Kamis, 29 Maret 2012

Kiai Muchith: NU Tolak Khilafah Islamiyah atas Dasar yang Jelas

Kiai Muchith: NU Tolak Khilafah Islamiyah atas Dasar yang Jelas Jember, NU Online
Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Muchith Muzadi menegaskan, NU menolak gagasan dan sistem Khilafah Islamiyah (Pemerintahan Islam) karena memiliki pendirian dan dasar yang jelas, bukan dipengaruhi kelompok liberal, imperialis atau kapitalis.

“NU memiliki khittah (landasan) sendiri. NU tidak memaksakan syariat Islam dalam sebuah negara, apalagi dengan cara kekerasan. Berbeda dengan kelompok liberal yang menolak syariat agama dalam bentuk apapun,” terang Kiai Muchith, begitu panggilan akrabnya, kepada NU Online di Jember, Jawa Timur, Selasa (21/8).

Namun demikian, tambahnya, NU tidak berarti menerima liberalisme dan imperialisme. Penolakannya pun bukan atas pengaruh kelompok Islam fundamentalis. NU sejak awal memang berjuang menegakkan akhlakul karimah dan keadilan sosial yang banyak dilanggar kaum liberal-kapitalis.

Menurutnya, walaupun NU sebagai ormas Islam yang dengan sendirinya memperjuangkan berlakunya syariat Islam, tetapi NU memiliki perbedaan dengan kelompok lain. “Jadi, kita mandiri dalam berpikir dan bertindak,” ujar Kiai Muchith yang juga kakak kandung Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi.

Kiai Muchith menyarankan agar seluruh jajaran PBNU lebih kompak dan tidak bergerak sendiri-sendiri menghadapi ancaman terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila. Ancaman itu, katanya, semakin nyata, terutama setelah Hizbut Tahrir Indonesia cukup terang-terangan mengkampanyekan pendirian Khilafah Islamiyah di Indonesia.

Ia juga meminta PBNU agar memberikan tuntunan yang jelas dan gamblang pada warga Nahdliyin di lapisan bawah sekalipun tentang bahaya tersebut berikut upaya menghadapinya. Karena kelompok itulah yang menjadi sasaran fundamentalisme dan liberalisme. “Sementara, mereka tidak tahu asal-usul dan bahayanya,” tandasnya.

“Apalagi kalangan muda yang dinamis, kalau tidak diselematkan akan terjerumus pada fundamentalisme maupun liberalisme yang ‘dijajakan’ ke berbagai sekolah dan pesantren atas nama Hak Asasi Manusia, demokrasi, pluralisme, gender dan lingkungan hidup,” tambah Kiai Muchith.

Langkah Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi berbicara langsung dengan para pengurus ranting beberapa waktu lalu, menurutnya, langkah yang sangat strategis. “Tetapi, langkah itu perlu disertai istilah atau idiom yang lebih jelas dan mudah dipahami, agar pengetahuan yang disampaikan bisa menjadi pegangan dan modal dari gerakan para ulama tingkat ranting dalam memperjuangkan agama, bangsa dan negara ini. (amm)

Rabu, 28 Maret 2012

Polisi Bubarkan Paksa Pengajian Akbar HTI

Sebuah pengajian akbar yang digelar oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Jember, di Lapangan Dusun Besuk, Desa Wirowingso, Kecamatan Ajung, Hari Minggu malam, tersandung masalah. Pasalnya, kegiatan tadi dibubarkan secara paksa oleh aparat kepolisian. Selain mendapatkan penolakan dari warga setempat, aksi pembubaran paksa itu dilakukan, karena pihak HTI disebutkan belum mengantongi ijin dari pihak kepolisian dan Pemerintahan Desa setempat.
Kapolres Jember, Ajun Komisaris Besar Polisi, Jayadi SIK, kepada sejumlah wartawan, Hari Senin siang, menuturkan, setelah melakukan pemeriksaan kepada pihak penyelenggara pengajian akbar tadi, dipastikan mereka belum mengantongi surat rekomendasi dari Pemerintahan Desa Wirowongso. Bahkan, dari jajaran Polres Jember, juga belum memberikan memberikan rekomendasinya. Surat rekomendasi itu tidak diberikan, karena surat dari Desa belum bisa ditunjukkan oleh pihak penyelenggara kegiatan. Terlebih lagi, ada kelompok masyarakat lain, yang tidak menghendaki adanya kegiatan ini berlangsung di wilayahnya. Sehingga, untuk menghindari terjadinya konfik horizontal, polisi memutuskan untuk menghentikan secara paksa kegiatan pengajian itu. Dalam permasalahan ini, posisi apara kepolisian tetap berada di tengah, dan tidak memihak pada salah satu kelompok. Pasalnya, Kapolres menerangkan, fungsi jajarannya adalah untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat, apabila akan menyelenggarakan sebuah kegiatan.
Sementara itu, juru bicara Pengurus HTI Jember, Muhammad Abu Syifak, membantah, jika mereka belum mengantongi ijin kegiatan pengajian akbar itu. Alasannya, semula kegiatan tadi akan digelar di Desa Lampeji, Kecamatan Mumbulsari. Namun karena suatu hal, akhirnya terpaksa dipindah ke Desa Wirowongso. Karena hanya dilakukan pemindahan lokasi kegiatan, maka menurutnya tidak perlu lagi untuk mengurus ijin kegiatan. Apalagi, tempat yang akan digunakan untuk kegiatan pengajian tadi, merupakan lahan milik pribadi yang sudah disewa oleh penyelenggara. Menurut Syifak, pihaknya sudah mengirim surat kepada Kepala Desa Wirowongso, namun karena waktunya sangat pendek dan sang Kades sedang ada kegiatan, maka surat rekomendasi kegiatan tadi belum sempat diterbitkan.
Syifak menambahkan, pihaknya bisa memaklumi keputusan yang diambil kepolisian, demi kemaslahatan umat Islam di Jember. Meski demikian, kegiatan pengajian semalam masih sempat dilangsungkan selama 1 jam, sebelum akhirnya dibubarkan paksa oleh polisi.

Rabu, 14 Maret 2012

Sanad Ajaran Kaum Sufi Dan Khirqah Mereka

Sanad adalah mata rantai orang-orang yang membawa sebuah disiplin ilmu (Silsilah ar-Rijâl). Mata rantai ini terus bersambung satu sama lainnya hingga kepada pembawa awal ilmu-ilmu itu sendiri; yaitu Rasulullah. Integritas sanad dengan ilmu-ilmu Islam tidak dapat terpisahkan. Sanad dengan ilmu-ilmu keislaman laksana paket yang merupakan satu kesatuan. Seluruh disiplin ilmu-ilmu Islam dipastikan memiliki sanad. Dan Sanad inilah yang menjamin keberlangsungan dan kemurnian ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islam sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat syari’at itu sendiri; Allah dan Rasul-Nya.
Di antara sebab “kebal” ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullah dari berbagai usaha luar yang hendak merusaknya adalah karena keberadaan sanad. Hal ini berbeda dengan ajaran-ajaran atau syari’at nabi-nabi sebelum nabi Muhammad. Adanya berbagai perubahan pada ajaran-ajaran mereka, bahkan mungkin hingga terjadi pertentangan ajaran antara satu masa dengan masa lainnya setelah ditinggal oleh nabi-nabi yang bersangkutan, adalah karena tidak memiliki sanad. Karena itu para ulama menyatakan bahwa sanad adalah salah satu “keistimewaaan” yang dikaruniakan oleh Allah kepada umat nabi Muhammad, di mana hal tersebut tidak dikaruniakan oleh Allah terhadap umat-umat nabi sebelumnya. Dengan jaminan sanad ini pula kelak kemurnian ajaran-ajaran Rasulullah akan terus berlangsung hingga datang hari kiamat.

Tentang pentingnya sanad, Imam Ibn Sirin, seorang ulama terkemuka dari kalangan tabi’in, berkata:
إنّ هَذَا اْلعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمّنْ تَأخُذُوْنُ دِيْنَكُمْ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي مُقَدِّمَةِ الصّحِيْح)
“Sesungguhnya ilmu -agama- ini adalah agama, maka lihatkan oleh kalian dari manakah kalian mengambil agama kalian”.  (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam mukadimah kitab Shahîh-nya).
Imam ‘Abdullah ibn al-Mubarak berkata:
الإسْنَادُ مِنَ الدّيْنِ لَوْ لاَ الإسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Sanad adalah bagian dari agama, jika bukan karena sanad maka setiap orang benar-benar akan berkata -tentang urusan agama- terhadap apapun yang ia inginkan”.
Tasawuf tidak berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya, ia memiliki sanad yang bersambung hingga Rasulullah. Dengan demikian, pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa tasawuf adalah sesuatu yang baru, bid’ah sesat, atau ajaran yang tidak pernah dibawa oleh Rasulullah, adalah pendapat yang tidak memiliki dasar sama sekali. Adanya sanad dapat mempertanggungjawabkan kebenaran tasawuf ini. Dan keberadaan sanad ini sekaligus sebagai bantahan terhadap pembenci tasawuf, bahwa kebencian mereka tidak lain adalah karena didasarkan kepada hawa nafsu dan kerena mereka sendiri tidak memiliki sanad dalam keilmuan dan dalam cara beragama mereka.
Adapun yang dimaksud dengan khirqah secara bahasa adalah “pakaian” atau “kain”. Bahasa-bahasa dengan penyebutan fisik semacam ini hanya sebagai ungkapan atau “lambang” dari ilmu-ilmu yang berkembang di kalangan kaum sufi, yang hal tersebut terjadi secara turun-temurun dari guru ke murid sebagai sanad. Selain “al-Khirqah” istilah-istilah lain yang biasa dipakai di kalangan sufi adalah “ar-Râyah” (bendera), “al-Hizâm” (sabuk) dan lainnya. Benda-benda fisik ini sekalipun benar adanya sebagai sesuatu yang turun temurun sebagai sanad dari guru ke murid, namun yang menjadi tolak ukur dalam ajaran tasawuf ini bukan semata benda-benda tersebut, tapi adalah kandungan atau nilai-nilai yang dibawa dan tersirat dari itu semua, yaitu ajaran tasawuf itu sendiri.
Imam al-Hâfizh as-Sayyid Ahmad ibn ash-Shiddiq al-Ghumari mengutip perkataan al-‘Allâmah al-Amir dalam Fahrasat-nya mengatakan bahwa adanya al-Khirqah, ar-Râyah, al-Hizâm dan nama-nama fisik lainnya dalam dunia tasawuf  bukan merupakan tujuan utama. Karena benda-benda tersebut hanya benda zhahir semata. Adapun yang menjadi tujuan utama dalam jalan tasawuf adalah memerangi nafsu (Mujâhadah an-Nafs) dan menuntunnya untuk berpegang teguh terhadap ketentuan syari’at dan Sunnah-Sunnah Rasulullah, baik secara zhahir maupun secara batin. Dan karena itu, ketika Imam Malik ditanya pengertian ilmu batin (‘Ilm al-Bâthin), beliau menjawab: “Kerjakanlah olehmu ilmu-ilmu zhahir maka Allah akan menwariskan kepadamu akan ilmu-ilmu batin”[2].
Namun demikian lambang-lambang fisik di atas menjadi tradisi turun-temurun sebagai sanad, yang hal tersebut beberapa di antaranya bersambung hingga Rasulullah. Seperti sanad dalam memakai al-‘Imâmah as-Saudâ’ (kain atau surban hitam yang dililit di atas kepala) secara turun-temurun di kalangan pengikut tarekat ar-Rifa’iyyah, baik warna kain maupun tatacara memakainya, yang hal tersebut secara turun-temurun berasal dari Rasulullah. Ini artinya, bahwa lambang-lambang berupa fisik tersebut memiliki makna yang cukup penting dalam kaitannya dengan ajaran-ajaran yang terkandung di balik benda-benda itu sendiri. Lambang-lambang tersebut juga menjadi semacam identitas yang khas di kalangan kaum sufi. Al-Khirqah, misalkan, walau secara bahasa berarti hanya “sebuah pakaian”, namun bahan yang dipergunakan, cara pemakian dan lain-lainnya memiliki kekhususan tersendiri. Contoh lainnya seperti gerakan-gerakan tubuh saat berdzikir. Gerakan-gerakan ini memiliki kekhususan tersendiri yang menjadi identitas atau ciri khas mereka yang hal tersebut telah menjadi turun-temurun sebagai sanad.
Kemudian para ulama telah sepakat bahwa ajaran tasawuf menjadi sebagai sebuah disiplin ilmu atau sebagai madzhab dirintis dan diformulasikan pertama-tama oleh seorang Imam agung, sufi besar, al-‘Ârif Billâh, Imam al-Junaid al-Baghdadi. Di atas jalan yang beliau rumuskan inilah di kemudian hari para kaum sufi menginjakan kaki-kaki mereka. Karena itu Imam al-Junaid al-Baghdadi disebut sebagai pimpinan kaum sufi dan pemuka mereka (Sayyid ath-Tha-ifah ash-Shûfiyah).
Syaikh al-‘Allâmah ‘Abd as-Salam al-Laqani dalam Syarh-nya terhadap Manzhûmah Irsyâd al-Murîd menyebutkan bahwa hal tersebut di atas tidak ubahnya dengan madzhab-madzhab fiqih empat yang berkembang di kalangan Ahlussunnah. Imam asy-Syafi’i, misalkan, beliau merumuskan ajaran-ajaran yang beliau intisarikan lewat ijtihad dari al-Qur’an dan Sunnah, kemudian lahirlah madzhab yang dikenal dengan nama madzhab asy-Syafi’i. Kemudian seperti itu pula yang dilakukan oleh Imam Malik hingga lahir madzhab Maliki, lalu Imam Abu Hanifah dengan madzhab Hanafi, dan juga Imam Ahmad ibn Hanbal dengan madzhab Hanbali. Demikian pula yang terjadi dengan Imam al-Junaid al-Baghdadi, yang di dalam fiqih ikut kepada madzhab Abu Tsaur, beliau adalah sebagai pemimpin di kalangan kaum sufi dan yang merintis jalan tasawuf tersebut.
Seperti halnya dalam fiqih, ajaran-ajaran di dalamnya diintisarikan (istinbâth) oleh para ulama mujtahid dari al-Qur’an dan hadits. Artinya yang menjadi sandaran utama dalam hal ini adalah ajaran Rasulullah dengan segala apa yang dibawa oleh beliau. Demikian pula dengan landasan tasawuf, pokok yang menjadi pondasinya adalah al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah Rasulullah. Dalam pada ini Imam al-Junaid al-Baghdadi memiliki sanad dalam tasawuf (labs al-khirqah) yang bersambung hingga kepada Imam al-Hasan al-Bashri yang diambil dari Amîr al-Mu’minîn Imam ‘Ali ibn Abi Thalib yang secara langsung didapatkan dari Rasulullah. Lengkapnya sanad tersebut sebagai berikut; al-Junaid al-Baghdadi mendapatkan sanad khirqah kaum sufi dari pamannya sendiri; Imam as-Sirri as-Saqthi, dari Imam Ma’ruf al-Karkhi, dari Imam Dawud ath-Tha’i, dari Imam Habib al-‘Ajami, dari Imam al-Hasan al-Bashri, dari Imam ‘Ali ibn Abi Thalib dari Rasulullah.  Lihat mata rantai berikut:

Rasulullah       ↓Imam ‘Ali ibn Abi Thalib       ↓Imam al-Hasan al-Bashri       ↓Imam Habib al-‘Ajami       ↓Imam Dawud ath-Tha’i       ↓Imam Ma’ruf al-Karkhi       ↓Imam as-Sirri as-Saqthi       ↓Imam al-Junaid al-Baghdadi
Ini adalah sanad tasawuf yang telah disepakati kebenarannya di kalangan ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Selain sanad tersebut di atas, terdapat sanad lain yang juga memperkuat kebenaran mata rantai Imam al-Junaid al-Baghdadi. Yaitu; Imam Ma’ruf al-Karkhi dari Imam ‘Ali ar-Ridla, dari Imam ayahnya sendiri; Imam Musa al-Kadlim, dari ayahnya sendiri; Imam Ja’far ash-Shadiq, dari ayahnya sendiri; Imam Muhammad al-Baqir, dari ayahnya sendiri; Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin, dari ayahnya sendiri; Imam al-Husain (Syahid Karbala), dari ayahnya sendiri; Imam ‘Ali ibn Abi Thalib, Dari Rasulullah. Lihat mata rantai berikut:
Rasulullah      ↓Imam ‘Ali ibn Abi Thalib      ↓Imam al-Husain (Syahid Karbala)      ↓Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin      ↓Imam Muhammad al-Baqir      ↓Imam Ja’far ash-Shadiq      ↓Imam Musa al-Kadlim      ↓Imam ‘Ali ar-Ridla      ↓Imam Ma’ruf al-Karkhi      ↓Imam as-Sirri as-Saqthi      ↓Imam al-Junaid al-Baghdadi
Sanad yang kedua ini sangat kuat. Orang-orang saleh yang terlibat dalam rangkaian sanad ini tidak diragukan lagi keagungan derajat mereka. Sanad kedua ini di samping sebagai penguat bagi sanad pertama, sekaligus sebagai bantahan kepada mereka yang mengingkari sanad pertama. Karena sebagian orang anti tasawuf biasanya mempermasalahkan sanad pertama di atas dengan mempersoalkan pertemuan (al-Mu’âsharah Wa al-Liqâ’) antara Imam al-Hasan al-Bashri dan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib. Adanya beberapa “komentar” tentang benar tidaknya pertemuan antara Imam al-Hasan al-Bashri dengan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib oleh mereka dijadikan alat untuk menanamkan keraguan tentang kebenaran sanad tasawuf. Namun tentang sanad yang kedua, tidak ada satupun yang meragukannya, kecuali mereka yang membangkang dan keras kepala anti terhadap tasawuf.
Walau demikian, tentang sanad pertama, mayoritas ulama sepakat menetapkan adanya pertemuan (al-Mu’âsharah Wa al-Liqâ’) antara Imam al-Hasan al-Bashri dan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib. Di antara yang menetapkan hal tersebut adalah Imam al-‘Allâmah Dliya’uddîn Ahmad al-Witri asy-Syafi’i al-Baghdadi dalam kitabnya; Raudlah an-Nâdlirîn. Setelah membahas panjang lebar dalam menguatkan sanad nomor satu di atas, Imam al-Witri mengutip perkataan Imam Sufyan ats-Tsauri, bahwa ia (Sufyan ats-Tsauri) berkata: “al-Hasan al-Bashri adalah orang yang paling utama di antara yang mengambil pelajaran dari ‘Ali ibn Abi Thalib”. Kemudian Imam al-Witri berkata bahwa saat terbunuhnya Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, Imam al-Hasan al-Bashri berada di tempat kejadian. Al-Hasan al-Bashri saat itu seorang anak yang masih berumur empat belas tahun, yang kemudian tumbuh remaja di bawah bimbingan sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib.
Cukup bagi kita untuk meyakini ketatapan adanya pertemuan antara Imam al-Hasan al-Bashri dengan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib adalah penjelasan al-Hâfizh Jalaluddin as-Suyuthi yang beliau tuliskan dalam risalah berjudul Ithâf al-Firqah Bi Rafw al-Khirqah. Karena kebenaran suatu riwayat apa bila sudah ditetapkan oleh seorang yang memiliki kapasitas keilmuan hingga memiliki gelar “al-Hâfizh”, seperti al-Hâfizh as-Suyuthi, maka tidak ada alasan untuk mengingkari atau menolaknya.
Dalam risalah tersebut Imam as-Suyuthi memberikan penjelasan yang sanfat kuat, dengan melihat setidaknya kepada tiga perkara, sebagai berikut:
Pertama; Kaedah yang telah disepakati di kalangan ulama dalam melakukan tarjîh adalah bahwa pendapat yang menetapkan adanya suatu peristiwa harus di dahulukan di atas pendapat yang menafikannya (al-Mutsbit Muqaddam ‘Alâ an-Nâfî). Ini karena seorang al-Mutsbit memiliki keunggulan pengetahuan (Ziyâdah ‘Ilm) di banding seorang an-Nâfî.
Kedua; Para ulama sepakat bahwa Imam al-Hasan al-Bashri lahir di sekitar dua tahun dari masa khilafah ‘Umar ibn al-Khaththab. Ibunya, bernama Khiyarah adalah seorang yang dimerdekakan oleh Ummu Salamah. Ummu salamah inilah yang sering kali membawa al-Hasan al-Bashri ke hadapan para sahabat terkemuka untuk memintakan doa keberkahan baginya. Termasuk salah satunya kepada Amîr al-Mu’minîn ‘Umar ibn al-Khaththab sendiri yang saat mendoakannya berkata: “Ya Allah berilah ia pemahaman tentang agama dan jadikanlah ia seorang yang dicintai manusia”. Sebagaimana hal ini diriwayatkan oleh al-Hâfizh al-Mizzi dan kitabnya Tahdzîb al-Kamâl.
Kemudian al-‘Askari dalam kitab al-Mawâ’izh, juga al-Hâfizh al-Mizzi dalam kitabnya di atas menyebutkan bahwa saat terbunuhnya Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan, al-Hasan al-Bashri sudah berumur empat belas tahun dan menyaksikan peristiwa terbunuhnya Khalifah ‘Utsman tersebut. Dan sudah pasti, dari semenjak umur tujuh tahun saat mulai diperintah mengerjakan shalat hingga umur empat belas tahun, al-Hasan al-Bashri selalu berkempul dan bertemu dengan para sahabat senior, paling tidak ketika dalam mengerjakan shalat lima waktu berjama’ah. Dan saat itu sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib masih berada di Madinah bersama beberapa sahabat senior lainnya. Dan beliau baru berhijrah ke Kufah setelah terbunuhnya khalifah ‘Utsman. Ini artinya kemungkinan adanya pertemuan antara al-Hasan al-Bashri dengan ‘Ali ibn Abi Thalib sudah merupakan kepastian. Ditambah lagi bahwa sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib seringkali berziarah kepada istri-istri Rasulullah, termasuk salah satunya kepada Ummu Salamah. Di rumah Ummu Salamah tinggal Khiyarah; ibunda al-Hasan al-Bashri, dan -tentunya- al-Hasan al-Bashri sendiri. Maka kemungkinan adanya pertemuan antara al-Hasan dengan ‘Ali ibn Abi Thalib tidak dapat lagi diragukan.
Ketiga; Terdapat pengakuan dari al-Hasan al-Bashri sendiri bahwa ia mengambil riwayat dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib. Dalam kitab Tahdzîb al-Kamâl, Imam al-Mizzi meriwayatkan dengan sanadnya yang bersambung kepada Yûnus ibn ‘Ubaid, bahwa ia (Yûnus ibn ‘Ubaid) berkata kepada al-Hasan al-Bashri: “Wahai Abu Sa’id, seringkali engkau berkata “Rasulullah bersabda…”, padahal engkau tidak pernah bertemu dengannya”. Al-Hasan al-Bashri menjawab: “Wahai putra saudaraku, engkau telah bertanya kepadaku suatu pertanyaan yang tidak pernah ditanyakan orang-orang sebelummu. Kalau bukan karena kedudukanmu bagiku aku tidak akan memberitahukan jawabannya kepadamu. Sesungguhnya saya hidup di masa seperti yang engkau lihat sendiri, (masa penguasa al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi, seorang pemimpin zhalim dari kalangan Bani Umayah yang banyak membunuh para ulama). Maka seluruh yang engkau dengar dariku “Rasulullah bersabda…” maka itu semua berasal dari jalur ‘Ali ibn Abi Thalib”[3].
Al-Hâfizh as-Suyuthi dalam risalahnya di atas menyebutkan tidak kurang dari sepuluh riwayat hadits yang diriwayatkan oleh para huffâzh dan para ahli hadits dalam karya-karya mereka dengan sanad al-Hasan al-Bashri dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib. Di antaranya riwayat yang ditulis Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya, berkata: “Menghkabarkan kepada kami Hasyim, dari Yunus ibn ‘Ubaid, dari al-Hasan al-Bashri, dari ‘Ali ibn Abi Thalib, bahwa Rasulullah bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الصّغِيْرِ حَتَّى يَبْلُغَ وَعَنِ النّائِمِ حَتّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمُصَابِ حَتّى يُكْشَفَ عَنْهُ
“Beban syari’at diangkat dari tiga orang; dari seorang anak kecil hingga ia baligh, dari seorang yang tidur hingga ia bangun dan dari seorang yang terkena mushibah hingga dibukakan dari musibahnya tersebut”.
Hadits ini diriwayatkan pula dengan jalur yang sama oleh Imam at-Tirmidzi yang telah menilainya berkualitas hasan. Juga diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i, oleh Imam al-Hakim yang menilainya shahih, dan oleh al-Hâfizh al-Dliya’ al-Maqdisi dalam kitab al-Mukhtârah. Kemudian dari pada itu, al-Hâfizh Zainuddin al-‘Iraqi dalam kitab Syarh at-Tirmidzi dalam menjelaskan hadits di atas berkata mengutip pernyataan Imam ‘Ali al-Madini bahwa al-Hasan al-Bashri bertemu dengan ‘Ali ibn Abi Thalib saat keduanya masih berada di Madinah. Sementara Abu Zur’ah al-‘Iraqi berkata bahwa ketika ‘Ali ibn Abi Thalib dibai’at sebagai khalifah, al-Hasan al-Bashri saat itu sudah berumur empat berlas tahun. Selain itu semua, al-Hasan al-Bashri sendiri berkata: “Saya melihat al-Zubair membai’at ‘Ali”[4].
Di antara hadits lainnya yang dikutip oleh al-Hâfizh as-Suyuthi dalam Ithâf al-Firqah Bi Rafw al-Khirqah dengan jalur al-Hasan al-Bashri dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib adalah sebagai berikut:
1.   Hadits riwayat Imam an-Nasa’i dalam kitab Sunan-nya dengan sanad berikut; Mengkhabarkan kepada kami Hasan ibn Ahmad ibn Habib berkata; Mengkhabarkan kepada kami Syadz ibn Fayyadl, dari ‘Umar ibn Ibrahim, dari Qatadah, dari al-Hasan al-Bashri dari ‘Ali ibn Abi Thalib, bahwa Rasulullah bersabda:
أفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ (روَاهُ النّسَائيّ)
“Telah batal puasa orang yang berbekam dan yang dibekam” (HR. an-Nasa’i).
2.  Riwayat Imam ad-Daraquthni dalam kitab Sunan-nya tentang zakat fitrah dengan sanad berikut: Mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah ibn Mubasy-syar berkata; Mengkhabarkan kepada kami Ahmad ibn Sinan berkata; Mengkhabarkan kepada kami Yazid ibn Harun berkata; Mengkhabarkan kepada kami Humaid ath-Thawil dari al-Hasan al-Bashri berkata; Berkata ‘Ali ibn ‘Abi Thalib:
إنْ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَاجْعَلُوْهُ صَاعًا مِنْ بُرٍّ وَغَيْرِهِ (رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ)
“Jika Allah meluaskan rizki kalian maka jadikanlah zakat fitrah itu satu sha’ dari gandum dan lainnya” (HR. ad-Daraquthni).
3.   Riwayat al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab Târîkh Baghdâd berkata; Mengkhabarkan kepada kami al-Hasan ibn Abi Bakr berkata; Mengkhabarkan kepada kami Abu Sahl Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Abdullah ibn Ziyad al-Qaththan berkata; Mengkhabarkan kepada kami Muhammad ibn Ghalib berkata; Mengkhabarkan kepada kami Yahya ibn ‘Imran berkata; Mengkhabarkan kepada kami Sulaiman ibn Arqam dari al-Hasan al-Bashri dari ‘Ali ibn Abi Thalib bahwa ia berkata:
كَفَّنْتُ النَّبِيَّ فِي قَمِيْصٍ أبْيَض وَثَوْبَي حَبْرَة (رَواهُ الْخَطيْبُ الْبَغْدَادِيّ)
“Aku telah menkafani Rasulullah dengan gamis putih dan dengan dua pakaian lebar” (HR. al-Khatib al-Baghdadi).
4.   Abu Ya’la dalam Musnad-nya berkata; Mengkhabarkan kepada kami Juwairiyah ibn Asyras berkata; Mengkhabarkan kepada kami ‘Uqbah ibn Abi ash-Shahba’ al-Bahili berkata; Aku mendengan al-Hasan al-Bashri berkata; Aku mendengar Rasulullah bersabda:
مَثَلُ أُمّتِيْ مَثَلُ الْمَطَر (رَوَاهُ أبُو يَعْلَى)
“Perumpamaan umatku seperti hujan” (HR. Abu Ya’la).
As-Sayyid As’ad (w 1016 H), seorang mufti di Madinah, membuat risalah pendek tantang sanad ajaran kaum sufi dan sanad khirqah mereka. Kesimpulan tulisan beliau adalah bahwa sekalipun ada beberapa huffâzh al-hadîts mengingkari pertemuan antara al-Hasan al-Bashri dengan ‘Ali ibn Abi Thalib, namun pendapat yang kuat menetapkan bahwa telah terjadi pertemuan kedua orang tersebut. Pendapat ini didasarkan kepada pernyataan huffâzh al-hadîts lainnya yang telah menetapkan keberadaan pertemuan tersebut. Dan pendapat huffâzh al-hadîts yang menetapkan keberadaannya didahulukan atas pendapat yang menafikannya (al-Mutsbit Muqaddam ‘Alâ an-Nâfî), sebagaimana hal ini telah diketahui dalam kaedah-kaedah ilmu hadits[5].
Masih menurut as-Sayyid As’ad, bahwa nasab al-khirqah memiliki dasar yang berasal dari Rasulullah sendiri. Dalam menetapkan pendapat ini sebagian ulama mengambil pendekatan dengan hadits Ummu Khalid. Diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah membawa sebuah baju hitam dengan pernik-pernik berwarna kuning dan merah ke hadapan para sahabatnya, lalu Rasulullah berkata: “Siapakah menurut kalian orang yang hendak aku pakaikan baju ini padanya?”. Semua sahabat terdiam sambil berharap untuk mendapatkan baju tersebut. Kemudian Rasulullah berkata: “Panggilah Ummu Khalid...!”. Setelah Ummu Khalid datang Rasulullah lalu memakaikan baju tersebut kepadanya seraya berkata: “Pakailah, semoga banyak memberikan manfa’at bagimu”. Setelah Rasulullah memakaikan baju tersebut kepada Ummu Khalid lalu melihat kepada pernik-pernik warna kuning dan warna merah dari baju sersebut, seraya berkata: “Wahai Ummu Khalid ini adalah pakaian yang indah”[6].
Termasuk yang dapat dijadikan pendekatan tentang keberadaan nasab al-khirqah ini adalah riwayat yang telah disebutkan oleh banyak ulama bahwa sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib dan sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab memakaikan al-Khirqah kepada Uwais al-Qarani. Simak perkataan Imam asy-Sya’rani berikut ini:
“Uwais al-Qarani telah memakai pakaian (ats-tsaub) dari sahabat ‘Umar ibn al-Khaththab dan memakai selendang (ar-ridâ’) dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib. Kesimpulan dari pada ini semua bahwa khirqah kaum sufi memiliki dasar yang tsabit dalam hadits. Para pengemban riwayat sanad al-khirqah ini adalah para Imam yang agung dari umat ini. Adapun beberapa huffâzh al-hadîts yang mengingkari nasab al-khirqah maka yang dimaksud adalah hanya terbatas kepada jubah (al-jubbah) dan peci (ath-thâqiyah) saja. Benar, dua benda ini sangat erat kaitannya dengan kaum sufi, namun makna al-khirqah secara luas tidak terbatas kepada dua benda tersebut saja. Seperti khirqah kaum tarekat ar-Rifa’iyyah yang hal tersebut tidak dapat diingkari kebenaran sanadnya. Khirqah kaum ar-Rifa’iyyah itu adalah ’Imâmah --kain atau surban dililitkan pada kepala- yang berwarna hitam (al-’Imâmah al-Sauda’), bahwa Sanad al-’Imâmah as-sauda’ ini telah bersambung hingga Rasulullah. Suatu ketika Rasulullah memakaikan al-’Imâmah as-sauda’ ini kepada Imam ‘Ali ibn Abi Thalib, sebagaimana hal ini telah tsabit dalam kitab-kitab sahih, lalu Rasulullah berkata di hadapan para sahabatnya: “Pakailah oleh kalian ’Imâmah seperti ini”. Kemudian tidak ada perselisihan di antara kaum sufi bahwa sanad tasawuf adalah lewat jalur al-Junaid dari al-Sirrî dari al-Karkhi dan seterusnya -hingga ‘Ali ibn Abi Thalib-. Di samping itu jalur sanad tasawuf ini memiliki dua jalan --sebagimana telah disebutkan--”[7].
Adapaun dasar khirqah kaum tarekat ar-Rifa’iyyah yang berupa al-’Imâmah as-saudâ’ secara jelas disebutkan dalam banyak hadits Rasulullah, seperti dalam riwayat Imam Muslim, Imam ath-Thabarani dan lainnya. Di antaranya sebuah hadits dari sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib bahwa beliau berkata: “Pada hari Ghadir Khum Rasulullah memakaikan ‘Imâmah hitam kepadaku dengan mengulurkannya sedikit ke bagian belakangku, seraya bersabda:
إنّ اللهَ عَزّ وَجَلّ أمَدَّنِيْ يَوْمَ بَدْرٍ وَحُنَيْنِ بِمَلاَئِكَةٍ يَعْتَمُّوْنَ هذِهِ العِمَامَةَ، وَقَالَ: إنّ العِمَامَةَ حَاجِزٌ بَيْنَ الْكُفْرِ وَالإيْمَانِ (رَوَاهُ الحَافِظُ أبُو مُوْسَى الْمَدَنِيّ فِي كِتَابِ السّنَّة فِي سَدْلِ العِمَامَةِ وَغَيْرُهُ)
“Sesungguhnya Allah memberiku pertolongan di hari perang Badar dan perang Hunain dengan serombongan malaikat yang mereka semua mengenakan ‘Imâmah semacam ini”. (Kemudian juga Rasulullah bersabda): “Sesungguhnya ‘Imâmah adalah pembatas antara kekufuran dan keimanan”.  (HR. Abu Musa al-Madani dalam kitab as-Sunnah Fi Sadl al-’Imâmah dan oleh lainnya).
Wa Allahu A’lam.Wa Shallallahu ‘Ala Sayyidina Muhammad Wa Alihi Wa Sallam.

DAFTAR PUSTAKAAshbahâni, al, Abu Nu’aim Ahmad Ibn ‘Abdullah (w 430 H), Hilyah al-Auliyâ Wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, Dâr al-Fikr, Bairut
‘Asqalâni, al, Ahmad Ibn Ibn ‘Ali Ibn Hajar, Lisân al-Mizân, Bairut, Mu’assasah al-‘Alami Li al-Mathbu’at, 1986 M.
Bakri, al, As-Sayyid Abu Bakr ibn as-Sayyid Ibn Syathâ al-Dimyathi, Hâsyiyah I’ânah al-Thâlibin ‘Alâ Hall Alfâzh Fath al-Mu’in Li Syarh Qurrah al-‘Ain Li Muhimmah al-Dîn, cet. 1, 1418, 1997, Dâr al-Fikr, Bairut.
Haitami, al, Ahmad Ibn Hajar al-Makki, Syihabuddin, al-Fatâwâ al-Haditsiyyah, t. th. Dâr al-Fikr
Habasyi, al, ‘Abdullah ibn Muhammad ibn Yusuf, Abu ‘Abd ar-Rahman, al-Maqâlât al-Sunniyah Fi Kasy Dlalâlât Ahmad Ibn Taimiyah, Bairut: Dâr al-Masyârî’, cet. IV, 1419 H-1998 M.
Ibn Arabi, Muhyiddin Muhammad ibn ‘Ali al-Hâtimi al-Thâ’i, al-Futûhât al-Makkiyyah, ta’lîq Mahmûd Mathraji, Isyrâf Maktabah al-Buhûts Wa al-Dirâsât, Dâr al-Fikr, Bairut
_________, Nasab al-Khirqah, ta’lîq ‘Abd ar-Rahman Hasan Mahmûd, cet. ‘Âlam al-Fikr, Cairo Mesir
Ibn al-‘Imâd, Abu al-Falâh ibn ‘Abd al-Hayy al-Hanbali, Syadzarât al-Dzahab Fî Akhbâr Man Dzahab, tahqîq Lajnah Ihyâ al-Turâts al-‘Arabi, Bairut, Dâr al-Âfâq al-Jadidah, t. th.
Jailâni-al, ‘Abd al-Qâdir ibn Musa ibn Abdullâh, Abu Shâlih al-Jailâni, al-Gunyah, Dâr al-Fikr, Bairut
Kalâbâdzi-al, Muhammad ibn Ibrahim ibn Ya’qûb al-Bukhari, Abu Bakr (w 380 H), al-Ta’arruf Li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, tahqîq Mahmûd Amin al-Nawawi, cet. 1, 1388-1969, Maktabah al-Kuliyyât al-Azhariyyah Husain Muhammad Anbâbi al-Musâwi, Cairo
Khalîfah, Hâjî, Musthafâ ‘Abdullah al-Qasthanthini al-Rumi al-Hanafi al-Mulla, Kasyf al-Zhunûn ‘An Asâmî al-Kutub Wa al-Funûn, Dâr al-Fikr, Bairut.
Nabhâni, al, Yusuf Isma’îl, Jâmi’ Karâmât al-Auliyâ’, Dâr al-Fikr, Bairut
Qusyairi, al, Abu al-Qasim ‘Abd al-Karim ibn Hawazân al-Naisâburi, al-Risâlah al-Qusyairiyyah, tahqîq Ma’ruf Zuraiq dan ‘Ali ‘Abd al-Hâmid Balthahji, Dâr al-Khair.
Rifâ’i, al, Abu al-‘Abbâs Ahmad ar-Rifa’i al-Kabir ibn al-Sulthân ‘Ali, Maqâlât Min al-Burhân al-Mu’ayyad, cet. 1, 1425-2004, Dâr al-Masyârî’, Bairut.
Sarrâj, al, Abu Nashr, Al-Luma’, tahqîq ‘Abd al-Halim Mahmud dan Thâhâ ‘Abd al-Bâqi Surur, Maktabah al-Tsaqâfah al-Dîniyyah, Cairo Mesir
Sya’râni, al, ‘Abd al-Wahhâb, al-Thabaqât al-Qubrâ, Maktabah al-Taufiqiyyah, Amâm Bâb al-Ahdlar, Cairo Mesir.
_________, al-Yawâqît Wa al-Jawâhir Fi Bayân ‘Aqâ’id al-Akâbir, t. th, Mathba’ah al-Haramain.
_________, al-Kibrît al-Ahmar Fi Bayân ‘Ulûm al-Syaikh al-Akbar, t. th, Mathba’ah al-Haramain.
_________, al-Anwâr al-Qudsiyyah al-Muntaqât Min al-Futûhût al-Makkiyyah, Bairut, Dâr al-Fikr, t. th.
_________, Lathâ’if al-Minan Wa al-Akhlâq, ‘Alam al-Fikr, Cairo
Suhrâwardi, al, Awârif al-Ma’ârif, Dar al-Fikr, Bairut
Sulami, al, Abu ‘Abd ar-Rahman Muhammad Ibn al-Husain (w 412 H), Thabaqat al-Shûfiyyah, tahqîq Musthafâ ‘Abd al-Qâdir ‘Athâ, Mansyurat ‘Ali Baidlûn, cet. 2, 1424-2003, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut.
Suyuthi, al, Jalâl al-Dîn ‘Abd ar-Rahman ibn Abî Bakr, al-Hâwî Li al-Fatâwî, cet. 1, 1412-1992, Dâr al-Jail, Bairut.
Tim Pengkajian Keislaman Pada Jam’iyyah al-Masyari al-Khairiyyah al-Islamiyyah, al-Jauhar al-Tsamîn Fî Ba’dl Man Isytahara Dzikruhu Bain al-Muslimîn, Bairut, Dâr al-Masyârî’, 1423 H, 2002 M.
_________, al-Tasyarruf Bi Dzikr Ahl al-Tashawwuf, Bairut, Dâr al-Masyari, cet. I, 1423 H-2002 M