Senin, 20 Agustus 2012

Benarkah tauhid terbagi menjadi tiga (Ala Wahabi)?


Tauhid secara bahasa berarti mengesakan Allah. Konsep tauhid ini adalah satu-satunya konsep ketuhanan yang masuk akal karena akal sehat memang tidak mungkin menerima bila Tuhan ada lebih dari satu. Tauhid adalah fondasi keimanan seorang muslim. Di atasnya semua bangunan agama Islam dibangun. Beberapa orang getol menyerukan bahwa tauhid itu terbagi menjadi tiga level, yakni Tauhid Rubūbiyah, Tauhid Ulūhiyah dan Tauhid Asmā’ wa al-Shifāt. Pembagian ini mengikuti konsep yang digagas oleh Ibnu Taymiyah al-Harrani dalam kitabnya semisal Jāmi’ al-Rasā’il.
Menurut mereka, yang dimaksud dengan Tauhid Rubūbiyah adalah seperti tauhidnya kaum musyrik Arab; mengakui bahwa Allah adalah Tuhan alam semesta, tetapi juga melakukan penyembahan terhadap oknum lain. Menurut ide ini, orang musyrik Arab dahulu telah bertauhid, tapi masih dalam level Rubūbiyah. Begitu juga orang muslim yang telah beriman pada Allah tetapi masih melakukan tawasul dan istighatsah (minta tolong) pada wali yang telah wafat, maka tauhidnya dianggap masih dalam level ini karena menurut mereka kedua hal itu adalah perbuatan syirik (menyekutukan Allah).
Sedangkan Tauhid Ulūhiyah menurut mereka adalah tauhid yang sebenarnya di mana seorang mukmin mengakui ketuhanan Allah dan menyatukan ibadah hanya pada-Nya. Adapun Tauhid Asmā’ wa al-Shifāt dimaksudkan untuk menegaskan bahwa seorang mukmin harus beriman penuh pada seluruh sifat Allah apa adanya tanpa adanya takwil (penyesuaian arti). Jadi menurut mereka, bila dalam al-Qur’an disebut kata “Tangan Allah”, “Allah bersemayam” dan sebagainya berarti harus dipahami secara harfiah bahwa Allah benar-benar punya tangan dan Dia bersemayam (duduk) di atas singgasana-Nya, bukan dalam arti Allah berkuasa.
Menurut para ulama Ahlus Sunnah, konsep tauhid seperti ini sebenarnya sangat tidak tepat karena banyak alasan; Dari sudut pandang sejarah, Allah dan Rasulullah tidak pernah membagi tauhid menjadi beberapa tingkat, tidak juga pernah menyebut orang musyrik yang bagaimanapun sebagai orang yang bertauhid atau sebaliknya menyebut orang muslim yang dalam hatinya hanya menyembah Allah sebagai orang yang musyrik, meskipun dia bertawasul dan beristighatsah. (Kebolehan tawasul dan istighatsah insya Allah akan dibahas secara khusus dalam edisi lain). Selain itu dari sudut pandang bahasa atau peristilahan al-Qur’an dan hadis, kata rabb dan ilāh adalah hal yang sama, keduanya bermakna Tuhan sehingga tidak benar bila keduanya dibedakan artinya.
Adapun dari sudut pandang dalil al-Qur’an, konsep tauhid terbagi tiga itu juga lemah karena dalam banyak ayat, Allah telah menegaskan bahwa kaum musyrik itu tidak bertauhid di antaranya dalam ayat-ayat berikut:
  1. Kaum musyrik mengangkat sekutu yang setara dengan Allah. Mereka berkata:
أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ  [ص: 5]
Apakah dia hendak menjadikan Tuhan sebagai Tuhan yang satu saja? Sungguh ini hal yang mengherankan. (QS. Shād: 5)
  1. Kaum musyrik menyamakan sekutu mereka dengan Allah. Mereka berkata:
تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ  [الشعراء: 97-98]
Demi Allah kami benar-benar dalam kesesatan yang nyata karena kami menyamakan kalian (para berhala) dengan Tuhan alam semesta. (QS. al-Syu’arā’: 97-98)
  1. Kaum musyrik meyakini bahwa sekutu mereka itu dapat menjadi penolong di dunia dan akhirat nanti tanpa perlu restu dari Allah.
وَمَا نَرَى مَعَكُمْ شُفَعَاءَكُمُ الَّذِينَ زَعَمْتُمْ أَنَّهُمْ فِيكُمْ شُرَكَاءُ [الأنعام: 94]
Aku tiada melihat besertamu pembela yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. (QS. al-An’ām: 94)
  1. Kaum musyrik menyembah oknum-oknum yang dianggap sekutu Allah tersebut.
فَلَا تَكُ فِي مِرْيَةٍ مِمَّا يَعْبُدُ هَؤُلَاءِ مَا يَعْبُدُونَ إِلَّا كَمَا يَعْبُدُ آبَاؤُهُمْ مِنْ قَبْلُ [هود: 109]
Maka janganlah kamu berada dalam keragu-raguan tentang apa yang disembah oleh mereka (bahwa itu sesat). Mereka tidak menyembah melainkan sebagaimana nenek moyang mereka menyembah dahulu. (QS. Hud: 109)
  1. Kaum musyrik memberikan sesajen pada oknum yang mereka anggap sekutu Allah.
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا [الأنعام: 136]
Mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”. (QS. al-An’ām: 136)
Kelima hal ini menjadi bukti bahwa kaum musyrik sama sekali tidak bertauhid dalam level apapun karena memang tauhid itu tidak bertingkat-tingkat. Tauhid adalah lawan dari syirik (menyekutukan Allah) yang berarti bila seseorang telah bertauhid, maka dia bukan orang musyrik dan sebaliknya bila dia melakukan perbuatan syirik, maka dia tidak bertauhid.
Kelima hal tersebut sama sekali tidak terdapat dalam jiwa dan perbuatan orang mukmin yang paham akan ajaran agamanya. Tidak ada alasan untuk menyebut orang mukmin sebagai masih musyrik atau masih berada dalam level Tauhid Rubūbiyah saja hanya karena dia bertawasul atau meminta tolong agar didoakan pada Rasul atau para wali yang telah tiada.
Selain itu, yang mereka sebut dengan Tauhid Asmā’ wa al-Shifāt yang mengharamkan melakukan takwil (penyesuaian arti) terhadap sifat-sifat Allah yang disebut dalam al-Qur’an dan hadis adalah sesuatu yang terlalu dipaksakan karena memang ada sifat Allah yang tidak mungkin dipahami kecuali bila maknanya ditakwil (disesuaikan dengan arti yang lebih pas). Contohnya:
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ [القصص: 88]
Segala sesuatu akan sirna kecuali Dia.
Seandainya ayat itu tidak di takwil, maka artinya “segala sesuatu akan sirna kecuali wajah Allah” yang berarti tangan Allah dan anggota tubuh lainnya akan sirna dan yang tersisa hanya wajah-Nya saja. Sungguh ini makna yang tidak masuk akal karena Allah tidak mempunyai bentuk fisik seperti makhluk.

KH. Zaini Mun’im Paiton Probolinggo

Ulama Pejuang dan Perintis Pertanian Tembakau
Nama Probolinggo telah ada sejak tahun 1359 M. (1281 Saka). Ketika Prabu Hayam Wuruk berhasil mempersatukan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit tahun 1357 M (1279 Saka) atas jerih payah Maha Patih Mada, rombongan pembesar kerajaan kemudian bermuhibah ke daerah ini dan enggan kembali. Sehingga ketika sang prabu sedang linggih (duduk) merenugi keindahan kawasan ini, maka kawasan ini dinamakan oleh masyarakat sebagai Prabu Linggih. Setelah mengalami proses perubahan ucapan, kata Prabu Linggih kemudian berubah menjadi Probo Linggo (Probolinggo). Daerah ini merupakan salah satu bagian dari Propinsi Jawa Timur yang terletak di kaki Gunung Semeru, Gunung Argopuro dan Pegunungan Tengger dengan luas sekitar 1.696,166 Km persegi.
Paiton adalah adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur yang terkenal dengan kehadiran kompleks Pembangkit Listrik-nya. Kawasan ini berada pada garis pantai yang menghadap ke selat Madura. Kawasan ini juga merupakan daerah penghasil tembakau. Karenanya banyak sekali masyarakat Paiton yang bekerja sebagai petani, nelayan dan pedagang barter seperti tembakau (blandang).
Dengan letak geografis yang cukup menguntungkan dalam perdagangan laut, terutama nelayannya, maka banyak nelayan dari Pasuruan; Sampang, Madura; Muncar, Banyuwangi yang singgah di sini. Karenanya, mayoritas penduduk di kawasan ini adalah etnis Madura. Sehingga dengan sendirinya, sebagaimana umumnya karakter masyarakat etnis madura, Paiton juga merupakan kawasan masyarakat santri yang memiliki banyak pesantren sebagai tempat mendidik generasi mudanya.
Salah satu di antara pesantren-pesantren kawasan ini yang cukup terkenal adalah Pesantren Nurul Jadid di desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, yang didirikan oleh KH Zaini Abdul Mun’im. Seorang ulama pejuang Republik kelahiran Madura yang datang ke Paiton pada tanggal 10 Muharram 1948 M. Beliau singgah di Karanganyar dalam perjalanannya menuju ke Yogyakarta untuk bergabung dengan para pejuang Republik lainnya di sana.
Ketika sedang berada di Karanganyar, KH Zaini mendapat titipan (amanat) dari Allah berupa dua orang santri yang datang kepada Beliau untuk belajar ilmu agama. Kedua santri ini bernama Syafi’udin berasal dari Gondosuli, Kotaanyar Probolinggo dan Saifudin dari Sidodadi Kecamatan Paiton, Probolinggo. Kedatangan dua santri tersebut oleh beliau dianggap sebagai amanat Allah yang tidak boleh diabaikan. mulai saat itulah KH Zaini menetap bersama kedua santrinya.
Namun tidak seberapa lama, beliau ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di LP Probolinggo. KH Zaini, pada waktu tersebut memang termasuk orang yang dicari-cari oleh Belanda sejak dari pulau Madura. Belanda menganggap beliau sebagai orang yang berbahaya, karena menurut Belanda, Beliau mampu mempengaruhi dan menggerakkan rakyat untuk melawan Belanda.
Setelah sekitar tiga bulan di penjara, kemudian beliau dikembalikan lagi ke Karanganyar untuk mengasuh santri-santrinya yang sedang menunggu kedatangannya. Sejak saat itulah, KH Zaini Abdul Mun’im membimbing santri-santrinya yang sudah mulai berdatangan dari berbagai penjuru seperti dari Madura, Situbondo, Malang, Bondowoso dan Probolinggo. Dengan banyaknya santri yang berdatangan, KH Zaini Mun’im kemudian merasa berkewajiban untuk mendidik mereka.
Merintis Dakwah di Tanah seberang
Memang kedatangan KH Zaini tidak secara langsung berniat untuk mendirikan sebuah pesantren. Namun atas saran dan dukungan dari berbagai pihak, maka Beliau pun kemudian memiliki tekad yang mantap untuk mendirikan sebuah pesantren yang dinakaman pesantren Nurul Jadid. Nama pesantren Nurul Jadid ini bermula pada saat KH Zaini Mun’im didatangi seorang tamu, putra gurunya (KH Abdul Majid) yang bernama KH Baqir. Beliau mengharap kepada KH Zaini Mun’im untuk memberi nama pesantren yang diasuhnya dengan nama Nurul Jadid.
Nama Karanganyar sebenarnya adalah desa Tanjung, nama kuno yang diambil dari nama sebuah pohon besar di sana yang dijadikan sebagai pusat penempatan sesajen untuk memuja para roh yang melindungi masyarakat sekitar. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat di sana pada awalnya adalah para penganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Menurut masyarakat setempat, keberadaan beberapa pohon-pohon besar ini tidak boleh ditebang. Pohon-pohon besar tersebut diyakini sebagai pelindung masyarakat dan harus diselenggarakan upacara ritual dalam bentuk pemberian sesajen, utamanya ketika ada suatu hajatan.
Sesajen itu disajikan kepada roh yang diyakini berada di sekitar pohon besar tersebut. Salah satu ritual itu dilakukakan ketika ketika musim tanam tiba. Sebelum panen, masyarakat menggelar sesajenan dengan cara patungan. Beberapa anggota masyarakat meletakkan ayam di beberapa tempat yang dianggap sakral. Selain itu pada setiap tahunnya mereka mengadakan selamatan laut dengan membuang kepala kerbau.
Dalam kehidupan sosial, masyarakat desa Tanjung sangat terbelakang (jahiliyah). Mereka belum mengenal peradaban baru (Islam) yang lebih baik. Hal ini terlihat dengan maraknya perjudian, perampokan, pencurian dan tempat mangkal para pekerja seks komersial (PSK). Kehidupan hedonis mewarnai pemandangan sehari-hari dan moralitas jauh ditinggalkan. Pada saat itu kesenangan dan kebahagiaan hanya terdapat pada perbuatan yang penuh dengan kemaksiatan dan kemungkaran.
Dalam kehidupan ekonomi, masyarakat desa Tanjung termasuk masyarakat yang sangat bergantung pada alam. Mereka menganggap bahwa jika yang diberikan alam sudah tidak ada lagi yang bisa dimakan, maka mereka pindah ke tempat lain atau mencari makan di daerah lain. Tempat yang mereka pilih terutama di daerah pinggiran laut (pantai) yang banyak pohon bakaunya untuk dimakan. Sedangkan lahan pertanian yang ada hanya dikuasai oleh beberapa orang.
Dengan demikian, desa Tanjung waktu itu merupakan desa “mati”, karena disamping daerahnya masih dipenuhi dengan hutan jati dan penuh dengan semak belukar yang tidak menghasilkan nilai ekonomis, juga karena masyarakatnya yang tidak memperdulikan keadaan sekitarnya.
Dalam situasi dan kondisi sosial masyarakat desa Tanjung seperti itulah, KH Zaini Mun’im –setelah mendapatkan restu dan perintah dari KH Syamsul Arifin, ayah KH As’ad Syamsul Arifin, Sukorejo– memutuskan untuk menetap dan bertempat tinggal bersama keluarganya di desa ini. Sebelum memutuskan untuk bertempat tinggal di desa Karanganyar, KH Zaini Mun’im mengajukan tempat-tempat lainnya dengan membawa contoh tanah pada KH Syamsul Arifin.
Daerah lain yang pernah diajukan oleh KH Zaini Mun’im selain tanah desa Karanganyar ini adalah daerah Genggong Timur, dusun Kramat Kraksaan Timur, desa Curahsawo Probolinggo Timur, sebuah dusun di daerah kebun kelapa Jabung, dan dusun Sumberkerang. Setelah diseleksi contoh tanahnya oleh KH Syamsul Arifin, maka KH Zaini Mun’im diperintahkan untuk menetap di Desa Tanjung.
Berkat ketekunan KH Zaini dalam berdakwah, maka berangsur-angsur kehadiran pesantren Nurul Jadid dapat mengubah kondisi yang demikian menjadi kondisi masyarakat dengan iklim religius tanpa mengalami penentangan yang frontal. Lambat laun, dengan kehadiran pesantren yang diasuh oleh KH Zaini dan dakwah Islam yang dipimpinnya dengan santun, nama desa Tanjung berubah menjadi Karanganyar.
Memberdayakan Ekonomi Masyarakat
KH Zaini Abdul Mun’im adalah seorang ulama yang memiliki kepedulian terhadap kondisi kemiskinan dan keterbelakangan rakyat akibat penjajahan dan kekejaman pemerintah kolonial Belanda. Karena karakter KH Zaini yang memiliki kepedulian tinggi terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakatnya, maka pesantren yang didirikannya ini juga diformat untuk memiliki kepeduliannya yang tinggi dan ikut menciptakan pemberdayaan manusia dengan seutuhnya.
Sejak itulah KH Zaini Mun’im mulai dikenal di masyarakat karena keuletan dan keberanian serta ketabahannya. Di samping itu, dua orang teman yang membantunya, yakni KH Munthaha dan KH Sufyan. Keduanya adalah santri yang ditugaskan oleh KH Hasan Sepuh (Pengasuh PP. Zainul Hasan Genggong, Kraksaan) untuk membantu KH Zaini Mun’im sambil mengaji kepada beliau. memang sudah dikenal oleh masyarakat luas karena sering memberi bantuan kepada masyarakat, terutama keampuhan doa-doanya.
Setelah kesadaran beribadah masyarakat mulai tumbuh yang terbukti dengan dibangunnya beberapa mushalla oleh masyarakat setempat, KH Zaini Mun’im memperkenalkan tanaman baru kepada mereka, yakni tembakau yang bibitnya dibawa dari Madura. Awalnya, bibit tersebut sebagai percobaan di desa Karanganyar. Seiring perkembangan waktu, ternyata tanaman ini memang cocok dengan keadaan tanah di desa Karanganyar dan bisa mengangkat perekonomian masyarakatnya. Akhirnya, tanaman ini menjadi penghasilan pokok masyarakat Karanganyar dan bahkan masyarakat di luar Paiton.
Pada sisi lainnya, upaya yang dilakukukan KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya, juga cukup memberikan hasil yang memuaskan. Terbukti dengan pupusnya kepercayaan mereka terhadap roh ghaib dan semakin rendahnya kasus pencurian, pemerkosaan, perjudian, serta lenyapnya gembong PSK. Dan seiring itu pula, tumbuhlah semangat yang menyala-nyala dalam mempertahankan kehidupan menuju keluarga sakinah (keluarga bahagia dunia-akhirat).
Dalam keadaan yang sudah mulai damai dan nyaman, KH Zaini Mun’im dikejutkan oleh surat panggilan yang datangnya dari Menteri Agama (waktu itu adalah KH Wahid Hasyim). Beliau diminta untuk menjadi penasehat jamaah haji Indonesia. Dan tawaran tersebut beliau terima. Pada saat itu jumlah santri yang sudah menetap di PP. Nurul Jadid sekitar 30 orang dan siserahkan di bawah asuhan KH Munthaha dan KH Sufyan. Dengan kharisma yang dimiliki, keduanya, dengan mudah membangun beberapa pondok yang terbuat dari bambu untuk tempat tinggal para santri pada waktu itu.
Sepulangnya KH Zaini Mun’im dari tanah suci dalam tugasnya sebagai penasehat jamaah haji Indonesia, terlihat beberapa gubuk sudah berdiri, maka tergeraklah hati beliau untuk memikirkan masa depan para santri-santrinya. Mulailah KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya membabat hutan yang ada di sekitarnya sehingga berdirilah sebuah pesantren yang cukup besar sampai terlihat seperti sekarang ini.
Secara pelan-pelan, kehidupan masyarakat mulai ada perubahan. Hal ini berkat ketekunan KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya. Mereka disadarkan dengan sentuhan agama. Akhirnya, timbul suatu kesadaran di kalangan masyarakat bahwa merekalah yang sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar untuk bisa merubah cara hidupnya, terutama dari kehidupan sosial ekonomi.
Setelah perekonomian masyarakat mulai meningkat melalui pemanfaatan tanah pertanian, mulailah dimasukkan ajaran dan nilai-nilai agama islam dalam kehidupan masyarakat Karanganyar. Hal lainnya adalah pendalaman ilmu agama melalui sistem pendidikan non formal. Pola pendidikan dan pembinaan semacam itu dilakukan, baik kepada santri maupun kepada masyarakat sekitar pesantren. Pengajian kitab dilakukan dengan berbagai metode. Mulai dari bandongan, sorogan dan takhassus. Sementara itu pemberian makna dalam pengajian kitab kuning menggunakan bahasa indonesia. Sehingga pesantren Nurul Jadid merupakan pesantren pertama yang menggunakan bahasa Indonesia dalam menerangkan dan menterjemahkan kitab-kitab yang dikajinya.
Upaya perubahan yang dilakukan KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya terhadap masyarakat Karanganyar tersebut, kemudian dibalas dengan sikap simpati masyarakat berupa dukungan terhadap perkembangan pesantren Nurul Jadid. Di antaranya adalah dukungan masyarakat Karanganyar terhadap berdirinya Lembaga Pendidikan mulai Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT).
Pesantren yang diasuh KH Zaini Mun’im ini nampaknya mendapat pengakuan yang cukup luas di kalangan masyarakat. Terbukti dengan semakin banyaknya jumlah santri yang berdatangan dari segala penjuru tanah air, bahkan dari luar negeri (Singapura dan Malaysia). Hingga saat ini pesantren Nurul Jadid telah melahirkan ribuan alumni.
Isyarat dan Menjual Tanah
Sebelum mendirikan pesantren di desa karanganyar ini, KH Zaini Mun’im sempat memiliki keraguan, hingga tiba-tiba beliau menemukan sarang lebah. Hal ini kata orang-orang waktu itu adalah sebagai isyarat, jika beliau menetap dan mendirikan pondok pesantren di Desa Karanganyar (Tanjung), maka akan banyak santrinya.
Isyarat kedua datang dari KH Hasan Sepuh Genggong. Suatu saat ketika Kyai Hasan mendatangi suatu pengajian dan melewati desa Tanjung. Beliau berkata kepada kusir dokarnya, ”Di masa mendatang, jika ada kiai atau ulama yang mau mendirikan pondok di daerah sini, maka pondok tersebut kelak akan menjadi pondok yang besar, dan santrinya kelak akan melebihi santri saya.” Sang kusir pun hanya manggut-manggut. Kemudian peryataan ini tersebar ke masyarakat sekitar dan sampai di telinga KHZaini.
Isyarat ketiga datang dari alam setempat, kondisi tanahnya yang bagus dan suplai air yang mencukupi. Selain itu, desa Tanjung merupakan tempat yang jauh dari keramaian kota (Kraksaan), sehingga sangat cocok untuk mendirikan sebuah tempat pendidikan.
Setelah dirasa cocok, KH Zaini Mun’im segera membuat kesepakatan dengan H. Tajuddin salah seorang pemilik tanah yang luas di desa Tanjung. KH Zaini menukarkan dengan tanahnya yang ada di pulau Madura, dengan hutan jati dan belukar di tempat tersebut. Dengan berbekal satu batang lidi, Beliau berjalan menelusuri tanah yang sudah menjadi miliknya itu, sehingga semua hewan dan binatang buas serta membahayakan lari dan meninggalkan hutan jati itu menuju utara desa Grinting. Selama satu tahun lebih beliau membabat hutan, mendirikan rumah, membangun surau kecil bersama dua orang santri pertamanya dan mengubah hutan serta belukar menjadi tegalan dan perkebunan.
Motto hidup KH Zaini adalah mewakafkan diri untuk penyiaran dakwah Islam dan meninggikan agama Allah. Beliau adalah seorang ulama pejuang yang kuat, tabah dan memiliki kesetiaan tinggi kepada rekan-rekannya. Sehingga ketika berada dalam tahanan Belanda di Probolinggo, Beliau tetap bungkam meskipun dipaksa dengan berbagai cara untuk membocorkan tempat-tempat pesembunyian rekan-rekan seperjuangannya yang lain, yang juga menjadi buronan Belanda. KH Zaini sangat kuat memegang semboyan ”liberty or dead (merdeka atau mati)”. Sehingga tidak satu pun temen-teman seperjuangannya yang dapat ditangkap Belanda karena pengakuan Beliau.

SEJARAH SHOLAWAT BADAR


Shalawat Badar

Shalawat Badar adalah “Lagu Wajib” Nahdlatul Ulama. Berisi puji-pujian kepada Rasulullah SAW dan Ahli Badar (Para Sahabat yang mati syahid dalam Perang Badar). Berbentuk Syair, dinyanyikan dengan lagu yang khas.

Shalawat Badar digubah oleh Kia Ali Mansur Banyuwangi, salah seorang cucu dari KH. Muhammad Shiddiq Jember tahun 1960. Kiai Ali Mansur  saat itu menjabat Kepala Kantor Departemen Agama Banyuwangi, sekaligus menjadi Ketua PCNU di tempat yang sama. Proses terciptanya Shalawat Badar penuh dengan misteri dan teka-teki.

Konon, pada suatu malam, ia tidak bisa tidur. Hatinya merasa gelisah karena terus menerus memikirkan situasi politik yang semakin tidak menguntungkan NU. Orang-orang PKI semakin leluasa mendominasi kekuasaan dan berani membunuh kiai-kiai di pedesaan. Karena memang kiai-lah pesaing utama PKI saat itu.

Sambil merenung, Kiai Ali Mansur terus memainkan penanya diatas kertas, menulis syair-syair dalam bahasa arab. Dia memang dikenal mahir membuat syair sajak ketika masih belajar di Pesantren Lirboyo, Kediri.

Kegelisahan Kiai Ali Mansur berbaur dengan rasa heran, karena malam sebelumnya bermimpi didatangi para habib berjubah putih-hijau. Semakin mengherankan lagi, karena pada saat yang sama istrinya bermimpi bertemu Rasulullah SAW. Keesokan harinya mimpi itu ditanyakan pada Habib Hadi Al-Haddar Banyuwangi. Habib Hadi menjawab: “ Itu Ahli Badar, ya Akhy.” Kedua mimpi aneh dan terjadi secara bersamaan itulah yang mendorong dirinya menulis syair, yang kemudian dikenal dengan Shalawat Badar.

Keheranan muncul lagi karena keesokan harinya banyak tetangga yang datang kerumahnya sambil mebawa beras, daging, dan lain sebagainya, layaknya akan mendatangi orang yang akan punya hajat mantu. Mereka bercerita, bahwa pagi-pagi buta pintu rumah mereka didatangi orang berjubah putih yang memberitahukan bahwa dirumah Kiai Ali Mansur akan ada kegiatan besar. Mereka diminta membantu. Maka mereka pun membantu sesuai dengan kemampuannya.

“Siapa orang yang berjubah putih itu?” Pertanyaan itu terus mengiang-ngiang dalam benak Kiai Ali Mansur tanpa jawaban. Namun malam itu banyak orang bekerja di dapur untuk menyambut kedatangan tamu, yang mereka sendiri tidak tahu siapa, dari mana dan untuk apa.?

Menjelang matahari terbit, serombongan habib berjubah putih-hijau dipimpin oleh Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi dari Kwitang Jakarta, datang kerumah Kia Ali Mansur. “Alahamdulillah………,” ucap kiai Ali Mansur ketika melihat rombongan yang datang adalah para habaib yang sangat dihormati keluaganya.

Setelah berbincang basa-basi sebagai pengantar, membahas perkembangan PKI dan kondisi politik nasional yang semakin tidak menguntungkan, Habib Ali menanyakan topik lain yang tidak diduga oleh Kiai Ali Mansur: “ Ya Akhy! Mana Syair yang ente buat kemarin? Tolong ente bacakan dan lagukan di hadapan kami-kami ini!” Tentu saja Kiai Ali Mansur terkejut, sebab Habib Ali tahu apa yang dikerjakannya semalam. Namun ia memaklumi, mungkin itulah karomah yang diberikan Allah kepadanya. Sebab dalam dunia kewalian, pemandangan seperti itu bukanlah perkara aneh dan perlu dicurigai.

Segera saja Kiai Ali Mansur mengambil kertas yang berisi Shalawat Badar hasil gubahannya semalam, lalu melagukannya dihadapan mereka.  Secara kebetulan Kiai Ali Mansur juga memiliki suara bagus. Ditengah alunan suara Shalawat Badar itu para Habaib mendengarkannya dengan khusyuk. Tak lama kemudian mereka meneteskan air mata karena haru.

Selesai mendengarkan Shalawat Badar yang dikumandangkan oleh Kiai Ali Mansur, Hbib segera bangkit.

“Ya Akhy….! Mari kita perangi genjer-genjer PKI itu dengan Shalawat Badar…!” serunya dengan nada mantap. Setelah Habib Ali memimpin doa, lalu rombongan itu mohon diri. Sejak saat itu terkenallah Shalawat Badar sebagai bacaan warga NU untuk membangkitkan semangat melawan orang-orang PKI.

Untuk lebih mempopulerkannya, Habib Ali mengundang para habib dan ulama (termasuk Kiai Ali Mansur dan KH. Ahmad Qusyairi, paman Kiai Ali Mansur) ke Jalan Kwitang, Jakarta. Di forum istimewa itulah Shalawat Badar dikumandangkan secara luas oleh Kiai Ali Mansur.
Sumber : Antologi NU Jilid I. Pengantar KH. Abdul Muhith Muzadi

Rabu, 15 Agustus 2012

KEUTAMAAN LAILATUL QODAR

Lailatul Qadar mempunyai beberapa keutamaan. Diantaranya:
Pertama: Pada malam tersebut Al-Qur'an diturunkan pertama kali. Dalilnya adalah firman Allah SWT:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْر
"Kami telah menurunkan Al-Qur'an ini pada malam ‘Lailatul Qadar’."(Al-Qadr: 1).
Kedua: Beribadah pada malam Lailatul Qadar lebih baik dari pada beribadah seribu bulan yang di dalamnya tidak terdapat Lailatul Qadar. Sebagaimana firman Allah SWT:
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْر
"Lailatul Qadar lebih baik dari seribu bulan." (Al-Qadr: 3).
Para ulama berbeda pendapat tentang maksud ayat di atas, akan tetapi mayoritas ulama mengatakan bahwa amalan pada malam hari itu lebih baik dari amalan seribu malam yang tidak terdapat di dalamnya Lailatul Qadar.
Ketiga: Para Malaikat bersama malaikat Jibril turun pada malam tersebut dengan membawa rahmat dan berkah. Sebagaimana firman Allah SWT:
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ
"Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan." (Al-Qadar: 4).
Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
إنها ليلة سابعة، أو تاسعة وعشرين، وإن الملائكة تلك الليلة في الأرض أكثر من عدد الحصى‏
"Sesungguhnya Lailatul Qadar itu akan turun pada malam 27 atau 29, dan sesungguhnya malaikat yang ada di muka bumi pada malam itu lebih banyak dari pada jumlah kerikil." (Hadits Hasan, riwayat Ibnu Huzaimah).
Keempat: Malam Lailatul Qadar adalah malam yang penuh kedamaian dan kesejahteraan bagi orang-orang beriman. Para malaikat pun memberikan salam kepada mereka sampai terbit fajar. Sebagaimana firman Allah SWT:
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
"Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (Al-Qadar: 5).
Kelima: Malam Lailatul Qadar adalah malam yang penuh berkah, sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ
"Kami telah menurunkan Al-Qur'an ini pada malam yang penuh berkah." (Ad-Dukhan: 2).
Keenam: Malam Lailatul Qadar adalah malam yang di dalamnya ditentukan takdir seluruh makhluk dalam satu tahun. Sebagaimana firman Allah SWT:
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
"Pada malam itu ditetapkan segala urusan yang penuh hikmah." (Al Dukhan: 3).
Ketujuh: Barang siapa yang beribadah pada malam Lailatul Qadar dengan ikhlas dan keimanan, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lampau. Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَاًبا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barang siapa yang bangun (untuk beribadah) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan keikhlasan, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lampau." (HR Bukhari dan Muslim)

Ada orang yang pada malam-malam ganjil bukan Ramadhan khusuk beribadah. Adakah dalil yang menjelaskan bahwa Lailatul Qadar itu jatuh pada malam-malam ganjil?
Jawaban :
Memang, ada dalil yang menjelaskan bahwa Lailatul Qadar itu jatuh pada malam-malam ganjil dari sepuluh terakhir bulan Ramadhan, yaitu sabda Rasulullah saw:
تحروا ليلة  القدر في الوتر من العشر الأواخر من رمضان
"Carilah Lailatul Qadar pada malam ganjil dari sepuluh terkahir bulan Ramadhan." (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain disebutkan:
التمسوها في العشر الأواخر من رمضان ليلة القدر في تاسعة تبقى ، في سابعة تبقى ، في خامسة تبقى
"Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan, pada malam sembilan terakhir, pada malam tujuh terakhir, pada malam lima terakhir." (HR Bukhari).
Maksud dari pada malam sembilan terakhir adalah malam duapuluh satu Ramadhan, dan maksud dari malam tujuh terakhir adalah malam duapuluh tiga Ramadhan, dan maksud dari malam limalima Ramadhan. terakhir adalah malam duapuluh
عن عبادة بن الصامت أنه قال ( يا  رسول الله ، أخبرنا عن ليلة القدر ؟ فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم : هي في رمضان ، التمسوها في العشر الأواخر ، فإنها وتر في إحدى و عشرين أو ثلاث و عشرين أو خمس و عشرين أو سبع و عشرين أو تسع و عشرين أو في آخر ليلة )
"Dari Ubadah bin Shamit bahwasanya ia berkata, ‘Wahai Rasulullah saw, beritahukan kami tentang Lailatul Qadar!’ Rasulullah saw menjawab, ‘Dia ada dalam bulan Ramadhan. Carilah pada sepuluh terakhir, karena dia terdapat pada malam ganjil, pada malam 21, atau 23, atau 25, atau 27, atau 29, atau di malam terakhir." (Hadits hasan, riwayat Ahmad).

Selasa, 14 Agustus 2012

KESESATAN IBNU TAIMIYAH


Sebagian orang awam di masa itu, -juga seperti yang terjadi di zaman sekarang- yang tidak mengenal persis siapa Ibn Taimiyah terlena dan terbuai dengan “kebesaran” namanya. Mereka kemudian mengikuti bahkan laksana “budak” bagi faham-faham yang diusung oleh Ibn Taimiyah ini. Para ulama di masa itu, di masa hidup Ibn Taimiyah sendiri telah banyak yang memerangi faham-faham tersebut dan menyatakan bahwa Ibn Taimiyah adalah pembawa ajaran-ajaran baharu dan ahli bid’ah. Di antara ulama terkemuka yang hidup di masa Ibn Taimiyah sendiri dan gigih memerangi faham-fahamnya tersebut adalah al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin ‘Ali ibn ‘Abd al-Kafi as-Subki. Beliau telah menulis beberapa risalah yang sangat kuat sebagai bantahan atas kesesatan Ibn Taimiyah. Imam Taqiyyuddin as-Subki adalah ulama terkemuka multi disipliner yang oleh para ulama lainnya dinyatakan bahwa beliau telah mencapai derajat mujtahid mutlak, seperti Imam asy-Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah atau lainnya. Dalam pembukaan salah satu karya bantahan beliau terhadap Ibn Taimiyah, beliau menuslikan sebagai berikut:
“Sesungguhnya Ibn Taimiyah telah membuat ajaran-ajaran baru. Ia telah membuat faham-faham baru dalam masalah pokok-pokok akidah. Ia telah menghancurkan sendi-sendi Islam dan rukun-rukun keyakinannya. Dalam mempropagandakan faham-fahamnya ini, ia memakai topeng atas nama mengikut al-Qur’an dan Sunnah. Ia menampakkan diri sebagai orang yang menyeru kepada kebenaran dan kepada jalan surga. Sesungguhnya dia bukan seorang yang mengikut kepada kebenaran, tapi dia adalah seorang yang telah membawa ajaran baru, seorang ahli bid’ah. Ia telah menyimpang dari mayoritas umat Islam dengan menyalahi berbagai masalah yang telah menjadi ijma’. Ia telah berkeyakinan pada Dzat Allah yang Maha Suci sebagai Dzat yang memiliki anggota-anggota badan dan tersusun darinya”[
Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa Allah adalah benda ia sebutkan dalam banyak tempat dari berbagai karyanya, dan bahkan membela kesesatan kaum Mujassimah; kaum yang berkeyakinan bahwa Allah sebagai jism. Pernyataannya ini di antaranya disebutkan dalam Syarh Hadits an-Nuzul (h. 80), Muwafaqat Sharih al-Ma’qul Li Shahih al-Manqul (j. 1, h. 62, j. 1, h. 148), Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah (j. 1, h. 197, dan j. 1, h. 180), Majmu’ Fatawa[ j. 4, h. 152], dan Bayan Talbis al-Jahmiyyah.
 Di antara ungkapannya yang ia tuliskan dalam Bayan Talbis al-Jahmiyyah adalah sebagai berikut: “Sesungguhnya tidak ada penyebutan baik di dalam al-Qur’an, hadits-hadits nabi, maupun pendapat para ulama Salaf dan para Imam mereka yang menafian tubuh (jism) dari Allah. Juga tidak ada penyebutan yang menafikan bahwa sifat-sifat Allah bukan sifat-sifat benda. Dengan demikian mengingkari apa yang telah tetap secara syari’at dan secara akal; artinya menafikan benda dan sifat-sifat benda dari Allah, adalah suatu kebodohan dan kesesatan” (Bayan Talbis al-Jahmiyyah, j. 1, h. 101)
Keyakinan Ibn Taimiyah bahwa Allah berada pada tempat dan bahwa Allah memiliki bentuk dan ukuran dengan sangat jelas ia sebutkan dalam karya-karyanya sendiri. Di antaranya dalam karyanya berjudul Muwafaqat Sharih al-Ma’qul, Ibn Taimiyah menuliskan sebagai berikut:
“Semua manusia, baik dari orang-orang kafir maupun orang-orang mukmin telah sepakat bahwa Allah bertempat di langit, dan bahwa Dia diliputi dan dibatasi oleh langit tersebut, kecuali pendapat al-Marisi dan para pengikutnya yang sesat. Bahkan anak-anak kecil yang belum mencapai umur baligh apa bila mereka bersedih karena tertimpa sesuatu maka mereka akan mengangkat tangan ke arah atas berdoa kepada Tuhan mereka yang berada di langit, tidak kepada apapun selain langit tersebut. Setiap orang lebih tahu tentang Allah dan tempat-Nya di banding orang-orang Jahmiyyah”[ Muwafaqat Sharih al-Ma’qul, j. 2, h. 29-30].
Dalam karyanya berjudul as-Sab’iniyyah, Ibn Taimiyah menuliskan sebagai berikut:
“Allah berfirman (Laisa Kamitslihi Syai’) Dia Allah tidak menyerupai suatu apapun) QS. Asy-Syura: 11, pada ayat ini ia mensucikan diri-Nya bahwa Dia tidak menyerupai suatu apapun. Kemudian Allah berfirman (Wa Huwa as-Sami’ al-Bashir), pada ayat ini Dia menyerupakan diri-Nya sendiri dengan makhluk-Nya. Ayat QS. Asy-Syura; 11 ini adalah ayat yang paling jelas dalam al-Qur’an dalam menetapkan kesucian Allah dari menyerupai segala makhluk-Nya, namun demikian Dia tidak lepas dari keserupaan dengan makhluk-nya dalam keberadaan dengan tempat”[ As-Sab’iniyyah, h. 178].
            Dalam Muwafaqat Sharih al-Ma’qul Ibn Taimiyah menuliskan perkataan Abu Sa’id ad-Darimi dan menyepakatinya, berkata:
“Sesungguhnya Allah memiliki batasan (bentuk) dan tidak ada yang mengetahui bentuk-Nya kecuali Dia sendiri. Tidak boleh bagi siapapun untuk membayangkan bahwa bentuk Allah tersebut adalah sesuatu yang berpenghabisan. Seharusnya ia beriman bahwa Allah memiliki bentuk, dan cukup ia serahkan pengetahuan tentang itu kepada-Nya. Demikian pula tempat-Nya memiliki batasan (bentuk), yaitu bahwa Dia berada di atas ‘arsy di atas seluruh lapisan langit. Maka keduanya ini (Allah dan tempat-Nya) memiliki bentuk dan batasan”( Muwafaqat Sharih al-Ma’qul, j. 2, h. 29)

Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa Allah bersifat dengan duduk sangat jelas ia sebutkan dalam beberapa tempat dari karya-karyanya, sekalipun hal ini diingkari oleh sebagian para pengikutnya ketika mereka tahu bahwa hal tersebut adalah keyakinan yang sangat “buruk”. Di antaranya dalam kitab berjudul Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, Ibn Taimiyah menuliskan sebagai berikut: “Sesungguhnya mayoritas Ahlussunnah berkata bahwa Allah turun dari ‘arsy, namun demikian ‘arsy tersebut tidak sunyi dari-Nya”( Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, j. 1, h. 262)
Dan bahkan lebih jelas lagi ia sebutkan dalam Majmu’ Fatawa. Ibn Taimiyah berkata: “Para ulama yang diridlai oleh Allah dan para wali-Nya telah menyatakan bahwa Rasulullah; Muhammad didudukan oleh Allah di atas ‘arsy bersama-Nya” (Majmu’ Fatawa, j. 4, h. 374).
Keyakinan buruk Ibn Taimiyah ini disamping telah dinyatakan sendiri dalam karya-karyanya, demikian pula telah disebutkan oleh para ulama yang semasa dengannya atau para ulama yang datang sesudahnya. Dengan demikian keyakinan ini bukan sebuah kedustaan belaka, tapi benar adanya sebagai keyakinan Ibn Taimiyah. Dan oleh karena itu keyakinan inilah di masa sekarang ini yang dipropagandakan oleh para pengikutnya. Salah seorang ulama terkemuka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah; yaitu Al-Imam al-Mufassir Abu Hayyan al-Andalusi dalam kitab tafsirnya bejudul an-Nahr al-Madd menuliskan sebagai berikut:
“Saya telah membaca dalam sebuah buku karya Ahmad ibn Taimiyah, seorang yang hidup semasa dengan kami, dengan tulisan tangannya sendiri, buku berjudul al-‘Arsy, ia berkata: Sesungguhnya Allah duduk di atas Kursi, dan Dia telah menyisakan tempat dari Kursi tersebut untuk Ia dudukan nabi Muhammad di sana bersama-Nya. Ibn Taimiyah ini adalah orang yang pemikirannya dikuasai oleh pemikiran at-Taj Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Abd al-Haqq al-Barinbri. Bahkan Ibn Taimiyah ini telah menyerukan dan berdakwah kepada pemikiran orang tersebut, dan mengambil segala pemikirannya darinya. Dan kita telah benar-benar membaca hal tersebut di dalam bukunya tersebut”( An-Nahr al-Madd, tafsir ayat al-Kursi).
 Klaim Ibn Taimiyah bahwa apa yang ia tuliskan ini sebagai keyakinan ulama Salaf adalah bohong besar. Kita tidak akan menemukan seorang-pun dari para ulama Salaf saleh yang berkeyakinan tasybih semacam itu. Anda perhatikan pernyataan Ibn Taimiyah di atas, sangat tidak baik dan tidak konsisten. Di beberapa karyanya ia menyatakan bahwa Allah duduk di atas ‘arsy, namun dalam karyanya yang lain ia menyebutkan bahwa Allah duduk di atas kursi. Padahal dalam sebuah hadits shahih telah disebutkan bahwa besarnya bentuk antara ‘arsy di banding dengan kursi tidak ubahnya seperti  sebuah kerikil kecil di banding padang yang sangat luas. Artinya bahwa bentuk ‘arsy sangat besar sekali, dan merupakan makhluk Allah yang paling besar bentuknya. Di mana logikanya, ia mengatakan bahwa Allah duduk di atas ‘arsy, dan pada saat yang sama ia juga mengatakan bahwa Allah duduk di atas kursi?!

BANTAHAN ATAS KLAIM IBNU TAIMIYAH
Cukup untuk membantah keyakinan sesat semacam ini dengan mengutip pernyataan al-Imam ‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib; atau yang lebih dikenal dengan nama al-Imam ‘Ali Zain al-‘Abidin, bahwa beliau berkata: “Maha suci Engkau wahai Allah, Engakau tidak di dapat diindra, tidak dapat di sentuh, dan tidak dapat di raba”( al-Hafizh Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 4, h. 380). Artinya bahwa Allah bukan benda yang berbentuk dan berukuran.

 BUKTI-BUKTI KESESATAN IBNU TAIMINYAH
KATA IBNU TAIMIYAH, ALLAH ADALAH JISM
قَوْلُهُ: هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا [المريم: 65] وَنَحْوُ ذَلِكَ فَإِنَّهُ لَايَدُلُّ عَلَى نَفْيِ الصِّفَاتِ بِوَجْهٍ مِنَ الْوُجُوْهِ بَلْ وَلَا عَلَى نَفْيِ مَا يُسَمِّيْهِ أَهْلُ الْاِصْطِلاَحِ جِسْمًا بِوُجُوْهٍ مِنَ الْوُجُوْه. اهـ (موافقة صريح المعقول لصحيح المنقول: 1/62)
Tidak ada larangan mengatakan Tuhan itu Jisim (jasad atau fisik)
KATA IBNU TAIMIYAH, ALLAH ADA DIATAS

وَالْبَارِي سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَوْقَ الْعَالَمِ فَوْقِـــيَّةً حَقِيْقِيَّةً لَيْسَتْ فَوْقِــيَّةَ الرَّتْبَةِ. (بيان تلبيس الجهمية ج 1 / ص 111)
Allah SWT itu berada diatas alam semesta dalam arti yang sesungguhnya. Bukan diatas yang berarti tinggi derajat-Nya.
قَالَ إِبْنُ تَيْمِيَّةِ: وَأَمَّا أَكْثَرُ أَهْلِ الْحَدِيْثِ وَمَنْ وَافَقَهُمْ فَإِنَّهُمْ لَا يَجْعَلُوْنَ النَّوْعَ (الْعَالَمَ) حَادِثًا بَلْ قَدِيْمًا.(منهاج السنة النبوية 2/75)
Kata Ibnu Taimiyah: Mayoritas ahli hadits dan orang yang sependapat dengan mereka itu tidak mengatakan alam itu baru tetapi Qadim.

Minggu, 12 Agustus 2012

SYAIR KEBOLEHAN TABARRUK (MENGAMBIL BERKAH)

Dgn baca asma Allah aku awali
Dari segala serupa, Dia Maha Suci

Puji syukur pada Ilahi Rabbi
atas limpahan anugerah dan rizki

Shalawat dan salam atas Nabi
Sang penyeru kebahagiaan abadi

Ketahuilah ikhwan akhawati
Tabarruk diajarkan oleh Nabi

Jika datang padamu Wahhabi
Mengharamkan tabarruk yg kau lakoni

Melarang tabarruk dgn peninggalan Nabi
Katakan pdnya dgn keteguhan hati

Wahai pengikut Ibnu ‘Abdil Wahhabi
Segala ocehanmu tak punya arti

Aswaja punya hujjah yg qath’i
Dalil hadits tabarruk sahabat Nabi

Kisah pembagian rambut Nabi
Diriwayatkan Muslim, jg al-Bukhari

Bukan utk dimakan atau dikoleksi
Diambil berkahnya, alasan yg pasti

Hadits kisah pembagian kuku Nabi
Shahih, riwayat Ahmad sang perawi

Tanya Asma’ ihwal jubah Nabi
Dari air celupannya, sakit terobati

Sahabat Abu Ayyub al-Anshari
Terdorong kerinduan, menaruh pipi

Di atas tanah makam Nabi yg diberkati
Yg ia datangi bkn batu, tp Nabi yg dicintai

Hadits Asma’ riwayat Muslim santri al-Bukhari
Hadits Abu Ayyub riwayat pendiri madzhab Hanbali
Sahabat Khalid bin Walid sang pemberani
Memerintah pasukannya ‘tuk cari topi

Saat hilang tak keruan dan tak pasti
Ketika terjadi perang Yarmuki

Khalid bin Walid galau jiwa dan hati
Karena dalam topi itu ada rambut Nabi

Khalid bertabarruk dengannya acapkali
Hadits riwayat imam al-Baihaqi

Hadits tabarruk dgn peninggalan Nabi
Yg blm disebut masih banyak lagi

Tapi yg tersebut cukup jadi bukti
Atas kebolehan perkara ini

Wahai saudara-saudari fillahi
Sadarilah kesesatan Wahhabi

Senantiasa waspada dan hati-hati
Bentengi keluarga dan diri

Agar tak teracuni dan terinfeksi
Bahaya virus QarnusSyaithani

PENERUS PERADABAN ISLAM,BUKAN ORANG ARAB

 Tambahan ilmu bagi orang yang ke-arab-araban, sebagaimana di ungkapkan oleh KH.SAid AQIL SIRADJ(dokumen tremas,pacitan 2010).

Telah digariskan dalam Al-Quran adalah tidak semua orang harus kemedan perang.Harus ada yang TAFAQQUH FIDDIN.Harus ada yang mendalami keilmuan,sejarah,ekonomi,dll.

Inilah rahasia sejarah.Mungkin bila Imam Hasan Sibthi,Imam Husein Sibthi tidak berkecimpung dalam politik,nama besar Imam Hasan al-Bashri akan sedikit tersisih.Meskipun tak dipungkiri bahwa Imam Hasan Sibthi adalah AWWALU QUTHBUN BAHIR.

Kita harus memandang sejarah dari segi hikmah.Bukan sebagai bangga-banggaan diantara kita adalah keturunan siapa.

Tak bisa dipungkiri bahwa:
1.Ahli nahwu generasi pertama - Syaikh Abu Aswad ad-Dualiy,Imam Khalil bin Ahmad al-Faroidiy,Imam Syibawayh.
2.Penyusun ilmu balaghah - Syaikh Amr bin Ubayd.
3.Penyusun mustholah hadits - Syaikh Syihabuddin ar-Romahurmuziy.
4.Mufassir terkenal - Syaikh Ibnu Jarir,Syaikh Abu Ja'afar at-Thobariy.
5.Sepuluh muhaddits terkenal.Satupun tidak ada yang orab arab.Imam al-Bukhori,Imam Muslim,Imam at-Tirmidziy,Sunan Abu Dawud,an-Nasai,dll.
6.Ahli matematika - Syaikh Jabir bin Hayyan.Penemu al-jabar.Bila Beliau ingin melakukan suatu penelitian,sowan dulu pada gurunya Imam Ja'far as-Shadiq.Bila diizinkan maka dilakukan.Bila tidak,maka tidak dilakukan.Beliau juga seorang ahli kimia.
7.Ahli kedokteran - Syaikh Muhammad Abu Bakar ar-Raziy.
8.Penemu optik - al-Hasan bin Haytam.
9.Penemu peta bumi - Syaikh Abu Abdillah al-Idrisi.
10.Yang menyelidiki planet - Syaikh Ibnu Hawqal.
11.Penemu musik organ - Abu Nashr al-Farabiy.
12.Filsuf - Ibnu Sina,Imam Ghazaliy.
13.Sufi besar - Imam Junayd dari Nahawand,Imam Ghazaliy.
14.Penemu ilmu sosiologi - Syaikh Ibnu Khaldun dengan karangannya MUQADDIMAH.
15.Perumus 4 musim di bumi - Syaikh Abu Abdullah Muhammad bin Jabir al-Battani.

Semuanya bukan orang arab.
Orang arab sendiri cuma kebagian dua:1.TASAWUF,2.FIKIH.

Walhasil...Semuanya kembali pada diri kita masing-masing.Afalaa Tatafakkarun..

Tabarruk (Mencari Berkah) Merupakan Amalan Terpuji dalam Islam


Pengertian Tabarruk
Akar kata “tabarruk” adalah barakah yang secara bahasa mempunyai pengertian lebih dan bertambah. 1 Dalam Kamus Arab-Indonesia karangan Mahmud Yunus disebutkan, pengertian barakah adalah berkat, bahagia dan untung. 2 Sedangkan tabarruk adalah mencari berkah, yaitu nilai tambah atau kebahagian. 3 Diantara firman Allah yang menyebut perkataan barkah adalah Q.S. al-Isra’ : 1, yang berbunyi :
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya : Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.(Q.S. al-Isra’ : 1)

Tabarruk pada umat terdahulu yang tersebut dalam al-Qur’an
1. Tabarruk Nabi Ya’kub a.s. dengan baju qamis anaknya, Nabi Yusuf untuk kesembuhan matanya, sebagaimana diceritakan Allah dalam firman-Nya, Q.S. Yusuf : 93
اذْهَبُوا بِقَمِيصِي هَذَا فَأَلْقُوهُ عَلَى وَجْهِ أَبِي يَأْتِ بَصِيرًا وَأْتُونِي بِأَهْلِكُمْ أَجْمَعِينَ
Artinya : Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia kewajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku (Q.S. Yusuf : 93)

Mata Nabi Ya’kub sembuh seketika, pada saat wajah beliau menyentuh qamis Nabi Yusuf , sebagaimana kisah selanjutnya dalam firman Allah :
فَلَمَّا أَنْ جَاءَ الْبَشِيرُ أَلْقَاهُ عَلَى وَجْهِهِ فَارْتَدَّ بَصِيرًا قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya : Tatkala telah tiba pembawa kabar gembira itu, maka diletakkannya baju gamis itu ke wajah Ya'qub, lalu kembalilah dia dapat melihat. Berkata Ya'qub: "Tidakkah aku katakan kepadamu, bahwa aku mengetahui tentang Allah apa yang kamu tidak mengetahuinya. (Q.S. Yusuf : 96)

2. Tabarruk Bani Israil dengan tabut (peti tempat menyimpan kitab Taurat) sebagaimana disebut dalam firman Allah Q.S. al-Baqarah : 248,
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آلُ مُوسَى وَآلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Artinya : Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.(Q.S. al-Baqarah : 248)

Al-Baidhawy berkata :
“Apabila berperang, Musa a.s. membawa tabut, maka jiwa orang Bani Israil menjadi tenteram dan tidak akan lari dari peperangan”. 4

Tabarruk dengan Nabi SAW
1. Nabi SAW memberkati anak-anak baru lahir dengan melakukan tahnik (menyuapi makanan yang sudah lebih dahulu dikunyah kepada anak-anak). Hadits Muslim menyebutkan :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يؤتى بالصبيان فيبرك عليهم ويحنكهم

Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW sering dibawa kepada beliau anak-anak yang baru lahir, maka beliau memberkati dan melakukan tahnik kepada anak-anak itu. (H.R. Muslim) 5
2. Nabi SAW memberkati orang sakit dengan mengusap kepala dan meminumkan air sisa wudhu’ beliau kepada sisakit. Tersebut dalam Shahih Bukhari :
السائب بن يزيد يقول ذهبت بي خالتي إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله، إن ابن أختي وجع، فمسح رأسي ودعا لي بالبركة، ثم توضأ، فشربت من وضوئه

Artinya : Al-Sa-ib bin Yazid berkata : “ Bibiku pergi bersamaku kepada Rasulullah”. Bibiku berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya anak saudaraku sakit”. Lalu Rasulullah SAW mengusap kepalaku dan berdo’a keberkahan untukku. Kemudian beliau berwudhu’, maka aku minum dari air sisa wudhu’nya. (H.R. Bukhari) 6

3. Nabi SAW memberkati dengan air yang telah disentuhnya. Imam Bukhari meriwayatkan hadits sebagai berikut :

َقَالَ أَبُو مُوسَى دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَدَحٍ فِيهِ مَاءٌ فَغَسَلَ يَدَيْهِ وَوَجْهَهُ فِيهِ وَمَجَّ فِيهِ ثُمَّ قَالَ لَهُمَا اشْرَبَا مِنْهُ وَأَفْرِغَا عَلَى وُجُوهِكُمَا وَنُحُورِكُمَا
Artinya : Berkata Abu Musa : “Nabi Muhammad SAW meminta semangkok air, lalu beliau mencuci kedua tangannya dan membasuh wajahnya di dalamnya, dan mengeluarkan air dari mulutnya, kemudian bersabda kepada mereka berdua (dua orang sahabat yang ada di sisi beliau, “Minumlah dari air itu dan semburlah pada wajah dan lehermu”(H.R. Bukahri)7

4. Mengharap barakah dengan keringat Rasululah SAW

عن أنس بن مالك قال كان النبي صلى الله عليه و سلم يدخل بيت أم سليم فينام على فراشها وليست فيه قال فجاء ذات يوم فنام على فراشها فأتيت فقيل لها هذا النبي صلى الله عليه و سلم نام في بيتك على فراشك قال فجاءت وقد عرق واستنقع عرقه على قطعة أديم على الفراش ففتحت عتيدتها فجعلت تنشف ذلك العرق فتعصره في قواريرها ففزع النبي صلى الله عليه و سلم فقال ما تصنعين ؟ يا أم سليم فقالت يا رسول الله نرجو بركته لصبياننا قال أصبت
Artinya : Dari Anas bin Malik, Nabi SAW biasa memasuki rumah Ummu Sulaim dan tidur di atas kasurnya sedangkan Ummu Sulaim sedang pergi. Anas berkata: “Pada suatu hari Rasulullah SAW datang dan tidur di atas kasur Ummu Sulaim, kemudian Ummu Sulaim dipanggil dan dikatakan padanya: Ini adalah Nabi SAW tidur di rumahmu dan di atas kasurmu. Anas berkata : Ummu Sulaim datang dan Nabi sedang berkeringat, lalu keringatnya tersebut dikumpulkan di atas sepotong kulit yang ada di atas tikar. Kemudian Ummu Sulaim membuka talinya dan mulai meyerap keringat tersebut lalu memerasnya ke dalam botol, maka Nabi kaget dan berkata: Apa yang kamu lakukan Ummu Sulaim ? Ummu Sulaim berkata: Wahai Rasulullah kami mengharapkan berkahnya bagi anak-anak kami” Beliau berkata: Engkau benar (H.R. Muslim) 8

Tabarruk dengan orang-orang pilihan dan orang shaleh
1. Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ 9 mengatakan :
“Dido’akan minta hujan dengan perantaraan orang-orang pilihan dari kerabat Rasulullah SAW, karena Umar r.a. telah berdoa meminta hujan dengan perantaraan Abbas. Umar Berkata :

اللهم إنا كنا إذا قحطنا توسلنا إليك بنبينا فتسقينا ، وإنا نتوسل بعم نبينا فاسقنا
Artinya : Ya Allah, sesungguhnya apabila kami dalam keadaan musim kemarau, kami tawasul dengan Nabi kami, maka Engkau memberikan hujan untuk kami. Sekarang kami tawasul dengan paman Nabi kami, maka berikanlah hujan untuk kami.

Lafazh hadits ini dalam Shahih Bukhari berbunyi :
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
Artinya : Sesungguhnya Umar bin Khatab r.a. apabila musim kemarau tiba, beliau berdo’a minta hujan dengan perantaraan Abbas bin Abdul Muthallib. Umar berkata : “Ya Allah, sesungguhnya kami bertawasul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, maka Engkau memberi hujan kepada kami. Sekarang kami tawasul dengan paman Nabi kami, maka berikanlah hujan untuk kami (H.R. Bukhari) 10

Selanjutnya Imam Nawawi dalam kitab yang sama pada halaman yang sama juga menyebutkan :
“Dido’akan minta hujan dengan perantaraan orang shaleh, karena ada riwayat bahwa Mua’wiyah berdo’a minta hujan dengan perantaraan Yazid bin al-Aswad, Mu’awiyah berkata :

اللهم إنا نستسقى بخيرنا وأفضلنا ، اللهم إنا نستسقى بيزيد بن الأسود
Artinya : Ya Allah, sesungguhnya kami berdo’a minta hujan dengan perantaraan orang yang baik dan utama dari kami. Ya Allah, sesungguhnya kami berdo’a minta hujan dengan perantaraan Yazid bin Aswad.

2. Tawasul Umar dengan Abbas dalam berdo’a minta hujan, oleh Ibnu Hajar al-Asqalany dijadikan sebagai dalil kebolehan tabarruk dengan orang pilihan dan orang shaleh. Ibnu Hajar al-Asqalany berkata :
“Dipahami dari kisah Abbas (sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat Bukhari di atas) bahwa dianjurkan meminta syafa’at dengan perantaraan ahli kebajikan, orang shaleh dan keluarga Nabi.” 11

3. Tabarruk Nabi SAW dengan sesuatu yang disentuh oleh tangan orang muslimin. Thabrany meriwayatkan dari Ibnu Umar, beliau berkata :
قلت يا رسول الله الوضوء من جر جديد مخمر أحب إليك أم من المطاهر ؟ قال لا بل من المطاهر إن دين الله يسر الحنيفية السمحة قال وكان رسول الله صلى الله عليه و سلم يبعث إلى المطاهر فيؤتى بالماء فيشربه يرجو بركة أيدي المسلمين.
Artinya : Aku mengatakan, Ya Rasulullah, Apakah berwudhu’ dengan bejana baru yang tertutup ataukah tempat bersuci ? Rasulullah menjawab : “tidak”, tetapi dengan tempat bersuci saja, karena agama Allah itu mudah, lembut dan toleran. Ibnu Umar berkata : “Rasulullah bangkit menuju tempat bersuci mendatangi air dan beliau meminumnya mengharapkan berkah tangan-tangan kaum muslimin.(Hadits ini diriwayat oleh Thabrany dalam al-Ausath dengan perawinya terpercaya) 12

4. Tabarruk dengan peninggalan orang shaleh
Dalam Tanwirul Qulub disebutkan :
“Apa yang dilakukan oleh orang-orang awam, yaitu mencium peninggalan para wali dan tabut (semacam kotak) yang diletakkan di atas maqam mereka, demikian itu tidak apa-apa jika mereka bermaksud tabarruk dengan perbuatan tersebut. Seyogyanya mereka tidak ditentang, karena mereka berkeyakinan bahwa yang memberi berkah adalah Allah. Mereka melakukan itu hanyalah karena mencintai orang-orang yang dicintai oleh Allah SWT”. 13

Kesimpulan
Kegiatan tabarruk (meminta barakah) sebagaimana sering dilakukan oleh kaum muslimin adalah tidak bertentangan dengan akidah Islam, bahkan merupakan sunnah dan sering dilakukan oleh ummat muslimin yang bertauhid dan berakidah yang lurus, sebagaimana dalam kisah Yusuf dengan ayahnya, kisah Bani Israil dengan tabutnya, kisah Nabi Muhammmad SAW dengan berbagai macam amalan tabarruk yang diminta Sahabat kepada beliau, amalan tabarruk yang dilakukan para sahabat dan lain-lain.

DAFTAR pUSTAKA
1.Imam al-Razi, Mukhtar al-Shihah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 60
2.Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, Hal. 63
3.Al-Ust. Shibah al-Bayati, Tabarruk bi al-Shalihin wa al-Akhyar wa al-Musyahid al-Muqaddisah, Maktabah al-‘Ammah, Hal. 12
4.Al-Baidhawy, Tafsir al-Baidhawy, Muassasah Sya’ban, Beirut, Juz. I, Hal. 253
5.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 237, No. Hadits : 286
6.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. I, Hal. 49, No. Hadits : 190
7.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. I, Hal. 49, No. Hadits : 188
8.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. IV, Hal.1815-1816, No. Hadits : 2331
9.An-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Darul Fikri, Beirut, Juz. V, Hal. 68
10.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 27, No. Hadits : 1010
11.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barry, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 497
12.Al-Haitsamy, Mujma’ al-Zawaid, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 502, No. Hadits : 1071
13,Tanwirul Qulub, Hal. 551

Panduan dan sunnah-sunnah menjelang pelaksanaan Shalat Idul Fitri untuk Khatib/Imam, Bilal dan makmum



1.       Menunggu pengumuman hasil rukyah dari Kementerian Agama

2.       Takbiran (sunnah)
Waktu : Dimulai sejak puasa ramadhan berakhir (maghrib) dan berakhir ketika imam memulai shalat lebaran.
Tempat : Di masjid, di surau, di rumah, di jalanan saat sedang diperjalanan.
Bacaan takbir:
اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، لاَ اِلٰهَ اِلاَّ اللهُ، وَاللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ وَ ِللهِ الْحَمْدُ، اللهُ أَكْبَرُ كبيراً وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْراً، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهْ، صَدَقَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَأَعَزَّ جُنْدَهُ، وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَِللهِ الْحَمْدُ.
3.      Mandi sekujur tubuh (sunnah)
Waktu : Paling lambat sebelum berangkat ke Masjid.
Tempat: Kamar mandi (kalo punya), sungai, laut, belik.
Teks niat mandi (dibaca dalam hati)
نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِعِيْدِ الْفِطْرِ  سُنَّةً ِللهِ تَعَالٰى.
Aku berniat mandi idul fitri, sunnah, karena Allah.
4.       Merapikan diri: Mengenakan pakaian ibadah terbaik (tidak harus baru) yang sesuai untuk beribadah. Kalo punya serban agar dipakai, dahulukan memilih yang warna putih meskipun itu bukan baru, jangan lupa dikasih yang hayum-hayum.
5.      Makan dulu seperlunya, jangan sampai kelupaan.
6.       Berangkat. Bagi makmum agar berangkat lebih pagi, dan mengkiuti kegiatan takbiran. Bagi imam berangkat belakangan saja, sesaat menjelang shalat hendak dilaksanakan.
7.      Dalam perjalanan. Jangan lupa untuk selalu takbiran. Saat pulang dan pergi pilih rute yang berbeda, gampangnya selalu pilih jalur kiri, baik saat berangkat maupun pulang.
8.      Saat masuk masjid. Lepaskan sandal. Jangan menginjak sandal jamaah lain saat masih mengenakan sandal. Dahulukan kaki kanan, setelah di dalam berhenti sejenak. Berdoa, lalu berniat i’tikaf.
Bacaan doa masuk masjid:
 اللهم اغفر لي ذنوبي اللهم افتح لي أبواب رحمتك
Ya Allah,ampunilah dosaku, Ya Allah bukakanlah pintu rahmat untukku.
Teks niat i’tikaf:
نويت الإعتكاف إيمانا و احتسابا لله تعالى
Aku berniat i’tikaf dengan penuh iman dan berharap pahala, lillahi tala.
9.     Didalam masjid, pilihlah tempat yang terbaik. Jangan memilih shaf belakang selagi shaf depan masih longgar. Sebelum duduk lakukan shalat tahiyyat masjid. Bila tidak memungkinkan shalat tahiyyat masjid, maka ganti dengan bacaan tasbih.
Teks niat shalat tahiyyat masjid :
أُصَلِّيْ سُنَّة تحية المسجد رَكْعَتَيْنِ لله تعالى
Aku niat sahalat sunnat tahiyat masjid dua rakaat lillahi taala.
Bacaan pengganti shalat tahiyyat masjid:
سبحان الله و الححد لله و لا إله إلا الله، و الله أكبر
Dibaca tiga kali
10.      Duduk manis, melantunkan takbir hingga shalat ‘id dimulai.
11.     Berdiri untuk shalat id, saat muraqi/bilal sudah mengomando bahwa shalat akan dimulai. Isilah shaf depan yang masih longgar.
Bunyi komando muraqi/bilal:
صَلُّوْا سُنَّةً لِعِيْدِ اْلفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ جَامِعَةً رَحِمَكُمُ اللهُ.
Ayo shalat idul fitri dua rakaat berjamaah. Semoga Allah merahmatimu.

12.     Shalat Id dipimpin imam.
Imam segera menuju pengimamam, lalu niat shalat disertai takbiratul ihram. Makmum mengikuti.
 Teks niat imam:
أُصَلِّيْ سُنَّةً لِعِيْدِ الْفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ إماما لِلهِ تَعَالٰى.
Teks niat makmum:
أُصَلِّيْ سُنَّةً لِعِيْدِ الْفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ مؤموما لِلهِ تَعَالٰى.

13.     Membaca do’a iftitah.
14.     Bertakbir lagi tujuh kali pada rakaat pertama, dan lima kali pada raka’at kedua. Di sela-sela takbir membaca:
سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ ِللهِ وَلاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ
Imam membaca surat surat Qaf atau Al A’la pada raka’at pertama
15.     Pada rakaat kedua, bertakbir lima kali saat posisi sudah berdiri sempurna dari sujud.
Imam membaca surat surat Al Qamar atau surat Al Ghasyiyah pada raka’at kedua.
16.     Salam. Shalat selesai. Tidak perlu BERSALAMAN dulu dengan teman dekat duduknya.
17.     Bilal berdiri menghadap jamaah, membawa tongkat/tombak, memberi instruksi bahwa khuthbah akan dimulai dengan membaca:

مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ وَزُمْرَةَ الْمُؤْمِنِيْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ،
  إِعْلَمُوْا أَنَّ يَوْمَكُمْ هٰذاَ يَوْمُ عِيْدِ الْفِطْرِ ،
وَيَوْمُ السُّرُوْرِ،
 وَيَوْمُ الْمَغْفُوْر،
وَ يَوْمٌ أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ فِيْهِ الطَّعَامَ،  وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ فِيْهِ الصِّيَامَ.
 إِذَا صَعِدَ الْخَطِيْبُ عَلَى الْمِنْبَرِ، أَنْصِتُوْا أَثَابَكُمُ اللهُ، وَاسْمَعُوْا أَجَارَكُمُ اللهُ، وَأَطِيْعُوْا رَحِمَكُمُ اللهُ
Kaum muslimin dan muslimat! Semoga kalian semua dirahmati Allah!
Ketahuilah, bahwa hari ini adalah hari idul fitri, hari kebahagiaan, hari pengampunan, dan hari dihalalkan untuk makan dan diharamkan berpuasa.
Jika nanti Khothib sudah naik ke mimbar,  jangan ngobrol , simak baik-baik,  patuhilah.
Semoga Allah memberi pahala, balasan dan rahmat kepada kalian semua.

18.     Bilal menyerahkan tongkat dengan membaca shalawat:
. اللّـٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ،
اللّـٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَناَ مُحَمَّدٍ،
اللّـٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ.

19.     Khotib naik menuju mimbar khutbah, Muraqi/bilal membaca doa :
اَللّـٰهُمَّ قَوِّ اْلإِسْـلاَمَ، مِنَ الْمُسْـلِمِيْنَ وَالْمُسْـلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنِ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَيَسِّرْهُمْ عَلىٰ إِقَامَةِ الدِّيْنِ، وَاخْتِمْ لَنَا مِنْكَ بِالْخَيْرِ، وَيَاخَيْرَ النَّاصِرِيْنَ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
Ya Allah perkokoh Islam, dari kalangan muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat. Mudahkan mereka dalam menegakkan din, Dan tutuplah kami dengan kebaikan, Wahai Dzat yang Maha Penolong, berkat rahmatMu, wahai Dzat yang maha penyayang.
20.    Khotib mengucapkan salam: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ , setelah doa selesai dibaca, kemudian duduk.
21.     Lalu, bilal membaca takbir:
اَللهُ أَكْبَرْ، اَللهُ أَكْبَرْ، اَللهُ أََكْبَرْ، لآَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرْ، اَللهُ أَكْبَرْ وَ ِللهِ الْحَمْد
22.     Khotib melaksanakan khutbah pertama. Selesai khutbah, khotib duduk sejenak, disusul muraqi membaca shalawat:
اَللّـٰهُمَّ صَلِّ عَلىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىٰ آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ.
23.     Usai duduk, khotib melanjutkan dengan khutbah kedua sampai selesai.
24.    Memberikan ucapan selamat (tahniah) sambil bermaafan kepada sesama jamaah, atas datangnya idul fitri, misalnya dengan mengucapkan :
من العائدين و الفائزين تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْك
Lalu dijawab dengan :
تَقَبَّلَ اللهُ مِنْكُمْ، كُلَّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ.
25.     Keluar Masjid, dengan mendahulukan kaki kiri dan berdoa:
اللهم اغفر لي ذنوبي وافتح لي أبواب فضلك
26.    Perjalanan pulang, ambil jalur kiri.

ULAMA BETAWI MENOLAK TATA CARA SHALAT TARAWIH 4 RAKAAT SATU SALAM


oleh 'Rizki Zulqornain Al-MuafahPara ulama besar di Tanah betawi menolak shalat tarawih yang dikerjakan dengan cara 4 rakaat sekali salam. sebut saja Allah Yarhamuh Hadrotus syaikh K.H Muhammad Syafii Hadzami Mufti Betawi abad 21 mengatakan:

Tidak dikenal ikhtilaf (perbedaan) antara Imam-Imam mujtahidin yang empat hal bilangan atau jumlah rakaat Qiyam Ramadhan (Shalat Tarawih) melainkan sebagai berikut :
1) 20 rakaat menurut mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad Ibn Hambal.
2) 36 rakaat merupakan salah satu riwayat Imam Malik bagi penduduk Madinah.
            Syaikh Abdul Wahhab al-Sya’râniy pun menyebutkan hal ini dalam kitab al-Mîzân al-Kubrâsebagai berikut:
وَمِنْ ذَلِكَ قَوْلُ أَبِي حَنِيْفَةَ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ اَنَّ صَلاَةَ التَّرَاوِيْحَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً وَاِنَّهَا فِي الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مَعَ قَوْلِ مَالِكٍ فِي اِحْدَى الرِّوَايَاتِ عَنْهُ اِنَها سِتَّةٌ وَثَلاَثُوْنَ رَكْعَةً (الميزان الكبرى ج 1 ص : 185 دار الفكر  د ت)  
Artinya: Sebagian dari yang demikian adalah Qaul Imam Abi Hanifah, Imam Syafii dan Imam Ahmad bahwa Shalat Tarawih di dalam Bulan Ramadhan adalah 20 rakaat dan sesungguhnya berjamaah itu lebih utama disertai Qaul Imam Malik dalam satu riwayat darinya adalah 36 rakaat.
Kaifiyyah 20 rakaat yaitu dikerjakan dengan sepuluh salam dan memberi salam pada tiap dua rakaat. Kata Imam Nawawi dalam kitab Rawdhah” jika seseorang bersembahyang Tarawih 4 rakaat dengan satu salam niscaya tidak sah, karena menyalahi yang disyariatkan. (K.H Muhammad Syafii Hadzami,Risalah Shalat Tarawih, h. 6. )

*****Syaikh Abuya K.H Abdurrahman Nawi pendiri Pondok Pesantren al-Awwabin Depok menegaskan:
Shalat Tarawih hukumnya Sunah muakkadah. Bilangan rakaatnya yaitu:
1) Bagi kita 20 rakaat (ijma’ para sahabat).
2) Bagi Ahli Madinah 36 rakaat.
Waktunya Ba’da Shalat Isya hingga fajar shodiq.
Perhatian!!!
1) Dilakukan dengan 10 salam.
2) Tidak sah dilakukan 4 rakaat satu salam.
3) Sunah dijamaahkan. (K.H Abdurrahman Nawi Tebet, Kitab 7 Kaifiyyat Shalat sunah, h. 11)

***** Syaikh Abuya K.H Saifuddin Amsir pendiri pondok pesantren al-Asyirah al-Qur'aniyyah Jakarta memberikan komentar:
Banyak orang mengerjakan shalat Tarawih dengan cara 4 rakaat sekali salam, 4 rakaat sekali salam, dengan dalil hadis Siti Aisyah sebagai berikut:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي.
Artinya: Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam (sepanjang tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat. Kemudian aku bertanya ”Ya Rasulullah apakah kamu tidur sebelum shalat Witir”? Kemudian beliau menjawab: ”Aisyah, meskipun kedua mataku tidur, hatiku tidaklah tidur”.
            Hadis yang dijadikan dalil, bukan hadis tentang shalat Tarawih, hadis tersebut adalah hadis pada pekerjaan shalat malam Rasulullah pada umumnya, yakni shalat Witir. Karenanya para Fuqaha (ahli Fiqh) tidak menyetujui untuk menjadikan hadis tersebut sebagai dalil shalat Tarawih. Dengan alasan shalat Tarawih merupakan ibadah khusus yang hanya dilakukan pada bulan Ramadhan, dan jumlah bilangan shalat Tarawih 20 rakaat ditambah shalat Witir 3 rakaat, telah disosialisasikan oleh para sahabat, dalam hal ini adalah Sayidina Umar Ibn Khatthab yang disepakati dan disetujui oleh para sahabat lainnya. Lantaran pada umumnya para Imam tidak mempunyai kemampuan untuk mengingkari apa yang menjadi perintah Rasulullah:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ فَتَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ 
Artinya; Hendaklah kalian ikuti sunahku dan sunah para Khalifah yang mendapat petunjuk setelahku, peganglah dengan kuat dan gigitlah olehmu dengan geraham ”.[1]
Pelanggaran terhadap yang disepakati para sahabat merupakan pelanggaran terhadap agama.Sehingga dalam Mazhab Syafii, kalau shalat Tarawih dikerjakan bukan dengan cara 2 rakaat, 2 rakaat, shalat Tarawih tersebut dipandang batal/tidak sah.
Oleh sebab itu, shalat Qiyam Ramadhan yang lebih populer di kota Makkah, Madinah dan berbagai negara Islam juga tidak berani beranjak dari situ, paling-paling sedikit penambahan dari jumlah rakaat yang dilaksanakan di zaman Sayidina Umar Ibn Khatthab itu 23 rakaat, tetapi orang yang ingin memperbanyak ibadah tidak ada salahnya menambah rakaat. Jadi pada zaman dahulu inisiatif penduduk kota Madinah untuk menambahkan jumlah rakaat, merupakan pengganti tradisi penduduk kota Makkah yang biasanya setelah tiap 4 rakaat (2 salam) mereka melakukan tawaf, karena memang ada Ka’bah di situ. Sedangkan di Madinah tidak terdapat tempat untuk bertawaf, sehingga menjadi kuat dalil bahwa sahabat- sahabat Nabi di Makkah itu bertawaf pada bilangan-bilangan tertentu, yakni setelah 4 rakaat mereka bertawaf.
Hal ini diperkuat dalilnya dengan amaliyah penduduk kota Madinah, khususnya pada pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz yang menambahkan jumlah rakaat shalat Tarawih menjadi 36 rakaat di luar shalat Witir. Hal ini bukan dalil yang mengatakan khilaf-khilafnya, tetapi justru memperkuat bahwa itulah yang terjadi di zaman para sahabat, karena Rasulullah tidak membatasi jumlah rakaat shalat Tarawih, para sahabat yang lebih mengatur itu dan memiliki concern (perhatian) terhadap hal tersebut.
 Untuk mencegah terjadinya kekacauan yang berkepanjangan di dunia Islam, Sayidina Umar Ibn Khatthab memikirkan jumlah-jumlah rakaat shalat sunah yang dilakukan Rasulullah, jadi hal tersebut sudah dipikirkan oleh Sayidina Umar Ibn Khatthab secara Taftisy (matang dan teliti) dengan ketepatan jumlah rakaat yang dilakukan Rasulullah, ketika dihitung hadis-hadis yang membicarakan tentang jumlah rakaat shalat sunah Rasulullah, ketika digabung-gabung, tepat 20 rakaat, dari keterangan hadis yang zhahir-zhahir.
Apa yang dilakukan oleh Sayidina Umar Ibn Khatthab tidak beranjak dari apa yang dikerjakan Rasulullah. Hal ini menjadi sunah sahabat. Sunah sahabat tidak boleh dianggap remeh, ulama berpendapat seperti itu. Kalau sunah sahabat mulai dikorbankan untuk perasaan, maka lambat laun apa saja bisa dikorbankan. Ini yang menyebabkan shalat Tarawih yang dilakukan sebanyak 20 rakaat dilakukan dengan 2 rakaat, 2 rakaat, 2 rakaat dan seterusnya ditutup dengan shalat Witir 3 rakaat dapat berusia panjang dan sampai saat ini masih dilaksanakan.
Dalam kitab (التراويح أكثر من ألف عام في مسجد النبي عليه الصلاة والسلام ) karya Syaikh Athiyyah Muhammad Salim, seorang Qadhi Mahkamah Syariah, ahli hadis dan pakar fiqh di Madinah; Saudi Arabia, juga merupakan salah seorang murid utama seorang raksasa ilmu di zamannya yaitu Syaikh Muhammad al-Amin Ibn Muhammad Mukhtar al-Syinqithiy (w. 1393 H). Syaikh Athiyyah Muhammad Salim, memiliki perhatian khusus tentang dalil shalat Tarawih. Hal ini harus diperhatikan, sebab sekarang orang tidak lagi mau mentahqiq (mengkaji ulang) soal dalil, orang sudah begitu sibuk dengan berbagai kesibukan. Jadi, di luar kota Makkah ada juga yang mengerjakan shalat Tarawih 11 rakaat, dengan alasan, itulah hadis yang zhahir dari Rasulullah. Hanya saja, hal ini akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana mengikuti para sahabat Rasulullah yang sebenarnya.
Karena jika shalat Tarawih 11 rakaat yang paling benar, tentunya 3 abad setelah Rasulullah, shalat Tarawih 11 rakaat dengan berjamaah itu sudah menjadi populer. Padahal kenyataannya shalat 11 rakaat populer baru belakangan ini. Shalat Tarawih 20 rakaat yang lebih populer, setelah Sayidina Umar Ibn Khattab wafat, Sayidina Usman melanjutkan shalat Tarawih 20 rakaat, demikian pula dengan Sayidina Ali, mengerjakan shalat Tarawih seperti yang disepakati oleh para sahabat dan tidak ada riwayat yang zhahir yang menyatakan bahwa Sayidina Ali menentang shalat Tarawih 20 rakaat. Ini yang menyebabkan shalat Tarawih 20 rakaat tetap bertahan. Dalam sekian banyak riwayat, kita temukan riwayat yang menjelaskan tambahan rakaat shalat Tarawih dari 20 rakaat, tetapi kita tidak menemukan riwayat shalat Tarawih yang kurang dari 20 rakaat. Kalaupun ada akan mengkhilafkan mayoritas umat Islam yang begitu banyaknya.
Menurut Mazhab Syafii shalat Tarawih yang dikerjakan dengan cara 4 rakaat sekali salam hukumnya dikatakan tidak sah dengan beberapa alasan. Tetapi yang jelas alasan-alasan tersebut merupakan ittiba’ (mengikuti) kepada Rasulullah dan para sahabat yang tidak boleh diganggu oleh kreasi baru, jika ada kreasi baru, maka kreasi tersebut tidak akan jelas namanya. Karena istilah Tarawih telah jelas kita pahami, seperti yang kita ketahui saat ini, Tarawih adalah shalat sunah yang hanya ada pada bulan Ramadhan dikerjakan dengan 20 rakaat terdiri dari 10 salam, dikerjakan dengan salam pada tiap 2 rakaatnya dan tiap 4 rakaat disebut 1 tarwihah (istirahat).
Penduduk Makkah mengerjakan tawaf pada tiap selesai satu tarwihah. Pelaksanaannya di awal malam disertai adanya pendapat mengerjakan shalat Tarawih di akhir malam itu lebih utama.  Jadi, penamaan akan membentuk satu istilah, kalau sudah ada istilah, maka definisinya akan menjadi jelas, karenanya orang yang mengerjakan shalat 4 rakaat dengan sekali salam dengan niat shalat Tarawih, maka hukum shalat Tarawihnya tidak sah. Jika shalat tersebut tidak dinamakan shalat Tarawih, maka sah-sah saja dilakukan.
Apa yang dilafazkan dan dikerjakan oleh Rasulullah seharusnya dijadikan pilihan terbaik. Hadis ( صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ) bukan hadis yang tidak kuat. Sedangkan shalat dengan 4,4,3 cuma merupakan salah satu riwayat dari sekian banyak riwayat shalat malam Rasulullah, yang pernah dilihat oleh Siti Aisyah dan hal tersebut dipertimbangkan oleh para ulama, lantaran Siti Aisyah merupakan istri Rasulullah. Jadi, sesuatu yang Rasulullah sebutkan merupakan anjurannya dan keduanya boleh berjalan. Tetapi mayoritas ulama menganggap shalat malam yang dikerjakan dengan cara 2 rakaat-2 rakaat adalah yang lebih baik kita ambil. Karena merupakan anjuran Rasulullah yang didasarkan kepada perkataan dan perbuatan Rasulullah. Sedangkan hadis 4,4,3 hanya berdasarkan perbuatan yang diceritakan oleh Siti Aisyah dalam salah satu riwayatnya.
Untuk memahami kandungan hadis-hadis Rasulullah dengan baik dan benar seseorang bukan hanya dituntut banyak membaca hadis tetapi juga ia harus mendalami fiqhul hadis (pemahaman hadis).
Dalam risalah ini menjelaskan pemaparan tentang perkara-perkara terpenting dalam shalat Tarawih secara sederhana. Dengan demikian risalah ini menjadi tulisan yang dapat dihayati dan sangat layak dibaca oleh siapa saja yang ingin memahami secara benar dan mau menyelamatkan perkara ibadahnya.
Semoga Allah melimpahkan pahala yang besar kepada penyusun risalah ini atas usahanya, mudah-mudahan Allah memperbanyak orang-orang yang mau mengikuti langkah-langkah mulia ini dalam berpegang teguh kepada kebenaran. Amin.

 *** Syaikh Maulana Kamal Yusuf guru besar ulama Jakarta menambahkan:
Tuduhan Bid’ah, kufur, musyrik, dan sesat sangat sering dilontarkan oleh sekelompok orang dengan mengatasnamakan Sunnah. Kelompok ini giat menyebarkan buku-buku, selebaran-selebaran, dan kitab-kitab yang berisi tuduhan keji terhadap pelbagai persoalan keagamaan masyarakat seperti: Nisfu Sya’ban, Tahlilan, Haul, merayakan Maulid, Tawassulan, ziarah para wali dan lain-lain. Padahal kalau diteliti secara mendalam, amal ibadah maupun muamalah yang berkembang dan berurat akar dalam tradisi masyarakat itu memiliki landasan kokoh dari al-Qur’an, Hadis dan pendapat para ulama yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Mereka tidak memahami al-Qur’an dan hadis secara syamil (menyeluruh). Pandangan mereka sempit, sehingga mereka gampang mengatakan Musyrik, Kafir, memvonis Bid’ah sesat terhadap praktek/amaliah orang lain yang memiliki dasar dan argumentasi kuat yang juga telah menjadi tradisiAhlussunnah Wal-Jamaah. Rasulullah mengatakan dalam sabdanya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا (رواه البخاري) .  
Artinya: ”Sesungguhnya Rasulullah bersabda: Apabila seseorang memanggil saudaranya yang muslim dengan kalimat “Wahai Kafir maka akan kembali kalimat itu kepada salah satu dari keduanya”.
Pernyataan mereka dalam buku-buku atau kitab-kitab yang banyak beredar sangat berbahaya khususnya bila dibaca oleh orang-orang awam. Karena faktor ketidaktahuan, mereka yang awam menerima langsung atau menelan mentah-mentah isi buku/kitab tersebut tanpa mencoba untuk menelaah lebih lanjut isu-isu negatif yang telah disebarkan di dalamnya. Keadaan orang-orang awam ketika itu bagaikan orang yang makan ikan tanpa menyiangi (membersihkan sisik, kotoran dan duri ikan) terlebih dahulu yang menyebabkan dirinya bukan hanya ketulangan tapi lebih dari itu, ia akan tersendat, orang Betawi bilang dengan istilah “kesungkakan.”
Di antara tuduhan keji yang mereka katakan bahwa: ”Shalat Tarawih yang dikerjakan para sahabat dengan 20 rakaat dalilnya lemah dan termasuk Bid’ah sesat.” Menurut mereka jumlah rakaat shalat Tarawih itu hanya 11 rakaat, shalat Tarawih yang lebih dari 11 rakaat adalah Bid’ah sesat. Mereka berani menganggap shalat Tarawih 20 rakaat sebagai hadis lemah dan Bid’ah sesat beralasan dengan hadis Siti Aisyah yang menurut mereka telah memberikan sinyal bahwa shalat Tarawih hanya 11 rakaat.”
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي.
Artinya: Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam (sepanjang tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat. Kemudian aku bertanya ”Ya Rasulullah apakah kamu tidur sebelum shalat Witir”? Kemudian beliau menjawab: ”Aisyah, meskipun kedua mataku tidur, hatiku tidaklah tidur”.
”Perlu diketahui bahwa hadis Siti Aisyah di atas merupakan hadis yang menyatakan dalil shalat Witir, bukan dalil shalat Tarawih. Apabila hadis Aisyah di atas sebagai dalil shalat Tarawih, Maka kita pantas mempertanyakan adakah shalat Tarawih selain di bulan Ramadhan? dan mengapa Sayidina Umar Ibn Khatthab dan para sahabat mengerjakan shalat Tarawih dengan 20 rakaat?
Dari perkataan Siti Aisyah : (فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ ) ”(Pada bulan Ramadhan dan di selain Ramadhan), jelas sekali kita dapat memahami bahwa shalat yang Siti Aisyah lihat adalah shalat malam Rasulullah yang beliau kerjakan sepanjang tahun baik pada bulan Ramadhan dan di bulan lainnya. Oleh karenanya, sangat tepat 11 rakaat dalam hadis tersebut adalah dalil shalat Witir, bukan sebagai dalil shalat Tarawih. Karena shalat Witir ada di bulan Ramadhan dan di bulan lainnya. Sedangkan shalat Tarawih hanya khusus pada bulan Ramadhan dikerjakan dengan 2-2 (tiap 2 rakaat salam). Berbeda dengan pelaksanaan shalat Witir yang boleh dikerjakan lebih dari 2 rakaat pada setiap salamnya.
Namun demikian, menurut para ulama maksud dari 4 rakaat dalam hadis Siti A’isyah di atas, masih memiliki ihtimal (kemungkinan) bahwa Rasulullah melakukannya 4 rakaat dengan 1 salam, bisa juga dipahami 4 rakaat beliau kerjakan dengan 2 salam yakni 2 rakaat- 2 rakaat. Tetapi bila 4 rakaat dilakukan dengan cara 2 rakat- 2 rakaat, pendapat inilah yang lebih selamat dan bisa dipertanggungjawabkan. Sebagaimana ada keterangan hadis shahih yang mengatakan shalat malam itu dilakukan dengan cara 2 rakaat- 2 rakaat.
Ada kaidah mengatakan:” [1]( اِذَا ظَهَرَ اْلاِحْتِمَالُ سَقَطَ اْلاِسْتِدْلاَلُ ) artinya: “Apabila terjadi kemungkinan-kemungkinan maka hal itu menyebabkan gugurnya Istidlal (menjadikan dalil)”. Maksudnya adalah Pendapat yang memahami 4 rakaat dikerjakan dengan sekali salam itu tidak bisa dijadikan dalil, karena pendapat itu hanya sebuah kemungkinan. Sesuatu yang mengandung kemungkinan dinyatakan gugur manakala ada dalil yang lebih jelas. Hadis Nabi yang menyatakan shalat malam dilakukan dengan 2 rakaat- 2 rakaat sangat cocok untuk mengkompromikan dan memahami hadis Siti A’isyah tersebut”.
Saya berharap agar kaum muslimin dapat membaca risalah ini secara tuntas. Di samping itu juga harus banyak mengkaji serta bertanya kepada para ulama yang memiliki ilmu yang syamil (menyeluruh). Sehingga tidak gampang terkecoh dan terprovokasi (terhasut) oleh tulisan-tulisan atau pendapat sekelompok orang yang menyalahkan praktek/amaliah yang selama ini dilakukan oleh masyarakat berdasarkan tuntunan ulama. Shalat Tarawih 20 rakaat dengan 10 salam memiliki dalil yang kuat dan jelas. Jangan terkecoh dengan pendapat orang yang mengatakan shalat Tarawih hanya 8 rakaat dikerjakan dengan 4 rakaat-4 rakaat sekali salam dengan berdalil hadis riwayat Siti Aisyah.
Menurut para ulama, hadis tersebut berbicara tentang dalil shalat Witir Rasulullah, bukan dalil shalat Tarawih. 11 rakaat adalah jumlah maksimal shalat Witir. Sedangkan minimal shalat Witir adalah satu rakaat. Betapa batilnya tuduhan-tuduhan orang yang tidak menyetujui shalat Tarawih 20 rakaat dengan menggunakan dalil, satu hadis Siti Aisyah yang menerangkan satu paket shalat Witir, mereka pecah menjadi dua dalil sekaligus, 8 rakaat untuk shalat Tarawih dan 3 rakaat untuk shalat Witir. Semoga kelompok yang tidak suka dengan shalat Tarawih 20 rakaat dapat merenungkan hal ini.
Saya sangat menyambut baik dan gembira atas terbitnya risalah ini yang disusun oleh orang yang memiliki ilmu dan menimba ilmu dengan bertemu langsung kepada para Masyaikh (guru) serta mempunyai kerajinan yang luar biasa dalam mengumpulkan literatur pembahasan yang ia tekuni. Kajian di dalamnya sangat dibutuhkan umat yang selalu ingin berjalan di jalan yang benar dalam memahami shalat Tarawih. Semoga penulis diberikan balasan yang berlanjut atas jerih payahnya mengukir karya berharga ini, dan mudah-mudahan banyak manfaat fiddunya Wal akhirah. Amin.