Sabtu, 17 Agustus 2013

Sejarah KH. Kholil Bangkalan


SEPULANG DARI MAKKAH

Saya membaca catatan Syekh Kholil dalam kitab “Hasyiyah Al-Bajuri” tulisan tangan beliau yang ada pada Kiai Thoha Kholili Jangkibuan, di situ tertulis pernyataan berbahasa Arab yang artinya: “Aku membaca (mengaji) kitab ini pada tahun 1274 H pada …”. Nama guru ngaji beliau tidak jelas karena tulisannya rusak seperti terkena basah.
Kemudian, dalam catatan Kiai Kholili Jangkibuan, tertulis bahwa Syekh Kholil menikah dengan Nyai Assek binti Ludrapati pada tahun 1278. Maka kita bisa memastikan bahwa kepulangan Syekh kholil dari Makkah adalah antara tahun 1274 dan 1278 (+ 1857-1861).
Sepulang dari Makkah, Syekh Kholil tidak langsung mengajar, beliau baru mulai berpikir bagaimana caranya agar dapat mengajarkan ilmunya pada masyarakat. Beliau masih tinggal bersama kakak beliau, Nyai Maryam, di Keramat. Sambil mencaripeluang untuk mengamalkan ilmunya, Syekh Kholil mengisi waktu dengan bekerja di kantor pejabat Adipati Bangkalan. Selain untuk mencari nafkah, sepertinya beliau juga bermaksud untuk mencari banyak teman dan kenalan, karena hanya dengan begitulah beliau dapat bergaul.
Di kantor pejabat Adipati Bangkalan itu, Syekh Kholil diterima sebagai penjaga dan kebagian jaga malam. Maka setiap bertugas malam, Syekh Kholil selalu membawa kitab, beliau rajin membaca di sela-sela tugas beliau. Akhirnya beliaupun oleh para pegawai Adipati dikenal ahli membaca kitab, sehingga berita itupun sampai pada Kanjeng Adipati. Kebetulan, leluhur Adipati sebenarnya adalahorang-orang alim, mereka memang keturunan Syarifah Ambami Ratu Ibu yang bersambung nasab pada Sunan Giri. Maka tidak aneh kalau di rumah Adipati banyak terdapat kitab-kitab berbahasa Arab warisan leluhur, walaupun Adipati sendiri tidak dapat mebaca kitab berbahasa Arab. Adipatipun mengizinkan Syekh Kholil untuk membaca kitab-kitab itu di perpustakaan beliau. Syekh Kholil merasa girang bukan main, karena pada zaman itu tidak mudah untuk mendapatkan kitab, apalagi sebanyak itu.
Setelah yakin bahwa Syekh Kholil betul-betul ahli dalam ilmu keislaman dan bahasa Arab, maka Kanjeng Adipati mengganti tugas Syekh Kholil, dari tugas menjaga kantor berubah tugas mengajar keluarga Adipati. Pucuk dicinta ulampun tiba, demikianlah yang dirasa oleh Syekh Kholil, beliaupun memanfaatkan kesempatan itu untuk mengembangkan ilmunya dengan mengajar keluarga bangsawan. Beliaupun telah memiliki profesi baru sebagai pengajar ilmu agama.
Sejak saat itu, Syekh Kholil memiliki tempat yang terhormat di hati Kanjeng Adipati dan keluarga bangsawan lainnya. Mereka mulai menghormati dan mencintai beliau sebagai ulama. Maka tertariklah seorang kerabat Adipati untuk bermenantukan Syekh Kholil, yaitu Raden Ludrapati yang memiliki anak gadis bernama Nyai Assek. Setelah proses pendekatan, maka diputuskanlah sebuah kesepakatan untuk menikahkan Syekh Kholil dengan Nyai Assek. Pernikahanpun berlangsung pada tanggal 30 Rajab 1278 H (+1861 M).
Setelah menikah dengan Nyai Assek, Syekh Kholil mendapatkan hadiah dari sang mertua, Ludrapati, berupa sebidang tanah di desa Jangkibuan. Beliaupun membangun rumah dan pesantren di tanah itu. Beliau mulai menerima santri sambil masih mengajar di keraton Adipati. Tidak ada riwayat tentang sampai kapan Syekh Kholil mengajar di keraton Adipati, namun yang pasti, Pesantren Jangkibuan semakin hari semakin ramai, banyak santri berdatangan dari berbagai penjuru, baik dari sekitar Bangkalan maupun daerah lain di Madura dan Jawa.
Syekh Kholil mengukir prestasi dengan cepat, nama beliau cepat dikenal oleh masyarakat, khususnya masyarakat pesantren, baik di Madura maupun di Jawa. Cepatnya nama beliau terkenal membuat banyak teman mondok beliau tidak percaya. Diantara mereka ada seseorang yang pernah berteman dengan beliau sewaktu mondok di Cangaan, orang ini tidak percaya bahwa Kholil yang ia kenal telah menjadi ulama besar.
Ketika ia mendengar bahwa Syekh Kholil itu adalah Kholil temannya di Cangaan, maka iapun berkata: “Masa, sih, dia Kholil yang dulu suka main kelereng dengan saya itu?!”. Karena penasaran, orang itupun datang ke Bangkalan. Setibanya di bangkalan, orang itu bertanya pada seseorang, “mana rumah Syekh Kholil?”. Orang yang ditanya menunjukkan arah rumah Syekh Kholil, namun ternyata orang Jawa itu justru melihat banyak binatang buas di tempat yang ditunjuk itu. Iapun kembali menemui orang yang ditanya tadi, tapitetap saja ia menunjuk tempat yang sama. Demikian sampai tiga kali.
“Tapi tempat itu bukan rumah, kok, pak. Di situ saya lihat banyak binatang buasnya.”
“Ah, masa? Baiklah, mari saya antar.”
Setelah ketiga kalinya, orang Jawa itupun diantar dan begitu tiba di tempat ternyata ia melihat sebuah rumah yang dikerumuni binatang buas, bersamaan dengan itu keluarlah Syekh Kholil dan binatang-binatang itupun langsung pergi. Melihat yang keluar adalah benar-benar Kholil yang ia kenal, maka orang Jawa itupun langsung mencium tangan Syekh Kholil dan meminta maaf. Sejak saat itu, orang Jawa yang dulunya berteman dengan Syekh Kholil di Cangaan itupun kemudian berguru pada Syekh Kholil. [*]




PESANTREN DEMANGAN

Pada tahun 1280 (+1863), lahirlah putri Syekh Kholil yang bernama Nyai Khotimah. Sementara itu Nyai Maryam (kakak Syekh Kholil) dengan Kiai Kaffal memiliki putra bernama Kiai Muntaha yang lahir pada tahun 1266 H. Saat Nyai Khotimah lahir, Kiai Muntaha berusia 14 tahun. Muntaha muda diberangkatkan ke Makkah untuk menuntut ilmu. Pada tahun 1288, Kiai Muntaha yang telah berubahnama menjadi Muhammad Thoha pulang ke Madura, saat itu beliau berusia 22 tahun. Maka Syekh Kholil menikahkan Kiai Thoha dengan Nyai Khotimah yang masih berusia 8 tahun. Namun Kiai Thoha dan Nyai Khotimah tidak langsung dipertemukan, melainkan Kiai Thoha berangkat lagi ke Makkah untuk melanjutkan pendidikan hingga tujuh tahun lamanya. Ada yang mengatakan hingga sembilan tahun.
Setelah Kiai Thoha pulang, beliau telah menjadi seorang ulama muda yang mumpuni dalam berbagai bidang ilmu keislaman. Maka Syekh Kholilpun menyerahkan Pesantren Jangkibuan pada Kiai Thoha, sementara Syekh Kholil sendiri pindah dan mendirikan pesantren di Demangan.
Dalam buku “Surat Kepada Anjing Hitam”, Saifur Rahcman menulis: “Dari Pesantren Demangan inilah Kiai Kholil bertolak menyebarkan agama Islam di Madura hingga Jawa. Kiai Kholil mula-mula membina agama Islam di sekitar Bangkalan. Baru setelah dirasa cukup baik, mulailah merambah ke pelosok-pelosok jauh, hingga menjangkau ke seluruh Madura secara merata.
Pulau Jawa yang merupakan pulau terdekat dengan pulau Madura menjadi sasaran da’wah Kiai Kholil. Jawa yang telah dirintis oleh pendahulunya yaitu Sunan Giri, dilanjutkan oleh Kiai Kholil dengan metode da’wah yang sistematis. Tidak jarang Kiai Kholil dalam da’wahnya terjun langsung ke masyarakat lapisan terbawah di pedesaan Jawa. Saat ini masih nyata bekas peninggalan da’wah Kiai Kholil baik berupa naskah-naskah, kitab Al-Qur’an, maupun monument atau tugu yang pernah dibangunnya. Sebuah tugu penunjuk arah kiblat dan tanda masuknya sholat lima waktu masih dapat dilihat sampai sekarang di Desa Pelalangan, Bondowoso. Demikian juga beberapa kenangan berupa hadiah tasbih kepada salah satu masyarakat di daerah Bondowoso.
Masih banyak bekas jejak da’wah yang dapat kita temui sekarang, seperti musholla, sumur, sorban, tongkat Kiai Kholil.[1] [*]




MURID-MURID SYEKH KHOLIL


Berikut saya nukil tulisan Saifur Rachman dalam buku “Surat Kepada Anjing Hitam”:
“Hampir ulama besar di Madura dan Jawa adalah murid Kiai Kholil. Selain itu, murid Kiai Kholil rata-rata berumur panjang, banyak diatas 100 tahun. Berikut ini sebagian murid Kiai Kholil yang mudah dikenal saat ini :
1.     KH. Hasyim Asy’ari : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang. Beliau juga dikenal sebagai pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) Bahkan beliau tercatat sebagai Pahlawan Nasional.
2.      KHR. As’ad Syamsul Arifin : Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo Asembagus, Situbondo. Pesantren ini sekarang memiliki belasan ribu orang santri.
3.      KH. Wahab Hasbullah: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang. Pernah menjabat sebagai Rais Aam NU (1947 – 1971).
4.      KH. Bisri Syamsuri: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang.
5.     KH. Maksum : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Jawa Tengah
6.     KH. Bisri Mustofa : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Beliau juga dikenal sebagai mufassir Al Quran. Kitab tafsirnya dapat dibaca sampai sekarang, berjudul “Al-Ibriz” sebanyak 3 jilid tebal berhuruf jawa pegon.
7.      KH. Muhammad Siddiq : Pendiri, Pengasuh Pesantren Siddiqiyah, Jember.
8.      KH. Muhammad Hasan Genggong : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong. Pesantren ini memiliki ribuan santri dari seluruh penjuru Indonesia.
9.      KH. Zaini Mun’im : Pendiri, Pengasuh Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Pesantren ini juga tergolong besar, memiliki ribuan santri dan sebuah Universitas yang cukup megah.
10.   KH. Abdullah Mubarok : Pendiri, Pengasuh Pondok , kini dikenal juga menampung pengobatan para morphinis.
11.   KH. Asy’ari : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Darut Tholabah, Wonosari Bondowoso.
12.   KH. Abi Sujak : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren  Astatinggi, Kebun Agung, Sumenep.
13.   KH. Ali Wafa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Temporejo, Jember. Pesantren ini mempunyai ciri khas yang tersendiri, yaitu keahliannya tentang ilmu nahwu dan sharaf.
14.  KH. Toha : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Bata-bata, Pamekasan.
15.   KH. Mustofa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan
16.   KH Usmuni : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Pandean Sumenep.
17.   KH. Karimullah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso.
18.   KH. Manaf Abdul Karim : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.
19.   KH. Munawwir : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.
20.   KH. Khozin : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Buduran, Sidoarjo.
21.   KH. Nawawi : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Pesantren ini sangat berwibawa. Selain karena prinsip salaf tetap dipegang teguh, juga sangat hati-hati dalam menerima sumbangan. Sering kali menolak sumbangan kalau patut diduga terdapat subhat.
22.   KH. Abdul Hadi : Lamongan.
23.   KH. Zainudin : Nganjuk
24.   KH. Maksum : Lasem
25.   KH. Abdul Fatah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Al Fattah, Tulungagung
26.   KH. Zainul Abidin : Kraksan Probolinggo.
27.  KH. Munajad : Kertosono
28.   KH. Romli Tamim : Rejoso jombang
29.   KH. Muhammad Anwar : Pacul Bawang, Jombang
30.   KH. Abdul Madjid : Bata-bata, Pamekasan, Madura
31.   KH. Abdul Hamid bin Itsbat, banyuwangi
32.   KH. Muhammad Thohir jamaluddin : Sumber Gayam, Madura.
33.   KH. Zainur Rasyid : Kironggo, Bondowoso
34.   KH. Hasan Mustofa : Garut Jawa Barat
35.   KH. Raden Fakih Maskumambang : Gresik
36.   KH. Sayyid Ali Bafaqih : Pendiri, pengasuh Pesantren Loloan Barat, Negara, Bali.”[2] [*]






SYEKH KHOLIL DAN NU


Berikut saya nukil tulisan Saifur Rachman dalam buku “Surat Kepada Anjing Hitam”:
“Murid Kiai Kholil, Kiai Hasyim Asy’ari, sebagai sesepuh Pulau Jawa waktu itu, sedang memusatkan perhatiannya terhadap rencana berdirinya Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Kiai Hasyim Asy’ari tampak resah, beberapa kali memohon petunjuk Allah SWT dengan melaksanakan sholat IstikharahSungguhpun sudah melakukan sholat istikharah berkali-kali, namun petunjuk tak kunjung datang. Rupanya petunjuk Allah terhadap rencana berdirinya jam’iyah Nahdlatul Ulama tidak diberikan langsung kepada Kiai Hasyim Asy’ari, tetapi melalui Kiai Kholil.
Pada tahun 1924, ketika petunjuk Allah datang, Syekh Kholil segera memanggil muridnya, As’ad Syamsul Arifin, santri senior berumur 27 tahun untuk menghadap.
“As’ad,” kata Syekh Kholil, “Ya, Kiai, “ jawab As’ad santri.
“As’ad, tongkat ini antarkan ke Tebu Ireng dan sampaikan langsung kepada Kiai Hasyim Asy-’ari,“ pesan Syekh Kholil sambil menyerahkan sebuah tongkat. “Tetapi ada syaratnya. Kamu harus hafal Al-Quran ayat 17-23 surat Thoha,” pesan Syekh Kholil lebih lanjut, “Bacakanlah kepada Kiai Hasyim ayat-ayat itu,” pesan Syekh Kholil menutup pembicaraan.
Begitu menerima perintah, As’ad santri segera berangkat ke Tebu Ireng, kediaman KH. Hasyim Asy’ari. Setelah As’ad santri menempuh perjalanan cukup panjang dengan berjalan kaki yang tentu saja banyak mengalami suka dan duka, akhirnya tibalah di Tebu Ireng. Mendengar kedatangan utusan Syekh Kholil, Kiai Hasyim Asy’ari menduga pasti ada sesuatu yang sangat penting. Ternyata benar.
“Kiai, saya diutus Kiai Kholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kiai.” Kata As’ad santri sambil menyerahkan sebuah tongkat. Tongkat itu diterima dengan penuh perasaan haru. Kiai Hasyim lalu bertanya kepada As’ad santri, “Apa tidak ada pesan dari Kiai Kholil?” As’ad santri lalu membaca :

وَمَا تِلْكَ بِيَمِيْنِكَ يـمُوْسى (17) قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلى غَنَمِيْ وَلِيَ فِيْهَا مَآرِبُ أُخْرى (18) قَالَ أَلْقِهَا يـمُوْسى (19) فَأَلْقـهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعى (20) قَالَ خُذْهَا وَلاتَخَفْ سَنُعِيْدُهَا سِيْرَتَهَا الأُوْلى (21) وَاضْمُمُ يَدَكَ إِلى جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوْءٍ آيَةً أُخْرى (22) لِنُرِيَكَ مِنْ آيـتِنَا الكُبْرى (23)

Artinya:
“Apakah itu yang ditanganmu, hai Musa?” Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambing dan bagiku ada lagi keperluan lain padanya.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba menjadi sekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan kau takut, kami akan mengembalikannya pada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu diketiakmu niscaya keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain, untuk Kami perlihatkan kepadau sebagian dari tanda-tanda kekuasan Kami yang sangat besar”.

Mendengar ayat-ayat yang dibacakan As’ad santri, hati Kiai Hasyim bergetar. Matanya menerawang. Terbayang wajah Syekh Kholil yang sangat tua dan bijaksana. “Oh ya, berarti ini berkaitan dengan rencana mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama itu,” kata Kiai Hasyim Asy’ari terharu. Kiai Hasyim menangkap isyarat berarti gurunya tidak berkeberatan kalau mendirikan sebuah organisasi jam’iyah. Sejak saat itulah keinginan Kiai Hasyim untuk mendirikan sebuah organisasi jami’yyah sudah mantap. Lalu dimusyawarahkan dan dirumuskannya segala sesuatu yang berkenaan dengan organisasi itu. Sungguhpun demikian, hari demi hari, bulan demi bulan, organisasi jam’iyyah yang dicita-citakan belum berdiri. Sampai suatu saat datang utusan Syekh Kholil ke Tebui Ireng. Memang, dalam pertengahan tahun 1925, Syekh Kholil memanggil As’ad santri kembali menghadap. Seperti satu setengah tahun yang lalu, As’ad santri dipanggil untuk maksud yang sama, yaitu diutus ke Tebu Ireng. Bedanya, kalau dahulu diutus untuk menyerahkan tongkat, maka kali ini untuk menyerahkan tasbih. Seperti halnya tongkat, tasbih inipun disertai pesan Syekh Kholil padaAs’ad santri berupa bacaan salah satu Asma’ul Husna, yaitu Ya Jabbar Ya Qohhar sebanyak tiga kali. Berangkatlah As’ad santri ke Tebu Ireng sebagai utusan Syekh Kholil Bangkalan. Setelah As’ad santri menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan berjalan kaki. Tentu saja suka dukapun dialami Kiai As’ad dalam tugas ini, seperti yang dituturkan oleh beliau sendiri bahwa dalam perjalanan itu sampai ada yang mengatakan dirinya sebagai orang gila karena berkalungkan tasbih sambil berjalan kaki. Tetapi ada juga yangmengatakan sebagai seorang wali Allah.
Akhirnya, As’ad santri tiba di Tebu Ireng. Kiai As’ad berkata: ”Sesampainya di Tebu Ireng, saya bertemu dengan Kiai Hasyim dan menyerahkan tasbih sambil membungkuk. Kiai hasyim sendiri yang mengambil tasbih itu dari leher saya.” Tasbih yang diserahkan kepada Kiai Hasyim tidak berubah dari posisi semula sejak dikalungkan oleh Syekh Kholil di Bangkalan. “Saya tidak berani mengubahnya, meskipun di jalan banyak orang yang menertawakan dan mungkin saya dianggap gila.” Kata Kiai As’ad mengenang perjalanan yang katanya tidak bisa melupakan kejadian itu. Setahun setelah kejadian itu, di Surabaya berkumpul para ulama se-Jawa-madura. Mereka bermusyawarah dan sepakat mendirikan organisasi Islam Jami’yyah Nahdlatul Ulama di Indonesia. Pada hari itu juga, tangal 31 Desember 1926, jam’iyyah Nahdlatul Ulama resmi berdiri. Kemudian para ulama sepakat memilih KH. Hasyim Asy’ari menjabat sebagai ketua umumnya. Latar belakang sejarah kelahiran NU yang tidak mudah. Untuk mendirikannya memohon izin terlebih dahulu kepada Allah SWT. Permohonan petunjuk yang diprakarsai oleh Kiai Hasyim Asy’ari rupanya tidak datang langsung kepada beliau. Tetapi petunjuk datang melalui Syekh Kholil. Jadi, jelas posisi Syekh Kholil didalam kesejarahan proses berdirinya jam’iyyah Nahdlatul Ulama adalah sebagai inspirator.”[3]
Kemudian, Kiai Kholili bin Abdul Lathif meriwayatkan, sebagaimana yang yang dituturkan oleh Kiai Thoha Kholili Jangkibuan, bahwa pada tahun 1925, beberapa waktu sebelum Syekh Kholil wafat, Kiai Hasyim Asy’ari bersama beberapa Kiai Jawa datang ke Bangkalan untuk memohon restu Syekh Kholil didalam meresmikan NU. Namun saat itu kesehatan Syekh Kholil sudah sangat lemah, sehingga beberapa saat sebelum kedatangan rombongan Kiai Hasyim Asy’ari, Syekh Kholil menitip pesan kepada Kiai Muhammad Thoha (menantu Syekh Kholil), bahwa sebentar lagi rombongan Kiai Hasyim datang, mereka tidak usah bertemu Syekh Kholil. Melalui Kiai Muhammad Thoha, Syekh Kholil memberi restu atas peresmian NU. Dan memang, pada akhir hayat Syekh Kholil, ketika beliau tidak lagi sehat, beliau jarang sekali menerima tamu. Apabila ada pertanyaan masalah hukum, beliau sering melemparkan kepada Kiai Muhammad Thoha untuk menjawabnya. Maka rombongan Kiai Hasyim Asy’ari langsung menuju Kiai Muhammad Thoha di Pesantren Jangkibuan. [*]

[1]       Saif ur Rachman, Surat kepada Anjing Hitam, Pustaka Ciganjur cetakan pertama tahun 1999, halaman 20-21.
[2]       Saif ur Rachman, Surat kepada Anjing Hitam, Pustaka Ciganjur cetakan pertama tahun 1999, halaman 12-13
[3]       Saifur Rachman, Surat kepada Anjing Hitam, Pustaka Ciganjur cetakan pertama tahun 1999, halaman 25-28.





___________________________________________________________





PENINGGALAN SYEKH KHOLIL UNTUK UMMAT


Syekh Kholil wafat pada hari kamis tanggal 29 Ramadhan 1343 H (1925 M) jam 04 pagi. Jenazah beliau dishalati di Masjid Agung Bangkalan pada sore harinya setelah shalat ashar, kemudian dimakamkan di Pemakaman Martajasah, Bangkalan.
Syekh Kholil banyak meninggalkan “warisan” yang bermanfaat untuk ummat. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.       Pesantren Jangkibuan. Pesantren ini terus aktif sampai kini dan diasuh oleh keurunan Nyai Khotimah bin Kholil dengan Kiai Thoha. Pesantren ini diberi nama “Pesantren Al-Muntaha Al-Kholili”.
2.      Pesantren Kademangan. Sepeninggal Syekh Kholil, pesantren ini diasuh oleh keturunan beliau sendiri. Saya mendapatkan tiga nama urutan pengasuh Pesantren Kedemangan, yaitu Kiai Abdul Fattah bin Nyai Aminah binti Nyai Muthmainnah binti Imron bin Kholil, kemudian Kiai Fakhrur Rozi bin Nyai Romlah binti Imron bin Kholil, kemudian Kiai Abdullah Sachal bin Nyai Romlah binti Imron bin Kholil. Sampai kini (2007) Pesantren Kademangan diasuh oleh Kiai Abdullah Sachal.
3.       Kitab “As-Silah fi Bayanin-nikah”. Sebuah kitab tentang pernikahan, meliputi segi hukum dan adab. Dicetak oleh Maktabah Nabhan bin Salim Surabaya.
4.       Rangkaian Shalawat. Dihimpun oleh KH. Muhammad Kholid dalam kitab “I’anatur Roqibin” dan dicetak oleh Pesantren Roudlotul Ulum, Sumber Wringin, Jember. Jawa Timur.
5.       Dzikir dan wirid. Dihimpun oleh KH. Mushthofa Bisri, Rembang, , kitab berjudul “Al-Haqibah”. [*]






KAROMAH SYEKH KHOLIL

Pada bab III, buku “Surat Kepada Anjing Hitam” menceritakan 29 cerita karomah Syekh Kholil, namun saya kutib yang 16 saja. Dalam buku itu ditulis:

Pengertian Karomah

Istilah karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia[1]. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengistilahkan karomah dengan keramat diartikan suci dan dapat mengadakan sesuatu diluar kemampuan manusia biasa karena ketaqwaanya kepada Tuhan. [Dept. P&K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Jakarta, halaman 483]
Ajaran Islam[2] memaksudkan sebagai “Khariqun lil adat”[3], yaitu kejadian yang luar biasa pada seorang wali Allah. Syaikh Thohir bin Sholeh Al-Jazairi mengartikan kata karomah adalah perkara luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi. [Thohir bin Sholeh Al-Jazairi, Jawahirul Kalamiyah, terjemahan Jakfar Amir, Penerbit Raja Murah Pekalongan, hal. 40]
Sedangkan, Imam Qusyairi menjelaskan karomah sebagai penampakan karomah merupakan tanda-tanda kebenaran sikap dan kelakuan seseorang. Barangsiapa yang tidak benar sikap dan kelakuannya, maka tidak dapat menunjukkan kekaromahannya. Dan Allah yang maha Qodim memberi tahu kepada kita agar membedakan orang yang benar dan mana yang batil. [Abul Qosim Abdul Karim Hawazim Qusyairi Naisabury, Risaltul Qusyairiyah, Darul Khoir, halaman 353]
Dengan demikian, istilah karomah dapat disimpulkan sebagai kejadian yang luar biasa pada seseorang yang merupakan anugerah dari Allah dikarenakan ketaqwaanya.[4]



1. PENCURI TIMUN TIDAK BISA DUDUK

Diantara karomahnya adalah pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu kedahuluan dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus menerus. Akhirnya petani timun itu tidak sabar lagi, setelah bermusuyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke Kiai Kholil. Sesampainya di rumah Kiai Kholil, sebagaimana biasanya Kiai sedang mengajarkan kitab nahwu[5]. Kitab tersebut bernama Jurmiyah, suatu kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.
“Assalamu’alaikum, Kiai,” ucap salam para petani serentak.
“Wa’alaikum salam, “ Jawab Kiai Kholil.
Melihat banyaknya petani yang datang. Kiai bertanya :
“Sampean ada keperluan, ya?”
“Benar, Kiai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling, kami mohon kepada Kiai penangkalnya.” Kata petani dengan nada memohon penuh harap.
Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kiai kebetulan sampai pada kalimat “qoma zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta merta Kiai Kholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf “qoma zaidun”.
“Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini saja pakai penangkal.” Seru Kiai dengan tegas dan mantap.
“Sudah, pak Kiai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda Tanya.
“Ya sudah.” Jawab Kiai Kholil menandaskan. Mereka puas mendapatkan penangkal dari Kiai Kholil. Para petani pulang ke rumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari Kiai Kholil.
Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus menerus tidak bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya sis-sia. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin lama semakin banyak.
Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan wakil petani untuk sowan ke Kiai Kholil lagi. Tiba di kediaman Kiai Kholil, utusan itu diberi obat penangkal. Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di ladang yang selama ini menjadi sasaranempuk pencurian. Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Kiai kholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan timun.[6]

2. DIDATANGI MACAN

Diantara karomahnya, pada suatu hari di bulan Syawal. Kiai Kholil tiba-tiba memanggil santri-santrinya. “Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok kita ini.” Kata Kiai Kholil agak serius.
Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditungu-tunggu itu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren pemuda kurus, tidak berapa tinggi berkulit kuning langsat sambil menenteng kopor seng. Sesampainya di depan pintu rumah Kiai Kholil, lalu mengucap salam “Assalamu ‘alaikum,” ucapnyaagak pelan dan sangat sopan.
Mendengar salam itu, bukan jawaban salam yang diterima, tetapi Kiai malah berteriak memanggil santrinya, “Hey santri semua, ada macan.. macan.., ayo kita kepung. Jangan sampai masuk ke pondok.” Seru Kiai Kholil bak seorang komandan di medan perang.
Mendengar teriakan Kiai kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil membawa apa yang ada, pedang, clurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak kelihatan pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah. Namun karena tekad ingin nyantri ke Kiai Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya mencoba untuk datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren, langsung disongsong dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya. Baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau.
Secara tidak diduga, tengah malam Kiai Kholil datang dan membantu membangunkannya. Karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah Kiai Kholil. Setelah berbasa-basi dengan seribu alasan. Baru pemuda itu merasa lega setelah resmi diterima sebagai santri Kiai Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Hasbullah. Kelak kemudian hari santri yang diisyaratkan macan itu, dikenal dengan nama KH. Wahab Hasbullah, seorang Kiai yang sangat alim, jagoan berdebat, pembentuk komite Hijaz, pembaharu pemikiran. Kehadiran KH Wahab Hasbullah di mana-mana selalu berwibawa dan sangat disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang diisyaratkan Kiai Kholil.[7]




3. KETINGGALAN KAPAL LAUT

Kejadian ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu, satu-satunya angkutan menuju Makkah, semua penumpang calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya :
“Pak, tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,” ucap istrinya dengan memelas.
“Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari anggur,” jawab suaminya sambil bergegas di luar kapal.
Setelah suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya tidak ditemui penjual anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar untuk memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa gembiranya sang suami mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal untuk menemui isterinya. Namun betapa terkejutnya setelah sampai ke ajungan kapal yang akan ditumpangi semakin lama semakin menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. Duduk termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.
Disaat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat: “Datanglah kamu kepada Kiai Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu !” ucapnya dengan tenang.
“Kiai Kholil?” pikirnya.
“Siapa dia, kenapa harus kesana, bisakah dia menolong ketinggalan saya dari kapal?” begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.
“Segeralah ke Kiai kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami, insya Allah.” Lanjut orang itu menutup pembiocaraan.
Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman Kiai Kholil, langsung disambut dan ditanya :
“Ada keperluan apa?”
Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Kiai Kholil.
Tiba-tiba Kiai berkata :
“Lho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!”
Lalu suami itu kembai dengan tangan hampa.
Sesampainya di pelabuhan sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke Kiai Kholil lalu bertanya: ”Bagaimana? Sudah bertemu Kiai Kholil ?”
“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan” katanya dengan nada putus asa.
“Kembali lagi, temui Kiai Kholil !” ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu. Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Kiai Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ke tiga kalinya, Kiai Kholil berucap, “Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan.”[8]
“Terima kasih Kiai,” kata sang suami melihat secercah harapan.
“Tapi ada syaratnya.” Ucap Kiai Kholil.
“Saya akan penuhi semua syaratnya.” Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.
Lalu Kiai berpesan: “Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya sudah meninggal. Apakah sampeyan sanggup?” pesan dan tanya Kiai seraya menatap tajam.
“Sanggup, Kiai, “ jawabnya spontan.
“Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,” Kata Kiai Kholil.
Lalu sang suami melaksanakan perintah Kiai Kholil dengan patuh. Setelah beberapa menit berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya sudah berada di atas kapal lalu yang sedang berjalan. Takjub heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya. Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya di salah satu ruang kapal.
“Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali” dengan senyum penuh arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah datang dari arah bawah kapal. Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami selam hidupnya. Terbayang wajah Kiai Kholil. Dia baru menyadarinya bahwa beberapa saat yang alalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.


4. SANTRI MIMPI DENGAN WANITA.

Dan diantara karomahnya, pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama Bahar dari Sidogiri merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu tidak bisa sholat subuh berjamaah. Ketidak ikutsertaan Bahar sholat subuh berjamaah bukan karena malas, tetapi disebabkan halangan junub. Semalam Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar. Sebab wanita itu adalah istri Kiai Kholil, istri gurunya[9].
Menjelang subuh, terdengar Kiai Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap:
“Santri kurang ajar.., santri kurang ajar..“[10]
Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah merasa heran dan tanda tanya, apa dan siapa  yang dimaksud santri kurang ajar itu. Subuh itu Bahar memang tidak ikut sholat berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang pintu masjid.
Seusai sholat subuh berjamaah, Kiai Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya :
“Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?” Ucap Kiai Kholil nada menyelidik.
Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri, mencari tahu siapa yang tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar. Kemudian Kiai Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai Kholil menatap tajam-tajam kepada bahar seraya berkata:
“Bahar, karena kamu tidak hadir sholat subuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini” Perintah Kiai Kholil. Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput. Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus. Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu yang lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan baik[11].
“Alhamdulillah, sudah selesai, Kiai.” Ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati.
“Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis.” Perintah Kiai kepada Bahar.
Sekali lagi santri Bahar dengan patuh menerima hukuman dari Kiai Kholil. Setelah Bahar melaksanakan hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan yang telah tersedia. Mendengar perintah ini santri Bahar melahap semua buah-buahan yang ada di nampan itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya berucap:
“Hai santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini.” Ucap Kiai Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar. Dengan perasaan senang dan mantap santri Bahar pulang meninggalkan pesantren Kiai Kholil menuju kampung halamannya.
Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat isyarat mencuri ilmu Kiai Kholil itu, menjadi Kiai yang sangat alim, yang memimpin sebuah pondok pesantren besar di Jawa Timur. Kia beruntung itu bernama Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan santri yang diasuhnya di Pondok Pesantren Sido Giri, Pasuruan, Jawa Timur.


5. KIAI KHOLIL MASUK PENJARA

Diantara karomahnya dikisahkan:
Beberapa pelarian pejuang kemerdekaan dari Jawa bersembunyi di Pesantren Kiai Kholil. Kompeni Belanda rupanya mencium kabar itu. Tentara Belanda berupaya keras untuk menangkap para pejuang kemerdekaan yang bersembunyi itu. Rencana penangkapan diupayakan secepat mungkin, setelah yakin bersembunyi di pesantren, tentara belanda memasuki pesantren Kiai Kholil. Seluruh pojok pesantren digerebek. Ternyata tidak menemukan apa-apa. Hal itu membuat kompeni marah besar. Karena kejengkelannya, akhirnya membawa pimpinan pesantren, yaitu Kiai Kholil untuk ditahan. Dengan siasat ini, mereka berharap ditahannya Kiai Kholil, para pejuang segera menyerahkan diri. Ketika Kiai Kholil dimasukkan ke dalam tahanan, maka beberapa perisriwa ganjil mulai muncul. Hal ini membuat susah penjajah Belanda. Mula-mula ketika Kiai Kholil masuk ke dalam tahanan, semua pintu tahanan tidak bisa ditutup. Dengan demikian pintu tahanan dalam keadaan terbuka terus menerus. Kompeni Belanda harus berjaga siang dan malam secara terus menerus. Sebab jika tidak, maka tahanan bisa melarikan diri. Pada hari berikutnya, sejak Kiai Kholil ditahan, ribuan orang Madura dan Jawa berdatangan untuk menjenguk dan mengirim makanan ke Kiai Kholil. Kejadian ini membuat kompeni merasa kewalahan mengatur orang sebanyak itu. Silih berganti setiap hari terus menerus. Akhirnya, kompeni membuat larangan berkunjung ke Kiai Kholil. Pelarangan itu, rupanya tidak menyelesaikan masalah. Masyarakat justru datang setiap harinya semakin banyak. Para pengunjung yang bermaksud berkunjung ke Kiai Kholil bergerombol di sekitar rumah tahanan. Bahkan, banyak yang minta ditahan bersama Kiai Kholil. Sikap nekad para pengunjung Kiai Kholil ini jelas membuat Belanda makin kewalahan. Kompeni merasakhawatir, kalau dibiarkan berlarut larut suasana akan semakin parah. Akhirnya, daripada pusing memikirkan hal yang sulit dimengerti oleh akal itu, kompeni belanda melepaskan Kiai Kholil begitu saja.
Setelah kompeni mengeluarkan Kiai Kholil dari penjara, baru semua kegiatan berjalan sebagaimana biasanya. Demikian juga dengan pintu penjara, sudah bisa ditutup kembali serta para pengunjung yang berjubel disekitar penjara, kembali pulang kerumahnya masing-masing.



6. RESIDEN BELANDA

Dan diantara karomahnya, suatu hari, Residen Belanda yang ditempatkan di Bangkalan mendapat surat yang cukup mengejutkan dari pemerintah Colonial Belanda di Jakarta. Surat tersebut berisi tentang pemberhentian dirinya sebagai Residen di Bangkalan. Padahal jabatan itu masih diinginkan dalam beberapa saat. Residen itu berkata dengan Residen belanda yang lainnya. Hati nurani Residenyang satu ini tidak pernah menyetujui penjajahan oleh negaranya. Untuk mempertahankan posisinya, Residen belanda yang simpati kepada bangsa Indonesia mau berkorban apa saja asalkan tetap memangku jabatan di Bangkalan, Kebetulan sang Residen mendengar kabar bahwa di Bangkalan ada orang yang pandai dan sakti mandraguna[12]Tanpa pikir panjang lagi, sang Residen segera pergi untuk menemui orang yang diharapkan kiranya dapat membantu mewujudkan keinginannya itu.
Maka, berangkatlah sang Residen itu ke Kiai Kholil dengan ditemani beberapa kolegannya. Sesampainya di kediaman Kiai Kholil, sang Residen Belanda langsung menyampaikan hajatnya itu. Kiai Kholil tau siapa yang dihadapinya itu, lalu dijawab dengan santai seraya berucap :
“Tuan, selamat.., selamat.., selamat..” Ucapnya dengan senyuman yang khas. Residen Belanda merasa puas terhadap jawaban Kiai Kholil dan setelah itu berpamitan pulang.
Selang beberapa hari setelah kejadian itu, sang Residen menerima surat dari pemerintah Belanda yang isinya pencabutan kembali surat keputusan pemberhentian atas dirinya. Betapa senangnya menerima surat itu. Dengan demikian, dirinya masih tetap memangku jabatan di daerah Bangkalan.
Sejak peristiwa itu, Kiai kholil diberi kebebasan melewati seluruh daerah Bangkalan. Bahkan, Kiai Kholil bisa menaiki dokar seenaknya melewati daerah terlarang di Keresidenan Bangkalan tanpa ada yang merintanginya. Baik residen maupun aparat Belanda semuanya menaruh hormat kepada Kiai Kholil. Seorang Kiai yang dianggap memiliki kesaktian luar biasa.



7. SURAT KEPADA ANJING HITAM

Musim haji telah tiba. Sebagaimana biasanya, penduduk daerah Bangkalan yang akan menunaikan ibadah haji terlebih dahulu sowan kepada Kiai Kholil. Fulan calon jamah haji Bangkalan. Menjelang keberangkatannya, terlebih dahulu menyempatkan sowan ke Kiai Kholil. Kiai, ketika melihat diantara tamu terdapat si Fulan, maka segera menyuruh mendekat.
Fulan, ini surat. Sesampainya di Masjidil Haram, berikan surat ini kepada anjing hitam.” Pesan Kiai kepada si Fulan dengan datar.
“Ya, Kiai. Saya akan menyampaikan surat ini.” Jawab si Fulan tanpa berani menatap dan bertanya kenapa Kiai menyuruh demikian. Sesusai sowan kepada Kiai, Fulan langsung pulang ke rumahnya. Berbagai kecamuk dan pertanyaan dibenakknya.
Hari keberangkatan pun tiba. Dengan niat yang ikhlas, Fulan berangkat ke tanah suci. Sesampainya di Makkah, Fulan menunaikan Ibadah hajinya dengan baik. Sungguhpun demikian, Fulan belum tenang kalau amanat yang dipesankan Kiai Kholil belu dilaksanakan. Segera fulan pergi ke halaman Masjidil Haram, terdorong karena patuhnya kepada Kiai Kholil, ingin segera menyampaikan pesan yang sangat aneh ini. Tapi bagaimana caranya?
Tak disangka, ditengah keasyikannya merenung itu. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, didepannya sudah berdiri seekor anjing hitam. Tanpa pikir panjang lagi, Fulan segera meraih surat yang ada di sakunya. Seketika itu juga, disodorkannya surat itu kepada anjing hitam. Telinga anjing itu bergerak-berak, lalu menggigit surat itu pelan-pelan. Beberapa saat anjing itu menatap tajam wajah si Fulan seolah-olah ingin mengungkapkan rasa terima kasih. Setelah itu dengan langkah tenang dan wibawa, sang anjing hitam itu meninggalkan Fulan yang masih terpana. Dipandangnya anjing itu hingga tidak terlihat lagi dari pandangan mata Fulan.
Fulan merasa lega. Sebab, amanat yang tidak dipahami itu sudah ditunaikan. Waktu pun bergulir hingga selesailah ibadah Rukun Islam yang kelima itu. Semua jamaah haji seantero dunia pulang ketanah airnya masing-masing begitu pula dengan fulan pulang ke Bangkalan.
Bagi fulan, sungguhpun sudah selesai ibadah haji, namun kecamuk surat misterius itu masih melekat di benaknya. oleh sebab itu, setibanya di Bangkalan, pertama kali yang ditemuinya adalah Kiai Kholil.
“Sudah disampaikan surat saya, Fulan?” Kata Kiai menyambut kedatangan Fulan.
“Sudah, Kiai.” Tegas fulan lega. “Tapi, Kiai..” Kata fulan agak tersendat-sendat
“Ada apa Fulan?” Kata Kiai Kholil tanpa menunjukkan ekspresi yang aneh. “Kalau boleh Tanya, kenapa Kiai mengirim surat kepada anjing hitam?” Tanya si Fulan terheran-heran.
“Fulan, yang kamu temui itu bukan sembarang anjing. Dia adalah salah seorang wali Allah yang menyamar sebagai anjing hitam yang menunaikan Ibadah haji tahun ini.” Jelas sang Kiai.
Mendengar keterangan Kiai Kharismatik itu, si Fulan baru memahami dan menyadari apa yang ada dibalik peristiwa itu. Dan sifulan pun hanya bisa menganggut sambil mengenang saat sang anjing berhadapan dengan dirinya.



8. ORANG ARAB DAN MACAN TUTUL

Dan diantara karomahnya, suatu hari menjelang sholat magrib. Seperti biasanya Kiai Kholil mengimami jamaah sholat bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai Kholil mengimami sholat, tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa Arab. Orang Madura menyebutnya Habib[13].
Seusai melaksanakan sholat, Kiai Kholil menemui tamu-tamunya, termasuk orang Arab yang baru datang itu. Sebagai orang Arab yang mengetahui kefasihan Bahasa Arab[14], habib tadi menghampiri Kiai Kholil seraya berucap :
“Kiai, bacaan Al-Fatihah antum (anda) kurang fasih.” Tegur Habib.
“O.. begitu?!” Jawab Kiai Kholil dengan tenang.
Setelah berbasa-basi beberapa saat. Habib dipersilahkan mengambil wudlu untuk melaksanakan sholat magrib. “Tempat wudlu ada di sebelah masjid itu, Habib. Silahkan ambil wudlu di sana.” Ucap Kiai sambil menunjukkan arah tempat wudlu. Baru saja selesai wudlu, tiba-tiba sang Habib dikejutkan dengan munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa Arabnya, yang fasih untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun Habib mengucapkan Bahasa Arab sangat fasih untuk mengusir macan tutul, namun macan itu tidak pergi juga.
Mendengar ribut-ribut di sekitar tempat wudlu Kiai Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan itu, Kiai Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Kiai Kholil yang nampaknya kurang fasih itu, macan tutul bergegas menjauh.
Dengan kejadian ini, Habib paham bahwa sebetulnya Kiai Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.



9. TONGKAT KIAI KHOLIL DAN SUMBER MATA AIR

Dan diantara karomahnya, pada suatu hari. Kiai Kholil berjalan ke arah selatan Bangkalan. Beberapa santri menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di desa Langgundi, tiba-tiba Kiai Kholil menghentikan perjalanannya. Setelah melihat tanah di hadapannya, dengan serta merta Kiai Kholil menancapkan tongkatnya ke tanah. Dari arah lobang bekas tancapan Kiai Kholil, memancarlah sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin besar. Bahkan karena terus membesar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai untuk minum dan mandi. Lebih dari itu; sumber mata airnya dapat menyembuhkan pelbagai macam penyakit[15].
Kolam yang bersejarah itu, sampai sekarang masih ada. Orang Madura menamakannya Kolla Al-Asror Langgundi. Letaknya sekitar 1 km sebelah selatan kompleks pemakaman Kiai Kholil Bangkalan. Banyak orang yang datang dari jauh hanya sekedar untuk minum dan mandi. Mereka yakin bahwa air yang ada di sumber mata air di Langgundi itu, adalah jejak karomah-karomah Kiai Kholil yang diyakini membawa berkah.


[1]       “Karaamah” merupakan mashdar dari “karuma”, maka “karaamah” berarti kemuliaan, yakni kemuliaan yang diberikan oleh Allah pada seorang shaleh yang dicintai-Nya.
[2]  Sebernarnya karomah hanyalah sebuah istilah, sebagaimana mu’jizat diistilahkan untuk Nabi.
[3]   Khoriqun lil’adah: luar biasa. Sebenarnya banyak hal luar biasa yang terkadang kurang dianggap luar biasa oleh kebanyakan orang, sehingga banyak karomah yang dimiliki oleh para ulama tapi tidak dipandang sebagai karomah. Misalnya karya ilmiyah keislaman. Suatu contoh Al-Imam An-Nawawi dan Al-Imam As-Suyuthi, dengan umur yang relatif sedikit mereka telah mampu menulis kitab puluhan ribu halaman pada zaman belum ada alat tulis yang cukup. Dengan kondisi seperti itu, akal kita tidak akan mampu menggambarkan bagaimana mereka menulis kitab sebanyak itu, dan itu berarti semua itu adalah luar biasa. Maka tentu saja keluarbiasaan itu sangat layak untuk disebut karomah, bahkan lebih layak daripasa sekedar bisa terbang dan sebagainya. Dari itu dalam catatan kaki ini saya lebih menekankan pada pemahaman bahwa karomah berupa karya ilmu dan pendidikan itu lebih utama daripada karomah yang “aneh-aneh”, dan Syekh Kolil memiliki “karomah utama” itu. Saya tidak mau ada yang mengatakan bahwa Syekh Kholil hanya dikagumi oleh orang awam yang suka dengan cerita-cerita aneh. Syekh kholil memiliki keistimewaan yang patut dikagumi oleh kaum ulama, intelektual, budayawan dan kalangan apapun yang mendahulukan ilmu dan pendidikan. Syekh Kholil memiliki prestasi yang tidak masuk akal dalam dunia pendidikan, ribuan pesantren didirikan oleh ribuan ulama hasil didikan beliau. Angka yang tidak masuk akal itu menjadi lebih menakjubkan karena yang dihitung adalah wujud kesuksesan dalam pendidikan dan da’wah Islam, prestasi yang paling tinggi dalam dunia ibadah dengan angka yang luar biasa. Inilah karomah tertinggi Syekh Kholil, sehingga seandainya beliau tidak memiliki karomah yang aneh-aneh maka hal itu sama sekali tidak mengurangi bukti “kewalian” beliau. Dengan ribuan pesantren itu kita tidak perlu mencari cerita aneh beliau untuk membuktikan bahwa beliau adalah kekasih Allah.
[4]       Saifur Rachman, Surat kepada Anjing Hitam, Pustaka Ciganjur cetakan pertama tahun 1999, halaman 31-32.
[5]  Maksudnya kebetulan Syekh Kholil sedang mengajar kitab nahwu. Sebagian orang menganggap pelajaran nahwu itu sebagai pelajaran tersulit, sehingga terkesan bahwa orang yang paling alim adalah yang paling ahli nahwu. Padahal nahwu hanyalah pelajaran bahasa yang berarti pelajaran tahap awal bagi yang ingin dapat membaca dan berbicara bahasa Arab. Ketika Syekh Kholil sering disebut-sebut sebagai ahli Nahwu, maka sebagian orang yang menganggap ilmu nahwu tidak terlalu rumit merasa Syekh Kholil tidak luar biasa jika hanya karena ilmu nahwu. Maka dari itu, saya ingin tegaskan bahwa ilmu nahwu bagi Syekh Kholil bukan “ilmu pamungkas”. Beliau mendapatkan derajat tinggi bukan karena beliau dikenal dengan ilmu nahwunya, karena ilmu nahwu sifatnya hanya ilmu alat dan perantara. Beliau mendapatkan derajat tiggi karena ilmu yang utama, yaitu ilmu mengenal Allah dan syari’at-Nya. Ketika diceritakan bahwa Syekh Kholil sangat pakar dalam ilmu nahwu, maka kita dapat menyimpulkan bahwa kalau ilmu alatnya saja beliau begitu menekuni sampai paham setiap permasalahannya dan hafal di luar kepala, maka apalagi dengan ilmu syari’atnya, tentulah beliau lebih luas lagi dalam ilmu syari’at yang beliau anggap sebagai tujuan utama.
[6]       Ada yang bertanya mengapa Syekh Kholil tidak menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an atau doa-doa ma’tsurat saja, mengapa beliau menggunakan kalimat yang justru tidak ada hubungannya dengan permasalahan, tidakkah itu termasuk bid’ah? Maka untuk pertanyaan itu saya jawab dengan berikut:
1.        Syekh Kholil sedang membahas lafazh “qoma zaidun” maka beliau bermaksud bergurau dengan santri-santri beliau yang sedang tegang mempelajari ilmu nahwu, karena tamu-tamu itu adalah para petani yang tidak mengerti arti “qoma zaidun”. Dari sini kita dapat menilai karakter Syekh Kholil, berartibeliau seorang ulama yang berwibawa dan terkadang humoris, sebuah karakter yang disukai banyak orang.
2.       Qoma zaidun” yang diucapkan Syekh kholil adalah merupakan bahasa kinayah, di mulut beliau menyebut “zaidun” akan tetapi di hati beliau bermaksud“pencuri timun”, sedangkan jumlah fi’il-fa’il dimaksudkan “jumlah du’aiyyah”. Maka artinya adalah “semoga pencuri timun itu berdiri.”
3.       Para petani dibiarkan membaca “qoma zaidun” karena mereka memang tidak mengerti bahasa Arab, maka sudah pasti ketika mereka membaca “qomazaidun” maka di hati mereka bermaksud berdoa sebagaimana doa Syekh Kholil. Maka ketika para petani membaca “qoma zaidun”, sebenarnya bacaan ituberarti mengamin doa Syekh Kholil, seolah-olah mereka berkata “saya berdoa sebagaimana doa Syekh Kholil”. Dan wajarlah kalau Allah-pun mendengar doa Syekh Kholil yang diamini oleh para petani itu.
Dengan demikian, maka tidak ada kejanggalan dari cerita diatas untuk dihujat sebagai bid’ah. Ini adalah analisa saya, berangkat dari husnuzhon saya kepada ulama semisal Syekh Kholil. Sesuai dengan ajaran Rasulullah:

كُنْ كَالْمُؤْمِنِ يَطْلُبُ الْمَعَاذِرَ، وَلاَتَكُنْ كَالْمُنَافِقِ يَطْلُبُ الْمَعَايِبَ

“Jadilah sebagai orang mukmin yang selalu mencari alasan baik. Dan janganlah menjadi sebagai orang munafiq yang suka mencari aib.”
[7] Banyak terjadi perlakuan aneh dari Ulama zaman dahulu, baik pada santri maupun tamu. Dalam cerita diatas kita dapat menebak bahwa apa yang dilakukan Syekh Kholil adalah merupakan firasat dan memberi ujian. Syekh memiliki firasat tentang pemuda Wahab Hasbullah, kemudian beliau bermaksud menguji kesungguhan pemuda itu untuk belajar pada beliau. Hal seperti ini dapat terjadi antara guru dan murid yang memiliki hubungan kecintaan kepercayaan yang kuat. Makanya tidak ada seorang kiai yang menguji diluar kemuampuan muridnya, terbukti sang murid lulus walaupun terkadang ujiannya tidak masuk akal. Bagi orang yang belum pernah merasakan kecintaan dan kepercayaan yang kuat terhadap guru, hal seperti ini bisa saja dianggap berlebihan. Akan tetapi fakta membuktikan bahwa semua ulama besar tidak sekedar dibesarkan oleh ilmu yang dipelajari dari gurunya, melainkan lebih dibesarkan oleh keberkahan berkat cinta dan percaya yang amat kuat kepada gurunya.
[8]   Suami itu sebenarnya tidak paham yang dimaksud minta tolong kepada Syekh Kholil, dia pikir Syekh Kholil dapatmenolongnya secara tehnis, sedangkan yang dimaksud oleh orang yang menunjukkan tadi adalah meminta doa kepada beliau. Ketika suami itu datang kepada Syekh Kholil minta tolong maka Syekh Kholil memberi saran untuk menghubungi pihak pelabuhan. Kedatangan sang suami kepada Syekh Kholil sampai tiga kali bukan karena Syekh Kholil pelit atau tidak tahu apa yang harus beliau lakukan, makanya saya kurang sreg dengan kalimat “karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan.” Saya rasa itu hanya gubahan penulis atau perawi. Syekh Kholil pasti tahu sejak awal bahwa sang suami itu ingin sekali menyelesaikan masalahnya, beliau tidaklah baru menyadari setelah kedatangan yang ketiga. Siapa yang mengaggap problem sang suami itu tidak serius?!Syekh Kholil tidak langsung berdoa sejak kedatangan pertama karena memang sang suami itu tidak minta doa, dan sebagai orang yang tawadhu’, beliau tidak langsug menawarkan doa, karena menawarkan doa bisa saja terkesan menganggap dirinya punya doa manjur. Dari situ kita dapat melihat ketawadhu’an Syekh Kholil, baik di hadapan Allah maupun di hadapan manusia. Hal ini berbeda dengan “kiai dukun” yang justru pasang iklan seoalah-olah berkata: “Mintalah doa pada saya, karena doa saya manjur.” Inilah yang membedakan antara “kiai wali” dengan “kiai dukun”, yaitu tawadhu’ di hadapan Allah dan di hadapan manusia.
[9]    Bermimpi seseorang wanita tidak harus sering atau habis memikirkannya sebelum tidur, maka jangan sampai mengira bahwa mungkin saja Kiai Bahar memikirkan istri gurunya sebelum tidur.
[10]  Kemarahan Syekh Kholil bukan karena Kiai Bahar bersalah sebab mimpi itu, melainkan semacam hardikan agar Kiai Bahar melupakan mimpi itu, agar tidak diingat lagi walaupun untuk menyesalinya.
[11]  Tugas itu sebenarnya bukan hukuman, Syekh Kholil menyebutnya hukuman untuk tidak membuat bingung santri-santri yang lain, sehingga di mata mereka, Bahar dihukum karena tidak shalat berjamaah. Adapun sebenarnya itu adalah ujian sebagaimana yang juga sering diberikan pada murid lainnya.
[12]    Sakti mandraguna menurut paham sang Residen, karena ia tidak mengerti soal wali dan karomah.
[13]   Ada suatu kesalahan yang banyak dipahami oleh orang awam, baik di Madura maupun di Jawa, mereka pikir semua orang Arab itu “Habib”. Habib adalah julukan yang diberikan oleh orang Yaman terhadap keturunan Rasulullah. Kemudian julukan ini menjadi populer juga di berbagai negara, walaupun sebenarnya hanya lebih populer di kalangan Habib dari Yaman sendiri atau yang mengenalnya. Dalam menjuluki Habib, orang Madura atau Jawa -yang paham maksudnya- sebenarnya hanya ikut-ikutan orang Yaman saja, itu juga dipakaikan pada Habib yang berasal dari Yaman atau yang masih kental ke”Yaman”anya. Orang Madura atau Jawa sebenarnya tidak punya julukan khusus untuk keturunan Rasulullah secara umum, maka dari itu mereka tidak menjuluki Syekh Kholil dan sebagainya dengan “Habib” walaupun tahu bahwa mereka juga cucu Rasulullah. Bagi Mereka, Habib adalah curu Rasululullah yang di Arab atau yang masih menggunakan kebangsaan Arab. Dalam cerita ini, mengingat sebagian orang Madura menganggap semua orang Arab itu Habib, maka hendaknya dimaklumi bahwa Habib dalam cerita ini belum tentu Habib yang sebenarya, mungkin saja orang Arab biasa. Kalaupun ternyata memang Habib sebenarnya, hendaknya dimaklumi bahwa cerita ini tidak menyimpulkan bahwa ada seorang bahngsa Sayyid dikalahkan seorang bangsa Madura, karena sebenarnya Syekh Kholil juga bangsa Sayyid yang telah njawani sejak dari leluhurnya.
[14]     Sebenarnya tidak semua orang Arab fasih tajwidnya, baik yang di Indonesia maupun yang di Arab sekalipun, kecuali yang memang belajar tajwid. Saya jadi teringat waktu ngobrol dengan Sayyid Anis Bin Syihab Malang, beliau berkata dengan nada berkelakar: “Watak orang Arab itu memang PD-an, kalau mereka datang ke kampung-kampung kemudian disuruh jadi imam langsung aja maju, padahal baca Qur’annya masih bagus orang Jawa.” Yakni orang Jawa kampung yang pada umumnya belajar tajwid sejak kecil.
[15]   Apabila air itu benar-benar terbukti pernah menyembuhkan penyakit seseorang, maka ada dua kemungkinan bagaimana proses kemujaraban air itu. Pertama, mungkin air itu memang mengandung zat yang berguna untuk penyembuhan, maka berarti air itu dapat menyembuhkan secara medis, walaupun tidak ada yang megerti tentang hal itu. Namun bukan berarti tidak ada hubungannya dengan karomah Syekh Kolil, melainkan ketika Syekh Kholil menemukan sumber itu maka berarti beliau telah melakukan hal yang luar biasa. Kedua, mungkin air itu hanya air biasa, namun air itu menjadi mujarab berkat Syekh Kholil. Adapun prosesnya adalah dengan tabarruk, yakni memohon berkah kepada Allah dengan perantara  benda bekas orang shaleh. Ketika seseorang datang dan meminum air Kolla Al-Asror, mereka berkeyakinan bahwa Kolla itu adalah peninggalan Syekh Kholil yang mereka yakini sebagai orang shaleh kekasih Allah. Mereka bertabarruk dengan air kolla itu sebagaimana yang dibenarkan oleh Syari’at Islam.

Masalah Tabarruk
Masalah ini perlu saya bahas agar tidak ada yang salah paham mengenai cerita diatas. Tabarruk adalah bagian daripada tawassul, yaitu mengambil perantara didalam berdoa kepada Allah. Yang dimaksud mengambil perantara adalah merayu Allah dengan menyebut-nyebut orang yang dicintai Allah. Ketika seseorang bertawassul dengan Nabi, misalnya, maka seolah-olah ia berkata: “Ya Allah, kalau Nabi saja aku cintai karena beliau kekasih-Mu, maka apalagi Engkau, tentu Engkau lebih aku cintai. Maka berkat cinta ini kabulkanlah doaku”. Itulah yang dimaksud tawassul. Adapun tabarruk adalah bertawassul dengan menyentuh benda-benda yang berhubungan dengan kekasih Allah. Maka tabarruk masih dalam rentetan tawassul. Ketika seseorang bertabarruk dengan baju bekas orang shaleh, misalnya, maka seolah-olah ia berkata: “Ya Allah, kalau baju bekas orang shaleh saja aku cintai, apalagi orang shaleh yang punya baju. Dan karena aku mencintai orang shaleh itu karena dia adalah kekasih-Mu, maka apalagi Engkau, tentu Engkau lebih aku cintai. Maka berkat cinta ini kabulkanlah doaku.”
Orang yang menentang tawassul dan tabarruk itu sebenarnya disebabkan karena ia tidak mengerti tentang dua hal, yaitu tidak mengerti maksudnya dan tidak mengerti bahwa Syari’at Islam mengajarkan tawassul dan tabarruk sebagai salah satu cara beribadah.
Tawassul diajarkan dalam Syari’at Islam, diantara dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
1.        Allah SWT berfiran:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوْا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ..
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan ambillah perantara kepadaNya..” (Q.S. Al-Maidah : 35)
2.        Allah SWT berfirman:
أُولـئِكَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ يَبْتَغُوْنَ إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ
“Mereka adalah orang-orang yang berdoa dengan mengambil perantara kepada Tuhan mereka.” (Q.S. Al-Isra’ : 57).
3.        Allah berfirman:

.. وَكَانُوْا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُوْنَ عَلى الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوْا كَفَرُوْا بِهِ ..
“.. Dan adalah mereka sebelumnya telah memohon (kepada Allah) akan kemenangan atas orang-orang kafir. Dan ketika datang apa yang mereka kenal itu merekapun kemudian mengingkarinya. ..” (Q.S. Al-Baqarah : 89)
Kata Sahabat Abdullah bin Abbas, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Ktasir dalam Tafsirnya, Yang dimaksud ayat itu adalah orang Yahudi Khaibar, ketika berperang dengan orang-orang Ghathfan, mereka terdesak dan kemudian berdoa kepada Allah berta-wassul dengan Nabi akhir zaman. Akan tetapi setelah Rasulullah muncul mereka malah mengingkari beliau. Riwayat ini menyimpulkan bahwa Allah membenarkan orang yang bertawassul dengan orang shaleh walaupun ia belum lahir, apabila kelahiranya telah dikabarkan oleh Allah.
4.        Ketika memakamkan ibu Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang bernama Fathimah binti Asad, Rasulullah turun sendiri ke liang lahat kemudian memuji Allah dan berdoa:

اِغْفِرْ لِأُمِّيْ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقِّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَالأَنْبِيَاءِ مِنْ قَبْلِيْ ..

“Ampunilah ibuku, Fathimah binti Asad, dan tuntunlah ia akan hujjahnya (jawaban pertanyaan kubur) dan lapangkanlah tempatya, dengan kebenaran Nabi-Mu dan Nabi-Nabi sebelumku..” (H.R. Ath-Thabrani dan Ad-Dailami, dinyatakkan shahih oleh Al-Haitsami)
Hadits ini menyimpulkan bahwa tawassul dengan orang shaleh yang telah meninggal itu juga diajarkan oleh Rasulullah, karena para Nabi yang ditawassuli oleh beliau telah meninggal semua.
5.        Al-Imam Ath-Thabrani meriwayatkan dalam kedua kitabnya, “Al-Mu’jam Al-Kabir” (9/17) dan “Al-Mu’jam Ash-Shaghir” (hal. 201), bahwa Sahabat Utsman bin Hunaif meriwayatkan, bahwa suatu ketika ada seseorang yang datang menemui Khalifah Utsman bin Affan, orang itu datang dengan suatu keperluan, akan tetapi (mungkin karena sibuk dengan suatu masalah) Khalifah tidak menaggapinya. Maka Utsman bin Hunaif berkata kepadanya:
“Berwudhu’lah dan shalat dua raka’at, kemudian bacalah:

اَللّهُمَّ إِنِّيْ أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَا مُحَمَّدُ إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلى اللهِ فِيْ حَاجَتِيْ لِتُقْضى لِيْ
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepadamu dengan Nabi kami, Muhammad Nabi rahmat. Wahai Nabi Muhammad, denganmu aku menghadap Tuhanku dalam urusan keperluanku ini agar dipenuhinya.
Kemudian kembalilah menemui Khalifah.”
Orang itupun melakukan himbauan Utsman bin Hunaif kemudian kembali mendatangi Khalifah Utsman bin Affan. Begitu menemui pengawal ia langsung dibawa masuk dan Khalifah mempersilahkan dia duduk di dekatnya, iapun ditanya apa keperluannya dan Khalifahpun langsung memenuhinya. Seberanjaknya dari Khalifah, orang itu langsung menemui Utsman bin Hunaif dan berkata: “Semoga Allah membalas jasamu dengan baik. Semula Khalifah sama sekali tidak mempedulikanku, bahkan tidak mau menoleh sedikitpun paadaku, sampai engkau membantuku dengan berbicara padanya.” Orang itu mengira Utsman bin Hunaif telah memberi rekomendasi pada Khalifah Utsman bin Affan. Maka Utsman bin Hunaif berkata: “Demi Allah, aku tidak berbicara apa-apa pada Khalifah, akan tetapi aku pernah menyaksikan Rasulullah SAW ketika didatangi seseorang mengadukan matanya yang buta. Rasulullah berkata: “Kalau kau mau maka kau bisa bersabar, dan kalau kau mau maka aku akan mendoakanmu.” Orang itu menjawab: “Ya Rasulallah, kebutaan ini menyulitkan saya, karena saya tidak punya siapa-siapa untuk menuntun saya.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Berwudhu’lah dan shalatlah dua raka’at kemudia berdoalah .. dst.” Yaitu doa diatas. Utsman bin Hunaif melanjutkan dan berkata: “Orang itupun melakukan apa yang diajarkan Rasulullah SAW. Dan demi Allah, tidak beberapa lama kemudian orang itupun kembali dengan keadaan dapat melihat, seolah-olah matanya tidak pernah sakit sama sekali.”
Riwayat ini menyimpulkan dua hal:
Pertama, bahwa bertawassul dengan orang shaleh yang hidup dan memanggil namanya dari jauh itu tidak apa-apa, walaupun yang ditawassuli tidak mendengar panggilannya, karena dalam riwayat diatas Utsman bin Hunaif berkata “tidak beberapa lama orang itupun kembali dengan keadaan dapat melihat”, maka berarti orang itu membaca doa tawassul yang ada kalimat “ya Rasulullah”nya tidak di hadapan Rasulullah SAW.
Kedua, bahwa bertawassul dengan orang shaleh yang telah meninggal dunia itu tidak apa-apa, karena cerita diatas terjadinya pada zaman Khalifah Utsman bin Affan dan Rasulullah SAW telah meninggal dunia.
6.        Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan tentang tiga orang yang terperangkap dalam gua karena tiba-tiba ada batu besar terjatuh dari atas gunung dan menutup pintu gua itu. Kemudian mereka bertawassul dengan menyebut amal shaleh mereka masing-masing, sehingga batu itupun bergeser dan terbukalah pintu gua. Hadits ini menyimpulkan bahwa bertawassul dengan amal shaleh juga diajarkan oleh Rasulullah SAW.
7.        Al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah mencukur rambut untuk tahallul haji, kemudian rambut itu beliau serahkan pada Sahabat Thalhah untuk dibagikan pada Sahabat-sahabat yang lain. Maka para sahabatpun berebut rambut Rasulullah, tentu saja untuk ngalap berkah (tabarruk), karena rambut tidak bisa dimakan. Diantara mereka ada yang mencelup rambut Rasulullah ke dalam air kemudian airnya diminumkan pada orang sakit.
8.        Al-Hafizh Ibnu Hajar meriwayatkan dalam kitabya, “Al-Mathalib Al-‘Aliyah” (4/90), bahwa Sahabat Khalid bin Al-Walid berebut rambut Rasulullah ketika bercucukur untuk tahallul umroh, kemudian rambut itu segera ia selipkan di kopiahnya. Khalid berkata: “Dalam memimpin setiap pertempuran aku selalu menang tanpa cedera sedikitpun apabila aku memakai kopiah yang ada rambut Rasulullah itu.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan Abu Ya’la serta dinyatakan shahih oleh Al-Haitsami dan Al-Bushiri.
9.        Al-Imam Muslim meriwayatkan, bahwa Asma’ binti Abi Bakar memiliki jubah Rasulullah dan beliau berkata: “Jubah ini dulunya ada pada Aisyah, setelah ia meninggal akupun mewarisinya. Jubah itu pernah dipakai oleh Rasulullah SAW. Maka kamipun suka merendam jubah itu ke dalam air dan airnya kami minumkan pada orang sakit untuk mengharap kesembuhan.
Ketiga hadis terakhir ini menyimpulkan bahwa Rasulullah membenarkan tabarruk dengan benda bekas orang shaleh. Dan masih banyak lagi Hadits-hadits shahih yang meriwayatkan tentang bagaimana para Sahabat bertabarruk dengan benda-benda bekas Nabi yang lain, seperti potongan kuku, bekas air wudhu dan sebagainya.
Kesimpulannya, tawasul dan tabarruk itu diajarkan oleh syari’at. Tawassul boleh dengan Amal shaleh, dengan Nabi, Malaikat dan orang-orang shaleh, baik mereka belum lahir, masih hidup maupun telah meninggal dunia. Sejak zaman Sahabat Nabi, semua ulama sepakat akan hal itu, tidak ada yang berbeda pendapat sampai muncullah seorang bernama Ibnu Taimiyah, iapun banyak menimbulkan masalah dengan pendapat-pendapat kontrofersialnya, termasuk pendapatnya bahwa tawassul dengan orang yang telah meninggal itu termasuk jenis syirik. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah pernah melakukan kebohongan dengan mengatakan bahwa tidak ada ulama yang membolehkan tawassul dengan orang yang telah meninggal, seperti yang ia tulis dalam kitab “At-Tawassul wal-Wasilah” (hal.24). Padahal dalam kitabnya yang lain, yaitu “Al-Fatawa Al-Kubra” (1/351), Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa Al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam salah satu riwayatnya membolehkan tawassul dengan Nabi.
Diantara Hadits tawassul, mereka hanya mau menerima riwayat Utsman bin Hunaif saja sebagai Hadits yang benar-benar shahih, itupun mereka tidak mau menerima pendapat Utsman yang bertawassul dengan Rasulullah setelah beliau wafat. Mereka hanya mau menerima bahwa Rasulullah mengajarkan tawassul ketika beliau masih hidup.
Untuk itu saya kemukakan beberapa hal berikut:
a.        Kalau mereka menolak Hadits-hadits yang lain yang telah dishahihkan oleh ulama ahli Hadits semacam Al-Hakim, Adz-Dzahabi, Al-Asqalani, Al-Qusthallani dan sebagainya, maka kita tinggal memilih saja, kita lebih percaya terhadap keahlian siapa dalam ilmu Hadits. Siapa Ibnu Taimiyah dibanding mereka? Dia digelari “Syaikhul Islam” hanya oleh pengikut fanatiknya saja, sementara hampir semua ulama besar justru pernah menasehati umat agar tidak tertipu oleh pendapat-pendapatnya. Apakah kita akan percaya pernyataan Ibnu Taimiyah dan mencampakkan nama-nama besar itu yang masing-masing mereka bergelar “Al-Hafizh” yang berarti telah hafal sedikitnya sepuluh ribu Hadits dengan sanadnya? Apakah kita lebih percaya pada Ibnu Taimiyah yang banyak memberi pernayataan “plin-plan” dalam berbagai kitabnya? Dalam segi ketelitian berargumentasi, Ibnu Taimiyahsudah jelas nampak kacau balau, ia tidak memenuhi syarat walaupun untuk disebut sebagai “peneliti”, apalagi untuk disebut sebagai “ahli Hadits! Lantasbagaimana mungkin kita mau memegang omongannya!
b.        Ketika mereka (Ibnu Taimiyah dan pegikutnya) menyatakan haram atau syirik terhadap tawassul dengan orang meninggal, maka berarti mereka menganggap sesat dan syirik terhadap perbuatan Utsman bin Hunaif, berarti Sahabat Nabi ada yang sesat dan syirik. Beranikah mereka katakan itu di hadapan Rasulullah?
c.        Kita tidak usah membicarakan Hadits yang lain. Kalaupun hanya riwayat Utsman bin Hunaif yang shahih, bahwa Rasulullah mengajarkan tawassul sewaktu beliau hidup, riwayat ini sama sekali tidak menyimpulkan bahwa tawassul dengan Nabi itu hanya berlaku selama beliau hidup. Seandainya memang tawassul dengan orang meninggal itu sesat maka tentu Rasulullah adalah orang yang paling hawatir umat beliau tersesat, maka tentu beliau akan berpesan pada orang yang diajari tawassul itu agar “tawassul dengan Nabi” tidak dipakai setelah beliau wafat. Kenyataannya Rasulullah menyuruh tawassul dengan diri beliau tanpa mengkhususkan selama beliau hidup. Maka barang siapa mengkhususkan sesuatu yang tidak dikhususkan oleh Rasulullah, maka ia jelas-jelas telah melakukan bid’ah yang sesat.
d.        Mereka berdalih dengan sebuah riwayat shahih bahwa Khalifah Umar bin Khaththab pernah bertawassul dengan Sayyidina Abbas bin Abdul Muththalib, paman Nabi, pada saat shalat istisqa’ setelah Nabi wafat. Mereka, pikir, kalau memang tawassul dengan orang meninggal itu boleh maka tentu Khalifah Umar akan bertawassul dengan Nabi. Paham ini sebenarnya sangat dangkal dan nampak sekali kesan pemaksaannya hanya demi untuk mendukung pendapat mereka. Coba kita perhatikan berita kalimat ini: “Umar bertawassul dengan Abbas, waktu tawassulnya setelah Nabi wafat”. Jujur saja, kalimat ini memberi dua kesimpulan, yang pertama sifatnya pasti dan yang kedua sifatnya hanya mungkin. Pertama, berarti boleh bertawassul dengan selain Nabi. Yang kedua, bisa jadi Umar menganggap tidak boleh bertawassul dengan orang meninggal, makanya beliau bertawassul dengan Abbas yang masih hidup. Kemungkinan yang kedua ini hanya “bisa jadi”, artinya bisa juga tidak. Nah, dalam kaidah Ushul Fiqih, memutuskan suatu hukum itu harus berdasarkan nash (dalil) yang tidak memiliki banyak kemungkinan kesimpulan. Kaidah mengatakan:
عِنْدَ وُجُوْدِ الاِحْتِمَالِ سَقَطَ الاِسْتِدْلاَلُ
“Ketika ada kemungkinan maka gururlah penggunaan dalil.”
Jadi, orang yang mengerti Ushul Fiqih akan merasa malu untuk menjadikan riwayat Umar ini sebagai hujjah untuk mengharamkan tawassul dengan orang yang telah meninggal.
e.        Mereka mengaggap tawassul dengan orang yag telah meninggal sebagai syirik, kalau dengan orang yang masih hidup maka tidak. Lantas apa bedanya? Bertawassul dengan seseorang itu karena melihat status orang yang ditawassuli, karena kita mengaggap dia sebagai kekasih Allah. Nah, status kekasih Allah itu tidak berubah setelah ia meninggal. Sebagian mereka berkata bahwa orang yang telah meninggal itu tidak bisa memberi manfaat sebagaimana orang yang masih hidup.” Yang lain berkata: “Allah itu Maha Dekat dan Mendengar, mengapa kita tidak langsung saja berdoa kepada Allah tanpa perantara!” Maka pernyataan itu semakin memperjelas kesahpahaman mereka. Berarti, menurut mereka, tawassul itu minta pada orang yang ditawassuli. Ini sudah jelas keluar dari arti "bertawassul dengan seseorang”. Dari segi bahasa saja mereka telah salah memahami arti tawassul. Secara bahasa, tawassul itu artinya memohon dengan merengek atau merayu. Maka bertawassul dengan seseorang itu artinya meminta kepada Allah dengan sebuah rayuan berupa menyebut orang yang dicintai Allah. Sama dengan merayu Zaid bin Umar, misalnya, dengan berkata “Saya penggemar orang tua Anda, maka demi dia, tolonglah saya.” Coba perhatikan, siapa yang dimintai diatara Zaid dan Umar itu? Zaid, Umar atau dua-duanya? Kalau ada yang bilang berarti minta pada Umar atau pada dua-duanya Zaid dan Umar, berarti orang itu belum bisa disebut “bisa berbahasa dengan benar”.
Itulah beberapa hal yang semoga dapat membantu mereka untuk memahami arti tawassul. Baragkali mereka memang kurang punya sopan santun sehingga tidak menghormati ulama-ulama ahli Hadits dan sembarangan menyebut mereka sesat. Setidak-tidaknya agar mereka tidak buru-buru menganggap sesat dan syirik terhadap mereka

Syirik yang sebenarnya
Syirik yang sebenarnya adalah ketika kita meminta pada seseorang, baik yang diminta itu masih hidup atau sudah mati, dengan berkeyakinan bahwa dia mampu memberi dengan kemampuan mutlak sebagaimana kemampuan yang dimiliki Allah. Coba kita tanya pada orang yang bertawassul dengan para wali itu, seawam apapun mereka tidak pernah meyakini bahwa para wali yang ditawassuli itu mampu memberi dengan kemampuan mutlak sebagaimana kemampuan yang dimiliki Allah. Demikian pula dengan tabarruk, ketika mereka menyentuh, mencium dan meminum air rendaman benda bekas orang shaleh, mereka tidak pernah menganggap benda itu memiliki kekuatan sebagaimana kekuatan yang dimiliki Allah. Mereka hanya berharap dengan itu Allah tersentuh untuk mengabulkan doa mereka, atau berharap untuk mendapat ridha Allah. Hal ini sama dengan perihal orang yang mencium hadiah pemberian Anda di hadapan Anda. Coba apa yang Anda pikirkan tentang orang itu? Menurut Anda apa yang ia tuju dengan mencium hadiah itu di hadapan Anda? Anda pasti berfikir bahwa dia melakukan itu untuk membuat Anda senang. Demikian pulalah yang terjadi pada orang yang bertabarruk, mereka berharap Allah senang dengan tabarruk itu, karena yang mereka tabarruki adalah orang atau benda bekas orang yang dicintai Allah. Itulah yang terjadi pada umumnya kaum muslimin yang bertabarruk. Kecuali orang awam yang memang masih dalam pengaruh kepercayaan kuno pra Islam. Dan untuk orang seperti ini tentu saja kita wajib memberi pengarahan.





_____________________________________________________ 


10. MENYUMBAT KAPAL LAUT

Sebagai pimpinan pesantren, Kiai Kholil senantiasa mengimami sholat, tiba-tiba keluar dari jam’ah sholat menuju ke halaman masjid. Tangan Kiai Kholil bergerak ke kanan-kiri seakan berbuat sesuatu yang sangat menyibukkan. Hal ini sangat tidak dipahami para santri. Mereka hanya diam seribu bahasa, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Setelah beberapa lama Kiai Kholil di halaman, lalu kembali mengimami sholat hingga selesai.
Beberapa hari berlalu, begitu pula dengan kegiatan pesantren berjalan sebagaimana mestinya. Tetapi bagi para santri peristiwa aneh yang tidak bisa dipahami beberapa hari lalu tetap menjadi tanda tanya. Para santri tetap penasaran sebelum terpecahkan. Hari demi hari berlalu, tidak ada tanda-tanda pemecahan peristiwa yang selalu diingat itu. Baru setelah beberapa hari setelah kejadian itu, datang beberapa orang membawa  bungkusan yang sangat banyak.
“Mau ke mana saudara-saudara ini?” Tanya seorang santri kepada tamu yang baru datang.
“Saya akan menemui Kiai Kholil. Seminggu yang lalu beliau telah menolong kami dari musibah bocor kapal kami.” Jawab rombongan yang baru datang itu.
“Seminggu yang lalu?” Pikir santri. Padahal beberapa minggu yang lalu, Kiai Kholil tidak pernah bepergian apalagi menyeberang laut. Akhirnya santri tersebut mengantarkan rombongan yang baru datang itu ke Kiai Kholil.
Seperti biasanya, kalau Kiai kedatangan tamu, lalu bertanya:
“Ada keperluan apa?” Ucap Kiai Kholil menyambut kedatangan tamu itu.
“Kami ingin mengucapkan terima kasih berkat upaya Kiai yang menyumbat kapal laut kami yang bocor sehingga kami selamat. Kami tentu akan tenggelam jika tidak ada Kiai dan harta kami semua akan hilang begitu saja.” Ucap rombongan itu dengan wajah berseri-seri.
Para santri yang sengaja mendengarkan pembicaraan di sekitar rombongan itu, seketika sadar dan memahami tentang kejadian seminggu yang lalu. Rupanya, ketika Kiai memimpin sholat jamaah lalu keluar ke halaman masjid dalam upaya menyumbat kapal bocor. Pantas tangan Kiai sibuk bergerak kian kemari. Sejak saat itu para santri menjadi tenang dan tidak penasaran lagi tentang peristiwa yang selalu diingatnya itu.








11. TIGA TAMU DAN ISTIGFAR

Dan diantara karomahnya. Suatu hari. Kiai Kholil kedatangan tiga orang tamu secara bersamaan. Lalu sang Kiai bertanya kepada tamu yang pertama:
“Sampeyan ada keperluan apa?”
“Saya seorang pedagang, Kiai. Hasil tidak didapat malah rugi terus menerus.” Ucap tamu pertama memohon. Setelah Kiai Kholil memandang sejenak ke arah tamu yang pertama, lalu menjawab: ”Jika kamu ingin berhasil dalam berdagang, banyaklah berucap istigfar.”
Setelah itu tamu kedua menghadap: “Sampeyan ada perlu apa?”
Saya sudah berkeluarga 18 tahun tapi saya belum diberi keturunan.”
Setelah Kiai memandang kepada tamu kedua, maka dijawablah: “Perbanyak istigfar.” Tandas Kiai.
Kini tiba giliran pada tamu yang ketiga. Kiai langsung bertanya:, “Sampeyan ada perlu apa?”
“Saya usaha tani, Kiai, namun makin hari hutang saya makin banyak, sehingga tak mampu membayarnya.” Ucap tamu yang ketiga dengan muka raut yang serius.
“Jika kamu ingin berhasil dan melunasi hutangmu, perbanyak istigfar.” Pesan Kiai kepada tamu yang terakhir.
“Beberapa murid Kiai Kholil yang melihat peristiwa itu merasa heran. Suatu persoalan yang berbeda, tapi dengan jawaban yang sama, dengan resep yang sama, yaitu menyuruh perbanyak istigfar.
Kiai Kholil mengetahui keheranan para santri. Setelah tamunya pulang maka dipanggil para santri yang penuh tanda Tanya itu. Lalu Kiai kholil membacakan surat nuh ayat 10-12 :

اِسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّاراً (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ مِدْرَاراً (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِيْنَ.. (12)

Artinya: Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya dia maha pengampun, niscaya dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat dan membanyakkan harta dan anak-anakmu.
Mendengar jawaban Kiai ini para santri mengerti bahwa jawaban itu memang merupakan janji allah bagi siapa yang memperbanyak baca istigfar. Memang benar. Tak lama setelah kejadian itu, ketiga tamu semuanya berhasil apa yang dihajatkan.[1]






12. POLISI MENCARI PENCURI

Dan diantara karomahnya, seperti dikisahkan di bawah ini. Sudah lama polisi memburu seorang pencuri yang malang melintang disekitar kota Bengkalan. Beberapa cara telah dilakukan, namun hasilnya nihil. Aparat kepolisian hampir putus asa. Mereka kewalahan menangkap pencuri yang satu ini. Tidak tahu cara apa yang harus ditempuh. Pada saat kebingungan mencari cara, seorang polisi senior mendapat ide dan mengusulkan untuk sowan ke Kiai Kholil.
Setelah dipertimbangkan, polisi itu memutuskan untuk menemui Kiai Kholil. Setibanya di kediaman Kiai kholil, seperti halnya tamu yang lainnya, Kiai menanyakan “Sampeyan ada keperluan apa?”.
“Saya memburu pencuri, Kiai. Seluruh kota dan desa sudah dilacak, tapi tak ada hasil. Mohon petunjuk Kiai.” Ucap polisi dengan penuh harap. Beberapa saat Kiai memandang tamunya. Tiba-tiba Kiai memanggil seorang santri dan menyuruh membeli urus-urus. Urus-urus adalah obat yang digunakan untuk cuci perut. Istilah lainnya disebut broklat. Kiai Kholil lantas menyuruh polisi yang ada dihadapannya itu untuk meminum urus-urus.
“Saya minum ini, Kiai ?” Kata polisi tadi, tak percaya dalam benaknya, apa hubunganya dengan pencarian pencuri.
“Ya, minum cepat!” Tegas Kiai Kholil sekali lagi.
Selesai meminum urus-urus, polisipun disuruh pulang memakai kendaraan umum.
Dalam perjalanan pulang, tampaknya urus-urus mulai beraksi. Perut sang polisi mulai mules-mules. Sampai disuatu tempat tertentu, rasa mules-mules sudah memuncak. Tak ada jalan lain kecuali berhenti di tengah jalan dan mencari sungai untuk buang hajat.
Setelah polisi berhenti, terlihat ada sungai yang tampaknya cukup curam dan dalam. Karena hajat tidak bisa ditahan lagi, maka walaupun rasa berat, sang polisi menuju sungai yang sangat curam itu, ketika berada di curam yang paling bawah, disitulah sang polisi memergoki pencuri yang selama ini dicarinya. Dengan sigap, polisi meringkus pencuri dan memborgolnya.
Dengan tertangkapnya pencuri itu, sadarlah polisi terhadap maksud mengapa Kiai Kholil menyuruh meminum urus-urus. Rupanya inilah jalan yang harus ditempuh untuk mengetahui dan menangkap pencuri yang selama ini malang melintang di Bangkalan.




13. SUMUR KIAI KHOLIL

Ketika Kholil muda nyantri di Pesantren Cangaan Bangil bertepatan dengan musim kemarau panjang. Semua sumur mengalami kekeringan. Masyarakat Cangaan mengalami kesulitan  untuk mendapatkan air minum. Demikian juga di dalam kompleks lingkungan pesantren yang dipimpin Kiai Asyik. Dalam suasana seperti itu Kiai Asyik lalu memanggil Kiai Kholil menghadap:
“Kholil..” Kata Kiai Asyik agak serius.
“Ya, Kiai.” Jawab Kholil dengan sopan dan ta’zhim.
“Sekarang kamu buat sumur, sebab saat ini musim kemarau, kita kesulitan air.” Perintah Kiai Asyik.
“Insyaallah..” Jawab Kholil dengan tenang.
Setelah diperintahkan Kiai, segera Kholil mengambil sebuah serok untuk menggali sumur. Terdorong sikap patuhnya kepada Kiai Asyik, Kholil segera menggali sumur. Upaya Kholil berhasil baru saja dia menggali satu meter ternyata air sudah menyembur keluar. Hal ini sangat menyenangkan Kiai Asyik dan warga pesantren. Berita sumur baru yang banyak mengeluarkan air itu ternyata tidak lama kemudian terdengar oleh masyarakat Cangaan Bangil. Betapa bahagianya masyarakat mendengar berita itu. Beberapa orangmasyarakat segera pergi ke sumur untuk mendapatkan air. Sejak itu masyarakat Cangaan Bangil berbondong-bondong mengambil air di sumur tadi sebanyak-banyaknya. Meskipun air sumur itu diambil terus-menerus oleh masyarakat, namun air tetap melimpah.
Sumur itu sampai sekarang masih ada. Warga pesantren memeliharanya dengan baik warisan salah satu dari karomah Kiai Kholil. Masyarakat Cangaan menamakannya “Sumur Kiai Kholil”.




14. BERGURU DALAM MIMPI

Dan diantara karomahnya, adalah terjadi pada saat akan mencari ilmu. Pada waktu Kholil muda, ada seorang Kiai yang terkenal di daerah Wilungan, Pasuruan bernama Abu Darrin. Kealimannya tidak hanya terbatas di lingkungan Pasuruan, tetapi sudah menyebar ke berbagai daerah lain, termasuk Madura. Kholil muda yang mendengar ada ulama yang mumpuni itu, terbetik di hatinya ingin menimba ilmunya. Setelah segala perbekalan dipersiapkan, maka berangkatlah Kholil muda ke pesantren Abu Darrin dengan harapan dapat segera bertemu dengan ulama  yang dikagumi itu.
Tetapi alangkah sedihnya ketika dia sampai di Pesantren Wilungan, ternyata Kiai Abu Darrin telah meninggal dunia beberapa hari sebelumnya. Hatinya dirundung duka dengan kepergian Kiai Abu Darrin. Namun karena tekad belajarnya sangat menggelora maka Kholil segera sowan ke makam Kiai Abu Darrin. Setibanya di makam Abu Darrin, Kholil lalu mengucapkan salam lalu berkata: “Bagaimana saya ini Kiai, saya masih ingin berguru pada Kiai, tetapi Kiai sudah meninggal!” Desah Kholil sambil menangis. Kholil lalu mengambil sebuah mushaf Al Quran. Kemudian bertawassul dengan membaca Al Quran terus menerus sampai  41 hari lamanya.
Pada hari ke-41 tiba-tiba datanglah Kiai Abu Darrin dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, Kiai Abu Darrin mengajarkan beberapa ilmunya kepada Kholil. Setelah dia bangun dari tidurnya, lalu Kholil serta merta dapat menghafal kitab Imriti, Kitab Asmuni dan Alfiyah.[2]


















GENERASI KELUARGA
DAN PENERUS PERJUANGAN
SYEKH KHOLIL




 
ISTRI-ISTRI SYEKH KHOLIL

Ada sembilan wanita yang tercatat sebagai istri Syekh Kholil, beberapa diantara mereka beliau nikahi setelah beberapa istri sebelumnya meninggal dunia. Hal itu sangatlan wajar, karena Syekh Kholil itu berumur panjang, bahkan ada yang mengatakan bahwa beliau berumur lebih dari seratus tahun, maka beliaupun beberapa kali kedahuluan meninggal oleh istri dan beberapa kali menikah lagi. Itulah sebabnya Syekh Kholil memiliki istri yang banyak.
Mereka adalah:

1.       Nyai Raden Ayu Assek binti Ludrapati.
2.       Nyai Ummu Rahma.
3.       Nyai Raden Ayu Arbi’ah.
4.       Seorang wanita dari Telaga Biru, Bangkalan. Belum diketahui namanya.
5.       Seorang wanita dari Sabrah Sepulu, Bangkalan. Belum diketahui namanya.
6.       Nyai Kuttab.
7.       Nyai Raden Ayu Nur Jati.
8.       Nyai Mesi.
9.       Nyai Sailah.

Dari sembilan istri itu, hanya empat orang yang menurunkan keturunan Syekh Kholil. Mereka adalah: Nyai Assek, Nyai Ummu Rahmah, Nyai Arbi’ah dan Nyai Mesi.

PUTRA-PUTRI SYEKH KHOLIL

Dengan Nyai Assek:
1.       Ahmad (Meninggal masih kecil).
2.       Nyai Khotimah.
3.       KH. M. Hasan.

Dengan Nyai Ummu Rahma:
4.       Nyai Rahma.

Dengan Nyai Arbi’ah:
5.       KH. Imron.

Dengan Nyai Mesi:
6.       KH. Badawi.[3]
7.       Nyai Asma’.

Dari keenam putra-putri itu, hanya empat yang menurunkan keturunan sampai sekarang, yaitu selain KH. M. Hasan dan KH. Badawi.







1. NY. KHOTIMAH BINTI KHOLIL

Nyai Khotimah menikah dengan Kiai Muhammad Thoha (kiai Muntaha) bin Kiai Kaffal. Mereka masih sepupu, karena Kiai Muhammad Thoha adalah putra Nyai Maryam (kakak Syekh Kholil). Kalau dari ayah, Kiai Muhammad Thoha pernah keponakan dua pupu kepada Nyai Khotimah.



Pasangan Nyai Khotimah dan Kiai Muhammad Thoha memiliki tiga orang putra, yaitu:
1.    Kiai Ahmad.
2.       Nyai Rahimah.
3.       dan Kiai Abdul-Lathif.
Namun hanya Kiai Abdul Lathif yang memiliki keturunan.
Kiai Abdul Lathif memiliki putra tunggal bernama Kiai Kholili.
Kiai Kholili memiliki dua istri, yaitu Nyai Na’imah binti Imron bin Kholil dan Nyai Nafisah binti abdul Karim bin Munawwar bin Kaffal + Nyai Maryam (kakak Syekh Kholil).

a. Putra-putra KH. Kholili dengan Nyai Na’imah:
1.       Kiai Ahmad Juwaini. Mendirikan “Pesantren Al-Bukhoriyah” di Jhembhuh, bangkalan.
2.       Kiai Abdul Mu’thi. Mendirikan “Pesantren Sirojul Kholil” di kampung Dulkariman,Bangkalan.
3.       Kiai Abdul Mughni. Mendirikan pesantren di Sukalela Lama, Bangkalan.

b. Putra-putri KH. Kholili dengan Nyai Nafisah:
4.       Kiai Abdul Lathif. Mendirikan “Madrasah Al-Awwaliyah” di Pasar Kapoh, Bangkalan.
5.       Kiai Abdul Kholiq. Mendirikan sebuah Madrasah di kampung Goa, Trahgeh, Bangkalan.
6.       Nyai Khotimah (Kramat).
7.       Nyai Rosyidah. Menikah dengan Kiai Hifni Thoha, Pesantren Al-Falah, Sumber Gayam, Pamekasan.
8.       Kiai Abdul Hamid. Mengasuh Pesantren “Al-Muntaha Al-Kholili” Jangkibuan, pesantren pertama yang didirikan oleh Syekh Kholil.
9.       Kiai Thoha.
10.   Fatimah Az-Zahra’. Menikah dengan Kiai Abdul Malik Hasyim, Pesantren Al-Ishaqi II,Jhembhuh, Bangkalan.
11.   Nyai Rohimah (Bondowoso).
12.   Kiai Mujtaba.
13.   Kiai Syamsuddin.
14.   Kiai Muhammad Hasan.



2. NY. RAHMAH BINTI KHOLIL

Nyai Rahmah  menikah dengan Kiai ‘Arif. Kiai ‘Arif dikenal juga dengan panggilan Kiai Talkhish. Nasab beliau belum saya temukan.
Pasangan Nyai Rahmah dan Kiai ‘Arif memiliki dua orang putra-putri, yaitu:
1.       KH. Umar.
2.       dan Ny. Minnah.

2.1. KH. Umar bin Rahmah binti Kholil.
Berputra tiga, yaitu:
1.       Kiai Busri. Memiliki putra bernama Kiai Abdul Lathif yang mendirikan sebuah pesantren di mancengan, Modung, bangkalan.
2.       Nyai Rahimah. Memiliki keturunan.
3.       Nyai Saudah. Berputra Kiai Ali Wafa.

2.2. Nyai Minnah binti Rahmah binti Kholil.
Nyai Minnah menikah dengan Kiai Abdun Nafi’, pendiri “Pesantren An-Nafi’iyyah” Senenan, bangkalan.
Kiai Abdun Nafi’ pernah dua pupu dengan Nyai Minnah, karena beliau adalah putra Nyai Fathimah, sedangkan Nyai Fathimah adalah putri pasangan Kiai Kaffal dan Nyai Maryam (kakak Syekh Kholi). Adapun ayah Kiai Abdun Nafi’ bernama Kiai Shaleh bin Mukammal, saya belum menemukan nasab beliau.
Pasangan Nyai Minnah dan Kiai Abdun Nafi’ memiliki tiga orang putri, yaitu:
1.       Nyai Nahlah.
2.       Nyai Jamilah.
3.       dan Nyai Aminah.

2.2.1. Nyai Nahlah.
 Nyai Nahlah menikah dengan Habib Umar Al-Hamid, memiliki empat orang putra, yaitu:
1.       Nyai Khusaimah.
2.       Habib Alwi.
3.       Nyai Zahrah.
4.       dan Habib Abdullah.

2.2.2. Nyai Jamilah.
Nyai Jamilah menikah dengan Kiai Mas’ud. Kiai Mas’ud kemudian mengasuh Pesantren An-Nafi’iyyah setelah Kiai Abdun Nafi’.
Pasangan Nyai Jamilah dan Kiai Mas’ud memiliki lima orang putra-putri, yaitu:
1.       Nyai ‘Aisyah.
2.       Nyai Rahimah.
3.       Nyai Khadijah.
4.       Nyai Mu’minah.
5.       Kiai Abdullah. Beliau yang menggantikan Kiai Mas’ud mengasuh Pesantren An-Nafi’iyyah.

2.2.3. Nyai Aminah.
Nyai Aminah menikah dengan Kiai Abdul Hannan. Saya belum menemukan nasab kiai Abdul Hannan. Mereka memiliki delapan orang putra-putri, yaitu:
1.       Kiai Husni.
2.       Nyai Fathimah.
3.       Kiai Abdun Nafi’.
4.       Kiai Muhammad Madani.
5.       Nyai Tsuwaibah.
6.       Kiai Mahbubur Rahman.
7.       Kiai Ahmad Shonhaji.
8.       Kiai Muhammad Ghozali.


3. KIAI IMRON BIN KHOLIL

Kiai Imron memiliki dua orang istri, yaitu Nyai Muthmainnah dan Nyai Mu’minah. Dengan Nyai Muthmainnah memiliki lima orang putra-putri, dan dengan Nyai Mu’minah memiliki empat orang putra-putri. Mereka adalah:

a. Kiai imron dengan Nyai Muthmainnah:
1.       Nyai Romlah.
2.       Nyai Nazhifah.
3.       Kiai Amin.
4.       Kiai Ma’mun. (tidak memiliki keturunan).
5.       Nyai Aminah.
b. Kiai imron dengan Nyai Mu’minah:
6.       Kiai Munawwir. Meninggal muda.
7.       Nyai Na’imah. Istri Kiai Kholili bin Abdul Lathif bin Nyai Khotimah (dengan KiaiMuhammad Thoha) bin Syekh Kholil.
8.       Nyai Arfia.
9.       Nyai Jamaliyah.

3.1. Nyai Romlah binti Imron.
Nyai Romlah menikah dengan Kiai Zahrawi, seorang kiai keturunan Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Mereka memiliki empat orang putra, yaitu:
1.       Kiai Fakhrur Rozi. Mengasuh Pesantren Syaikhona Kholil Kademangan setelah Kiai Abdul Fattah bin Aminah binti Imron.
2.       Kiai Abdullah Sachal. Mengasuh Pesantren Syaikhona Kholil Kademangan setelah Kiai Fakhrur Rozi, sampai sekarang (2007).
3.       Kiai Kholil AG. Mendirikan Pesantren Syaikhona Kholil II.
4.       Kiai Kholilur Rahman.

3.2. Nyai Nazhifah binti Imron.
Nyai Nazhifah menikah dengan Kiai Muntashor, pendiri “Pesantren Nurul Kholil” Demangan Barat. Saya belum menemukan nasab beliau. Berputra satu, yaitu Kiai Zubair yang melanjutkan mengasuh “Pesantren Nurul Kholil” sampai sekarang (2007).

3.1. Kiai Amin bin Imron.
Kiai Amin berputra lima, yaitu:
1.       Kiai Fu’ad. Bubati Bangkalan sekarang (2003-2008).
2.       Kiai Faruq.
3.       Kiai Abdul Lathif.
4.       Kiai Abdul Kholiq.
5.       Kiai Imron.

3.2. Nyai Aminah binti Imron.
Nyai Aminah menikah dengan Kiai Syafi’i. Saya belum menemukan nasab beliau. Mereka memiliki seorang putra bernama Kiai Abdul Fattah.
Kiai Abdul Fattah menggantikan mengasuh Pesantren Kademangan stelah Syekh Kholil. Lalu pindah ke Senenan mendirikan Masjid Al-Fath yang kemudian berkembang menjadi sebuah Pesantren dan kini diasuh oleh menantu beliau, Kiai ‘Affan.
Kiai Abdul Fattah memiliki dua orang putra-putri, yaitu:
1.       Kiai Imron.
2.       Nyai Aminah (Aminatul Umaro’).

3.2.1. Kiai Imron bin Abdul Fattan binti Aminah binti Imron.
Memiliki dua orang putra, yaitu:
1.       Kiai Fahmi.
2.       Kiai Farhat.

3.3. Nyai Arfia binti Imron bin Kholil.
Nyai Arfiah menikah dengan Kiai Rofi’i Abdul Aziz, pendiri Peantren Al-Aziziyah Sebaneh, Bangkalan. Saya belum mendapatkan nasab beliau.
Pasangan Nyai Arfiah dan Kiai Rofi’i memiliki delapan orang putra-putri, yaitu:
1.       Nyai Mahmudah.
2.       Nyai Badriyah (Hj. Mashfiyah).
3.       Kiai Qomaruddin. Pengasuh Pesantren Al-Aziziyah setelah Kiai Rofi’i.
4.       Nyai Nafi’ah.
5.       Kiai Musyaffa’.
6.       Kiai Syafi’. Mendirikan sebuah pesantren di Bujaan, bangkalan.
7.       Kiai Abdul Qadir.
8.       Kiai Mundzir.
3.4. Nyai Jamaliyah binti Imron bin Kholil
Nyai Jamaliyah menikah dengan Kiai Mukhtar fk ‘Affan. Pendiri Pesantren Bancaran, Bangkalan. Saya belum mendapatkan nasab beliau.
Pasangan Nyai Jamaliyah dan Kiai Mukhtar memiliki delapan orang putra-putri, yaitu:
1.       Nyai Rahmah.
2.       Nyai Syarifah. Istri Kiai Abdul Mu’thi bin Kolili bin Abdul Lathif bin Khotimah (dengan Kiai Muhammad Toha) binti Syekh Kholil.
3.       Kiai Uwais Al-Qarani. Pengasuh Pesantren Bancaran setelah Kiai Mukhtar.
4.       Nyai Zakiyah. Istri Kiai Abdul Wahhab, pendiri Pesantren Asy-Syadziliyah, Bangkalan.
5.       Nyai Kholidah. Istri Kiai Fadhli yang mendirikan sebuah Madrasah di Bughih, Pamekasan.
6.       Nyai Sa’adah (Sa’adatud Darain).
7.       Kiai Muhammad Imron. Pengasuh Pesantren Bancaran setelah Kiai Uwais Al-Qarani.
8.       Nyai Makkatul Mukarromah. Istri Kiai Luthfi Ahmad, Pesantren Cangkring, Jember.



4. NYAI ASMA’ BINTI KHOLIL

Nyai Asma’ menikah dengan Kiai Yasin, pendiri Pesantren Al-Falah Kepang, Bangkalan. Beliau adalah keturunan Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana).
Pasangan Nyai Asma’ dan Kiai Yasin memiliki sembilan orang putra-putri, yaitu:
1.       Kiai Kholil Kepang. Penerus Kiai Yasin mengasuh Pesantren Al-Falah. Sejak beliau,nama Pesantren Al-Falah ditambah “Al-Kholili”, dinisbatkan pada nama beliau.
2.       Nyai Malihah. Menikah dengan Kiai Anwar, pendiri Pesantren Kademangan Timur.
3.       Kiai Nashir. Pendiri Pesantren Al-Falah An-Nashiri, Senenan Bangkalan.
4.       Nyai Badiyah. Istri Kiai Kholili, Pesantren Kebon Anyar, Bangkalan.
5.       Nyai Robi’ah. Istri Kiai Abdul Karim, Pesantren Los, Sukalela, Bangkalan.
6.       Nyai Karimah. Istri Kiai Hamiduddin, pendiri Pesantren Al-Hamidiyah, Prajjan, Sampang.
7.       Nyai Nailah. Istri Kiai Mujtaba, Pesantren Pregih.
8.       Nyai Asiyatun. Istri Kiai Muhtarom, pendiri sebuah pesantren di Kademangan.
9.       Nyai Maimunah. Istri Kiai Abdul Muqit bin Ali Wafa, pengasuh Pesantren Temporejo, Jember.

4.1. Kiai Kholil Yasin (Kholil bin Asma’).
Memiliki sembilan putra-putri, yaitu:
1.       Kiai Muhammad Hasan. Pengasuh Pesantren Al-Falah Al-Kholili setelah Kiai Kholil Yasin.
2.       Kiai Muhammad Amin.
3.       Kiai Ali. Pendiri Yayasan Pesantren Syaikhona Kholil Balik Papan yang memiliki cabang di beberapa daerah di Kalimantan Timur.
4.       Kiai Alawi.
5.       Kiai Yasin.
6.       Nyai Khadijah. Pengasuh Pesantren Putri Al-Falah Al-Kholili.
7.       Kiai Abdullah.
8.       Kiai Abdul Jalil.
9.       Kiai Nawawi.

4.2. Nyai Malihah dengan Kiai Anwar.
Memiliki sepulah putra-putri, yaitu:
1.       Kiai Abdul Karim. Pendiri Pesantren Al-Masyhuriyah.
2.       Nyai Fathimah. Pendiri sebuah Pesantren Putri di Naro’a, Burneh, Bangkalan.
3.       Kiai Muhammad Faishal.
4.       Nyai Rahimah. Istri Kiai Rofi’i, Pesantren Lorong Dalam, Bangkalan.
5.       Nyai Musriah. Istri Kiai Zubair (putra Nyai Nazhifah binti Imron bin Syekh Kholil).
6.       Nyai Ummu Kultsum. Istri Kiai Hasan, Pesantren Tambang Agung, Bangkalan.
7.       Nyai Ruqayyah. Istri Kiai Makhtum, Pesantren Bujanah, Bangkalan.
8.       Kiai Muhammad Yahya.
9.       Kiai Kholil.
10.    Nyai Maimunah.

4.3. Kiai Nashir Yasin (bin Asma’).
Kiai Nashir menikah dengan Nyai Hadzami Ghozali, memiliki sebelas putra-putri, yaitu:
1.       Kiai Kholil. Pesantren Al-Falah An-Nashiri, Senenan Bangkalan.
2.       Kiai Abdul Halim.
3.       Kiai a.r. Yusuf. Mendirikan Ma’had Dzikir di Bilaporah, Bangkalan.
4.       Nyai Nur Fathonah. Istri Kiai Muhammad Hasan bin Kolil Yasin Kepang.
5.       Kiai Makki.
6.       Kiai Ahmad Rahbini.
7.       Nyai Fathimah. Istri Kiai Shohwa bin Kiai Dardiri, Pesantren Dukuh Mincik, Jember.
8.       Kiai Hasyim.
9.       Kiai Abdul Lathif.
10.   Kiai Abdul Mu’in.
11.   Nyai Tsurayya. Istri Kiai Abdul Mughni bin Mujib, Pesantren Al-Khozini, Buduran, Sidoarjo.

4.4. Nyai Badiyah dengan Kiai Kholili.
Memiliki delapan putra-putri, yaitu:
1.       Kiai Muhammad Zaini.
2.       Kiai Abdul Ghafur.
3.       Kiai Harron.
4.       Kiai Amami.
5.       Nyai ‘Aisyah.
6.       Kiai Muhammad Yasin.
7.       Nyai Minnah
8.       Nyai Siti Na’iman.

4.5. Nyai Robi’ah dengn Kiai Abdul Karim.
Memiliki lima orang putra-putri, yaitu:
1.       Nyai Aminah.
2.       Kiai Muhammad Kholili.
3.       Nyai Kamiliyah.
4.       Kiai Abdul Kholiq.
5.       Kiai Mubarok.

4.6. Nyai Karimah dengan Kiai Hamiduddin.
Memiliki tiga orang putra, yaitu:
1.       Nyai Hayat.
2.       Kiai Yahya.
3.       Kiai Abdullah.

4.7. Nyai Asiyatun dengn Kiai Muhtarom.
Memiliki enam orang putra-putri, yaitu:
1.       Kiai Ahmad Faruq. Pengasuh Pesantren setelah Kiai Muhtarom.
2.       Nyai Jamilah.
3.       Nyai Nur Kautsar. Pesantren Peramean, Bangkalan.
4.       Nyai Lathifah. Istri Kiai Muhsin Zubair, Pesantren Mong-mong, Arosbaya, Bangkalan.
5.       Kiai Hasbullah.
6.       Kiai Imam Ghozali.

4.8. Nyai Nailah dengan Kiai Mujtaba.
Memiliki enam orang putra-putri, yaitu:
1.       Kiai Nur.
2.       Nyai Huzaimah.
3.       Nyai Yamamah.
4.       Kiai Hamim.
5.       Nyai Mudawilah.
6.       Nyai Uswatun.

4.9. Maimunah dengan Kiai Abdul Muqit.
Memiliki tiga orang putra-putri, yaitu:
1.       Nyai Muthi’ah. Istri Kiai Abdul Hamid, Pesantren Bata-bata, Pamekasan.
2.       Kiai Kholil. Pendiri sebuah pesantren putri di Tangkil, Burneh, bangkalan.
3.       Nyai Wardah.









PENUTUP

Untuk menutup buku ini, saya akan membicarakan tentang suatu hal yang selama ini kurang mendapat perhatian dari masyarakat pesantren berhubungan dengan status ahlulbayt.
Selama ini, ahlulbayt selalu diidentikkan dengan jamaah Habib yang baru datang dari Arab. Padahal, tidak sedikit dari masyarat pesantren itu yang tahu dan meyakini nasab Kiai semisal Syekh Kholil. Saya rasa, hal ini akibat dari tertutupnya para Kiai selama ini untuk membicarakan soal nasab.
Menurut pengamatan saya, ketertutupan ini disebabkan dua hal:
Pertama. Para Kiai ahlulbayt sengaja menyembunyikan nasab untuk menjaga diri dan keluarga dari rasa bangga diri dan mengandalkan nasab.
Kedua, pengakuan seorang Kiai bahwa beliau bernasab pada ahlulbayt sering mendapatkan sikap sinis dari kalangan tertentu yang sudah masyhur sebagai ahlulbayt. Sang Kiaipun memilih untuk tidak mengaku daripada membuat suasana dingin, sang Kiai memilih mengalah daripada ahlulbayt yang sinis itu menjadi berdosa.
Apapun alasannya, semua itu kembali kepada para Kiai; baik untuk mereka; manfaat utuk mereka; dan pahala untuk mereka. Akan tetapi untuk masyarakat pesantren yang notabene sebagai muhibbin (pecinta ahlulbayt), tentu saja itu adalah suatu kerugian. Coba perhatikan, Syekh Kholil adalah ulama shaleh dan termasuk ahlulbayt. Barangsiapa yang mencintai Syekh Kholil karena beliau seorang ulama shaleh, maka orang itu telah mendapatkan satu fadhilah. Apabila cintanya ditambah dengan suatu sebab, yaitu karena Syekh Kholil termasuk ahlulbayt, maka ia akan mendapatkan dua fadhilah.
Nah, dengan ketertutupan para Kiai selama ini, banyak masyarakat pesantren yang sering melupakan status Kiai semisal Syekh Kholil sebagai ahlulbayt, dan itu mengakibatkan mereka tidak mendapatkan pahala “cinta ahlulbayt” ketika mencintai Syekh Kholil.
Ketika mereka memang tidak tahu, maka mereka tidak akan merasa menyesal. Namun kenyataannya banyak dari mereka yang sebenarnya tahu, mereka hanya kurang perhatian disebabkan oleh ketertutupan para Kiai dan “enggannya” kalangan ahlulbayt masyhur untuk menjelaskan nasab Kiai-kiai ahlul-bayt kepada para muhibbin.
Saya pernah membicarakan hal ini dengan beberapa orang dari kalangan “ahlulbayt masyhur”, sebagian dari mereka malah salah paham, mereka mengira keluarga Azmatkhan seperti saya tidak suka dengan jamaah Habib. Astaghfirullah, Kiai-kiai Azmatkhan pada umumnya mendidik anak-anak mereka untuk tidak terlalu peduli dengan hak, yang penting kewajiban terpenuhi. Sebagai sesama ahlulybayt, siapapun wajib untuk mencintai dan berhak untuk dicintai. Akan tetapi orang-orang tua kami menekankan agar kami mencintai jamaah Habib walaupun seandainya jamaah Habib itu tidak mau mengakui kami sebagai sesama keluarga ahlulbayt. Andai saja mereka mendustakan kami, itu urusan mereka. Andai saja mereka membenci kami, itu urusan mereka. Andai saja mereka merendahkan kami, ,itu urusan mereka. Bahkan orang-orang tua kami menasehati agar kami menerima dengan lapang dada Andai saja ada seorang Habib memperlakukan kami sebagai khaddam (pembantu). Itu urusan mereka. Urusan kami adalah, yang penting kami telah melakukan kewajiban kami terhadap ahlulbayt, walaupun sebenarnya kami juga ahlulbayt dan berhak mendapat perlakuan sama sebagai ahlulbayt.
Sampai saat ini, walaupun saya sering membahas soal nasab dihadapan jamaah Habib, saya sama sekali tidak membenci Habib yang menolak nasab saya dan Kiai-kiai lainnya sebagai keluarga Azmatkhan Al-Alawi Al-Husaini. Saya hanya membahas untuk menjalankan tugas saya sebagai Wakil Ketua Majlis Niqabah Rabithah Aal Azmatkhan (Ikatan Keluarga Azmatkhan) Indonesia. Lebihjelasnya tugas saya adalah memperkenalkan keluarga Azmatkhan kepada Alawiyyin yang lain untuk menjalin silaturrahim. Saya membahas sesuai dengan yang saya ketahui dan saya pelajari. Dan saya juga sangat terbuka untuk ditanya dan didebat tentang keabsahan nasab Azmatkhan secara hukum nasab. Maka tidaklah benar apabila ada yang menganggap bahwa keluarga Azmatkhan seperti saya yang suka membahas soal nasab dihadapan jamaah Habib itu berarti tidak suka atau tidak menghormati jamaah Habib.
Demikianlah, saya berharap penutup ini dapat mempertegas status Syekh Kholil sebagai keluarga Azmatkhan Al-Alawi Al-Husaini, bagi siapapun, agar mereka tidak melewatkan fadhilah mencintai beliau sebagai ahlulbayt, juga Kiai-kiai lainnya yang senasab dengan beliau.
Semoga kita semua, siapapun kita, dapat menikmati cinta kepada Rasulullah dan cinta kepada ahlulbayt. Dan kita semua, siapapun kita, berlindung kepada Allah SWT dari rasa tidak simpati kepada ahlulbayt.
Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kehadirat Rasulullah, semua ahlulbayt dan sahabat beliau.
Akhir kata, segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam. [*]







DAFTAR PUSTAKA

Bahasa Arab:

1.       Syams Azh-Zhahiirah: Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur
2.       Al-Manhal Al-Lathiif Fii Asbaabil-kunaa Wal-Alqaab Lin-nasab Asy-Syariif: Sayyid Ahmad bin Muhammad Asy-Syathiri.
3.       Al-Madkhal Ilaa Taariikh Al-Islaam Fii Asy-Syarq Al-Ausath: Sayyid Alawi bin Thahir Al-Haddad.
4.       Asy-Syajarah Az-Zakiyyah Fil Ansaab Wa Siirati Aali Bayti An-Nubuwwah: Sayyid Yusuf bin Abdullah Jamalullail.
5.       ‘Allimuu Awlaadakum Mahabbata Aali baytin- Nabiy: Syekh Muhammad Abduh Yamani.
6.       Awliyaa Asy-Sayrq Al-Ba’iid: Sayyid Basysyar Al-Ja’fari.
7.       Muslimuu Januubii Syarq Aasiaa, Mahmud Assayyid Ad-DaghimJariidah Al-Hayaah edisi 20-03-2004.
8.       Tarajim ‘Ulama Makkah fil Qarn ast-Tsalits ‘Asyar, Syekh Umar Abdul Jabbar.
Bahasa Indonesia:

9.       Surat Kepada Anjing Hitam, Biografi Dan Karomah Kiai Kholil Bangkalan, Saifur Rachman, Pustaka Ciganjur, cetakan pertama tahun  1999.
10.   Sejarah Umat Islam: Prof. Dr. HAMKA.
11.   Mengislamkan Tanah Jawa: Widji Saksono, Mizan.
12.   Kisah Perjuangan Wali Songo: Adhi Nugraha, Pustaka Mitra Utama.
13.   Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa: Dr. H.J. De Graaf dan Dr. TH. Pigeaud, PT. Pustaka Utama Grafiti Cet. 3, 1989.
14.   Sunan Giri: Umar Hasyim, Menara Kudus, 1980.
15.   Sunan Ampel Raja Surabaya: Agus Sunyoto, Diantama, 2004.
16.   Sunan Drajat Dalam Legenda dan Sejarahnya: Hidayat Iksan MR.
17.   Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah: H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini, Pustaka Hidayah - Bandung.
18.   Keagungan Dan Keutamaan Ahlul-bayt: H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini. Pustaka Hidayah - Bandung
19.   Imam Al-Muhajir: Ust. Dhiya’ Syihab dan KH. Abdullah bin Nuh.
20.   Pitutur dan petuah sesepuh keluarga Azmatkhan.

[1]   Ini adalah karomah jenis ketangkasan dalam menjawab pertanyaan. Cerita ini menunjukkan keluasan Syekh Kholildalam berbagai permasalahan yang terkandung dalam Al-Qur’an. Cerita persis seperti ini sebenarnya telah terjadi jauh sebelum Syekh Kholil, ada yang meriwayatkan bahwa cerita ini adalah cerita Al-Imam Ibu Katsir. Namun tidak menutup kemungkinan cerita ini terjadi pada keduanya.
[2]   Berguru dan menghafal dalam mimpi banyak terjadi pada ulama kekasih Allah. Selain cerita Syekh Kholil, cerita lain yang sangat Masyhur adalah cerita Syekh Marzuqi, pengarang Nazham Aqidatul’awam, beliau mengaku mendapatkan Nazham itu langsung dari Rasulullah melalui mimpi. Dalam Mimpi beliau bertemu Rasulullah dan didikte Nazham tersebut, begitu bagun tiba-tiba Nazham itu sudah dihafal. Belajar dalam mimpi juga pernah terjadi pada seorang Ulama bernama Syekh Khamis, beliau bermimpi ngaji kitab Shahih Al-Bukhari pada Rasulullah, mimpi itu berlagsung beberapa kali dalam beberapa malam berturut-turut, sehingga beliau menyelesaikan semua isi kitab tersebut.
[3]       Banyak orang menulis “Baidhawi”, namun yang benar adalah “Badawi”, sesuai dengan tulisan tangan Syekh Kholil yang ada pada Kiai Thoha Kholili Jangkibuan.
By : http://azmatkhanalhusaini.com