Senin, 31 Oktober 2011

TALQIN BAGI MAYYIT


        IBNU TAIMIYYAH: SHAHABAT PERINTAHKAN TALQIN BAGI MAYYIT.
                                                           (Luthfi Bashori)
Ternyata Ibnu Taimiyyah di dalam kitabnya Alfatawal Kubra, merespon positif pelaksanaan talqin bagi mayyit. Tatkala Ibnu Taimiyyah ditanya : Apakah ada hadits shahih dari Nabi atau dari shahabat tentang pelaksanaan talqin bagi mayyit yang baru dimakamkan.

Jika tidak ada dalilnya, apakah boleh mengamalkannya? Ibnu Taimiyyah menjawab : Talqin untuk mayyit yang dimaksudkan itu telah diriwayatkan oleh sebagian shahabat, bahwa para shahabat telah memerintahkan umat Islam untuk mengamalkannya.

Dari para shahabat tersebut antara lain adalah Shahabat Abu Umamah Albahili, Shahabat Watsilah bin Al-asqo`, dan lain sebagainya. Adapun pada halaman juz 24 halaman 296-298, kitab Alfatawal kubra karangan Ibnu Taimiyyah menerangkan: Bacaan-bacaan (Alquran dan doa-doa) saat pemakaman mayyit adalah termasuk amalan yang makstuurah (ada dalilnya jika ditinjau) secara global.

Salah satu lafadz talqin dalam Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Thabarani dari Abu Umamah Albahili sbb : Ya Fulaan bin Fulaanah...udzkur maa khorojta `alaihi minad dun-ya syahaadata an laa ilaaha illallah wa anna muhammadan `abduhu wa rasuuluh (Hai Fulan bin Fulanah, sebut/ingatlah apa (yang kau yakini) saat engkau keluar dari dunia ini, yaitu persaksian tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad hamba Allah dan rasul-Nya) wa annaka radhiita billahi rabban wa bil islaami diinan wa bi Muhammadin nabiyyan wa bil quraani imaaman (dan engkau ridha bahwa Allah adalah Tuhanmu, dan Islam sebagai agamamu, dan Muhammad sebagai nabimu, serta Alquran sebagai peganganmu.

Umat Islam kini dengan gamblang dapat memahami bahwa ternyata pelaksanaan talqin mayyit bukanlah sekedar hasil ijtihad para ulama Ahlussunnah wal Jamaah, melainkan salah satu bentuk sunnah Rasul SAW yang perlu untuk lestarikan, lebih-lebih di jaman edan yang banyak bermunculan orang-orang edan.

Bagaimana tidak edan, lah sunnah Rasul SAW dikatakan bid`ah sesat, ajaran para shahabat dituduh keluar dari syariat, bahkan tak jarang menyalahkan orang yang mengamalkan syariat talqin dengan ejekan : Orang sudah mati kok diajak bicara, yaa mayyitnya nggak bisa mendengarkan ? Umat Islam yang berpikiran normal di jaman edan ini, Alhamdulillah masih meyakini bahwa mayyit sekalipun di dalam kubur, ternyata masih bisa mendengar suara orang yang masih hidup di atas bumi.

Keyakinan ini dapat tumbuh, tiada lain karena keimanan dan keyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi yang tidak pernah berbohong dan semua apa yang diucapkan oleh Nabi SAW adalah in huwa illaa wahyun yuuha (tidaklah ucapan Nabi itu kecuali perintah Allah yang diwahyukan).

Hal itu dikuatkan oleh Ibnul Qayyim Aljauziyah di dalam kitabnya, Arruuh halaman 152 yang menukil sabda Nabi SAW : Annal mayyita yasma`u qar`a ni`aalihim idazz wallau munsharifiin (Sesunnguhnya mayyit itu mendengar gesekan suara sandal para pelayat tatkala mereka pulang dari kuburan). Maasyaa-allaah...!!

Solidaritas Al-Azhar Dukung Mufti Mesir atas Pelecehan Kelompok Wahhabi


Kairo, NU Online
Aksi demonstrasi damai besar-besaran, Kamis, 27 Oktober 2011 berlangsung di Masjid Al Azhar, Kairo, Mesir. Aksi yang diikuti oleh perwakilan ulama, dosen dan mahasiswa tersebut dimaksudkan sebagai solidaritas terhadap Grand Mufti Mesir Dr. Ali Jum'ah, atas tindakan pelecehan oleh kelompok Wahhabi.

Tidak hanya dihadiri oleh perwakilan ulama besar, dosen dan mahasiswa, aksi damai itu juga didukung penuh oleh kelompok-kelompok tarekat Sufi se Mesir, antara lain Sazdiliyah, Rifa’iyah, Khalwatiyah, dan lain sebagainya. Ketua dewan Sufi tertinggi Mesir al-Qashabi, dan ketua Gerakan Pembaharuan Sufi Syeikh Abu al-Aza’im juga hadir.
Dalam aksinya massa  demonstran membentangkan sejumlah spanduk bertuliskan “Tak boleh ada pelecehan simbol-simbol Al-Azhar”, “Al-Azhar, ya ahlu sunnah wal jama’ah”, “Mufti Mesir, kami mendukungmu”, “Al-Azhar satu-satunya representasi Islam”, “Al-Azhar al-Syarif benteng Mesir terkokoh dari serangan penfitnah”.

Massa demonstran juga membagi-bagikan poster bergambar Grand Syeikh Ahmad al-Tayeb, Grand Mufti Mesir Ali Jum’ah dan Syeikh Mutawalli al-Sya’rawi.
Terkait pelecehan oleh kelompok Wahhabi yang akhirnya memicu terjadinya aksi demonstrasi damai, semua pembesar ulama sepakat bahwa setiap bentuk pelecahan harus diterima dengan lapang dada. Ini bukan karena tak mampu membalas, tapi semata karena meniru akhlak Nabi Muhammad SAW.

Dr. Usamah al-Sayed sebagai pembawa acara menegaskan, transmisi hadis Al-Azhar bersambung langsung pada Rasulullah, baik secara pemahaman maupun secara periwayatan, tazkiyah dan suluk.

“Balasan yang bisa kita lakukan bagi orang yang melakukan dosa pada Allah (dalam bentuk pelecehan pada sesama Muslim), adalah dengan menambah intensitas ketaatan kita kepada-Nya," tutup Usamah dalam pidatonya.

Sampaian Usamah tersebut mendapatkan sambutan positif massa demonstran. Mereka menyampaikan pendapat yang sama dengan secara kompak memekikkan gema takbir. "Allahu Akbar, Allahu Akbar. Hidup Al Azhar," teriak massa demonstran.

Dalam orasi bergilir, mulai dari Dr. Hasan al-Syafi’I (pensehat Grand Syeikh), Dr. Ra’fat Ustman (anggota Majelis Riset Keislaman), nnDr. Sa’duddin al-Hilali, Dr. Thoha al-Dasuki Hibisyi, menegaskan, bahwa tabiat keras bukan menjadi ciri khas masyarakat Mesir. Bila melihat sejarahnya masyarakat Mesir dikenal ramah, hangat dan toleran. Bahkan Islam masuk ke Mesir dengan damai.

Kata-kata kotor yang melecehkan orang lain di chanel-chanel  TV Wahhabi sangat tidak bermoral, apalagi yang dilecehkan adalah ulama Al-Azhar sebagai representasi umat Islam. Dalam kesaksian Dr. Ra’fat Ustman, jasa Ali Jum’ah sangat besar, terutama bagi perkembangan peran Darul Ifta’ Al Mishriyah (Badan Fatwa Mesir), yang kemudian bisa mendunia. Ustman secara sengaja tak mau menyebut nama orang yang melecehkan Mufti karena menyalahi akhlak Nabi Saw., selain itu beliau mengaku tak mau mengotori mulutnya dengan nama itu.

Mengenai pelaku pelecehan terhadap Grand Mufti Mesir Dr. Ali Jum'ah, belakangan di beberapa media Mesir mulai tersiar tentang siapa tokoh Wahhabi yang telah melecehkan pembesar ulama Al-Azhar. Melalui Saluran TV Satelit Al-Hikmah yang kemudian bisa diakses melalui Youtube, terlihat jelas bagaimana tokoh Salafi (sebutan lain Wahhabi) yang bernama Abu Ishaq al-Huwaini mengeluarkan kata-kata kotor yang tak pantas dilakukan orang, apalagi mereka yang mengaku sebagai ulama, pewaris risalah kenabian.

Al-Huwaini kemudian dituntut di pengadilan dengan pasal pencemaran nama baik, tetapi sidang pengadilan diserbu oleh para pendukung Wahhabisme yang tidak rela pemimpin mereka diadili.
Yang menarik meski diikuti oleh ribuan massa,  aksi tersebut berjalan dengan kondisi yang benar-benar damai hingga berakhirnya kegiatan. Panitia demonstrasi memberikan tempat tersendiri untuk demonstran wanita dan anak-anak, sehingga meminimalisir kemungkinan terjadinya tindakan pelecehan dan kriminal oleh sesama demonstran. Demonstrasi moral ini juga didukung oleh para alumni Al-Azhar di luar negeri yang ikut memberikan sambutan melalui hubungan jarak jauh, di antaranya adalah Dai Besar Habib Ali Al-Jufri dari Yaman dan Prof. Dr. Abdul Ghaffar Asy-Syarief dari Kuwait.

Sabtu, 29 Oktober 2011

Kebohongan Wahabi Seputar Kenduren dan Selamatan Kematian


Oleh: Muhammad Idrus Ramli (Alumnus Ponpes Sidogiri)

Dalam acara diklat internalisasi ASWAJA di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, Sleman Yogyakarta, tanggal 23 Juli 2011, seorang peserta diklat mengajukan pertanyaan tentang hukum selamatan kematian seperti tujuh hari dan seterusnya menurut madzhab Syafi’i. Penanya tersebut menyerahkan selebaran foto copy yang dibagi-bagikan secara gratis ke rumah warga oleh kaum Wahabi di Sleman.  Selebaran tersebut berjudul Imam Syafie Mengharamkan Kenduri Arwah, Tahlilan, Yasinan dan Selamatan.
Setelah saya memeriksa selebaran tersebut, ternyata isinya penuh dengan kebohongan dan pemalsuan terhadap pernyataan para ulama madzhab Syafi’i.  Saya menjadi heran, bukankah selama ini kaum Wahabi sangat keras menyuarakan penolakan terhadap hadits dha’if dan palsu, akan tetapi mengapa mereka sendiri justru kreatif memalsu pernyataan para ulama? Di antara kebohongan dan pemalsuan selebaran tersebut adalah pernyataannya yang berulang-ulang bahwa Imam Syafi’i dan madzhab Syafi’i mengharamkan “kenduri arwah” yang lebih dikenali dengan berkumpul beramai-ramai dengan hidangan jamuan (makanan) di rumah si Mati. Kemudian selebaran tersebut mengutip pernyataan ulama dalam kitab I’anah al-Thalibin, Hasyiyah al-Qulyubi wa ‘Amirah dan Mughni al-Muhtaj. Anehnya, semua kutipan dari ketiga kitab tersebut menyatakan bahwa selamatan kematian selama tujuh hari atau lainnya itu dihukumi makruh. Akan tetapi penulis selebaran tersebut menegaskan bahwa tradisi selamatan kematian tersebut dihukumi haram. Sepertinya penulis selebaran tidak mengerti perbedaan antara hukum makruh dan hukum haram.
Sebenarnya apabila pernyataan para ulama madzhab Syafi’i dalam ketiga kitab tersebut dikaji secara mendalam, tidak akan menyimpulkan vonis hukum yang berat, yaitu hukum haram, akan tetapi sebatas pada hukum makruh. Apabila kita mengkaji hadits yang menjadi dasar kemakruhan tradisi selamatan kematian, boleh jadi hukum makruh akan berganti menjadi hukum mubah. Hadits tersebut teksnya begini:
“Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far, mereka sedang ditimpa keadaan yang menyibukkan (kesusahan)”. (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Berdasarkan hadits tersebut, madzhab Syafi’i menetapkan bahwa keluarga yang berduka cita, karena terdapat anggota keluarganya meninggal dunia, sunnat diberi makanan yang cukup bagi mereka selama sehari semalam. Oleh karena, keluarga yang berduka cita sunnat diberi makanan yang cukup selama sehari semalam, maka apabila yang terjadi justru sebaliknya, yaitu keluarga yang berduka cita menyiapkan makanan untuk orang-orang yang berta’ziyah, tentu hukumnya menjadi makruh, karena menyelisihi sunnah. Hal tersebut tidak melahirkan hukum haram, karena memang tidak menyelisihi hukum wajib.
Kalau kita memperhatikan tradisi masyarakat nusantara dalam menghadapi tetangga yang sedang berduka cita, mereka telah melakukan sunnah dengan memberi sumbangan beras, lauk pauk dan uang. Apabila sumbangan tetangga itu dikumpulkan, maka tidak hanya mencukupi untuk kebutuhan selama sehari semalam. Bahkan mungkin cukup untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga si mati selama beberapa bulan. Persoalannya sekarang, bagaimana seandainya keluarga si mati itu memberikan makanan dari hasil sumbangan tetangga untuk acara selamatan tujuh hari, apakah masih dihukumi makruh? Tentu saja hukum makruh menjadi hilang. Dalam konteks ini, Syaikh Abdul Karim al-Mudarris al-Baghdadi, ulama madzhab Syafi’i dari Baghdad berkata dalam kitabnya Jawahir al-fatawa sebagai berikut:

اِنِ اجْتَمَعَ الْمُعِزُّوْنَ الرُّشَدَاءُ وَأَعْطَى كُلٌّ مِنْهُمْ بِاخْتِيَارِهِ مِقْدَارًا مِنَ النُّقُوْدِ أَوْ جَمَعُوْا فِيْمَا بَيْنَهُمْ مَا يُكْتَفَى بِهِ لِذَلِكَ الْجَمْعِ مِنَ الْمَأْكُوْلاَتِ وَالْمَشْرُوْبَاتِ وَأَرْسَلُوْهُ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ أَوْ إِلَى أَحَدِ جِيْرَانِهِمْ وَتَنَاوَلُوْا ذَلِكَ بَعْدَ الْوُصُوْلِ اِلَى مَحَلِّ التَّعْزِيَةِ فَلاَ حَرَجَ فِيْهِ هَذَا وَاللهُ الْهَادِيْ إِلَى الْحَقِّ وَالصَّوَابِ

“Apabila orang-orang yang berta’ziyah yang dewasa berkumpul, masing-masing mereka menyerahkan sejumlah uang, atau mereka mengumpulkan uang yang mencukupi konsumsi perkumpulan (selamatan kematian) berupa kebutuhan makanan dan minuman, dan mengirimkannya kepada keluarga si mati atau salah satu tetangganya, lalu mereka menjamahnya setelah sampai di tempat ta’ziyah itu, maka hal tersebut tidak mengandung hukum kesulitan (tidak apa-apa). Allah lah yang menunjukkan pada kebenaran.” (Jawahir al-Fatawa, juz 1, hal. 178).

Senin, 24 Oktober 2011

Selasa, 18 Oktober 2011

Kitab Safinatun Najaa (Bahtera Keselamatan) ; متن سفينة النجا في اصول الدين والفقه على المذهب الشافعي


Safinatun Najaa fiy Ushul al-Diin wa al-Fiqh 'alaa Madzhab Imam al-Syafi'i dikarang oleh seorang ulama madzhab Syafi'iyyah bernama Syaikh Salim bin Samir al-Hadlrami.

كتاب متن سفينة النجا في اصول الدين والفقه على المذهب الشافعي للشيخ سالم بن سمير الحضرمي

Kitab ini merupakan  kitab yang diperuntukkan bagi pemula dalam mempelajari madzhab Syafi'iyyah. Memaparkan secara garis besar tentang pokok-pokok bahasan dalam madzhab Syafi'iyyah yang mudah di pahami oleh para pemula. 

Berikut teks arab sekaligus terjamahan bahasa Indonesia yang bisa di download di link berikut :

Sabtu, 15 Oktober 2011

Lirik Syi'iran Gus Dur


Ngawiti ingsun nglaras syi’iran …. (aku memulai menembangkan syi’ir)
Kelawan muji maring Pengeran …. (dengan memuji kepada Tuhan)
Kang paring rohmat lan kenikmatan …. (yang memberi rohmat dan kenikmatan)
Rino wengine tanpo pitungan 2X …. (siang dan malamnya tanpa terhitung)
Duh bolo konco priyo wanito …. (wahai para teman pria dan wanita)
Ojo mung ngaji syareat bloko …. (jangan hanya belajar syari’at saja)
Gur pinter ndongeng nulis lan moco … (hanya pandai bicara, menulis dan membaca)
Tembe mburine bakal sengsoro 2X …. (esok hari bakal sengsara)
Akeh kang apal Qur’an Haditse …. (banyak yang hapal Qur’an dan Haditsnya)
Seneng ngafirke marang liyane …. (senang mengkafirkan kepada orang lain)
Kafire dewe dak digatekke …. (kafirnya sendiri tak dihiraukan)
Yen isih kotor ati akale 2X …. (jika masih kotor hati dan akalnya)
Gampang kabujuk nafsu angkoro …. (gampang terbujuk nafsu angkara)
Ing pepaese gebyare ndunyo …. (dalam hiasan gemerlapnya dunia)
Iri lan meri sugihe tonggo … (iri dan dengki kekayaan tetangga)
Mulo atine peteng lan nisto 2X … (maka hatinya gelap dan nista)
Ayo sedulur jo nglaleake …. (ayo saudara jangan melupakan)
Wajibe ngaji sak pranatane … (wajibnya mengkaji lengkap dengan aturannya)
Nggo ngandelake iman tauhide … (untuk mempertebal iman tauhidnya)
Baguse sangu mulyo matine 2X …. (bagusnya bekal mulia matinya)
Kang aran sholeh bagus atine …. (Yang disebut sholeh adalah bagus hatinya)
Kerono mapan seri ngelmune … (karena mapan lengkap ilmunya)
Laku thoriqot lan ma’rifate …. (menjalankan tarekat dan ma’rifatnya)
Ugo haqiqot manjing rasane 2 X … (juga hakikat meresap rasanya)
Al Qur’an qodim wahyu minulyo … (Al Qur’an qodim wahyu mulia)
Tanpo tinulis biso diwoco … (tanpa ditulis bisa dibaca)
Iku wejangan guru waskito … (itulah petuah guru mumpuni)
Den tancepake ing jero dodo 2X … (ditancapkan di dalam dada)
Kumantil ati lan pikiran … (menempel di hati dan pikiran)
Mrasuk ing badan kabeh jeroan …. (merasuk dalam badan dan seluruh hati)
Mu’jizat Rosul dadi pedoman …. (mukjizat Rosul(Al-Qur’an jadi pedoman)
Minongko dalan manjinge iman 2 X … (sebagai sarana jalan masuknya iman)
Kelawan Alloh Kang Moho Suci … (Kepada Alloh Yang Maha Suci)
Kudu rangkulan rino lan wengi ….. (harus mendekatkan diri siang dan malam)
Ditirakati diriyadohi … (diusahakan dengan sungguh-sungguh secara ihlas)
Dzikir lan suluk jo nganti lali 2X … (dzikir dan suluk jangan sampai lupa)
Uripe ayem rumongso aman … (hidupnya tentram merasa aman)
Dununge roso tondo yen iman … (mantabnya rasa tandanya beriman)
Sabar narimo najan pas-pasan … (sabar menerima meski hidupnya pas- pasan)
Kabeh tinakdir saking Pengeran 2X … (semua itu adalah takdir dari Tuhan)
Kelawan konco dulur lan tonggo … (terhadap teman, saudara dan tetangga)
Kang podho rukun ojo dursilo … (yang rukunlah jangan bertengkar)
Iku sunahe Rosul kang mulyo … (itu sunnahnya Rosul yang mulia)
Nabi Muhammad panutan kito 2x …. (Nabi Muhammad tauladan kita)
Ayo nglakoni sakabehane … (ayo jalani semuanya)
Alloh kang bakal ngangkat drajate … (Allah yang akan mengangkat derajatnya)
Senajan asor toto dhohire … (Walaupun rendah tampilan dhohirnya)
Ananging mulyo maqom drajate 2X … (namun mulia maqam derajatnya di sisi
Allah)
Lamun palastro ing pungkasane … (ketika ajal telah datang di akhir hayatnya)
Ora kesasar roh lan sukmane … (tidak tersesat roh dan sukmanya)
Den gadang Alloh swargo manggone … (dirindukan Allah surga tempatnya)
Utuh mayite ugo ulese 2X … (utuh jasadnya juga kain kafannya)

PEMBAGIAN ILMU HISAB


Ilmu Hisab dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu:
1. Hisab ‘Urfi
2. Hisab Haqiqi
Hisab Haqiqi di bagi lagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu:
1. Hisab Haqiqi bit Taqrib (حساب حقيقي بالتقريب)
2. Hisab Haqiqi bit Tahqiq (حساب حقيقي بالتحقيق)
3. Hisab Haqiqi bil ‘Ashri (حساب حقيقي بالعصري), atau disebut juga dengan Hisab Kontemporer / Hisab Modern
I. Hisab ‘Urfi
========
1. Hisab ‘Urfi ialah ilmu yang mempelajari tentang sistem perhitungan kalender yang didasarkan pada peredaran rata-rata Bulan mengelilingi Bumi dan ditetapkan secara konvensional.
Hisab ‘Urfi ini dimulai sejak ditetapkannya oleh Khalifah Sayyidina Umar bin Khattab ra pada tahun 17 Hijriyah sebagai acuan untuk menyusun kalender Islam abadi. Pendapat lain menyatakan bahwa sistem kalender ini dimulai pada tahun 16 Hijriyah atau 18 Hijriyah. Akan tetapi, yang lebih masyhur tahun 17 Hijriyah.
Hisab ‘Urfi ini tak ubahnya seperti kalender syamsiyah (miladiyah), karena bilangan hari pada tiap-tiap bulan berjumlah tetap kecuali bulan-bulan tertentu pada tahun-tahun tertentu jumlahnya lebih panjang satu hari. Sehingga hisab ‘urfi ini tidak dapat dipergunakan dalam menentukan awal bulan Qamariyah atau Hijriyah untuk pelaksanaan ibadah (awal dan akhir Ramadhan), karena di dalam hisab ‘urfi ini umur bulan Sya’ban dan Ramadhan adalah tetap, yakni 29 hari untuk bulan Sya’ban dan 30 hari untuk bulan Ramadhan.
2. Hisab Haqiqi
=========
1. Hisab Haqiqi bit Taqrib (حساب حقيقي بالتقريب)
ialah ilmu yang mempelajari tentang perhitungan posisi Bulan berdasarkan gerak rata-rata Bulan mengelilingi Bumi, sehingga hasilnya merupakan perkiraan atau mendekati kebenaran. Ketika melakukan perhitungan irtifa’ hilal (tinggi hilal) didapat dengan cara: (Ghurub Matahari – Ijtima’): 2 atau waktu terbenam Matahari dikurangi waktu ijtima’, kemudian dibagi 2.
Adapun kitab-kitab yang termasuk ke dalam kategori Hisab Haqiqi bit Taqrib ini sebagai berikut:
1. Al-Qawa’idul Falakiyyah (القواعد الفلكية)
2. Asy-Syamsu wal Qamar bi Husban (الشمس و القمر بحسبان)
3. Sullamun Nayyirain (سلم النيرين)
4. Tadzkiratul Ikhwan (تذكرة الاخوان)
5. Tuhfatul Ikhwan (تحفة الاخوان)
6. Fathur Ra’uful Mannan (فتح الرؤوف المنان)
7. Jadawilul Falakiyyah (جداويل الفلكية)
8. Risalatul Qamarain (رسالة القمرين)
9. Risalatul Hisabiyyah (رسالة الحسابية)
10. Risalatu Syamsil Hilal (رسالة شمس الهلال)
11. Hisabul Qath’iy (حساب القطعي)
12. Awa’ilul Falakiyyah (اوائل الفلكية)
13. Mumtazul Falakiyyah (ممتاز الفلكية)
14. Khulashatul Aqwal (خلاصة الأقوال)
2. Hisab Haqiqi bit Tahqiq (خساب حقيقي بالتحقيق)
ialah ilmu yang mempelajari tentang sistem perhitungan posisi benda-benda langit (seperti bulan) berdasarkan gerak benda langit yang sebenarnya, sehingga hasilnya cukup akurat. Ketika melakukan perhitungan irtifa’ hilal (tinggi hilal), hal-hal yang ditinjau adalah nilai deklinasi bulan, sudut waktu bulan dan lintang tempat, yang penyelesaiannya menggunakan rumus ilmu ukur segitiga bola atau spherical trigonometry.
Adapun kitab-kitab yang termasuk ke dalam kategori Hisab Haqiqi bit Tahqiq ini sebagai berikut:
1. Al-Mathla’us Sa’id (المطلع السعيد)
2. Al-Manahijul Hamidiyyah (المناهيج الحميدية)
3. Al-Khulashatul Wafiyyah (الخلاصة الوفية)
4. Nata’iju Muntahal Aqwal (نتائج منتهى الأقوال)
5. Badi’atul Mitsal (بديعة المثال)
6. Hisab Haqiqi (حساب حقيقي)
7. Irsyadul Murid (ارشاد المريد)
8. Ittifaqu Dzatil Bain (اتفاق ذات البين)
9. Markazul Falakiyyah (مركز الفلكية)
10. Menara Kudus (منارا قدوس)
11. Nurul Anwar (نور الأنوار)
3. Hisab Haqiqi bil ‘Ashri (حساب حقيقي بالعصرى) atau Hisab Kontemporer / Hisab Modern.
ialah ilmu yang mempelajari tentang sistem perhitungan posisi benda-benda langit (seperti bulan) berdasarkan gerak benda-benda langit itu sendiri dengan menggunakan rumus “Ilmu Ukur Segitiga Bola (Spherical Trigonometry)” disertai koreksi yang lebih rumit dibandingkan ilmu hisab lainnya, sehingga hasil perhitungannya paling halus dan paling mendekati kebenaran.
Adapun yang termasuk ke dalam kategori Hisab Haqiqi bil ‘Ashri atau Hisab Kontemporer / Hisab Modern ini sebagai berikut:
1. Almanak Nautika (Nautical Almanac)
2. Almanak Astronomi (Astronomical Almanac)
3. Euphemeris
4. Newcomb
5. Mawaqit
6. Starry Night
7. Ascript
8. Lunar Phase Pro 6
9. Accurate Time
10. Astro Info
11. BMG
12. Dan sebagainya.

Jumat, 14 Oktober 2011

Kriteria Awal Bulan Hijriah di Indonesia Berhasil Diputuskan


Hari Raya Idul Fitri 1432 H memang sudah berlalu tetapi polemik penetapan 1 Syawal 1432 H masih saja menjadi perdebatan yang seolah tiada henti-hentinya. Ada sebagian muslim Indonesia seperti Muhammadiyah dan Hizbut Tahrir Indonesia merayakan Idul Fitri pada 30 Agustus 2011 dan ada sebagian lainnya mengikuti penetapan pemerintah pada 31 Agustus 2011 seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan beberapa ormas lain. Masing-masing pihak tetap bersikukuh pada pendirian dan keyakinannya sehingga perbedaan perayaan Idul Fitri tidak dapat dihindari.

NU dan Muhammadiyah merupakan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yang mempunyai jutaan pengikut dibanding ormas Islam lainnya yang relatif lebih sedikit pengikutnya. Tidak heran, kalau keputusan yang ditetapkan oleh kedua ormas ini akan sangat dirasakan oleh umat Islam di negeri ini dan berdampak secara nasional. Hal ini dapat terlihat apabila terdapat perbedaan mengenai penetapan awal bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal. Salah satu contohnya adalah saat penetapan awal Syawal 1432 H kemarin. Muslim Indonesia tampak terpecah belah dan kurang bersatu.

Berbagai opini pun dikemukakan baik secara individu maupun organisasi untuk mengklaim bahwa pendapatnya adalah yang paling benar. Metode yang digunakannya adalah yang paling sesuai. Alhasil, perbedaan pendapat tak dapat terelakan. Perbedaan pendapat boleh saja terjadi, hanya saja sangat disayangkan ada segelintir pihak tertentu yang tampaknya kurang menghargai pendapat-pendapat yang berbeda dengannya. Tidak jarang, sesama muslim timbul saling mengejek, saling menghina, dan saling menyesatkan satu sama lain. Bahkan ada yang sampai “mengkafirkan” sesama muslim hanya gara-gara berbeda perayaan Idul Fitri.

Kontroversi penetapan awal Syawal 1432 H mencuat kembali pada pertengahan september 2011 kemarin yang berbarengan dengan hebohnya kemunculan bulan purnama. Sebagian pihak menjadikan bulan purnama sebagai bukti pembenaran untuk mendukung pendapatnya dan sebagian lain menolak dengan tegas. Masing-masing pihak pun mengungkapkan alasannya sendiri. Sayangnya, ada saja pihak-pihak yang merasa diri paling benar dan paling lurus sampai-sampai menuduh sesat dan menyesatkan pihak yang berbeda pendapat dengannya. Dan yang lebih menyedihkan lagi adalah adanya pihak tertentu yang dengan terang-terangan mendo’akan umat Islam lain yang jelas-jelas satu aqidah dengan sebuah do’a yang tidak sepantasnya ditunjukan oleh seorang muslim. Dengan begitu bangga seseorang yang mengaku muslim mendo’akan muslim lain agar tertimpa adzab dan kutukan dari Allah SWT hanya karena muslim tersebut berbeda pendapat dengannya, hanya gara-gara muslim tersebut berbeda perayaan awal Idul Fitri 1432 H. Padahal do’a tersebut ditunjukan Allah SWT untuk orang-orang kafir dan munafik bukan untuk orang Islam. Sungguh salah sasaran dan sangat disayangkan dilakukan oleh saudara kita sesama muslim. Semoga Allah SWT membukakan pintu hidayah-Nya untuk saudara-saudara kita agar kenbali ke jalan yang benar dan menjadikan umat Islam bersatu kembali.

Dampak perbedaan perayaan Idul Fitri tahun ini tidak hanya menimbulkan perpecahan dan perselisihan sesama umat Islam tetapi telah melahirkan (kalau boleh dikatakan) semacam “hasil ijtihad baru” dari seorang yang sudah dipastikan jauh memenuhi syarat sebagai seorang “mujtahid”. Dikatakan bahwa untuk menentukan kapan dimulainya bulan Ramadhan atau Syawal dapat diketahui tanpa melihat hilal dan hisab tetapi cukup menggunakan kalender-kalender fullmoon atau melihat bulan purnama. Dan anehnya pernyataannya ini dipublikasikan dan menjadi referensi di beberapa media kenamaan di Indonesia baik media nasional seperti Kompas maupun media Islam seperti Arrahmah.

Apakah betul Islam mengajarkan bahwa adanya bulan purnama dapat dijadikan pembenaran untuk menentukan kapan awal Ramadhan atau Syawal dan tidak perlu melakukan hisab atau melihat hilal? Sebagai orang awam yang bisa dilakukan adalah mengikuti para pemimpinnya yang memang berilmu dan ahli di bidangnya. Lihatlah bagaimana ormas-ormas Islam Indonesia berpedoman dalam menentukan awal bulan Hijriah. Bagi NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia berpegangan pada rukyatul hilal bil fi’li (imkanur rukyat), yaitu dengan melihat hilal secara langsung untuk menentukan awal bulan Hijriah sementara Muhammadiyah berpedoman dengan metode hisab wujudul hilal. Organisasi lain seperti Persis dan Hizbut Tahrir Indonesia pun tidak jauh berbeda yang berpedoman pada hisab atau rukyat. Tidak ada satupun dari ormas-ormas tersebut yang menyatakan bulan purnama dapat dijadikan sebagai pedoman dalam penentuan awal bulan Hijriah.

Allah SWT Maha Mengetahui dan alhamdulillah polemik kalender purnama sekiranya cukup terjawab melalui tulisan Nugraha Ahmad atau Nazaruddin Ilham. Purnama tidak dapat menjadi pedoman penentuan awal bulan Hijriah. Hal ini dipertegas dengan pernyataan dari Professor riset astronomi-astrofisika dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Jamaludin yang menyatakan purnama tidak bisa menjadi penentu awal bulan Qomariyah seperti yang tertulis dalam website resminya di http://tdjamaluddin.wordpress.com.

Kalau kita melihat kembali sejarah bangsa dan perjuangan umat Islam di Indonesia akan terlihat begitu kuatnya persatuan umat Islam kita terdahulu seperti yang dicontohkan oleh ulama dan pahlawan yang menjadi panutan kita bersama, KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari. Keduanya adalahh tokoh hebat yang sangat berjasa yang telah menempuh perjuangan dengan penuh keikhlasan dan kemuliaan. Rasa persaudaraan ukhuwah Islamiyyah sangat dijunjung tinggi oleh mereka berdua seperti yang tertulis dalam facebook Ahmad Musta’in Syafi’ie. Sudah selayaknya kita sebagai penerus meneladani sikap dan perilaku yang dicontohkan kedua ulama tersebut.

Dibalik kontroversi dan polemik penetapan awal Syawal 1432 H ini ternyata membawa hikmah yang luar biasa. Umat Islam khususnya di Indonesia semakin dewasa dan semakin menunjukan persatuannya di bawah panji ukhuwah Islamiyyah. Hal ini terlihat melalui acara “Lokakarya Mencari Kriteria Format Awal Bulan di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama RI di Hotel USSU, Cisarua, Bogor, pada 19 – 21 September 2011 lalu. Lokakarya yang dihadiri sekitar 40 orang ahli hisab-rukyat dari ormas-ormas Islam, perorangan, dan dari instansi diadakan dengan tujuan untuk mempersatukan seluruh ormas Islam dalam menentukan kriteria yang digunakan dalam penyusunan kalender hijriah Indonesia.

Sidang perumusan yang dipimpin oleh Prof. Dr. H. Susiknan Azhari, MA (Wakil Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah) dan Dr. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag. (Anggota Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama) telah berhasil menyepakati kriteria imkan rukyat sebagai kriteria yang akan digunakan dalam penyusunan kalender hijriah Indonesia. Alhamdulillah, ini adalah langkah maju dan mudah-mudahan menjadi langkah awal menuju persatuan umat Islam Indonesia dan diharapkan tidak ada lagi polemik perselisihan dalam penetapan awal bulan hijriah seperti yang telah terjadi sebelumnya.

Dan berikut adalah Hasil Keputusan Lokakarya Mencari Kriteria Format Awal Bulan di Indonesia atau dapat dilihat di sini:

LEBARAN DUA VERSI, MUHAMMADIYAH “BIANG KEKACAUAN” ?

 Oleh: KH. Ahmad Musta’in Syafi’i
Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy’ari itu sekawan, sama-sama menunut ilmu agama di Arab Saudi. Sama-sama ahli Hadis dan sama-sama ahli fikih. Saat hendak pulang ke tanah air, keduanya membuat kesepakatan menyebarkan islam menurut skil dan lingkungan masing-masing.

Kiai Ahmad bergerak di bidang dakwah dan pendidikan perkotaan, karena berasal dari kuto Ngayogyokarto. Sementara kiai Hasyim memilih pendidikan pesantren karena wong ndeso, Jombang. Keduanya adalah orang hebat, ikhlas dan mulia. Allahumm ighfir lahum.
Keduanya memperjuangkan kemerdekaan negeri ini dengan cara melandasi anak bangsa dengan pendidikan dan agama. Kiai Ahmad mendirikan organisasi Muhammadiyah dan kiai Hasyim mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Saat beliau berdua masih hidup, tata ibadah yang diamalkan di masyarakat umumnya sama meski ada perbedaan yang sama sekali tidak mengganggu.
Contoh kesamaan praktek ibadah kala itu antara lain : Pertama, shalat tarawih, sama-sama dua puluh rakaat. Kiai Ahmad Dahlan sendiri disebut-sebut sebagai imam shalat tarawih dua puluh rakaat di masjid Syuhada Yogya. Kedua, talqin mayit di kuburan, bahkan ziarah kubur dan kirim doa dalam Yasinan dan tahlilan (?). Ketiga, baca doa qunut Shubuh. Keempat, sama-sama gemar membaca shalawat (diba’an).
Kelima, dua kali khutbah dalam shalat Id, Idul Ftri dan Idul Adha. Keenam, tiga kali takbir, “Allah Akbar”, dalam takbiran. Ketujuh, kalimat Iqamah (qad qamat al-shalat) diulang dua kali, dan yang paling monumental adalah itsbat hilal, sama-sama pakai rukyah. Yang terakhir inilah yang menarik direnungkan, bukan dihakimi mana yang benar dan mana yang salah.
Semua amaliah tersebut di atas berjalan puluhan tahun dengan damai dan nikmat. Semuanya tertulis dalam kitaf Fikih Muhammadiayah yang terdiri dari tiga jilid, yang diterbitkan oleh : Muhammadiyah Bagian Taman Pustaka Jogjakarta, tahun 1343an H. Namun ketika Muhammadiyah membentuk Majlis Tarjih, di sinilah mulai ada penataan praktik ibadah yang rupanya ” harus beda ” dengan apa yang sudah mapan dan digariskan oleh pendahulunya. Otomatis berbeda pula dengan pola ibadahnya kaum Nahdhiyyin. Perkara dalail, nanti difikir bareng dan dicari-carikan.
Disinyalir, tampil beda itu lebih dipengaruhi politik ketimbang karena keshahihan hujjah atau afdhaliah ibadah. Untuk ini, ada sebuah Tesis yang meneliti Hadis-hadis yang dijadikan rujukan Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam menetapkan hukum atau pola ibadah yang dipilih.
Setelah uji takhrij berstandar mutawassith, kesimpulannya adalah : bahwa mayoritas Hadis-Hadis yang pakai hujjah Majlis Tarjih adalah dha’if. Itu belum dinaikkan pakai uji takhrij berstandar mutasyaddid versi Ibn Ma’in. Hal mana, menurut mayoritas al-Muhadditsin, hadis dha’if tidak boleh dijadikan hujjah hukum, tapi ditoleransi sebagai dasar amaliah berfadhilah atau Fadha’il al-a’mal. Tahun 1995an, Penulis masih sempat membaca tesis itu di perpustakaan Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Ygyakarta.
Soal dalil yang dicari-carikan kemudian tentu berefek pada perubahan praktik ibadah di masyarakat, kalau tidak disebut sebagai membingungkan. Contoh, ketika Majlis Tarjih memutuskan jumlah rakaat shalat Tarawih depalan plus tiga witir, bagaimana praktiknya ?.
Awal-awal instruksi itu, pakai komposisi : 4,4,3. Empat rakaat satu salam, empat rakaat satu salam. Ini untuk tarawih. Dan tiga rakaat untuk witir. Model witir tiga sekaligus ini vrsi madzahab Hanafi. Sementara wong NU pakai dua-dua semua dan ditutup satu witir. Ini versi al-Syafi’ie.
Tapi pada tahun 1987, praktik shalat tarawih empat-empat itu diubah menjadi dua-dua. Hal tersebut atas seruan KH Shidiq Abbas Jombang ketika halaqah di masjid al-Falah Surabaya. Beliau tampilkan hadis dari Shahih Muslim yang meriwayatkan begitu. Karena, kualitas hadis Muslim lebih shahih ketimbang Hadis empat-empat, maka semua peserta tunduk. Akibatnya, tahun itu ada selebaran keputusan majlis tarjih yang diedarkan ke semua masjid dan mushallah di lingkungan Muhammadiyah, bahwa praktik shalat tarawih pakai komposisi dua-dua, hingga sekarang, meski sebagian masih ada yang tetap bertahan pada empat-empat. Inilah fakta sejarah.
Kini soal itsbat hilal pakai rukyah. Tolong, lapangkan dada sejenak, jangan emosi dan jangan dibantah kecuali ada bukti kuat. Semua ahli falak, apalagi dari Muhammadiyah pasti mengerti dan masih ingat bahwa Muhammadiyah dulu dalam penetapan hilal selalu pakai rukyah bahkan dengan derajat cukup tinggi. Hal itu berlangsung hingga era orde baru pimpinan pak Harto. Karena orang-orang Muhammdiyah menguasai deprtemen Agama, maka tetap bertahan pada rukyah derajat tinggi, tiga derajat ke atas dan sama sekali menolak hilal dua derajat. Dan inilah yang selalu pakai pemerintah. Sementara ahli falak Nadhliyyin juga sama mengunakan rukyah tapi menerima dua derajat sebagai sudah bisa dirukyah. Dalil mereka sama, pakai Hadis rukyah dan ikmal.
Oleh karena itu, tahun 90an, tiga kali berturut-turut orang NU lebaran duluan karena hilal dua derajat nyata-nyata sudah bisa dirukyah, sementara Pemerintah-Muhammadiyah tidak menerima karena standar yang dipakai adalah hilal tinggi dan harus ikmal atau istikmal. Ada lima titik atau lebih tim rukyah gabungan menyatakan hilal terukyah, tapi tidak diterima oleh departemen agama, meski pengadilan setempat sudah menyumpah dan melaporkan ke Jakarta. Itulah perbedaan standar derajat hilal antara Muhammadiyah dan NU. Masing-masing bertahan pada pendiriannya.
Setelah pak Harto lengser dan Gus Dur menjadi presiden, orang-orang Muhammadiyah berpikir cerdas dan tidak mau dipermalukan di hadapan publiknya sendiri. Artinya, jika masih pakai standar hilal tinggi, sementara mereka tidak lagi menguasai pemeritahan, pastilah akan lebaran belakangan terus. Dan itu berarti lagi-lagi kalah start dan kalah cerdas. Maka segera mengubah mindset dan pola pikir soal itsbat hilal. Mereka tampil radikal dan meninggalkan cara rukyah berderajat tinggi. Tapi tak menerima hilal derajat, karena sama dengan NU.
Lalu membuat metode “wujud al-hilal”. Artinya, pokoknya hilal menurut ilmu hisab atau astronomi sudah muncul di atas ufuk, seberapapun derajatnya, nol koma sekalipun, sudah dianggap hilal penuh atau tanggal satu. Maka tak butuh rukyah-rukyahan seperti dulu, apalagi tim rukyah yang diback up pemerintah. Hadis yang dulu dielu-elukan, ayat al-Qur’an berisikan seruan ” taat kepada Allah, Rasul dan Ulil amr ” dibuang dan arergi didengar. Lalu dicari-carikan dalil baru sesuai dengan selera.
Populerkah metode “wujud al-hilal” dalam tradisi keilmuwan falak ?. Sama sekali tidak, baik ulama dulu maupu sekarang.
Di sini, Muhammdiyah membuat beda lagi dengan NU. Kalau dulu, Muhammadiyah hilal harus berajat tinggi untuk bisa dirukyah, hal mana pasti melahirkan beda keputusan dengan NU, kini membuang derajat-derajatan secara total dan tak perlu rukyah-rukyahan. Menukik lebih tajam, yang penting hilal sudah muncul berapapun derajatnya. Sementara NU tetap pada standar rukyah, meski derajat dua atau kurang sedikit. Tentu saja beda lagi dengan NU. Maka, selamanya tak kan bisa disatukan, karena sengaja harus tampil beda. Dan itu sah-sah saja.
Dilihat dari fakta sejarah, pembaca bisa menilai sendiri sesungguhnya siapa yang sengaja membuat beda, sengaja tidak mau dipersatukan, siapa biang persoalan di kalangan umat ?.
Menyikapi lebaran dua versi, warga Muhammadiyah pasti bisa tenang karena sudah biasa diombang-ambingkan dengan perubahan pemikiran pimpinannya. Persoalannya, apakah sikap, ulah atau komentar mereka bisa menenangkan orang lain ?.
Perkara dalil nash atau logika, ilmu falak klasik atau neutik, rubu’ atau teropong moderen sama-sama punya. Justeru, bila dalil-dalil itu dicari-cari belakangan dan dipaksakan, sungguh mudah sekali dipatahkan.
Hebatnya, semua ilmuwan Muhammadiyah yang akademis dan katanya kritis-kritis itu bungkam dan tunduk semua kepada keputusan majlis tarjih. Tidak ada yang mengkritik, padahal kelamahan akademik pasti ada. Minal aidin al-faizin, mohon maaf lahir dan batin.
Sumber: http://p4pm4m.wordpress.com/2011/09/03/lebaran-dua-versi-muhammadiyah-biang-kekacauan/

Kamis, 13 Oktober 2011

Ad Diba'i


Ad Diba'i (file1 dan file 2, kedua file ini satu kesatuan), satu karya Mawlid yang masyhur dalam dunia Islam ialah Mawlid yang dikarang oleh seorang ulama besar dan ahli hadits iaitu Imam Wajihuddin 'Abdur Rahman bin Muhammad bin 'Umar bin 'Ali bin Yusuf bin Ahmad bin 'Umar ad-Diba`ie asy-Syaibani al-Yamani az-Zabidi asy-Syafi`i.

Beliau dilahirkan pada 4 haribulan Muharram tahun 866H dan wafat hari Jumaat 12 Rajab tahun 944H. Beliau adalah seorang ulama hadits yang terkenal dan tiada tolok bandingnya pada masa hayatnya. Beliau mengajar kitab Shohih Imam al-Bukhari lebih dari 100 kali khatam. Beliau mencapai darjat Hafiz dalam ilmu hadits iaitu seorang yang menghafal 100,000 hadits dengan sanadnya. Setiap hari beliau akan mengajar hadits dari masjid ke masjid. Di antara guru-gurunya ialah Imam al-Hafiz as-Sakhawi, Imam Ibnu Ziyad, Imam Jamaluddin Muhammad bin Ismail, mufti Zabid, Imam al-Hafiz Tahir bin Husain al-Ahdal dan ramai lagi. Selain daripada itu, beliau juga seorang muarrikh, yakni ahli sejarah, yang terbilang. Di antara kitab karangannya ialah:-

* "Taisirul Wusul ila Jaami`il Usul min Haditsir Rasul" yang mengandungi himpunan hadits yang dinukil daripada kitab hadits yang 6.
* "Tamyeezu at-Thoyyib min al-Khabith mimma yaduru 'ala alsinatin naasi minal hadits" sebuah kitab yang membezakan hadits sahih dari selainnya seperti dhaif dan maudhu.
* "Qurratul 'Uyun fi akhbaril Yaman al-Maimun".
* "Bughyatul Mustafid fi akhbar madinat Zabid".
* "Fadhail Ahl al-Yaman".

Rabu, 12 Oktober 2011

TEORI PERBUATAN TUHAN DAN MANUSIA DALAM PANDANGAN ASY'ARIYAH

 Oleh: Abu Nadhief Muhammad
Menurut Al-Asy’ari dalam kitabnya Al-Ibanah An Ushul Ad Diyanah ia membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya Allah adalah pencipta (Khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri mengupayakannya (muktasib). Hanya Allahlah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).[1]
            Argumen yang diajukan oleh Al-Asy’ari untuk membela keyakinannya adalah firman Allah
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ  
Artinya: “ Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.[2]
 Wa ma ta’malun pada ayat diatas diartikan al-Asy’ari dengan apa yang kamu perbuat dan bukan apa yang kamu buat. Dengan demikian ayat ini mengandung arti Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatanmu. Dengan kata lain, dalam paham Asy’ari, yang mewujudkan kasb atau perbuatan manusia sebenarnya adalah Tuhan sendiri.[3]
Menurut irfat abd. al-Hamid dalam kitab dirasat fi Al Firaq wa Al-Aqoid al-Islamiyah Pada prinsipnya, Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa  perbuatan manusia diciptakan Tuhan, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Tuhan menciptakan perbuatan untuk manusia dan menciptakan pula pada diri manusia- daya untuk melahirkan perbuatan tersebut. Jadi perbutan disini adalah ciptaan Allah dan merupakan kasb (perolehan) bagi manusia. Dengan demikian kasb mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru.[4]
Menurut Harun Nasution ”Teori al-kasb (perolehan) dapat dijelaskan sebagai berikut, ”Segala sesuatu terjadi dengan perantara daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan bagi muktasib yang memperoleh kasab untuk melakukan perbuatan”.[5]
Menurut Imam al-Asy’ari:”Sesungguhnya manusia itu berusaha untuk melakukan suatu perbuatan. Namun sering terjadi bahwa hasil perbuatannya itu bukan seperti apa yang dikehendaki dan apa yang diusahakan. Ini berarti bahwa manusia itu tidak menciptakan perbuatannya”.
Asy’ariyah mengkaitkan perbuatan manusia dengan hasil yang diperolehnya. Dalil-dalil naqli yang diungkapkan  Asy’ariyah hampir semuanya mengarah kesana. Diantaranya ayat yang menyatakan ”Kalau Tuhan menghendaki semua penduduk bumi ini beriman. Pastilah itu akan terjadi.
Teori Asy’ariyah menyatakan:
الكسب هوتعلق قدرة العبد وارادته بالفعل المقدورالمحدث من الله على الحقيقة
”Kasb adalah tergantungnya kudrat dan iradah (kehendak) manusia kepada perbuatan yang terjadinya itu ditakdirkan oleh Tuhan pada hakekatnya"
Menurut Al-Asy’ari, manusia punya kudrah dan iradah untuk berbuat, hanya saja ia bergantung kepada takdir dari Allah. Orientasi perbuatan manusia al-Asy’ari adalah hubungan antara perbuatan manusia dengan hasilnya: keberhasilannya atau kegagalannya. Apa yang dikerjakan manusia kepastian hasilnya tidak ditentukan oleh manusia melainkan oleh ”perbuatan”Tuhan.[6]
Sementara Itu Imam al-Baqilani tidak sepaham dengan al-Asy’ari mengenai Paham perbuatan manusia. Kalau bagi al-Asy’ari perbuatan manusia adalah diciptakan Tuhan seluruhnya, menurut al-Baqillani manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia itu sendiri. Dengan lain kata, gerak dalam diri manusia mengambil berbagai bentuk, duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya. Gerak sebagai genus (jenis) adalah ciptaan Tuhan, tetapi duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya yang merupakan spectes (naw’) dari gerak, adalah perbuatan manusia. Manusialah yang membuat gerak, yang diciptakan Tuhan itu, mengambil bentuk sifat duduk, berdiri dan sebagainya. Dengan demikian kalau bagi Al-Asy’ari daya manusia dalam kasb tidak mempunya efek, bagi al-Baqillani daya itu mempunyai efek.[7]
Daya yang ada pada manusia dalam pendapat al-Juwaini juga mempunyai efek, Tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya ini bergantung pula pada sebab lain, dan wujud sebab ini bergantung pula pada sebab lain lagi dan demikianlah seterusnya sehingga sampai kepada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.[8]
Secara umum Perbuatan manusia menurut faham Asy’ariyah adalah diciptakan Tuhan, bukan diciptakan oleh manusia itu sendiri. Untuk mewujudkan suatu perbuatan, manusia membutuhkan dua daya, yaitu daya Tuhan dan daya manusia. Hubungan perbuatan manusia dengan kehendak Tuhan yang mutlak dijelaskan melalui teori Kasb, yakni berbarengnya kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Al-Kasb mengandung arti keaktifan. Karena itu, manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.[9]
Menurut faham Asy’ariyah, bahwa segala sesuatu itu dijadikan Tuhan, tetapi Tuhan juga menciptakan ikhtiar dan kasab bagi manusia. Sesuatu yang diperbuat manusia  adalah pertemuan ikhtiar manusia dengan takdirnya. Ikhtiar dan kasab adalah sebagai sebab saja, bukan yang mengadakan atau menciptakan sesuatu. Umpamanya, kalau sesuatu benda disentuh api, maka ia terbakar. Bila orang makan maka kenyanglah.  Tetapi bukan api yang membakarnya dan bukan nasi yang mengenyangkannya, semua adalah Allah semata. Kadang-kadang terjadi sebaliknya bila Allah menghendakinya. Banyak benda yang disentuh api tetapi tidak terbakar. Banyak orang berusaha sekuat tenaga tetapi sial dan kemalangan yang diperoleh. Kalau obat itu mesti dapat menyembuhkan penyakit, tentu tidak ada orang yang mati. Kenyataan menunjukan banyak penyakit tidak dapat disembuhkan.[10]
Manusia memperoleh hukuman karena ikhtiar dan kasabnya yang tidak baik dan akan diberi pahala atas ikhtiar dan kasabnya yang baik. Firman Allah
4 $ygs9 $tB ôMt6|¡x. $pköŽn=tãur $tB ôMt6|¡tFø.$# 3
Artinya ”Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.”
tygsß ßŠ$|¡xÿø9$# Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur $yJÎ/ ôMt6|¡x. Ï÷ƒr& Ĩ$¨Z9$#
Artinya :”telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia”[11]


[1] Rozak & Anwar,  Ilmu Kalam,  122
[2] al-Qur’ân, 37:96
[3] Nasution, Teologi Islam, 107
[4] Rozak & Anwar,  Ilmu Kalam,  165
[5] Nasution, Teologi Islam, 106
[6] Bisri Affandi, et.al. Dirasat Islamiyah I Pengantar Ilmu Tauhid dan Pemikiran Islam. (Surabaya: CV.Anika Bahagia Offet,1993), 54
[7] Nasution, Teologi Islam, 71-72
[8] Ibid.
[9]Ahmad, Tauhid Ilmu, 180
[10]Nasir, Pengantar, 135
[11]al-Qur’an, 2:286 ; 30:41

Selasa, 11 Oktober 2011

MEMBACA AL-QUR’AN UNTUK MAYYIT

  1. Membaca al Qur'an
Para ulama Ahlussunnah menyepakati bahwa doa dan istighfar seorang muslim yang masih hidup kepada Allah untuk orang yang telah mati itu bermanfaat. Demikian juga membaca al Qur'an di atas kubur juga bermanfaat terhadap mayyit. Dalil Kebolehan membaca al Qur'an di atas kubur adalah hadits bahwa Nabi membelah pelepah yang basah menjadi dua bagian kemudian Nabi menanamkan masing-masing di dua kuburan yang ada dan Rasulullah bersabda:


" لعله يخفف عنهما ما لم ييبسا"  رواه الشيخان

Maknanya: "Semoga keduanya mendapatkan keringanan siksa kubur selama pelepah ini belum kering". Dapat diambil dalil dari hadits ini bahwa boleh menancapkan pohon dan membaca al Qur'an di atas kubur, jika pohon saja bisa meringankan adzab kubur lebih–lebih bacaan al Qur'an orang mukmin. Imam Nawawi berkata: "Para ulama mengatakan sunnah hukumnya membaca al Qur'an di atas kubur berdasarkan pada hadits ini, karena jika bisa diharapkan keringanan siksa kubur dari tasbihnya pelepah kurma apalagi dari bacaan al Qur'an".  Jelas bacaan al Qur'an dari manusia itu lebih agung dan lebih bermanfaat daripada tasbihnya pohon. Jika telah terbukti al Qur'an bermanfaat bagi sebagian orang yang ditimpa bahaya dalam hidupnya, maka mayit begitu juga.

Di antara dalil bahwa mayyit mendapat manfaat dari bacaan al Qur'an orang lain adalah hadits Ma'qil ibn Yasar:

" اقرءوا يس على موتاكم " (رواه أبو داود والنسائي وابن ماجه وابن حبان وصححه).

Maknanya : " Bacalah surat Yaasin untuk mayit kalian " (H.R Abu Dawud, an– Nasai, Ibn Majah dan Ibn Hibban dan dishahihkannya).

Hadits ini memang dinyatakan lemah oleh sebagian ahli hadits, tetapi Ibn Hibban mengatakan hadits ini shahih dan Abu Dawud diam (tidak mengomentarinya) maka dia tergolong hadits Hasan (sesuai dengan istilah Abu Dawud dalam Sunan-nya), dan al Hafizh as-Suyuthi juga mengatakan bahwa hadits ini Hasan.

Dalil yang lain adalah hadits Nabi:
" يس قلب القرءان لا يقرؤها رجل يريد الله و الدار الآخرة إلا غفر له، واقرءوها على موتاكم " (رواه أحمد)

Maknanya : " Yasin adalah hatinya al Qur'an, tidaklah dibaca oleh seorangpun karena mengharap ridla Allah dan akhirat kecuali diampuni oleh Allah dosa– dosanya, dan bacalah Yasin ini  untuk mayit–mayit kalian "  (H.R. Ahmad)


Ahmad bin Muhammad al Marrudzi berkata : "Saya mendengar Ahmad ibn Hanbal -semoga Allah merahmatinya- berkata: "Apabila kalian memasuki areal pekuburan maka bacalah surat al Fatihah dan Mu'awwidzatayn dan surat al Ikhlas dan hadiahkanlah pahalanya untuk ahli kubur karena sesungguhnya pahala bacaan itu akan sampai kepada mereka".

Al Khallal juga meriwayatkan dalam al Jami' dari asy-Sya'bi bahwa ia berkata:

"كانت الأنصار إذا مات لهم ميت اختلفوا إلى قبره يقرءون له القرءان"

 "Tradisi para sahabat Anshar jika meninggal salah seorang di antara mereka, maka mereka akan datang ke kuburnya silih berganti dan membacakan al Qur'an untuknya (mayit)".


Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam al Bukhari bahwasanya 'Aisyah -semoga Allah meridlainya- berkata : Alangkah sakitnya kepalaku lalu Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :
" ذاك لو كان وأنا حي فأ ستغفر لك وأدعو لك "


Maknanya : "Jika itu terjadi (engkau sakit dan meninggal) dan aku masih hidup maka aku mohon ampun dan berdoa untukmu".

Perkataan Rasulullah " وأدعو لك "  (maka saya akan berdoa untukmu) ini, mencakup doa dengan segala bentuk dan macam–macamnya, maka termasuk  doa seseorang setelah membaca beberapa ayat dari al Qur'an dengan tujuan supaya pahalanya disampaikan kepada mayit seperti dengan mengatakan :

اللهم أوصل ثواب ما قرأت إلى فلان

"Ya Allah sampaikanlah pahala bacaanku ini kepada si Fulan".

Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Ubayy ibn Ka'b bahwa dia berkata: "Wahai Rasulullah sesungguhnya aku banyak bershalawat kepadamu maka berapa banyak sebaiknya aku bershalawat kepadamu ? Rasulullah menjawab : "terserah kamu"  (H.R. Imam at–Turmudzi)

Sedangkan yang sering dikatakan orang bahwa Imam Syafi'i menyatakan bacaan al Qur'an tidak akan sampai kepada mayyit, maksud asy-Syafi'i adalah jika bacaan tersebut tidak dibarengi dengan doa Ii-shal - إيصال - (doa agar disampaikan pahala bacaan tersebut kepada mayit) atau bacaan tersebut tidak dilakukan di kuburan mayit karena asy-Syafi'i menyetujui kedua hal ini (membaca al Qur'an dengan diakhiri doa Ii-shal - إيصال -  dan membaca al Qur'an di atas kuburan mayit). Imam an-Nawawi mengatakan: "Asy-Syafi'i dan tokoh-tokoh madzhab Syafi'i mengatakan: Disunnahkan dibaca di kuburan mayit ayat-ayat al Qur'an, dan jika dibacakan al Qur'an hingga khatam itu sangat baik".

Sebagian ahli bid'ah mengatakan tidak akan sampai pahala sesuatu apapun kepada si mayit dari orang lain yang masih hidup, baik doa ataupun yang lain.  Perkataan mereka ini bertentangan dengan al Qur'an dan Sunnah. Bahwa mereka berdalil dengan firman Allah ta'ala:

) وأن ليس للإنسان إلا ما سعى (  (سورة النجم : 39 )

Ini adalah hal yang tidak tepat dan mesti ditolak karena maksud ayat ini bukanlah menafikan bahwa seseorang mendapatkan manfaat dari apa yang dikerjakan oleh orang lain seperti sedekah dan haji untuk orang yang telah meninggal, melainkan ayat ini menafikan kepemilikan terhadap amal orang lain. Amal orang lain adalah milik orang lain yang mengerjakankannya, karena itu jika ia mau ia bisa memberikan kepada orang lain dan jika tidak ia bisa memilikinya untuk dirinya sendiri. Allah subhanahu wata'ala tidak mengatakan tidak bermanfaat bagi seseorang kecuali amalnya sendiri.

Mereka yang menafikan secara mutlak tersebut adalah golongan Mu'tazilah. Imam Ahmad ibn Hanbal pernah mengingkari orang yang membaca al Qur'an di atas kuburan, namun kemudian sahabat (salah seorang murid dekat)nya menyampaikan kepadanya atsar dari sebagian sahabat yaitu Ibn Umar lalu dia ruju' dari pendapatnya tersebut. Al Bayhaqi dalam as-Sunan al Kubra meriwayatkan dengan sanad yang sahih bahwa Ibn Umar menganggap sunnah setelah mayit dikuburkan untuk dibacakan awal dan akhir surat al Baqarah. Salah seorang ulama Madzhab Hanbali, Asy-Syaththi al Hanbali dalam komentarnya atas kitab Ghayah al Muntaha, hlm. 260 mengatakan : "Dalam al Furu' dan Tashhih al Furu'  dinyatakan : Tidak dimakruhkan membaca al Qur'an di atas kuburan dan di areal pekuburan, inilah yang ditegaskan oleh al Imam Ahmad, dan inilah pendapat madzhab Hanbali. Kemudian sebagian menyatakan hal itu mubah, sebagian mengatakan mustahabb (sunnah). Demikian juga disebutkan dalam al Iqna'".  


  1. Menghidangkan Makanan untuk orang yang datang ta'ziyah atau menghadiri undangan baca al Qur'an

Menghidangkan makanan yang dilakukan oleh keluarga mayit untuk orang yang datang ta'ziyah atau menghadiri undangan baca al Qur'an adalah boleh karena itu termasuk ikram adl-Dlayf  (menghormat tamu). Dan dalam Islam ini adalah sesuatu yang dianjurkan. Sedangkan Hadits Jarir ibn 'Abdillah al Bajali bahwa ia mengatakan :

" كنّا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنيعة الطعام بعد دفنه من النياحة"
(رواه أحمد بسند صحيح)

Maknanya : "Kami di masa Rasulullah menganggap berkumpul di tempat mayit dan membuat makanan setelah dikuburkannya mayit sebagai Niyahah (meratapi mayit yang dilarang oleh Islam)"  (H.R. Ahmad dengan sanad yang sahih)

Maksudnya adalah jika keluarga mayit membuat makanan tersebut untuk dihidangkan  kepada para hadirin dengan tujuan al Fakhr ; berbangga diri supaya orang mengatakan bahwa mereka pemurah dan dermawan  atau makanan tersebut disajikan kepada perempuan-perempuan agar menjerit-jerit, meratap sambil menyebutkan kebaikan-kebaikan mayit, karena inilah yang biasa dilakukan oleh orang-orang di masa jahiliyah, mereka yang tidak beriman kepada akhirat itu. Dan inilah Niyahah yang termasuk perbuatan orang-orang di masa jahiliyyah dan dilarang oleh Nabi shallallahu 'alayhi wasallam .

Jika tujuannya bukan untuk itu, melainkan untuk menghormat tamu atau bersedekah untuk mayit dan meminta tolong agar dibacakan al Qur'an untuk mayit maka hal itu boleh dan tidak terlarang. Al Bukhari meriwayatkan dalam Sahih-nya dari Ibn 'Abbas bahwa Sa'd ibn 'Ubadah ibunya meninggal ketika dia pergi, kemudian ia berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam : Wahai Rasulullah, Ibuku meninggal dan aku sedang tidak berada di tempat tersebut, apakah bermanfa'at baginya jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya ?, Rasulullah menjawab : "Ya", Sa'd berkata : (Kalau begitu) Saya bersaksi kepadamu bahwa kebunku yang sedang berbuah itu aku sedekahkan untuknya.
 

  1. Tahlilan pada hari ke tiga, ke tujuh, ke seratus, ke seribu dan seterusnya

Tradisi ummat Islam mengundang para tetangga ke rumah mayit kemudian memberi makan mereka ini adalah sedekah yang mereka lakukan untuk si mayit dan dalam rangka membaca al Qur'an untuk mayit, dan jelas dua hal ini adalah hal yang boleh dilakukan. Sedekah untuk mayit jelas dibenarkan oleh hadits Nabi dalam Sahih al Bukhari. Sedangkan membaca al Qur'an untuk mayit, menurut mayoritas para ulama salaf dan Imam madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali pahalanya akan sampai kepada mayit, demikian dijelaskan oleh as-Suyuthi dalam Syarh ash-Shudur dan dikutip serta disetujui oleh al Hafizh Murtadla az-Zabidi dalam Syarh Ihya' 'Ulum ad-Din. Syekh Abdullah al Harari mengatakan : "Sedangkan yang sering dikatakan orang bahwa Imam asy-Syafi'i menyatakan bacaan al Qur'an tidak akan sampai kepada mayyit maksud asy-Syafi'i adalah jika bacaan tersebut tidak dibarengi dengan doa Ii-shal (doa agar disampaikan pahala bacaan kepada mayyit) atau bacaan tersebut tidak dilakukan di kuburan mayyit karena asy-Syafi'i menyetujui kedua hal ini (membaca al Qur'an dengan diakhiri doa Ii-shal  dan membaca al Qur'an di atas kuburan mayyit)".  (lihat Syarh Raudl ath-Thalib, Nihayatul Muhtaj, Qadla' al Arab fi As-ilah Halab dan kitab-kitab Fiqh Syaf'i yang lain).

Bahwa berkumpul untuk mendoakan mayit dan membaca al Qur'an untuknya pada hari ke tiga, ke tujuh, ke seratus, ke seribu dan seterusnya maka hukumnya adalah sebagai berikut :

§         Berkumpul di hari ke tiga tujuannya adalah berta'ziyah.
§         Berkumpul setelah hari ke tiga tujuannya adalah berta'ziyah bagi yang belum. Bagi yang sudah berta'ziyah, berkumpul saja pada hari-hari tersebut bukanlah hal yang mutlak sunnah, tetapi kalau tujuan berkumpul tersebut adalah untuk membaca al Qur'an dan ini semua mengajak kepada kebaikan. Allah ta'ala berfirman :

) وافعلوا الخيـر لعلكم تفلحون (   (سورة الحج : 77)

Maknanya : "Lakukanlah hal yang baik agar kalian beruntung"  (Q.S. al Hajj : 77).[]