SEKILAS ASWAJA


Istilah Ahlussunnah terbentuk dua kata yaitu: Ahl, berarti keluarga, golongan atau pengikut. Sunnah secara harfiah berarti tradisi. Sunnah secara etimologis adalah jalan, meskipun tidak diridai. Sedangkan menurut terminologis syara’ ialah nama bagi jalan dan perilaku yang diridai dalam agama yang ditempuh oleh Rasulallah SAW atau orang-orang yang mendapat teladan dalam beragama seperti para sahabat, berdasarkan sabda Rasulallah SAW ”Ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku”.
Ahlussunnah berarti orang-orang yang secara konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammmad, dalam hal ini adalah tradisi Nabi dalam tuntunan lisan maupun amalan beliau serta sahabat mulia beliau. Istilah yang lebih dikenal dalam masyarakat adalah Ahlussunnah waljamaah atau disingkat Aswaja. Jamaah menurut Harun Nasution diartikan sebagai golongan yang bepegang pada sunnah dan merupakan mayoritas.
Ahlusunnah waljamaah adalah merupakan ajaran yang mengikuti semua yang telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Sebagai pembeda dengan yang lain. Ringkas kata Ahlussunnah waljamaah adalah orang-orang yang mengikuti cara hidup Nabi Muhammad dan golongan terbesar.
Sementara pakar menyatakan bahwa kelompok Ahlussunnah khalafiyah muncul sebagai reaksi atas paham Mu’tazilah yang disebar pertama kali oleh Wasil bin Atho’ (w 131 H/748 M) dan sangat mengandalkan akal dalam memahami dan menjelaskan ajaran Islam.
Dalam surat syaikh al-Azhar, Salim al Bisyri kepada tokoh Syiah yaitu Abdul Husain Syarfuddin al Musawa dipahami bahwa yang dimaksud dengan Ahlussunnah adalah golongan aliran Asy’ariyah dalam urusan akidah.
Istilah Ahlussunnah sebagai suatu paham sebenarnya belum dikenal pada masa al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M) tokoh yang dianggap sebagai salah seorang pendiri paham ini. Bahkan para pengikut Al-Asy’ari sendiri seperti al Bagillani (403) al-Baghdadi (w 429), Al Juwaini (w 478 H) al Ghozali 505 H dan asy-Syahrashani 548 H juga belum pernah menyebut menyebut terma tersebut. Pengakuan secara eksplisit mengenai adanya paham ahlussunnah baru baru dikemukakan az-Zabidi (w. 1205 H) yang menyatakan, bahwa apabila disebut ahlussunnah maka yang dimaksud adalah pengikut al-Asy’ ari dan al-Maturidi. Hal ini berarti paham ahlussunnah baru dikenal jauh setelah wafatnya tokohnya. 


Esensi Ahlu sunnah wal-Jamaah

MEMBAHAS Ahlussunah wal-Jamaah hendaknya terlebih dahulu mengetahui Hadis yang menyinggung as-Sunah atau al-Jamâ‘ah atau pula Hadis yang menerangkan tentang perpecahan umat. Baiknya kalau kita melihat Hadis berikut ini:

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِى سُفْيَانَ أَنَّهُ قَامَ فِينَا فَقَالَ أَلاَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ-صلى الله عليه وسلم- قَامَ فِينَا فَقَالَ « أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِى النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِى الْجَنَّةِ وَهِىَ الْجَمَاعَةُ ».

Dari Muawiyah bin Abi Sufyan Radhiyallâhu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya orang sebelum kamu dari pengikut Ahli Kitab terpecah belah menjadi 72 golongan. Dan umat Islam ini akan terpecah-belah menjadi 73 golongan, 72 golongan akan masuk ke neraka, dan satu golongan yang akan masuk surga, golongan ini adalah al-Jamâ’ah.” (HR. Abu Daud dan Ahmad)
Dalam Hadis perpecahan umat di atas, tidak terdapat kejelasan siapakah al-jamâ’ah itu. Keterangan yang benar-benar jelas yang bisa diambil dari Hadis ini hanyalah, al-jamâ’ah adalah golongan yang mendapatkan jaminan untuk masuk surga. Karena ketidakjelasan inilah akhirnya berimplikasi pada maraknya klaim-mengklaim dan justifikasi parsial dari berbagai kelompok.
Semua golongan (sekte) yang ada di Indonesia -bahkan dunia- menyatakan bahwa dirinyalah yang termasuk dalam kategori al-jamâ’ah sebagaimana diterangkan Hadis di atas. Masing-masing mereka menyatakan sebagai golongan yang ditahbiskan oleh Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam sebagai golongan penghuni surga atau dalam istilah lain disebut dengan Firqah an-Nâjiyah (golongan yang selamat). Oleh karena itu, kita mencoba menerka dan meraba siapakah atau apakah yang layak menyandang al-jamâ’ah sebagaimana tertera dalam Hadis di atas.
Dalam kitab Firqah an-Nâjiyah misalnya, Muhammad bin Zinu mengatakan bahwa yang layak menyandang golongan selamat atau al-jamâ’ah adalah golongannya (Wahabi). Sedangkan golongan selain Wahabi salah kaprah dan tidak akan selamat dan pantas kalau disebut sebagai penghuni neraka. Golongan lain juga menyatakan hal sama akan hal ini.
Kalangan Ahlussunnah wal-Jamaah (pengikut mazhab Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi) juga tidak ketinggalan dalam hal ini. Golongan ini juga mengatakan bahwa dirinya adalah golongan yang pas untuk mewakili al-jamâ’ah dalam Hadis di atas. Tapi klaimnya ini bukan tanpa dasar. Banyak dalil yang melandasi pendapat disamping.
Menurut mayoritas ulama, golongan yang pantas dikategorikan sebagai al-jamâ’ah (sesuai dalam Hadis) adalah Ahlu-Sunah wal Jamaah yang tak lain adalah para pengikut mazhab Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi. Hal ini sesuai pendapat al-Imam al-Hâfizh az-Zabidi dalam karyanya, Ithâf as-Sâdât al-Muttaqîn. Beliau mengatakan bahwa, ketika kata ‘al-jamâ’ah’ diucapkan secara mutlak, maka bisa dipastikan itu adalah golongan al-Asy’ariyah dan al-Maturidiyah.
Pendapat yang lain mengatakan, kata ‘al-jamâ’ah’ dalam Hadis di atas mengacu pada pengertian golongan yang memang dikenal sebagai ‘al-jamâ’ah’. Pengertian demikian sesuai dengan realita pada golongan al-Asy’ari dan al-Maturidi. Karena semua kaum muslimin, baik yang awam maupun yang alim, dari berbagai aliran dan golongan, menamakan pengikut al-Asy’ari dan al-Maturidi dengan nama Ahlussunnah wal-Jamaah.
Selain itu ijma’ (kesepakaatan) ulama juga menyematkan al-Jamaah terhadap golongan yang menjadikan ijma’ sebagai hujjah dan dalîl dalam beragama. Sikap mengikuti ijma’ tersebut, merupakan realita dalam mazhab al-Asy’ariyah dan al-Maturidiyah. Karena dalam menetapkan hukum-hukum agama, para ulama dan mujtahid yang mengikuti mazhab Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi selalu menggunakan al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan qiyâs secara sempurna. Pengakuan bahwa mazhab Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi adalah Ahlu-Sunah wal Jamaah juga dikemukakan oleh mayoritas ulama yang mengikuti mazhab Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
Imam Abdul Qâhir al-Baghdâdî mengatakan, bahwa golongan yang terakhir (yang nomor tujuh puluh tiga) ialah Ahlussunnah wal-Jamaah. Beliau berlandasan, bahwa hanya golongan inilah yang memperhatikan keabsahan dan keountetikan Hadis dan tidak menyelewengkannya.
Pendapat ini semakin kuat ketika peninjauan al-Jamaah dari sudut keilmuan dan intelektualitas. Pasalnya dari sekian sekte dan sempalan hanya pengikut Ahlu-Sunah wal-Jamaah yang telah menelorkan para pakar fikih, para rawi Hadis, qurrâ’ dan para ulama kalam (teologi).
Para cendekiawan semuanya satu kata dalam satu kesepakatan akan esanya Sang Pencipta, sifat-Nya, hikmah-Nya, nama-nama-Nya, juga mengutus para Nabi, siksaan dan ancaman, dan segala hal yang berkaitan dengan pokok-pokok agama.
Memang sering terjadi perbedaan di antara mereka. Akan tetapi perbedaan ini hanya berkisar dalam lingkup halal-haram di dalam ranah hukum yang bukan prinsip (furû’). Dalam perbedaan ini, tidak ada vonis-memvonis sesat, fasik lebih-lebih kafir diantara mereka. Inilah yang memenuhi syarat sebagai golongan yang selamat (al-jamaah, Red).
Apabila seseorang meyakini hal-hal di atas dan tidak tersisipi oleh virus bid’ah yang digencarkan Khawârij, Rawâfidh (Syi’ah), Qadariyah dan golongan lain yang berpondasikan hawa nafsu, maka sudah bisa dipastikan ia termasuk dalam golongan yang selamat yang tak lain adalah Ahlu-Sunah wal Jamaah.
Mayoritas ulama mengikuti faham golongan al-Asy’riyah dan al-Maturidiyah ini. Bahkan para mujtahid juga berideologikan Ahlu-Sunah wal Jamaah. Diantaranya ialah Imam Malik, Imam as-Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Adzra’i, Imam Sufyan ats-Tsauri dan para pengikut mereka.
Para pengikut Ahlussunnah wal-Jamaah mendoakan orang-orang mukmin yang mengikuti titah langkah para Sahabat Radhiyallâhu ‘anhum. Dan mereka termasuk orang beruntung yang diberi hidayah oleh Allah Subhânahu wata‘âlâuntuk mengikuti semua perilaku Sahabat Radhiyallâhu ‘anhum, mencintai mereka sekaligus mengetahui keutamaannya. Mereka meyakini bahwa Sahabat Radhiyallâhu ‘anhum itu adalah umat terdepan dalam keimanan, keislaman, keilmuan, pengamalan dan pengusaan hikmah.[*]
I
Referensi:
· Firqah an-Nâjiyah, Muhammad bin Zinu
·Ithâf as-Sâdât al-Muttaqîn, al-Imam al-Hâfizh az-Zabidi