sebagai kalimatullah. Menurut teologi Kristen al-masih adalah Tuhan, sedang dalam pandangan Islam, Al-Masih adalah kalimatullah. Dari sinilah, Yuhana Ad-Dimsyaqi berusaha membuat sintesis dari pandangan Islam dan Kristen yang bertujuan untuk menjustifikasi konsep teologisnya. Jika Al-Masih adalah Kalimatullah, dan kalimatullah adalah qadim, maka Al-Masih adalah qadim. Jika Al-Masih adalah qadim, maka Al-Masih adalah Tuhan. Dalam konteks ini muncullah bantahan dari para Ulama, Seperti ja’d ibn dirham, Jahm ibn Safwan, dan washil ibn atha’ yang menyatakan, bahaka kalam Allah adalah makhluk dan baru (Lihat Tarikh Al-Madzahib – Syeikh Abu Zahrah \ hal. 297; Buhuts fi Al-Milal wa An-Nihal – Syeikh Jafar Al-Subhani jilid 2\hal. 254).

7- Masalah kenabian yang bertujuan untuk mengukuhkan keyakinana pada kenabian Nabi SAW, dengan mengmbantah sekte sabi’ah dan brahmana (hindu) yang menolak kebutuhan manusia pada nabi. Juga membanatah orang yahudi dan nashrani yang menolak kenabian Nabi Muhammad SAW.

8- Masalah kemaksuman para Nabi yang bertujuan untuk membantah pandangan Yahudi, bahwa nabi SAW mempunyai kelemahan, dosa dan tidak maksum.

9- Masalah tempat kembali (Al-Mi’ad) yang membantah pandangan reinkarnasi (penjelmaan kembali) agama budha dan lainnya.

10- Masalah al-jabr wal ikhtiyar (keterpaksaan dan kebebasan berkehendak), yang terpengaruh dengan pandangan freewill dan fatalisme filsafat yunani.

Dengan demikian secara ringkas dapat disimpulkan, bahawa obyek pemabhasan ilmu kalam adalah argumerntasi dan bantahan dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan wujud, zat, sifat dan perbuatan Allah, kebutuhan kepada rasul, hari kiamat, serta pahala dan siksa (Lihat kitab Al-Firaq – Syeikh Abdul Fattah hal. 13 – 14). Adapun sifat obyek berkenaan dapat diklasifikasikan menjadi mahsus (terindra) dan ghair al-mahsus (tidak terindera).

Hal ini menegaskan bahwa apa yang sebenarnya menjadi ‘pokok’ kajian aqidah yang selalu diperdebatkan oleh Salafi, pada hakekatnya adalah hal-hal yang juga diperdebatkan oleh para filosof dan para ahli kalam (seperti penjelasan diatas). Walhasil, apa yang dilakukan oleh salafi pasti akan berakhir, seperti apa yang lakukan oleh para filosof dan para ahli kalam, yaitu ‘’perdebatan yang tiada berakhir dan berujung pangkal’’ !!?.

Dan hal inilah yang dijauhi oleh para Ulama Salaf seperti Imam Malik ibn Anas ketika menjelaskan tentang ayat yang menjelaskan bahwa ‘’Allah SWT bersemanyam di Arsy’’ : ‘Bersemanyam itu adalah sebuah perkara yang sudah dimengerti, sedangkan caranya adalah hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia. Menanyakan masalah itu adalah bid’ah dan mengimaninya dalah wajib’ . Dan seperti inilah sikap para salaf dalam masalah asma dan sifat, mereka tidak menulis penjelasan yang memerlukan puluhan halaman dalam kitab mereka, karena ini adalah masalah gha’ib dan hakekatnya tidak dapat dijangkau oleh panca indera, sehingga tidak masuk dalam pembahasan akal manusia. Dan cukup kita mengimani dijelaskan dengan dalil qath’I (yaitu Al-Qur’an dan hadis yang mutawatir) tanpa menambahi atau menguranginya, atau menjadikannya sebagi obyek perdebatan, apalagi menjadikannya sebagai ‘isu’ untuk menyesatkan kaum muslimin yang lain – waliyadzu billah !!!?

- Mengkritisi sikap Ibn Taimiyah dalam masalah Asma wa Sifat

Ketika Ibn Taimiyah menetapkan madzhab salaf (yang dlm pandangannya) adalah itsbat, yaitu menetapkan secara dhahir nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang dengan kaidah ini ia menetapkan bahwa Allah mempunyai tangan, mata, kaki dlll. Dan untuk menghindari jatuh pada faham Al-Mutajasimah, Ibn Taimiyah menambahkan 4 syarat yakni menetapkan sifat dan perbuatan Allah dengan menafikan tasybih (yakni tidak menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), menolak ta’thil (tidak menolak sifat dan perbuatan Allah yang nampak secara dhahir pada nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah), tidak melakukan ta’wil (mengalihkan makna lafadz dari makna lahir kepada makna yang dikendaki – (lihat kitab At-Ta’rifat hal. 72 – oleh Imam Al-Jurjani)), dan menghindari takyif (mempertanyakan tentang kaifiyah\tata cara sifat dan perbuatan Allah). Untuk syarat yang terakhir yaitu’’ menghindari takyif’’, seperti tidak mempertanyakan tentang bagaimana kaifiyah\cara Allah bersemayam di Arsy, turun di setiap 1\3 malam terakhir dll.

Kalau dalam kasus madzhab itsbat, (yaitu menetapkan secara dhahir nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah), dimana salah satu syaratnya harus menghindari takyif (mempertanyakan tentang kaifiyah\tata cara sifat dan perbuatan Allah) seperti contoh diatas, maka berarti ‘pengetahuan yang sebenarnya’ tentang kaifiyah\cara Allah bersemayam di Arsy, turun di setiap 1\3 malam terakhir diserahkan kepada Allah. Bukankan ini termasuk madzhab tafwidh yaitu menyerahkan pemahaman tentang nama, sifat dan perbuatan Allah yang terdapat dalam nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah kepada Allah !!!?

Sehingga ada sebagian peneliti yang menyimpulkan madzhab Ibn Taimiyah dalam masalah nama, sifat dan perbuatan Allah, adalah tidak murni madzhab Itsbat yang mengikuti sebagian Ulama Hambali seperti Qadhi Abu Ya’la Al-Fara’, Abu Utsman Ash-Shabuni dll; tapi lebih merupakan kombinasi antara madzhab itsbat dan tafwidh seperti telah diuraikan diatas.

Hal ini ia lakukan supaya tidak terjatuh dalam faham tajsim atau juga dikenal dengan istilah Al Hasyawiyah. Hasyawiyah digunakan untuk menyebut kelompok yang menyatakan bahwa Allah mempunyai jism, tapi jism-Nya berbeda dengan jism manusia, seperti yang dikemukakan oleh Hasm Ibn Al-Hasan (w. 149 H\763 M) dll. (Lihat kitab Nasya’ah al-fikr al-falsafi fil islam – DR. Ali Sami’ AN-Nasyar, jilid 1-hal. 687 – 688, bandingkan dengan catatan kaki al-mutajasimah, hal 308). Apalagi hasil penelitian seorang pakar Filsafat dan ilmu kalam yaitu DR. Ali Samii An-Nasyar (Guru besar Filsafat Islam di Universitas iskandariyah-Fakultas Adab) dalam kitabnya Manahij Al-Bahts inda Mufakir Al- Islamii wa Kasyaf fi manhaj Al-Ilmii fi Al-Alam Al-Islamii (hal 179-290) bahwa Ibn Taimiyah ketika mengkritik filsafat dan ilmu kalam juga terpengaruh dengan penggunaan filsafat dan ilmu kalam itu sendiri. Dan pemikiran beliau banyak diadopsi oleh kelompok Salafi pada masa ini


Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah

quran5Apa yang dimaksud dengan golongan Ahlussunnah wal jamaah ?
Syekh Abu al-Fadl Abdus Syakur As-Senori dalam karyanya “Al-Kawakib al-Laama’ah fi Tahqiqi al-Musamma bi Ahli as-Sunnah wa al-Jamaah” menyebutkan definisi Ahlussunnah wal jamaah sebagai kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW dan thoriqoh para sahabatnya dalam hal akidah, amaliyah fisik (fiqh) dan akhlaq batin (tasawwuf).
Syekh Abdul Qodir Al-Jaelani dalam kitabnya, Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haq juz I hal 80 mendefinisikan Ahlussunnah wal jamaah sebagai berikut “Yang dimaksud dengan assunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan Beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian jamaah adalah segala sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada masa empat Khulafa’ur-Rosyidin dan telah diberi hidayah Allah “.
Dalam sebuah hadits dinyatakan :

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : افترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة ، وتفرقت النصارى الى إثنين وسبعين فرقة ، وتفرقت أمتي على ثلاث وسبعين فرقة ، كلها في النار الاّ واحدة ، قالوا : ومن هم يا رسول الله ؟ قال : هم الذي على الذي أنا عليه وأصحابي . رواه أبو داود والترميذي وابن ماجه

“Dari Abi Hurairah r.a., Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan. Dan umat Nasrani terpecah menjadi 72 golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua masuk neraka kecuali satu. Berkata para sahabat : “Siapakah mereka wahai Rasulullah?’’ Rasulullah SAW menjawab : “Mereka adalah yang mengikuti aku dan para sahabatku.”. HR. Abu Dawud, Turmudzi, dan Ibnu Majah.
Jadi inti paham Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) seperti tertera dalam teks hadits adalah paham keagamaan yang sesuai dengan sunnah Nabi SAW dan petunjuk para sahabatnya. Dalam hadits lain:

عن عبد الرحمن بن عمرو السلمي أنه سمع العرباض بن سارية قال وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم: فعليكم بما عرفتم من سنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين. رواه احمد

Dari ‘Abdurrahman bin ‘Amr as-Sulami, sesungguhnya ia mendengar al- Irbadl bin Sariyah berkata: Rasulullah SAW menasehati kami: kalian wajib berpegang teguh pada sunnahku dan perilaku al-khulafa’ar-Rosyidin yang mendapat petunjuk.’’ HR.Ahmad.
Sejak kapan istilah golongan Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) muncul ?
Paling mudah melacak periode awal kelahiran terminologi (istilah) Aswaja dimulai dengan lahirnya madzhab (tauhid) al-Asy’ari dan abu Manshur al-maturidi. Tetapi kelahiran madzhab Aswaja di bidang kalam ini tidak dapat dipisahkan dengan mata rantai sebelumnya, dimulai dari periode ‘Ali bin Abi Thalib KW. Sebab dalam sejarah, tercatat para imam Aswaja di bidang akidah telah ada sejak zaman sahabat Nabi SAW, sebelum munculnya paham Mu’tazilah. Imam Aswaja pada saat itu diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib  KW, karena jasanya menentang penyimpangan khawarij tentang al-Wa’du wa al-Wa’id dan penyimpangan qodariyah tentang kehendak Allah SWT dan kemampuan makhluk. Di masa tabi’in juga tercatat ada beberapa imam Aswaja seperti ‘Umar bin Abdul Aziz dengan karyanya “Risalah Balighah fi Raddi ‘ala al-Qodariyah”. Para mujtahid fiqh juga turut menyumbang beberapa karya teologi (tauhid) untuk menentang paham-paham di luar Aswaja, seperti Abu Hanifah dengan kitabnya “Al-Fiqhu al-Akbar” dan Imam Syafi’i dengan kitabnya “Fi tashihi an-Nubuwwah wa Raddi ‘ala al-Barohimah” .
Imam dalam teologi Aswaja sesudah itu kemudian diwakili oleh Abu Hasan Al-Asy’ari, lantaran keberhasilannya menjatuhkan paham Mu’tazilah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa akidah Aswaja secara subtantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi SAW. Artinya paham Aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh Imam Asy’ari dan Maturidi, tetapi beliau adalah dua diantara imam-imam yang telah berhasil menyusun dan merumuskan ulang doktrin paham akidah Aswaja secara sistematis sehingga menjadi pedoman akidah Aswaja.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah. Imam Ibnu Hajar Al-Haytami berkata “Jika Ahlussunnah wal jamaah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut rumusan yang digagas oleh Imam Abu al-Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi “ [1]. Dalam fiqh adalah madzhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Dalam tasawwuf adalah Imam Al-Ghozali, Abu Yazid al-Busthomi, Imam al-Junaydi dan ulama’-ulama’ lain yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus islam paham Ahlussunnah wal jamaah.
Apa latar belakang sejarah yang menyebabkan lahirnya akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah ?
Secara faktual, tidak dapat dipungkiri bahwa awal mula terjadinya perpecahan masyarakat Islam dimulai dari Khalifah ‘Utsman bin Affan RA dan hampir melembaga pada periode Ali bin Abi Thalib KW. Perpecahan tersebut berlanjut pada persoalan akidah. Perbedaan tersebut berlangsung terus menerus secara pasang surut, terkadang volumenya kecil, terkadang juga membesar. Pada masa Abbasiyah berkuasa, sebelum periode al-Mutawakkil, terjadi keresahan yang luar biasa (mihnah) di kalangan umat Islam, akibat pemaksaan paham akidah Mu’tazilah oleh penguasa. Dalam situasi kacau dan resah itulah muncul Imam Abu Hasan al-Asy’ari menawarkan rumusan teologi sesuai dengan nash Qur’an dan hadits yang telah tersusun rapi. Kemudian oleh para ulama’ disepakati sebagai paham teologi Aswaja. Makin lama pengikut paham ini makin besar. Sementara di daerah lain, yakni Samarqand Uzbekistan dan di Mesir, Imam Abu Manshur al-Maturidi dan at-Thahawi, juga berhasil menyusun rumusan teologi yang pararel dengan rumusan Imam al-Asy’ari, semuanya mempunyai orientasi yang sama, yaitu menjawab persoalan-persoalan Islam yang sangat meresahkan pada waktu itu. Sumber: Forsaf

Islam Atau Nasionalisme? (Kritik Terhadap Hizbut Tahrir)

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi (Koordinator Lakpesdam Mesir)
Hizbut Tahrir secara sosio-historis merupakan aksi yang timbul dari nasionalisme Palestina yang terus menerus ‘dibombardir’ oleh Israel. Inklinasi nasionalisme al-Nabhani terlihat jelas dalam buku pertamanya yang bertajuk Risalat al-Arab. Akan tetapi aksi mereka kemudian beralih ke level yang lebih tinggi; mendirikan Negara Islam. Runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani (1924), juga salah satu faktor yang tidak bisa diabaikan yang mengilhami ambisi HT untuk mempersatukan umat dalam satu kesadaran; kesadaran Islam. Pada hakikatnya, ‘satu kesadaran’ merupakan orientasi semua sekte yang ada dalam Islam sekarang. Akan tetapi piranti yang digunakan berbeda-beda, tergantung dari paradigma apa suatu sekte berpijak. Selain itu, eksistensi adanya ‘negara-negara kecil’ (duwailat) sekarang, tampaknya juga harus dijadikan pertimbangan tersendiri.
Pemerintah Islam pada masa Nabi dan shahabat adalah pemerintahan yang tidak mungkin terulang kembali. Islam adalah agama yang diimani oleh orang Arab dan membawa ajaran-ajaran yang tidak pernah mereka jumpai sebelumnya. Dengan kualitas orang yang juga berbeda dengan masa sekarang, mereka mampu ‘mendongkrak’ ke atas dan melakukan ekspansi ke daerah-daerah lain atas nama Islam. Akan tetapi, kenapa Islam sekarang tidak mampu mempersatukan umat Islam dalam satu kesadaran sebagaimana yang terjadi pada zaman Rasul dan Shahabat? Bahkan antara Negara yang mayoritas umat Islam terjadi peperangan yang tak kunjung reda sampai sekarang.
Hal paling fundamental yang bisa diungkapkan di sini adalah Islam dengan aplikasi yang maksimal pada masa Nabi masih menyisakan celah-celah fanatisme kabilah yang potensial menimbulkan perseteruan dan perpecahan. Fungsi kabilah pada saat itu tidak kompleks sebagaimana fungsi Negara pada saat ini. Bahkan sangat sederhana. Selain itu, ketika menjadikan Islam sebagai pemersatu umat, kecenderungan ikatan atas dasar Islam sendiri bertingkat; kita mengetahui bersama bahwa rasa kebersamaan Muhajirin lebih kuat dibanding Anshar karena Muhajirin secara langsung berhadapan dan bahkan mendapat siksaan bertubi-tubi dari kaum Musyrik Mekah.
Berlanjutnya fanatisme kabilah dalam Islam jelas terlihat ketika Khazraj perannya lebih besar di perang Badar dari pada Aus, sebab Khazraj memandang paman ayah Nabi berasal dari Bani Najjar. Dan Bani Najjar adalah salah satu kelompok Khazraj. Dalam Tarikh Thabari disebutkan, pada saat peristiwa Musailamah yang mengaku Nabi, Thalhah al-Numairi mengatakan pada Musailamah, “Saya bersaksi bahwa kamu bohong. Akan tetapi bohongnya Rabi’ah (nama kabilah), lebih saya suka dari pada jujurnya Mudlar”. Artinya, Thalhah mengetahui bahwa Islam adalah agama yang benar, akan tetapi ia merasa tak rela ketika harus bersama Quraisy dan orang Islam yang lain memerangi Musailamah yang berasal kabilahnya.
Fanatisme yang tidak berpayung Islam juga berlanjut ke masa Dinasti Umawiyyah. Sejarah mencatat bahwa pemerintahan Umawi memperlihatkan rasa bangga yang berlebihan dengan ras Arab dan terlalu membedakan Arab dengan yang lain. Fanatisme kabilah juga masih cukup kental di sini. Kita melihat perseteruan antara Mudlar dan Yaman yang mengakibatkan revolusi pada masa al-Walid bin Zaid bin Abd al-Malik.
Arti ini semua adalah, ikatan Islam memperlihatkan hasil maksimal hanya pada masa Nabi. Oleh karena itu, apabila Hizbut Tahrir hendak menyatukan umat Islam dalam satu payung agama, mereka harus mengetengahkan konsep yang matang serta realistis. Kemustahilan tersebut lagi-lagi datang dari sikap aktivis Hizbut Tahrir sendiri yang sangat mudah sekali menyumpah golongan lain dengan kafir. Tentu saja agenda mereka lebih akan jadi ilusi semata. Pluralitas fikih, pendapat, paradigma, sama sekali tak mendapat tempat dalam Partai ini. Selain itu, kita bahkan sampai sekarang tak mendapat informasi lebih perihal kelompok reformis Hizbut Tahrir dari sumber-sumber primer mereka. Ataukah karena Hizbut Tahrir sendiri enggan disebut gagal dengan agendanya tersebut?
Kritik Teori Hakimiyyah
Khalil Abdul Karim menegaskan dalam bukunya li Thatbiq al-Syari’ah, la li al-Hukm, bahwasanya maraknya radikalisme, asumsi kafirnya pemerintah serta tuduhan terhadap umat Islam sebagai masyarakat Jahiliyyah, setidaknya kembali pada dua sebab; teori ‘hakimiyyah’ yang dipopulerkan oleh Sayyid Quthb yang diadopsi dari Abu al-A’la al-Mawdudi, seterusnya menjadi parameter dalam menilai kepemimpinan yang tidak berasal dari Islam; kedua, siksaan yang ditujukan pada kelompok radikalis yang berakhir dengan hukuman mati Sayyid Quthb.
Bertolak dari premis ini, aktivis Hizbut Tahrir menjadikan teori tersebut sebagai legitimasi menuduh praktek kepemimpinan saat ini atau yang tidak bersumber dari Nabi dengan predikat kafir. Predikat tersebut sekaligus dijadikan dalih untuk menggusur mereka dari tampuk kekuasaan karena tidak sesuai dengan Islam. Imbasnya juga, Hizbut Tahrir mengatakan bahwa demokrasi merupakan sistem kufur karena penganut demokrasi mengingkari kedaulatan Tuhan (al-hukm lillah). Demokrasi—sebagaimana dituliskan oleh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya al-Dimuqrathiyyah Nidzam Kufr—adalah produk Barat yang sumber hukumnya bersandar pada rakyat dan didasarkan pada suara mayoritas.
Pada hakekatnya, perkataan kedaulatan ada di tangan Tuhan—sebagaimana disebutkan oleh Yusuf Qardlawi dalam bukunya al-Din wa al-Siyasah–tidak bertentangan sama sekali dengan demokrasi. Sebab, adanya ungkapan kedaulatan rakyat bukan hendak menegasi kedaulatan Tuhan. Akan tetapi sebuah sikap oposisi terhadap pemerintahan diktator. Implikasi yang tepat dari teori Hakimiyyah milik Al-Mawdudi ini, hendak menyerabut legalitas ijtihad di semua masa. Penempatan yang tidak tepat dari teori Hakimiyyah sangat mirip dengan sikap Khawarij; kalimat tersebut pada hakikatnya benar, akan tetapi aplikasinya tidak tepat. Untuk melihat pluralitas interpretasi makna ‘Hakimiyyah’ ini, mari kita simak penjelasan Syaikh Ali Jum’ah, Mufti Agung Mesir, dalam bukunya Hurmat al-Takfir.
Ayat yang biasa dijadikan landasan teori Hakimiyyah adalah ayat “wa man lam yahkum bi ma anzalaLLah, fa ulaika hum al-fasiqun/al-dzalimun/al-kafirun”. Setelah Syaikh Ali Jum’ah membeberkan varian penafsiran dari ulama klasik terhadap ketiga ayat tersebut, ia pada akhirnya berkesimpulan—dengan mendasarkan pendapatnya dari pendapat yang terkuat dan realistis serta sesuai dengan misi toleransi Islam–bahwa ayat tersebut turun untuk orang-orang yang membuat hukum yang berbeda dari apa yang sudah diturunkan oleh Allah. Sebagai misal, mengatakan bahwa puasa Ramadlan tidak wajib, atau tidak perlu. Oleh karena itu, yang dimaksud berhukum dengan selain hukum Allah dalam ayat adalah; pertama, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal; kedua, mengingkari disyariatkannya suatu hukum tertentu; ketiga, memperingan hukum, keempat, jika mengaplikasikan ayat ini orang kafir, maka yang dimaksud kafir di sini berfungsi sebagai tawkid (penguat kekafirannya), sedang jika ayat diaplikasikan untuk orang mukmin, maka yang dimaksud adalah tawkid untuk dzalim dan fasik.
Muhammad Imarat menambahkan dalam bukunya yang bertajuk al-Dawlah al-Islamiyyah baina al-Ilmaniyyah wa al-Shulthat al-Diniyyah, bahwasanya makna kata “al-hukm” dalam mayoritas ayat al-Qur’an bukan mengarah pada penetapan aturan-aturan dalam ranah politik. Akan tetapi bermakna putusan (al-Qadla’) dan memutus konflik (fashl al-munaza’at). Tidak ada kaitan sama sekali dengan Khilafah, politik, atau aturan-aturan dalam sistem politik tertentu.
Secara historis, teori kedaulatan rakyat juga tak bisa dipisahkan dari John Locke, filosof Inggris. Ia hendak menjadikan rakyat sebagai sentral; penentu hukum guna melawan pemerintahan diktator. Begitu pula filosof Perancis, Jean Jacques Rousseau, yang berbicara mengenai ‘kedaulatan rakyat’ sebagai kekuatan oposisi penguasa elit despotik. Sejarah jelas berbicara, bahwa teori kedaulatan rakyat berdiri guna menentang despotisme penguasa.
Bahkan, sebagaimana Fahmi Huwaidi utarakan dalam bukunya yang berjudul al-Dimuqrhutiyyah wa al-Islam, pemerintahan dengan praktek Khilafah juga sebenarnya tak lepas dari kerelaan rakyat (ridla al-ummat). Kedaulatan yang ada dalam praktek Khilafah tidak merepresentasikan kedaulatan Tuhan. Ekses dari kedaulatan (dalam ranah politik) di tangan Tuhan sangat berbahaya sekali, karena bisa menjadi legitimasi seorang Khalifah untuk berbicara atas nama Tuhan, dan yang membangkang seolah membangkang pada Tuhan. Tentu saja ini pandangan yang keliru. Dan sangat potensial melahirkan pemimpin despotik. Muhammad Imarah merasionalisasikan gagasan ini pada logika yang paling dekat; jika kedaulatan ada di tangan rakyat, maka Khalifah adalah wakil dari rakyat dan mengatur urusan rakyat. Sedang jika mengatakan kedaulatan Tuhan, maka Khalifah adalah wakil Tuhan dan merepresentasikan maksud Tuhan. Lalu, apa perbedaan pemerintahan Khilafah dengan dominasi Gereja pada masa kegelapan Eropa?
Jika berpijak pada fikih klasik, maka pemerintah yang dipilih oleh rakyat dan terdapat wakil rakyat yang menduduki parlemen sudah sah secara syar’i. Oleh karena itu, ketika melihat konteks Indonesia, pemerintah Indonesia sudah sesuai dengan tata cara pemilihan pemimpin yang disebutkan dalam fikih klasik, karena presiden dilantik oleh MPR. Dan MPR adalah wakil rakyat yang statusnya tak berbeda dengan Ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi.
Dalam perkara dunia, umat Islam diberi kebebasan untuk menetapkan aturan yang selaras dengan kemaslahatan mereka. Sebagaimana dianjurkan untuk mengambil manfaat dari peradaban yang bermacam yang dihasilkan dari nalar manusia tanpa melihat bagaimana serta apa ideologi dari peradaban tersebut. Mengutip Muhammad Abduh, jika mengasumsikan bahwa wahyu sudah mengatur semua kehidupan manusia, diakui atau tidak, hal ini akan menghambat optimalisasi nalar dan kreasi umat. Banyak hal-hal yang baru bentukan peradaban modern tidak terdapat di dalam wahyu. Di sinilah peran manusia untuk berijtihad.
Bagi penulis, demokrasi adalah sistem ideal yang bisa diaplikasikan oleh semua Negara. Sistem ini sama sekali tidak bertentangan dengan Islam karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip Islami yang jelas termaktub dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Yusuf Qardlawi bahkan menyebut demokrasi dengan Islam itu sendiri (Jawhar al-Islam). Pada demokrasi sudah mencerminkan praktek syura’ (QS. Ali Imran: 159), Ahl Al-Halli wa Aqdi (QS. Al-Nisa’: 59), menolak penguasa despotik (QS. Al-Baqarah: 258, QS. Al-Syu’ara: 150-152), mengikuti suara mayoritas (QS. Al-Tawbah: 105, QS. Al-Ghafir: 35) . (bersambung) /diambil dari nu.or.id