Jumat, 30 September 2011

Agama dan ideologi transnasional

Istilah transnasional sering digunakan dengan merujuk pada penggunaan istilah kejahatan transnasional, dengan konotasi lintas batas negara. Jika ada agama dan ideologi yang disebut sebagai agama dan ideologi transnasional, itu adalah Islam. Kalau Islam bukan agama transnasional, maka tidak ada ibadah yang dilakukan lintasnegara, seperti haji, umrah dan jihad. Kalau Islam bukan agama transnasional, pasti praktik ibadah kaum Muslim di Indonesia berbeda dengan kaum Muslim di Arab Saudi, Iran, Irak, Kuwait, dan sebagainya. Namun, justru karena shalat, puasa, zakat dan hajinya sama, maka semuanya ini membuktikan, bahwa Islam adalah agama transnasional.
Demikian halnya dengan Islam sebagai idoelogi. Persatuan umat Islam di seluruh dunia selama 14 abad dalam satu kebudayaan dan negara adalah bukti, bahwa Islam juga merupakan ideologi transnasional. Seperti kata Will Durant (1885-1981), "Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir bahkan sampai Maroko dan Spanyol. Islam juga telah menguasai cita-cita mereka, mendominasi akhlaknya, membentuk kehidupannya dan membangkitkan harapan di tengah-tengah mereka, yang meringankan masalah maupun duka mereka. Islam telah mewujudkan kejayaan dan kemuliaan bagi mereka, sehingga jumlah orang yang memeluknya dan berpegang teguh kepadanya pada saat ini (era Will Durant) sekitar 350 juta jiwa. Agama Islam telah menyatukan mereka dan melunakkan hatinya walaupun ada perbedaan pendapat dan latar belakang politik di antara mereka." (Will Durant, The History of Civilization, vol XIII).
Nah, dalam konteks agama dan ideologi transnasional ini, posisi Islam sama dengan Kristen dan Yahudi di satu sisi, dan dengan kapitalisme maupun sosialisme di sisi lain. Bedanya, jika Kristen dan Yahudi adalah agama transnasional, sama dengan Islam. Namun, kedua agama yang aslinya diturunkan kepada Bani Israil itu sebenarnya tidak bisa dikategorikan sebagai ideologi secara hakiki. Sebab, ideologi hakiki adalah sekumpulan keyakinan yang menghasilkan sistem peraturan kehidupan, seperti sistem ekonomi, sistem sosial, sistem politik, dan lain-lain. Kedua agama Bani Israil itu hanya memuat sekumpulan keyakinan, ibadah ritual, dan budi pekerti. Para penganut mereka tunduk dalam sistem ideologi apapun yang diberlakukan, baik itu sistem sosialis, kapitalis maupun Islam. Sedangkan di dalam Islam, peraturan tentang bebagai sistem kehidupan tersebut secara sempurna dan menyeluruh telah tersusun secara sistematis di dalam syariat Islam yang kaffah.
Berkaitan dengan ajaran ideologi kapitalisme maupun sosialisme, keduanya adalah ideologi transnasional, sama dengan Islam. Bedanya, kapitalisme maupun sosialisme bukanlah agama, dan tidak akan pernah bisa menjadi agama. Dengan demikian, satu-satunya agama dan sekaligus ideologi transnasional yang utuh adalah Islam.
Pertanyaannya adalah, ideologi transnasional manakah yang dimaksud oleh tokoh tersebut, sedemikian gawatnya, sehingga dia memprovokasi pemerintah untuk mencegahnya. Jika yang dimaksud adalah sosialisme (komunisme), tentu kita setuju. Karena secara generik bertentangan dengan akal dan fitrah manusia, dan telah terbukti gagal. Demikian halnya, jika yang dimaksud adalah adalah kapitalisme, kita pun setuju. Namun, jika yang dimaksud itu adalah Islam, maka mencegah masuknya ideologi Islam transnasional jelas tidak mungkin.
Adapun posisi Ikhwanul Muslimin, Alqaidah, dan Majelis Mujahidin menurut hemat penulis bukanlah ideologi tetapi organisasi yang berideologi Islam. Posisi organisasi-organisasi tersebut kiranya sama dengan NU, Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad, Dewan Dakwah, HMI, PII, dan lain-lain di Indonesia sebagai organisasi-organisasi yang berideologi Islam. Tentu saja pemerintah tidak bisa melarang organisasi-organisasi dakwah dan gerakan Islam tersebut karena ideologi Islam yang mendasari pikiran dan gerakannya.
Ikhtisar- Selain menjadi agama, Islam juga telah menjadi ideologi yang menyebar secara transnasional.- Posisi Islam sebagai agama dan sebagai ideologi tidak bisa dipisahkan.- Keinginan untuk melarang masuknya ideologi transnasional
shahabatku”.
KH Nuril HudaKetua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)

Rabu, 28 September 2011

[Ebook] Membongkar Pemikiran dan Kepalsuan Ajaran Salafi Wahabi

 
MEMBONGKAR PEMIKIRAN DAN KEPALSUAN AJARAN SALAFI WAHABI
Dikompilasi menjadi Ebook dari blog AbuSalafy
Kompilasi & Konversi Ke CHM Oleh Ibnu Isa Elbangkalany
Berikut ini adalah Daftar Isinya:
  • Ahlussunnah Adalah Musyrikun Dimata Kaum Wahabi/Salafy
  • Siti Aisyah, Istri Nabi SAW Menentang Fatwa Wahhabi
  • Al-Allamah Sayyid Al-Maliki Rahimahullah Mengkritik Wahabi
  • Aliansi Wahabi dan Dinasti Al-Saud I
  • Aliansi Wahabi dan Dinasti Al-Saud II & III
  • Allah SWT Menziarai Makam Imam Ahmad Ibn Hanbal, Sebagai Balas Jasa !
  • Allamah Al Maliki Mengeluhkan Kebodohan Wahabi Dalam Memahami Konsep Tauhid Telah Buat Ruwet Umat Islam !
  • Amir Wahabi Saudi Bergelimang Whisky, Wanita dan Senjata
  • TANGGAPAN : Buat Saudara Abu Hasan al Atsari
  • Edisi Terbaru Kebodohan Imam Besar Wahhabi; Ibnu Abdil Wahhab dalam Ilmu Hadits
  • Edisi Terbaru Pengkhianatan Kaum Wahhabi !
  • Fatwa Haus Darah Mufti Wahhabi : Ben Baz
  • Fatwa Primitif Mufti Agung Wahhabi : Ben Baz
  • Fitnah Ibnu Taimiyah
  • GERAKAN SALAFI MODERN DI INDONESIA
  • Jihad Imam Ali as. Dalam Penilaian Ibnu Taymiyah
  • Hukum Berdo’a dengan Tawassul
  • Ibnu Abdil Wahhab Selain Wahahabiyah Kafir_Musyrik ! (1)
  • Ibnu Abdil Wahhab Selain Wahahabiyah Kafir_Musyrik ! (2)
  • Ibnu Abdil Wahhab Selain Wahahabiyah Kafir_Musyrik ! (3)
  • Ibnu Abdil Wahhab Selain Wahahabiyah Kafir_Musyrik ! (4)
  • Ibnu Abdil Wahhab Mempersenjatai Pengikutnya Dengan Senjata Kebodohan
  • Ibnu Taimiyah Menshahihkan Hadis Tawasssul, lalu Apa kata kaum Wahhabi
  • Ibnu Taymiah Ternyata Seorang “NU” Juga…! [Fatwa Ibnu Taymiah Tentang Tahlil dll ]
  • Imam Ahmad Ngaku Salah, Tapi Kaum Wahabi Tetap Ngotot
  • Imam Besar Ahlusunnah Sayyid Muhammad Alawi Al Maliki Jangan Kafirkan Sesama Muslim !
  • Imam Besar Wahhabi, Ben Baz Mengafirkan Yang Tidak Meyakini Matahari Berjalan Mengelilingi Bumi
  • Imam Besar Wahhabi ; Ibnu Abdil Wahhab Pamer Kebodohan Dalam Ilmu Hadits
  • Imam Besar Wahhabi ; Ibnu Abdil Wahhab Memfitnah Para Sahabat Nabi SAW.
  • Imam Syafi’i r.a Mengambil Berkah dari Bekas Air Cucian Baju Imam Ahmad ibn Hanbal
  • Kaum Salaf Mena’wil Ayat-ayat_Hadis-hadis Shifat
  • Kaum Wahhabiyah Mujassimah Memalsu Atas Nama Salaf ! (1)
  • Kaum Wahhabiyah Mujassimah Memalsu Atas Nama Salaf ! (2)
  • Kaum Wahhabiyah Mujassimah Memalsu Atas Nama Salaf ! (3)
  • Kaum Wahhabiyah Mujassimah Memalsu Atas Nama Salaf ! (4)
  • Kaum Waria-pun Mendapat Keberkahan Dari Kuburan Imam Ahmad bin Hanbal r.a
  • Kawin Kontrak Ala Wahabi-Salafi [Fatwa Syekh Bin Baz]
  • Ketika Salafi Berebut Tafsir
  • Lagi ! Saling Sesat Mensesatkan Sesama Wahabi_Salafy Al-Irsyad dan As-Surkati Bukan Salafy !
  • Lagi-Lagi Wahabi-Salafy Meresahkan Umat ; PBNU Peringatkan Kelompok Islam yang Merebut Masjid NU
  • Membongkar Syubhat Kaum Mujassimah
  • Mengapa Mereka Enggan Disebut Wahhabi
  • Mengenal Para (Amir) Pemimpin Wahabi …!
  • Metode Dasar Pemahaman Islam Kaffah
  • Mufti Wahhabi Ben BAz, Yang Tidak Meyakini Allah Bersemayam di Langit adalah Kafir.
  • NU Layani ‘Tantangan’ Kelompok Islam Garis Keras
  • Pembunuhan Massal dan Keji Oleh Wahabi
  • Pendiri Sekte Wahhabi, Ibnu Abdul Wahhab Mendukung Tahlilan ala NU
  • Penyimpangan Wahabi Dalam Masalah Ziarah Nabi SAW
  • Pro Dan Kontra Hadis Terpecahnya Umat Islam Menjadi 73 Firqah ! (1)
  • Pro Dan Kontra Hadis 73 Firqah ! (2)
  • Pro Dan Kontra Hadis 73 Firqoh ! (3)
  • Risalah Membawa Masalah (Salafy VERSUS Salafy)
  • Salafy dan Salafy Saling Menohok dan Menghujat !
  • Salafy-Wahabi Bikin Resah Umat ! Dianggap Sesat, Masjid-masjid NU Diambil Alih
  • Sejarah Wahhabiyah (1)
  • Sejarah Wahhabiyah (2)
  • Sejarah Wahhabiyah (3)
  • Sejarah Wahhabiyah (4)
  • Sekte Wahhabiyah Di Mata Ulama Ahlusunnah
  • Sekte Wahhabiyah Pewaris Konsep Mujassimah
  • Seri Kepalsuan Ibnu Taimiyah (1)
  • Seri Kepalsuan Ibnu Taimiyah (2)
  • Seri Kepalsuan Ibnu Taimiyah (3)
  • Seri Kepalsuan Ibnu Taimiyah (4)
  • Seri Kumpulan Fatwa-Fatwa Wahhhabi (1)
  • Seri Kumpulan Fatwa-Fatwa Wahhhabi (2)
  • Siapa Menziarahi Kuburan Imam Ahmad ibn Hanbal Pasti Diampuni Dosanya !
  • Sifat-Sifat Wahabi-Salafi Yang Tercela
  • Sunnah Versus Bid’ah
  • Syekh Masyhur Hasan Salman al-Wahabi Wanita Sama Dengan Anjing Hitam Dan Keledai
  • TEKS FATWA SYEKH BIN BAZ TENTANG “KAWIN DENGAN NIAT TALAQ” [ Kawin Kontrak Ala Wahabi ]
  • Tokoh Besar Wahhabi ; Syeikh Nashiruddin al Albani menipu Awam Wahhabi
  • Tuhan Kaum Kaum Waahhabi Berambut Keriting dan Berjambul !
  • Tuhan Wahhabi Ternyata Tidak Betah Bersemayam di Atas Arsynya
  • Wahabi : Membaca La Ilaha Illallah 1000 Kali Dan Shalawat 10000 Kali = SYIRIK
  • Wahabi adalah Parasit Yang Mengacau !
  • WAHHABISME SEBAGAI “ISLAM PURITAN”
  • Ziarah Kubur (1)
  • Ziarah Kubur (2)
 SILAHKAN UNDUH EBOOKNYA :
(File CHM, 826 KB)

[Ebook] Kitab Jawaahir al-Kalamiyah

JAWAAHIRUL KALAMIYAH
(Syaikh Thohir bin Shaleh Al-Jazairi)


Kompilasi oleh : Ibnu Hasan Al Malanjy
Email : lagi_lagi_jq@yahoo.com



Segala puji bagi Allah, Shalawat dan salam semoga tercurah ke atas junjungan kita Nabi Muhammad beserta para keluarga dan shahabat nya sekalian. Waba’du,


Ini adalah risalah yang berisi tentang masalah yg penting dalam ilmu kalam (tauhid) yg mudah untuk difahami. Saya menulisnya dalam bentuk tanya jawab dan memberi contoh-contoh yg mudah difahami oleh para pencari ilmu.
Syaikh Thahir bin Shalih Aljazairi




DAFTAR ISI:
➢ Muqoddimah
➢ Pengantar Akidah Islamiyyah
➢ Pembahasan Pertama Iman Kepada Allah
➢ Pembahasan Kedua Iman Kepada Malaikat Allah
➢ Pembahasan Ketiga Iman Kepada Kitab Allah
➢ Pembahasan Keempat Iman Kepada Utusan Allah
➢ Pembahasan Kelima Iman Kepada Hari Akhir
➢ Pembahasan Keenam Iman Kepada Qadla’ dan Qadar
➢ Penutup (Beberapa Hal Penting)
DOWNLOAD DISINI !!
(File PDF, Size: 302 KB)

Selasa, 27 September 2011

[Debat Aswaja vs Wahhabi] – Masalah Tradisi Talqin Mayyit

Di kalangan masyarakat kita, ketika ada orang meninggal dunia, dan dimakamkan, maka dibacakan talqin, yaitu sebuah tuntunan kepada si mayit agar mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir. Tradisi ini berlaku hampir di seluruh negara Islam yang menganut faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Ada dialog menarik seputar talqin ini, yang diceritakan oleh teman saya, Ustadz Syafi’i Umar Lubis dari Medan. Ia bercerita begini:

Sekitar bulan Maret 2010 ada seorang mahasiswa IAIN Sumatera Utara yang kos di salah satu sudut kota Medan. Tiap malam rabu ia belajar mengaji bersama kami didaerah Sunggal. Waktu itu kitab yang dibaca adalah kitab al-Tahdzib fi Adillat al-Ghayah wa al-Taqrib, karya Musthafa Dibul Bugha. Mahasiswa ini sangat resah dengan keberadaan ponakannya yang belajar di Pondok As-Sunnah, sebuah pesantren yang diasuh oleh orang orang Wahhabi. Sepertinya anak itu telah termakan racun ajaran Salafi. Mahasiswa itu berjanji membawa keponakannya ke Majelis Ta’lim kami di Sunggal. Pada malam yang ditentukan datanglah mereka, bersama keponakannya itu, sebut saja dengan inisial X.
Setelah mereka berkumpul, saya bertanya, kira-kira apa yang akan kita diskusikan? X menjawab, “Banyak Ustadz, antara lain soal Talqin dan bid’ah”. Saya bertanya, “Apa yang kita masalahkan dengan bid’ah itu?” “Ini Ustadz, bid’ah itu kan dosa dan pelakunya diancam siksa dalam banyak hadist” Demikian X itu menjawab. Saya tanya, “Benar, kita sepakat bid’ah itu sebuah ancaman dan membahayakan sekali. Tapi perlu diingat, bid’ah itu tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari nama Islam alias Murtad. Bid’ah itu ada kalanya berkaitan dengan aqidah, kadang dengan ibadah. Kamu tahu enggak apa itu Bid’ah?”
X menjawab, “Sebagaimana yang kami pelajari, bid’ah itu ialah segala sesuatu yang menyangkut ibadah yang tidak ada di zaman Nabi dan dilakoni oleh Nabi dan Salafus Sholeh, seperti Talqin, Madzhab, Ushalli dan lain sebagainya.” Saya berkata, “Definisi bid’ah seperti itu siapa yang membuatnya? Nabi, atau Sahabat, dan atau Tabiin?”
X menjawab, “Itu rangkuman pemikiran saya saja.” Saya berkata, “Kalau begitu definisi bid’ah menurut Anda itu kan tidak ada penjelasannya dari Nabi. Nah definisi Anda itu juga Bid’ah, kan definisi anda itu bukan keluar dari ucapan Nabi. Ok..? Ini sesuai yang Anda katakan.”
Mendengar umpan saya, X terdiam. Kemudian ia berkata, “Lalu bagaimana dengan hadisi “Man Ahdasta Fii Amrina haza Fahuwa Roddun”. Saya balik bertanya, “Kenapa dengan Hadist itu?” X berkata, “Hadist ini secara tegas menyingkap apa itu bid’ah.”
Saya berkata, “Benar, tapi perlu dicermati maksud kalimat, man ahdatsa fi amrina hadza ma laisa minhu. Menurut pemahaman Anda bagaimana dengan kalimat itu?” Ia menjawab: “Menurut saya pokoknya menciptakan Ibadah baru itu Bid’ah!!.” Saya berkata: “Kalau begitu Anda memahami hadist itu pakai kacamata kuda dong. Saya bertanya, apa arti ma laisa mihu dalam hadits tersebut? Tolong Anda jelaskan tiga kata ini.” TernyataX hanya terdiam tidak bisa menjawab.
Saya berkata: “Saudara, kata ahdatsa dalam hadits tersebut bermakna menciptakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sedangkan kata fi amrina, bermakna sesuatu yang merupakan urusan Agama kami, maksudnya suatu hal yang baru yang berkaitan dengan agama. Sedangkan katama laisa mihu, bermakna sesuatu yang tidak ada dalilnya secara langsung atau tidak langsung dari agama. Nah demikian itu baru dihukumi bid’ah. Makanya al-Imam al-Nawawi dalam Kitab al- Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab menyatakan bahwa bid’ah adalah sesuatu urusan yang baru dalam agama yang tidak ada dalilnya. Dalil-dalil itu adalah al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Selama masih ada dalilnya dari salah satu yang empat tersebut, maka itu bukan bid’ah. Anda kalau zakat fitrah pake apa? Seharusnya mesti pakai korma dong. Rasul SAW mengatakan tidak pernah pakai beras.
Rasul tidak mempraktekkan zakat fitrah pakai beras. Pakai beras itu Qiyas dari korma dan gandum. Jadi kalau tidak menggunakan Qiyas, tentu saja Islam ini sempit sekali. Demikian pula masalah Takhtim, Tahlil yang selalu diamalkan masyarakat kita, isinya adalah pembacaan al Qur’an, Tahlil dengan kalimat Laa lllaha lllalloh, Sholawat, lalu doa. Saya tanya Anda. “Apakah ada larangan membaca itu semua, baik menurut al-Qur’an dan hadist?”
Mendengar pertanyaan saya, X menjawab: “Tidak ada.” Saya berkata: “Apakah ada perintah membaca itu semua menurut al-Qur’an dan hadist secara umum?” X menjawab: “Ada.” Saya bertanya: “Adakah larangan Allah dan Rasul untuk berdzikir, baca al-Qur’an dan lain sebagainya itu?” X menjawab:” Tidak ada.” Saya berkata: “Nah! Kan tidak ada larangan. Sementara pengamalan tersebut ada sanjungan dari Allah dan Rasul, maka itu bukanlah bid’ah yang terlarang atau sesat. Anda faham!” X menjawab: “Emangnya apa sanjungan Allah dan Rasul-Nya?”
Saya menjawab: “Lho…!! Tidakkah pernah saudara dengar sebuah hadist shahih yang artinya, ‘Tidaklah sekelompok orang yang duduk sambil berzikir kepada Allah kecuali para malaikat akan mengelilinginya, rahmat kasih sayang Allah akan meliputinya, ketenangan akan diturunkan kepadanya dan Allah akan menyebut-nyebut mereka dihadapan makhluk yang ada disisiNya”. (HR Ahmad, Muslim, al-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqi dari Abi Hurairah dan Abi Sa’id al- Khudri). Dalam hadist ini atau hadist lain tidak pernah ada larangan, kecuali ditempat-tempat kotor seperti di WC dan semacamnya.”
Mendengar penjelasan saya, X terdiam. Kemudian ia angkat bicara: “Bagaimana masalah Talqin? Bukankah itu Bid’ah?” Saya menjawab: “Begini saja supaya jelas. Lalu saya berdiri dan mengambil spidol dan menuliskan di Whiteboard, “TALQIN MAYIT BUKAN BID’AH TAPI KHILAFIAH” dan saya tanda tangani. Lalu saya suruh ia untuk menuliskan kalimat tandingan dari pernyataan saya. Lalu iapun menuliskan “TALQIN MAYIT ADALAH BIDAH” dan ditanda tanganinya. Lalu saya bertanya : “Kalau Talqin mayit adalah bid’ah berarti pelakunya diancam siksa?” X menjawab: “Ya.”
Saya bertanya: ‘Yang mengatakan bahwa talqin mayit itu bid’ah, siapa?” Dengan semangat, X yang masih anak muda itu mengatakan: “Syaikhul Islam Ibn Taimiyah.” Mendengar jawaban itu, saya pun mengambil kitab Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah. Lalu saya berkata: “Ini kitab Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah.” Sambil menunjukkan kepada hadirin semua, halaman 242 jilid 1, yang isinya adalah:

“Talqin yang tersebut ini (talqin setelah mayit dikuburkan) telah diriwayatkan dari segolongan sahabat bahwa menka memerintahkannya seperti Abi Umamah al-Bahili sertu beberapa sahabat lainnya, oleh karena ini al-lmam Ahmad bin Hanbal dan para ulama yang lain mengatakan bahwa sesungguhnya talqin mayit ini tidak apa-apa untuk diamalkan…” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz 1 hal. 242).
Nah, Ibn Taimiyah tidak mengatakan bahwa talqin itu bid’ah, malah menyatakan ada dalilnya bahwa talqin itu dilakukan oleh sebagian Sahabat. Yang jelas ini masalah Khilafiah bukan masalah bid’ah!!!” Mendengar penjelasan saya, X pun terdiam. Tidak lama kemudian, ia pamitan pulang.” Demikian kisah dialog publik antara Ustady Syafi’i Umar Lubis dari Medan Sumatera Utara dengan pemuda Wahabi.
Sebenarnya masih banyak kisah-kisah Debat dan dialog antara Aswaja dengan Wahabi yang terangkum dalam sebuah buku berjudul “BUKU PINTAR BERDEBAT DENGAN WAHHABI” untuk dapat diambil hikmahnya. Saya sangat menyarankan bagi anda untuk bisa membeli buku tersebut di toko-toko buku terdekat di kota anda. Semoga bermanfaat!!
Disadur dari “Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi” halaman 161-166, karangan Muhammad Idrus Ramli, Penerbit Bina Aswaja bekerjasama dengan LBM NU Jember, Cetakan Pertama September 2010

Senin, 26 September 2011

FUNDAMENTALISME

Klaim Terorisme dan Islam Fundamentalis
Dari Kriminalitas Politik Ke Radikalisme Sosial
Afif Zamroni Abdullah*

Prolog

SUNGGUH dramatis! Dalam tempo kurang dari satu jam, 'dua bilik paru-paru' AS runtuh lantak oleh aksi megaterosis pada Selasa, 11 September 2001 lalu. Aksi sengaja dengan hanya bersenjatakan belati tersebut telah berhasil menabrakkan tiga pesawat domestik ke Gedung kembar World Trade Center (WTC) di New York, yang menjadi simbol kekuatan ekonomi AS dan Gedung Pertahanan Pentagon di Washington DC, simbol kedigdayaan militer AS.

Tak lama berselang, pemerintah Amerika Serikat, melalui Presiden Goerge W. Bush mengeluarkan dua pernyataan politik yang menyulut semangat anti-Islam di seantero wilayah Amerika, bahkan merembet ke kawasan Australia dan Eropa. Dua pernyataan politik tersebut adalah penggunaan kata Crusade (Perang Salib) dan tudingan tanpa bukti terhadap Islam radikal pimpinan Osama Bin La­den sebagai mastermind megateater di balik hancurnya WTC dan Pentagon.1

Seruan Bush tersebut, tak ayal memicu semakin berkembangnya kasus pelecehan terhadap warga muslim Amerika, mulai dari pelabelan negatif (stereotype) sampai tindak penganiayaan dan bahkan pembu­nuhan. Apalagi, memang sejak awal dalam state of mind masyarakat Barat, Islam selalu digambarkan sebagai ekstrem, militan, dan fundamentalis.

Menurut Robert Mueller, Direktur FBI waktu itu, tak kurang dari 41 kasus diskriminasi menimpa warga muslim Amerika. Sedang versi lain yang dihimpun oleh Council American-Islamic Relation (CAIR), menunjukkan data yang lebih tragis, lebih dari 300-an kasus pelecehan, diskriminasi dan tindak kekerasan dialami langsung oleh warga muslim di Amerika.2

Melihat keadaan itu, presiden Bush menetralisir dengan menghimbau masyarakat Amerika agar tidak mengganggu warga muslim dan Masjid. Namun, apa hendak dikata, keadaan sudah terlanjur keruh dan kompleks. Diskriminasi dan gelombang anti-Islam telah merembet ke mana-mana.

Fenomena anti-Islam tersebut, pada gilirannya menimbulkan reaksi-balik dengan meluasnya gelombang anti-Amerika-Barat di kalangan dunia Islam. Tak terkecuali di Indonesia, sebagaimana keluhan Duta besar AS untuk Indonesia, Robert Gelbard, tentang minimnya sistem pengamanan di kawasan Kedutaan itu. Padahal kalau mau jujur, apa yang terjadi di Indonesia masih termasuk aman tur tertib, jika dibandingkan dengan pengrusakan yang menimpa berbagai Masjid dan Islamic Center di AS.

Klaim Terorisme

Yang menjadi pertanyaan, mengapa aksi-aksi terorisme selama ini sering diidentifikasikan dengan gerakan Islam Fundamentalis. Padahal, bisa jadi kelompok lain yang melakukan aksi ala kamikaze tersebut. Seperti kelompok Tentara Merah Jepang yang pernah menyentakkan dunia dengan operasi Black September pada arena Olimpiade di Jerman, 11 September 1971.3

Atau, bisa jadi warga negara AS sendiri yang melakukannya, seperti kasus pengeboman gedung federal di Oklohama—yang sebelumnya sama sekali tidak terduga—bahwa pelakunya adalah seorang mantan tentara, Timothy McVeigh.4 Saat itu, Islam Fundamentalis adalah satu-satunya pihak yang paling dicurigai sebagai dalang pengeboman.

Secara umum, aksi terorisme tersebut merupakan murni kriminalitas politik (Al 'Unf Al Siyâsi). Namun, karena pendekatan yang digunakan adalah sentimen agama5; Crusade versi Bush dan Jihad versi Islam Fundamentalis, maka ketegangan yang muncul adalah benturan Islam vis a vis Barat.

Ketegangan ini, selain populer oleh tesis Samuel P. Huntington dalam bukunya, "The Clash Of Civilization", juga didukung oleh para orientalis, politisi dan pers Barat yang provokatif dan gencar memberikan stereotip ekstrem, radikal dan fundamentalis terhadap Islam. Bahkan komentar PM Italia Silvio Berlusconi yang menghebohkan itu, terang-terangan mengatakan, bahwa kebudayaan Barat lebih superior dibandingkan kebudayaan Islam. Benarkah? Lalu, siapakah yang melakukan penjajahan di Asia dan Afrika? Siapakah pula yang membunuhi kaum Yahudi di Eropa, kalau bukan para pemimpin Eropa sendiri?

Sementara itu, di lain sisi, pelabelan Barat tersebut justru meneguhkan semangat "fundamentalisme" sebagian kelompok Islam yang selama ini sering mendapatkan label negatif Barat. Agaknya, identitas "fundamentalisme" ini digunakan untuk melawan Barat, terutama Amerika, semenjak agresi militernya berhasil menguasai Afganistan dalam tempo sangat singkat.

Identifikasi Islam dengan terorisme, ekstrimeisme dan radikalisme semakin menggelobal, setelah terjadi peristiwa teror baru-baru ini di Legian Kuta Bali, 12 Oktober 2002 lalu. Apalagi aksi ini terjadi di negara muslim terbesar di dunia dan ditujukan hanya pada wisatawan asing.

Bagaimanapun juga, aksi-aksi terorisme tersebut tetap saja merupakan suatu kebiadaban. Toh demikian, permasalahanya bukan sekedar dituntaskan dengan klaim memburu Osama, atau menuduh kelompok tertentu sebagai dalangnya. Tak ada jaminan, setelah Osama mati, jaringan terorisme akan musnah. Bahkan bisa jadi, ribuan Osama lainnya muncul. Kecuali jika dengan membantai seluruh ras dan golongan radikal, yang justru akan menambah kelamnya sejarah peradaban manusia.

Dari sini, dapat dikatakan bahwa ketegangan tersebut tersuplai akibat benturan dua arus negatif yang tidak dapat terelakkan, dan sama-sama memiliki hasrat serba menyeluruh, atau dalam bahasa Epicurus, keduanya telah terjangkiti virus "The Desire Of Wholeness".6 Arus pertama ter-hasrat dengan superioritas tehnologinya serta keinginan untuk mengatur seluruh dunia (misi 'polisional') sesuai dengan kehendaknya. Sedang arus kedua terdorong oleh superioritas agama, perasaan ter-dholim-i, dan keter­kungkungan tradisi yang bersifat serba hitam-putih.

Sebetulnya, sudah banyak resep yang ditawarkan untuk mendamaikan dua arus tersebut, baik dari kalangan Barat maupun pemikir Islam moderat. Sayangnya, bius 'hasrat' arus pertama terlalu kuat dan kadung menggelobal, sehingga muncul klaim teroris, radikal, ekstrem dan fundamentalis terhadap arus kedua. Kasus semisal terlam­batnya kedatangan Maba (Mahasiswa Baru) Al Azhar dan adanya penangkapan tanpa motif yang menimpa beberapa Mahasiswa Indo­nesia di luar negri, seharusnya bisa di­baca sebagai sebuah mata rantai keja­di­an yang kemudian berimbas serta me­nggejala dari ciri stereotip global ini.7

Klaim Islam Fundamentalis

Secara historis dan akademis, menurut Dr. Murad Wahbah, istilah fundamentalisme digunakan pertama kali oleh Editor majalah New York Watchman Edisi Juli 1920, yang berarti: sikap menolak penyesuaian kaidah-kaidah dasar terhadap kondisi baru. Namun, ada juga yang mengatakan, istilah ini dikenal pertama kali melalui semacam booklet berjudul “The Fundamentals”, terbit antara tahun 1909-1915.8

Booklet ini dibagikan secara gratis di tempat-tempat pendidikan Nasrani. Isinya antara lain; ajakan iman atas turunya kembali Isa Al Masîh, menyerang pemikiran yang bersebrangan dengan Injil, serta kritik terhadap teori-teori baru tentang kejadian alam.

Istilah fundamentalis ini sendiri pada mulanya ditujukan terhadap kaum fundamentalis Katolik Amerika yang tidak menginginkan penyesuaian terhadap realitas modern. Namun, menurut  Roger Garaudy, istilah ini pada perkembangannya mengalami perluasan makna, bukan hanya terbatas pada kaum Katolik, tapi juga meluas ke gerakan-gerakan lain yang identik dengan statis, fanatik dan konservatif. Maka muncul istilah fundamentalisme Yahudi (Zionisme), Fundamentalisme Vatikan dan juga fundamentalisme Islam dan lain-lain.9

Dalam istilah Arab, Funda­mentilisme biasanya dikenal dengan isitlah Al Ushûliyyah, bentuk jamak dari kata Al Ashl, yang berarti dasar tempat berpijaknya sesuatu. Kata ini (Al Ushûliyyah) sebetulnya sudah dikenal dalam sejarah Arab-Islam sebelum kata fundamentalisme itu sendiri muncul. Semisal kata Ushûl Al Fiqh dan Ushûl Al Dhîn.10 Bahkan menurut Muhammad 'Imarah, istilah Ushûliyyun dalam sejarah Islam khusus dinisbatkan kepada ahli istinbat (mujtahid) serta para pembaharu.11

Agaknya, pemahaman Imarah inilah barangkali yang menjadikan alasan sebagian pemikir Islam untuk menerima istilah fundamentalisme dalam kamus proyek kebangkitan Islam mereka (Al Shahwah Al Islâmiyyah), dengan catatan, istilah ini tidak dipahami sebagaimana pemahaman Barat selama ini.12

Ada empat pemikir yang sering diasosiasikan sebagai peletak gerakan Islam fundamentalis kontemporer. Mereka adalah: Abul A’lâ Al Maududi, Sayyid Qutb, Ayatullâh Khumeini dan Alî Syarî’ati.

Abul A’lâ Al Maududi, selain dikenal sebagai pendiri Jama’at Islami Pakistan, pengarang buku Al Hukûmah Al Islâmiyah ini, juga sering disebut-sebut sebagai perintis gerakan Islam fundamentalis kontemporer. Dalam bukunya tersebut, ia menjelaskan tentang bagaimana menerapkan sistem pemerintahan yang Islami. Menurutnya, Tuhan adalah satu-satunya pemilik otoritas (hakim) yang menentukan tasyri' sebagai undang-undang manusia. Sedang manusia sendiri hanya sebatas pelaksana, dan tidak memiliki otoritas apapun untuk merubah tasyri' tersebut. Karena itu, dalam pandangannya, kaum muslimin musti mendirikan sebuah institusi negara-agama yang berlandaskan pada undang-undang (hukum) yang diturunkan Tuhan.

Dengan demikian, type negara-agama yang ditawarkan Maududi pada dasarnya merupakan negara teokrat-demokrat. Dalam artian, negara ini berdasarkan pada demokrasi yang terkait dengan otoritas Tuhan, sedang manusia hanya diberi hak untuk melaksanakannya sebagai wakil (teokrat).13

Pemahaman negara-teokrat versi Maududi ini berbeda dengan apa yang dipahami Barat selama ini. Dalam pandangan Barat, negara-teokrat adalah sebuah pemerintahan yang ditetapkan pada otoritas penuh seorang ulama' (pendeta). Dan undang-undang yang disusun dalam pemerintahan teokrat itu ditentukan oleh sang pendeta sesuai dengan kehendak dan pribadinya.

Pemikiran ala Maududi ini selanjutnya dikembangkan oleh Sayyid Qutb, seorang pemikir ulung Ikhwanul Muslimin setelah Hasan Al Bannâ. Ia menambahkan, bahwa ada dua karakter masyarakat dalam pandangan Islam. Pertama masyarakat Jahili dan yang kedua masyarakat Islami.

Masyarakat Jahili adalah sebuah masyarakat yang menuhankan manusia dengan ciri menggunakan suatu hukum atau undang-undang buatan manusia. Sedang masyarakat Islami merupakan masyarakat yang menyatakan ketauhidan Tuhan adalah segala-galanya, melalui implementasi sebuah gerakan atau aksi yang disebut sebagai jihad.14

Setelah Sayyid Qutb, hadir Ayatullâh Khumeini, seorang Mullah Iran yang berhasil dengan gemilang mendirikan negara Islam Iran melalui revolusi berdarah pada tahun 1979. Pidato beliau yang paling monumental, tersusun dalam sebuah buku yang berjudul Al Hukûmah Al Islâmiyah. Di dalamnya memuat tiga pokok bahasan utama: adanya sebuah relasi genuine politik dan agama, keharusan para ulama' fiqh untuk mendirikan sebuah negara-agama (Wilâyat Al Faqîh), serta agenda utama pendirian negara-agama tersebut.15

Pemikiran Khumeini ini, kemudian dikembangkan oleh seorang filosof asal Iran, Alî syari'ati. Dalam bukunya 'Sociology Of Islam', ia menjelaskan bahwa pertentangan antara yang baik dan buruk dalam sejarah kehidupan umat manusia merupakan sebuah fenomena klasik sejak manusia itu sendiri diciptakan. Kisah perseteruan antara Qabil dan Habil adalah awal dari pertentangan global dua pihak tersebut.16 Dan fenomena semacam ini selamanya tidak akan pupus. Begitupun halnya dengan Islam, sebagai agama yang menyatakan keesaan Tuhan, Jihad merupakan usaha untuk melawan pihak yang menyekutukan Tuhan (Musyrikîn). Jadi, dalam pandangannya, entitas jihad semata sebagai peperangan untuk memberantas kebatilan.

Dengan demikian, secara umum –sebagaimana yang dijelaskan diatas– ciri gerakan Islam fundamentalis biasanya selalu berkutat pada tiga permasalahan utama: relasi negara-agama, jihad dan penerapan Syari'ah Islam.

Gerakan ini biasanya berkembang melalui jalur politik. Artinya mereka selalu menggunakan politik sebagai salah satu poin terpenting untuk mewujudkan cita-cita dan impian mereka. Cita-cita mereka yang terkenal adalah menciptakan sekum Dâr Al Islâm dan Dâr Al Harb dalam kehidupan beragama mereka. Maka tak jarang, kekerasan sering muncul dan menjadi ciri roman gerakan ini. Bahkan sering pula, mereka menggunakan justifikasi Al Quran sebagai pembenaran atas kekerasan yang dilakukannya.

Tentunya, tidak semua kekerasan diprakarsai oleh gerakan Islam fundamentalis, namun, secara umum, setidaknya ciri karakteristik mereka yang statis, tertutup dan ekstrem, agaknya membuat kelompok ini terkesan sulit untuk diajak bekerjasama ataupun berdialog.

Dari Jalur Kriminalitas  Politik ke Radikalisme Sosial

Sejak dekade awal perkembangan Islam, politik selalu digunakan sebagai jalur utama oleh gerakan-gerakan Islam, terutama menyangkut klaim asosiasi Islam sebagai negara-agama. Munculnya gerakan Khawârij adalah bukti akibat dari perseteruan politik pada dekade awal ini.

Kemudian pada awal abad 20-an, muncul gerakan-gerakan politik serupa, bedanya gerakan ini lebih ditekankan untuk melakukan perlawanan bersenjata terhadap imprealisme Barat. Gerakan semisal Sanusiyah, Wahabiyah dan Mahdiyah mulanya merupakan murni gerakan anti-kolonial, namun selanjutnya setelah penjajah hengkang dari bumi mereka, ada keinginanan untuk mengembalikan eksistensi khilafah Islam dalam kehidupan mereka atau dengan bahasa lain, bagaimana menginstitusikan agama dalam bentuk negara.17

Dulu, doktrin jihad, yang dalam pandangan Khawarij lebih cocok disebut sebagai Al 'Unf (kekerasan), dilegalkan untuk memerangi sesama muslim yang tidak sefaham. Menurut mereka, kekerasan merupakan salah satu cara untuk merebut atau meruntuhkan kekuasaan yang bersebrangan, karena itu, sering kali target operasional mereka ditujukan untuk  membunuh sang Khalifah (pemerintahan).

Namun, saat ini, bentuk kekerasaan yang sering dilakukan oleh gerakan ini, tidak hanya terbatas pada teror politik (pemerintahan), bahkan rata-rata kekerasan malah banyak menelan korban dari masyarakat sipil atau instansi-instansi umum milik pemerintah yang biasa digunakan oleh rakyat kecil.

Gejala semacam ini, kemungkinan besar muncul dari ekspresi sosial kaum lemah, akibat tidak adanya perimbangan kekuatan antara pihak penguasa dengan pihak yang merasa termarginalkan. Ketimpangan ekonomi dan semakin memburuknya kondisi masyarakat bawah, secara tidak langsung berakibat pula pada besarnya kemungkinan timbulnya kriminalitas sosial itu. Demikian juga kekerasan yang dilakukan pihak penguasa, bisa jadi merupakan faktor dominan dari munculnya kekerasan yang serupa, bahkan mungkin lebih sadis dan membahayakan.

Selain itu, munculnya faktor asing yang berperan langsung dalam kancah globalasasi, menyebabkan semakin terpinggirkannya golongan bawah. Maka,  sebagai pelarian, mereka kembali pada tradisi (turâts), sebagai masa yang terbaik –yang dalam state of mind mereka– bisa  memberikan responsi mujarab atas pelbagai persoalan kehidupan kontemporer. Akan tetapi , dalam realitanya, kembali kepada tradisi biasanya mengarah pada keterkungkungan tradisi dan menganggap tradisi sebagai mitos yang serba hitam-putih. Akibatnya, sering kali kekerasan menjadi jalur untuk membenarkan tradisi yang mereka sandang. Bahkan lebih ekstrimnya, mereka menganggap bahwa kebenaran hanya dimiliki oleh kelompoknya. Sedang jalan yang ditempuh kelompok lain dianggap sebagai the wrong way, tidak peduli bahwa kelompok itu juga sesamanya.

Namun, sekali lagi, tidak semuanya yang kembali kepada tradisi memiliki karakter keterkungkungan semacam itu. Ada juga sebagian yang menyaring dan kemudian mengambil setiap sisi yang lebih menekankan pada kreatifitas akal, selanjutnya dikembangkan untuk mengais masa depan yang lebih mapan. Dalam hal ini, usaha untuk membedah nilai-nilai tradisi tersebut sudah dilakukan oleh para pemikir klasik, semisal; Ibn Rusdy dan Ibn Khaldun, kemudian dilanjutkan oleh para pembaharu Islam awal abad 20, seperti Hasan Al Aththar, Thahthawi, Al Afghani, serta Muhammad Abduh18. Selanjutnya, saat ini dikembangkan kembali oleh pemikir asal Mesir, Hasan Hanafi dalam megaproyeknya Al Turâts Wa Al Tajdîd.

Epilog

Seharusnya, tidak semestinya jika Barat mengaitkan terorisme dan radikalisme selama ini dengan Islam fundamentalis, atau bahkan mengaitkan kekerasan dengan Islam secara general. Karena sebagaimana menggelobalnya era peradaban dunia saat ini, maka makin menggelobal pula fenomena radikalisme ini. Apalagi melihat perkembangan saint dan tehnologi yang sedemikitan pesat saat ini memungkinkan siapa pun bisa terkait dalam jaringan mafia-terorisme.

Dan jika pendekatan retaliasi yang selama ini sering dilakukan Amerika dan Barat, sebagai upaya instan untuk membendung radikalisme dan terorisme, maka untuk sementara mungkin dapat melumpuhkannya. Namun untuk jangka panjang, cara semacam itu pada akhirnya akan menimbulkan terorisme baru yang mungkin lebih membahayakan dari sebelumnya.

Pendekatan pasifis lewat negosiasi dan meningkatkan saling pengertian dan kerja sama dengan segala komponen masyarakat, atau negotiated settlement menurut Ali Khan, kelihatanya lebih potensial untuk berhasil ketimbang cara retaliasi.19 Bila pendekatan ini dilakukan secara konsisten, maka setidaknya akan mengurangi penggunaan aksi-aksi kekerasan kelompok masyarakat yang merasa termarginalkan selama ini, baik secara ekonomi, politik maupun sosial. Ini karena mereka pelan-pelan merasa dihargai dan diberi haknya, sehingga sedikitnya lahan terorisme menjadi semakin sempit.

Di samping itu, hal serupa seyogyanya juga dilakukan oleh Islam fundamentalis, Zionisme dan kelompok fundamentalis lainya untuk mencoba saling berdamai dan berdialog, tidak hanya pada tingkat politik, tetapi juga –kalau perlu– pada tingkat teologis. Sebab, hal itu akan menentukan proses kelanjutan perdamaian. Wallahu A’lam

* Mahasiswa tingkat akhir Fakultas Syari’ah, Universitas Al-Azhar Kairo.

Catatan-catatan
1. Muhammad 'Abdul Mun'im. Al-Hadîts Al-Shâiqah; 11September, Qabla... Wa Ba'da. Al-Hai’ah Al-Mishriyyah Al-'Ammah Li Al-Kitâb, Kairo, 2001, hal. 79
2. Farid Muttaqin dan Sukidi (ed.). Teroris Serang Islam; Babak Baru Benturan Barat-Islam. Pustaka Hidayah, Jakarta, cet. I, 2001, hal. 12
3. Ibid. hal. 156
4. Eric Mourris dan Alan Hu.  Al-Irhâb; Al-Tahdîd Wa Al-Rad Alaihi. (Terj. Dr. Ahmad Hamdi Mahmud). Al Haiah Al Mishriyah Al 'Ammah Li Al Kitab, Kairo, 2001, hal. 30
5. Farid Muttaqin dan Sukidi (ed.). op. cit., hal. 13
Ibid., hal. 212
6. Media Mahasiswa Kairo TëROBOSAN, Edisi Lapsus, 12 November 2002, hal. 07
7. Al-Ushûliyyah Al-Islâmiyyah Fi Ashrina Al-Râhin. Silsilah Qadhâya Fikriyyah. Oktober 1993, hal. 21
8. Roger Garaudy. Al-Ushûliyyat Al- Mu'âshirah; Asbâbuha Wa Madhâhiruha. (Ta'rib Kholîl Ahmad Kholîl). Dar 'Am Alfain, Paris, cet I, 1992, hal. 11
9. Al-Ushûliyyah  Al-Islâmiyyah Fi Ashrina Al Râhin, op. cit., hal: 9
10. Prof. Dr. Muhammad Imarah. Al-Ushûliyyah Baina Al-Gharb Wa Al-Islâm. Dar Al Syurûq, Kairo, cet I, 1998, hal. 16
11. Usamah Khalil. Al-Islam Wa Al- Ushûliyyah Al-Târîkhiyyah. Markaz Al Dirasat Al 'Arâbi – Al Urûbi, Beirut, cet. I, Oktober 2000, hal. 78
12. Al-Ushûliyyah  Al-Islâmiyyah Fi Ashrina Al-Râhin, op. cit. hal. 24
13. Ibid.
14. Ridhwan Ziyadah (ed.). Al-Islâm Wa Al-Fikr Al-Siyâsi. Al Markaz Al Tsaqâfi Al 'Arâbi, Beirut, cet. I, 2000, hal. 116
15. Majalla Al-Hayâh Al-Tayyibah, No. 09, Edisi Musim Semi 2002, hal. 75
16. Ibrahim A'rab, Al-Islâm Al-Siyâsi Wa Al-Hadâtsah, Afrîqiya Al Syirq, Beirut, 2000, hal. 163
17. Usamah Khalil. Op. cit., hal. 78
18. Farid Muttaqin dan Sukidi (ed.). op. cit., hal. 51
Sumber: http://pcinu-mesir.tripod.com/

Partai Islam Bukan Islam




Oleh Tobroni Basya   
Islam bukan partai politik. Terlalu dini untuk menyatakan bahwa Islam melingkupi segala hal, termasuk politik. “Kamu sekalian tentu lebih tahu tentang urusan duniawimu,” demikianlah kata Nabi terhadap kaumnya.  Ia memberikan jarak, antara urusan duniawi dan ukhrawi, biarpun keduanya memiliki hubungan. Seperti politik, sesuatu yang lebih dekat dengan urusan duniawi: kekuasaan, jabatan, monopoli, kepentingan pribadi. Lalu sebagian orang berteriak lantang, bahwa politik adalah mutlak urusan agama, sambil lupa diri atau mungkin melupakan diri, bahwa sejatinya manusia adalah tempat luput dan lupa. Sedang mereka tak hirau pada sebagian pendapat lain, bahwa perbuatan tersebut sama halnya mempertaruhkan agama, mirip judi.

Tak ditemukan terma siyâsah (politik) dalam al-Qur`an maupun Hadits. Namun ada pelajaran, Nabi Muhammad Saw. menghindar dari arus besar politik. Waktu itu, saat beliau ditawari sebuah kerajaan dan menjadi pimpinan Quraisy, ia menolak, lalu mengatakan dengan tegas: itu bukan bagian dari risalah saya. Bukan berarti tak berpolitik, dan benar ujar sebuah adagium, “manusia adalah makhluk politik”. Nabi pun manusia. Menghadapi berbagai cobaan, tentu beliau harus menggunakan strategi. Strategi sebagai langkah politik. Strategi adalah bagian dari cara mencapai tujuan, dan bukan tujuan itu sendiri, namun sebagian manusia sering terjebak, bahkan menjebakkan diri. Dalam hal mengambil jalan politik, Nabi tak bertangan kosong. Ia punya bekal yang di kemudian hari menjadi teladan: intelektual tinggi dan baiknya kualitas moral. Bai`ât al-‘Aqabah, hijrah, serta piagam Madinah merupakan bukti atas kemampuan beliau mengatur strategi. Maka, bukan hal mudah membangun masyarakat beradab dari pemimpin yang tanpa bekal, biarpun seluruh rakyatnya mendukung sekalipun.

Piagam Madinah telah menjadi semacam simbol, bahwa perbedaan, kebebasan, toleransi, persamaan penduduk, dan keadilan, perlu dibingkai dalam persatuan masyarakat, demi kepentingan bersama. Prinsip hubungan antara Islam dan selainnya dengan dasar bersaudara yang baik, saling membantu, membela yang teraniaya, saling menasehati juga menghormati kebebasan beragama, telah mencitrakan Islam sebagai agama yang terbuka. Piagam Madinah adalah undang-undang dasar yang dibuat untuk mempersatukan pola pandang kehidupan bermasyarakat. Sedang yang belum tersuarakan dalam piagam, akan dimusyawarahkan secara kondisional. Waktu itu, Masjid Nabawi adalah tempat musyawarah mengenai keputusan-keputusan negara; perjanjian-perjanjian damai, perang, dan sebagainya. Musyawarah telah menunjukkan kedekatan pemerintah dengan rakyat, bukti bahwa dalam urusan negara, tak ada penguasa tunggal yang punya suara mutlak, bahkan Nabi sekalipun. Karena yang dimusyawarahkan hanyalah permasalahan duniawi. Sebaliknya dalam urusan agama, Nabi lebih berwenang. Namun, Nabi adalah penyampai wahyu ilahi, bukan pemilik wahyu itu sendiri. Kesadarannya sebagai utusan, membuatnya berhasrat untuk menjadikan tatanan sosial Arab bercorak theocentric society, sebuah tatanan sosial yang menjadikan Tuhan sebagai poros kehidupan. Ini menegaskan bahwa kebenaran ada di tangan Tuhan, bukan di tangan manusia. Demikianlah Nabi melaksanakan tugasnya sesuai apa yang diperintahkan kepadanya, tak lebih.

Tak ada negara Islam di zaman Nabi, tak juga sistem politik. Yang ada adalah negara madani, negara persatuan yang didasarkan atas perbedaan-perbedaan: agama, suku, ras, dan adat istiadat. Nabi, dengan segala kemampuan dan kelebihannya, dianggap paling tepat menjadi pemimpin. Sikapnya yang adil dan bijaksana telah membius hati para penduduk. Tentu tak mudah untuk bisa seperti Nabi, mungkin mustahil. Bagi Nabi, ketika jumlah kaum Muslim semakin bertambah, demi mempermudah pengelolaan dan pengaturan, maka perlu dibentuk tata cara dan aturan-aturan. Ada pengelolaan ekonomi, meliputi zakat, sedekah, upeti (jizyah), maupun harta rampasan perang (ghanîmah). Ada pengelolaan hukum, seperti lembaga peradilan (qadhâ`). Ada juga pengelolaan militer, seperti pasukan perang. Yang demikian itu dianggap perlu oleh Nabi, terlebih pada masa awal penyebaran Islam. Lalu, oleh orang-orang, segala yang dilakukan Nabi tersebut, dibaca dan dianggap sebagai tindakan politik. Bukan sekedar aturan, melainkan sistem. Lebih berani, sebagian orang menyebutnya “sistem politik Islam”. Membaca nuansa politik di zaman Nabi, perlu kehati-hatian yang cukup, agar terhindar dari ketergesa-gesaan dalam menilai. Mendasarkan kesimpulan dari gambaran dengan tingkat kejelasan yang tinggi, begitulah seharusnya.

Nabi wafat, dan ia tak mewasiatkan apa-apa terkait politik dan pemerintahan. Posisi tertinggi kepemimpinan juga dibiarkan kosong tanpa menunjuk pengganti. Ada beberapa kemungkinan. Pertama, Nabi memberikan ruang pada penerusnya untuk bebas menentukan pilihan, antara diteruskan atau tidaknya kursi kepemimpinan. Kedua, Nabi memberikan ruang sebebas-bebasnya dalam hal menentukan pengganti dengan cara yang dianggap paling baik oleh generasi penerus. Ketiga, jabatan kepemimpinan tak perlu diteruskan. Dan tentu masih banyak kemungkinan lain. Tapi paling tidak, ada prinsip-prinsip umum yang bisa diambil. Pertama, tak ada perintah dan larangan dari Nabi dalam hal politik dan pemerintahan. Kedua, tak ada ketentuan yang menjelaskan hal-ihwal mekanisme pemilihan pemimpin. Dengan demikian, imâmah bukanlah rukun iman, melainkan wilayah ijtihâd. 

Pengelolaan peradilan, ekonomi, dan keamanan perlu dipertahankan, bahkan dikembangkan. Ajaran Islam dari Nabi perlu disampaikan, bahkan disebar-luaskan. Untuk itulah kursi kepemimpinan merasa perlu dilanjutkan. Saat Nabi sebagai pemegang otoritas wahyu sudah tiada, dimulailah masa transisi dari masa wahyu ke masa tafsir. Hal ini nampak sekali pada perbedaan tata cara pengangkatan pemimpin. Abu Bakar ditentukan oleh komponen Muhajirin dan Ansor, Umar dengan surat wasiat, Utsman dipilih oleh Ahl al-hal wa al-‘aqd dari komponen Muhajirin-Quraisy, dan Ali dipilih oleh rakyat umum. Pun demikian masa-masa setelahnya. Meletusnya kejadian fitnah kubrâ, terjadinya perang Jamal, perang Shiffin, juga Tahkîm (arbitrasi) yang berujung pada munculnya sekte-sekte Islam, adalah bukti bahwa perbedaan penafsiran dan perbedaan pandangan dalam politik kekuasaan, menjadi salah satu penyebab terpecahnya persatuan. Kalau sudah demikian, adakah hal yang lebih baik dari upaya mengambil pelajaran?

Paska Tahkîm, umat Islam terbagi tiga: pertama, blok Muawiyah. Kedua, blok Ali yang kemudian melahirkan Syiah. Ketiga, Khawarij, pihak yang keluar dari barisan Ali disebabkan ketidaksetujuannya terhadap keputusan Ali yang menerima Tahkîm. Perpecahan semakin menjadi. Di tahun 41 H. muncullah ‘âm al-jamâ’ah, sebuah masa persatuan yang mencoba mencari titik temu atas beberapa kecenderungan. Sayyidina Hasan pun berdamai dengan Muawiyah. Pada saat inilah harapan persatuan Islam mendapat perhatian besar, umat Islam bersatu dalam satu khalifah; Muawiyah. Namun seperti biasa terjadi dalam politik, rencana dan keadaan bisa berubah sewaktu-waktu. Pada akhirnya, bukan lahir kesepahaman, melainkan memuncaknya perbedaan epistemologi yang saling bertolak belakang.

Muawiyah berkuasa penuh. Dengan kekuasaannya, ia mulai berani merubah banyak hal. Pada ‘âm al-jamâ’ah, di masjid Nabawi Madinah, Muawiyah berpidato, ia akan merubah model politik Khulafâ` al-Râsyidîn menjadi politik monarki. Harusnya, model politik ini mendasarkan sistemnya pada maslahat negara, dengan tanpa mengangkat pedang. Namun pada perkembangannya, yang maslahat bagi negara juga harus maslahat bagi keluarga istana; klan Umayah. Demi memperkuat legitimasi kepemimpinan, Muawiyah mengangkat konsep Jabariyyah (predestinasi). Menurutnya, kekusaan Muawiyah adalah pemberian Allah. Muawiyah mulai menarik-narik politik ke wilayah ideologi, sebuah potret politik dengan bungkus agama. Khawarij sebagai oposan melemparkan konsep tandingan, bahwa iman tak terpisah dengan amal. Baginya, siapapun yang meninggalkan sholat, puasa dan berbuat dosa besar maka keluar dari Islam, bahkan yang berbeda dengan mereka pun dianggap kafir. Khawarij juga berpandangan, bahwa jika pemimpin berbuat lalim, maka pengikut wajib keluar dari barisannya. Maka, kerelaan Ali terhadap Tahkîm adalah salah. Keluarnya 12.000 orang dari barisan Ali, yang kemudian bernama Khawarij, adalah benar. Bagi Syiah, pandangan Khawarij tersebut teramat menyalahkan dan menghinakan Ali. Demikianlah. Peperangan demi peperangan antara kelompok-kelompok Islam pun semakin meruyak.

Perang saudara terus terjadi. Syiah, Muawiyah, Khawarij, saling menyalahkan dan membenarkan diri sendiri. Lalu muncullah Murji`ah, kelompok yang berusaha menghindari perpecahan umat Islam. Baginya, iman tak hilang karena maksiat, dan pendosa besar ditangguhkan hukumannya hingga hari kiamat, di bawah keputusan Tuhan. Muawiyah yang berkuasa, Khawarij yang keras dan Syiah yang fanatik, ketiganya sama beriman. Madzhab yang toleran ini dipimpin oleh Abdullah bin Umar dan Sa'ad bin Abi Waqqash. Bersamaan sikap menghindari perpecahan, lahir pula gerakan sufi. Kaum sufi yang bebas dan aktif. Bebas tak memihak dan menjauhi aktivitas politik, namun aktif menolak pertumpahan darah. Mereka menawarkan konsep taubat, dan menyatakan rendahnya dunia serta tingginya derajat akhirat. Kemudian lahir antitesis baru, kelompok Muktazilah. Hasil perdebatan Wasil bin Atha' dan gurunya Hasan al-Bashri tentang pelaku dosa besar yang dihukumi kafir oleh Khawarij, membuat Wasil tak puas. Pandangan sang guru bahwa posisi pendosa besar dipasrahkan pada Allah, bertentangan dengan keyakinan Wasil. Baginya, pendosa besar tetap mu’min secara iman tapi fâsiq secara amal, posisi mereka ada di antara dua tempat (al-manzilah baina al-manzilatain). Dan tak ada cara lain untuk selamat di akhirat, kecuali bertaubat. Inilah sikap politik Muktazilah melawan Muawiyah secara halus. Dengan cepat, Muktazilah mulai berbicara tentang imâmah, hingga menyeretkan diri ke wilayah politik. Aliran yang mengedepankan akal ini, melakukan ta'wîl besar-besaran terhadap teks al-Qur`an dan al-Hadits. Hal ini merangsang lahirnya Ahl al-Sunnah, madzhab yang berusaha menggunakan nash dan akal secara seimbang. Mulanya, akademisi madzhab ini menjauh dari aktivitas politik. Namun akhirnya menanggapi jua situasi politik, dengan mencari jalan tengah, bersikap netral, menerima umat Islam tanpa mempermasalahkan asal-usulnya. Madzhab yang dipelopori al-Asy'ari dan al-Maturidi ini belajar menghargai perbedaan pendapat, tak seperti Khawarij yang mudah menghakimi, tak juga Syiah yang melebih-lebihkan Ali dibanding Muawiyah, ataupun Muawiyah yang merendahkan Ali. Bagi Ahl al-Sunnah, Ali dan Muawiyah adalah sama-sama sahabat Nabi. Masuk surga atau tidaknya seseorang, adalah rahmat Tuhan, namun manusia wajib berusaha, bagi pendosa besar sekalipun.

Berlanjut ke zaman Abasiyah, corak politik sedikit berbeda. Kaum fuqahâ` sebagai tokoh agama, tak ingin perpecahan Islam terjadi untuk ke sekian kali, maka sikap lunak terhadap penguasa menjadi pilihan. Bagi fuqahâ`, kedekatannya dengan penguasa dimaksudkan untuk mempermudah menerapkan syarî'ât, tanpa mempermasalahkan pemegang kursi kepemimpinan. Penguasa Abasiyah pun merasa diuntungkan. Dengan adanya fuqahâ`, status politik Abasiyah menguat. Islam atau tidaknya negara, dilihat dari apakah negara melaksanakan hukum Islam atau tidak, tanpa menyoal justifikasi kepemimpinan, demikian pendapat fuqahâ` masa itu. Karena terfokus pada hukum, maka posisi fikih menjadi tema penting yang menentukan banyak hal. Pada saat inilah pertumbuhan fikih tak berjalan alami. Ia dirancang dengan kecondongan untuk justifikasi pemimpin yang sedang berkuasa. Hingga pada pendapat, bahwa keinginan raja adalah keinginan Tuhan. Taat kepada imam adalah taat kepada Tuhan, Abasiyah pun adalah keinginan Tuhan.

Akhirnya, sejarah mencatat, dan manusia seharusnya memahami apa yang terbaik yang harus diteladani, juga yang buruk yang harus ditinggalkan. Politik, akidah, syariah, terlampau sering dicampur-adukkan, ditarik-tarik, dibungkus-bungkus, dihias-hias. Jelas, ada urusan duniawi yang menuntut manusia melakukan ijtihâd, menyesuaikan tempat, waktu, dan segala sesuatu yang berubah. Politik adalah urusan duniawi. Dan fikih, bukanlah syariah. Syariah adalah ketentuan-ketentuan Tuhan, sedangkan fikih adalah pandangan-pandangan manusia. Seperti Nabi, yang menyampaikan Islam dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dengan beragam cara, sesuai ruang dan waktu, bukan dengan paksa. Teringat kata Ali: “al-Qur`an tertulis, tapi tak dapat berbicara. Manusialah yang berbicara atas namanya. Padahal al-Qur`an mempunyai banyak wajah”. Dan karena kita manusia, yang setiap pikiran, hati, dan jiwa tak diciptakan sama, maka akan selalu ada perbedaan. Maka, politik adalah ijtihâd, bukan agama. Lalu, mengapa sebagian orang berteriak-teriak lantang, mendeklarasikan diri sebagai partai Islam? Jadi jelas sudah, bahwa partai Islam, bukan Islam.
Sumber: http://afkar.numesir.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6:partai-islam-bukan-islam&catid=3:opini&Itemid=27

SEJARAH FUNDAMENTALISME

Menelusuri Sejarah dan Makna Fundamentalisme*

Dr. Haidar Ibrahim Ali ¹

 

Prolog

AKHIR-AKHIR ini, Istilah fundamentalisme acap kali terdengar dan dipakai, namun makna yang sesungguhnya masih belum jelas, terlalu umum dan rentan akan perubahan. Meski tersirat dalam hati fundamentalisme bisa dimaknai; keteguhan dan kekakuan.
Kata fundamentalisme banyak dipakai untuk makna-makna tertentu, tapi dalam kondisi lain terkadang kehilangan kemampuan memberi batasan secara jelas dari maksud yang dituju, kadang sampai jauh melenceng dari makna aslinya. Kondisi semacam ini sering disebabkan oleh sesuatu yang masih bersifat nisbi. Kita bisa menemukan dengan mudah hal-hal yang bersifat fundamental dalam bentuk apapun di setiap masyarakat, dari pemikiran, hingga sejarahnya.
            Makalah ini tidak hanya membahas satu funda­mentalisme saja, tapi juga fundamentalisme-fundamentalisme yang lain. Tidak sedikit para penulis telah membahas fundamentalisme dalam cakupan yang sangat luas tidak hanya dalam lingkup agama—lebih-lebih pada golongan ekstrim dan ortodoks. Namun mereka juga telah membahasnya dalam lingkup sosial dan politik. Malah ada penulis yang memakai peristilahan ini keluar dari lingkup yang telah dikenal, seperti, kita temukan sekuler-fundamentalisme, teknokrat-fundamentalisme dan lainnya.
            Pada sisi lain, makna fundamentalisme mengalami penyem­pitan, terbatas pada agama dan kebudayaan dan lebih disempitkan lagi dihubungkan dengan Islam. Maka dengan serta merta kata fundamen­talisme—bagi orang yang sudah terpengaruh oleh media massa Barat—akan langsung diidentikkan dengan golongan Islam politik. Asumsi di atas erat kaitannya dengan Revolusi Iran. Sehingga fundamentalisme disamakan dengan Islam atau Islam politik.
            Makalah ini juga berusaha menjelaskan perkembangan makna, kondisi sejarah, dan sebab-sebab lahirnya Islam fundamentalis dan fundamentalisme-fundamentalisme yang lain. Demikian juga sejauh mana interaksi fundamentalisme dengan fakta dan sejarah. Permasalahan  ini merupakan satu upaya positif untuk mengembalikan makna yang  selalu berubah.
           

Sejarah Makna

James Barr yang merupakan rujukan utama dalam bidang fundamentalisme mengatakan, kata ini bermula dari judul essay yang berjudul "Fundamentals" yang muncul di Amerika sekitar tahun 1910-1915. Istilah ini digunakan untuk mengkategorikan teologi ekslusif, yaitu kepercayaan mutlak terhadap wahyu, ketuhanan Al-Masih, mukjizat Maryam yang melahirkan ketika masih perawan, serta kepercayaan lain yang masih diyakini oleh golongan fundamentalis Kristen sampai sekarang.
            Namun, ada yang mengatakan penamaan tersebut tidak cocok untuk kaum fundamentalis masa sekarang, karena pendapat-pendapat mereka terlalu sempit dan kurang jelas. Biarpun alasan ini kurang bisa diterima, karena fundamentalisme yang baru minimal masih masuk dalam kategori fundamental—dalam makna yang klasik, di samping ajaran-ajarannya masih di terima oleh kaum fundamentalis masa sekarang. Faktor kesejarahan makna dari istilah ini tidak begitu penting untuk memahami istilah tersebut pada masa sekarang². Sebagian pengamat berpendapat bahwa fundamentalisme pada mulanya terbatas kepada penganut Protestan di Amerika Serikat.
            Istilah ini digunakan untuk para penjaga Injil (evangelicals) dalam golongan Protestan dan juga golongan Karzemy yang tumbuh pesat sebagai satu sekte dalam agama Kristen. Banyak juga yang menganggap bahwa fundamentalisme adalah segolongan masyarakat desa, atau sekelompok masyarakat terpencil yang tinggal di kota kecil yang sebagian besar penduduknya beragama Kristen Protestan. Kemudian gerakan fundamentalisme menjadi gerakan militan agama yang menggunakan kekuatan politik, sebagai alat untuk memerangi apa yang dianggap sebagai gerakan  liberalisme, yang mengancam stabilitas negara, keluarga, dan Gereja. Ide-ide liar semacam ini mulai bersemi pada masa Russfelt.³
            Banyak pendapat yang mengatakan bahwa fundamentalisme adalah fenomena baru, namun sebagian sejarahwan Protestan di Amerika berusaha untuk tidak mengakui bahwa fundamentalisme di Amerika itu hasil dari abad dua puluhan, yang pada masa itu terdapat perdebatan tentang teori evolusi dan asal-usul manusia. Maka  Marsden berusaha untuk menarik akar sejarah fundamentalisme dari mulai munculnya gerakan suci yang ada sebelum lahirnya istilah fundamen­talisme itu sendiri. Oleh karena itu bagi Marsden, fundamentalisme yang sekarang merupakan penguat dari  kecenderungan pada kebudayaan bangsa Amerika dan agama-agama tradisional.?
            Garaudy berpendapat lain, bahwa pemakaian fundamentalisme belum ada dalam kamus besar Roper sampai tahun 1966. Tapi kamus kecil La Rose tahun 1966 telah mendefinisikannya dengan sangat umum sekali, yaitu: "sikap orang-orang yang menolak kondisionalisai akidah, sesuai dengan situasi dan kondisi baru".? Bahkan menurutnya definisi dalam bahasa Perancis telah dipakai oleh Kristen Katolik, di mana terjadi pertentangan dengan para pembaharu semenjak masa Paus X, kemudian setelah Muktamar Vatikan II tahun 1966.
            Dari analisa kesejarahan ini, kita bisa menemukan benang merah istilah fundamentalisme dalam tradisi agama Kristen dengan bermacam-macam alirannya. Meski sebagian kalangan sungkan untuk menamakan diri dengan kaum fundamentalis—seperti segelintir orang di Inggris lebih suka dengan nama "para penjaga Injil". Namun istilah “penjaga Injil” ini tidak populer, di samping definisi ini berse­brangan dengan fundamentalisme. Istilah fundamentalisme kadang cenderung berkonotasi negatif dan mengejek, tapi juga berfungsi untuk memberi batasan terhadap satu kondisi tertentu sebagaimana gerakan "evangelicals" (para penjaga Injil) erat hubungannya dengan politik di dalam Gereja.6
            Banyak orang alergi dengan sebutan fundamentalisme ini. berbeda dengan para penganut Protestan yang dengan bangga memegang identitas tersebut,dan memakainya untuk membedakan diri dengan mereka yang lebih suka dengan sebutan “pembela akidah”. Namun bersamaan dengan definisi yang cederung bermakna negatif ini, tentu tak seorangpun akan mengguna­kannya. Inilah yang disebut oleh Walker dengan kesewenang-wenangan bahasa.? Dari sini, kata fundamen­talisme mempunyai makna rancu dan berubah-rubah sesuai dengan pendapat dan sikap orang yang menafsirkannya. Dan tentu maksud dan tujuannyapun akan berbeda sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya. Maka terkadang istilah fundamentalisme hanya mencakup golongan-golongan ter­tentu, seperti golongan pembela kaum Yahudi di Israel, atau gerakan pembebasan Tamil di Srilangka atau golongan Hindu melawan missionaris asing di India. Yang lebih menarik jika belakangan ini fundamentalisme diidentikkan dengan Islam.?
            Kaum fundamentalis sendiri menolak penamaan ini, karena menurut mereka tidak mewakili dari akidah yang mereka anut, namun hanya untuk golongan dan sekte tertentu. Dalam agama Kristen misalnya, lebih suka menyebut dirinya dengan "Kristen sejati" atau Kristen saja. Karena setiap kritikan yang ditujukan kapadanya berarti hujatan atas agama itu sendiri. Hal ini tidak jauh berbeda dengan Islam fundamentalis yang mencampur antara kritik terhadap golongan dan kritik agama secara umum. Pandangan ini dengan sendirinya menjadi bagian inti dari proses maraknya funda­men­talisme.
            Jika kita telusuri dasar-dasar fundamentalisme dalam Injil, Al Quran, maupun nash-nash suci lainnya, tentu kita tidak akan menemukannya. Semua itu hanya akan kita temui dalam pemahaman atas teks-teks agama. Sayangnya pemahaman ini sering dianggap sebagai bagian dari agama. Di sini, fundamentalisme sebenarnya berfungsi sebagai pelestari pemahaman keagamaan yang berkembang dan dianut pada zaman dulu. Kini hanya sekedar ta'wil dan pandangan belaka.
 

Jejak Makna Fundamentalisme

Ada banyak ciri yang diidentikkan dengan fundamentalisme. Garaudy misalnya, menyebutkan beberapa ciri kaum fundamentalis; menolak perubahan, intoleransi, tertutup, kekakuan madzhab, keras, tunduk kepada turâts (tradisi), kembali ke belakang, dan menentang pertumbuhan dan perkembangan.9
            Secara definitif istilah fundamentalisme tidak ada bedanya antara fundamentalisme dalam agama maupun dalam politik. Di sini fundamentalisme merupakan keimanan yang kuat, tidak goyah, dan bisanya menganut satu kepercayaan yang bersumber dari nash-nash suci.
            Bagi orang yang percaya akan paham ini akan selalu mengarahkan segala kegiatannya sesuai dengan pemahaman mereka. Model pergerakan sangat mendominasi aktifitasnya. Mereka sadar betul bahwa pemahaman jika tidak diamalkan akan tinggal teori belaka, yang tidak berpengaruh kepada kehidupan masyarakat. Secara otomatis mereka senang terhadap kekerasan, teror dan perang, karena berambisi untuk merubah orang lain, dan sulit untuk toleran dengan lingkungan yang berlainan dengan pahamnya. Mereka senang sekali memberikan arahan kepada para pembelot dan orang-orang yang dianggap kafir.
            Selain itu mereka percaya terhadap  kebenaran absolut dalam agama mereka, sehingga menggiring kepada fanatisme dan penindasan terhadap golongan lain. Pada realitasnya  fundamentalisme lebih cenderung kepada kekerasan dari pada dialog dan saling memahami. Diantara mereka juga ada yang senang untuk ‘uz;lah  dan memencilkan diri.¹?
            Semua aliran fundamentalisme sepakat tentang faham di mana nash yang menjadi rujukan memuat sekumpulan kebenaran-kebenaran abadi yang berlaku di sepanjang zaman. Inilah garansi ke-ma'suman-nya, oleh karena itu dianggap sebagai ideologi nash atau kitab sebagai petunjuk yang menjawab segala problem. Sikap seperti ini malah menghilangkan keistimewaan agama, karena sudah menganggap agama telah finish, meski sebenarnya masih terbuka.
            Akibatnya mereka malas dan ogah mengkaji akidah yang dianut, dan tak berusaha untuk menyegarkan pemahaman terhadap keyakinan mereka. Bagi mereka Tuhan selalu m,mendukung paham-paham yang mereka anut, setelah memberi batasan-batasan apa yang sepatutnya menjadi akidah.  Di saat seperti ini mereka telah dengan sengaja mencabut akar sejarah nash-nash agama, seperti dalil-dalil yang dipakai untuk menguatkan ataupun menentang satu pemahaman tertentu. Dan inilah yang dimaksud dengan ideologi kitab. ¹¹
            Terkadang—dan ini yang banyak terjadi—inspirasi dari faham ini, lebih banyak diilhami oleh legenda masa lalu dengan tujuan untuk mengembalikan zaman keemasan yang telah terjadi pada zaman itu. Hal ini akan membawa kepada sikap menjaga, bersikukuh, untuk masuk ke dalam "kegelapan". Kaum fundamentalisme akan melakukan pencabutan hakikat atau berusaha mencari kebenaran mutlak yang ada pada masa lalu. Sebagian  pemikir mengatakan: "Bagi golongan ini, hakikat atau penemuan hakikat itulah yang disucikan, bukan piranti atau pun cara-caranya.¹² Permasalahan tersebut bisa kita lihat dalam tulisan-tulisan para pemimpin fundamentalisme seperti Ayatullâh Khomeini, yang mengatakan kemampuannya untuk menciptakan tatanan politik masyarakat dengan tetap berpegang pada pemahaman agama tradisional. Bagi kaum fundamentalis inilah yang di maksudkan dengan inti agama atau agama yang sejati, yang mempunyai kemampuan membentuk satu kekuatan baru tanpa menghilangkan inti agama atau larut dalam pengaruh luar.
                        Kami kira ada satu cara yang kira-kira bisa mendefinisikan fundamen­talisme, bukan saja sebagai satu pemikiran tersendiri, namun sebagai mediator sebuah ideologi yang tertutup, mulai dari yang dogmatis dan ekstrim, atau yang fundamental, sampai pada liberal sekalipun. Tapi yang perlu diperhatikan di sini adalah hubungan antarindividu yang menganutnya. Yaitu, pembentukan jaringan golongan (grid group) yang memiliki ikatan kelompok yang kuat dan sangat berpengaruh, di mana pendapat mereka menyatu. Dalam kondisi ini kaum fundamentalis mampu memanifestasikan tugas dalam mengontrol perilaku individu dan menjaga nilai serta aturan-aturan golongannya, seperti hijab bagi wanita dan potong tangan bagi pencuri.¹³
           
Fundamentalisme vis a vis Masyarakat
Beberapa defini di atas tentu melahirkan banyak pertanyaan sekitar hubungan fundamentalisme dengan masyarakat dan sejauhmana ia bisa eksis? Apakah faham ini bisa membumi dan  diterima masyarakat? Acap kali para pemikir lebih cenderung  memfokuskan kepada sisi metafisik dan kurang mengindahkan sisi lain ketika masyarakat menghadapi kenyataan sulit. Ada satu hal yang unik dalam fundamentalisme—bila ungkapan ini benar—adalah kemampuannya bersikap mendua dalam menghadapi problem. Dengan jelas mereka menyatakan penolakan terhadap satu hal, namun bersamaan dengan itu mereka juga mampu hidup bersama dan berkompromi. Seperti terhadap perkembangan Ilmu dan tehnologi, atau sistem negara— fenomena yang tidak bisa dihindari. Namun ketika berhubungan dengan akidah, mereka berusaha untuk menta'wilkannya. Sebagaimana juga Islam fundamentalis dalam menghadapi hal-hal sulit, mereka berusaha mengahadapinya dengan apa yang mereka namakan dengan "fiqh darurat", atau "fiqh maslahat", sebagai piranti untuk menunda kekuasaan nash  bila terbentur pada kondisi darurat dan demi maslahat.
            James Barr mengemukakan bentuk lain dari fundamentalisme yaitu berupa golongan yang mengasingkan diri dari masyarakat, karena konflik yang terus menerus dengan masyarakat lain, ini yang dinamakan dengan ideologi pengasingan diri, yang keluar demi hidup baru dalam pengasingan. Bagi Islam fundamentalis, hal ini disebut dengan "hijrah", dan berpendapat bahwa dogma adalah standar bagi masuknya seseorang kepada golongan ini dan penguat sebagai "mukmin sejati". Sifat yang kedua adalah watak penentang, yang mana melihat seseorang dari segi perlawanannya. Hal inilah yang menjadikan golongan fundamentalis itu sebagai minoritas, yang selalu merasa akan adanya bahaya yang mengancam akidah mereka.
            Barr menambahkan, meski golongan ini sangat ketat sekali terhadap musuh-musuhnya dan mengancam orang yang tidak sependapat dengannya, mereka tetap menggunakan akidah sebagai senjata untuk menyerang orang lain,¹? banyak juga para fundamentalisme yang menggunakan dalil Al Quran, seperti ayat 139 urat Ali Imran, atau ayat 35 Surat Muhammad, bahkan walaupun sudah berkuasa, kaum fundamenta­lisme masih tetap bersifat mengancam. Di sini seperti biasa mereka akan berusaha memberangus kritik dan perbedaan, dalam segi ini.
            Sedangkan Garaudy melihat dari sisi lain, ia melihat dari segi dogma dan kekakuan madzhabnya itu sebagai konsekuensi terhadap kelaziman pemeriksaan—dinisbatkan terhadap penguasa pemeriksa—karena setiap orang yang menolak adanya suatu hakekat, maka secara mutlak dianggap sakit dan harus dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa atau dianggap murtad yang layak dipenjara atau dibunuh.¹?
            Banyak para pembahas yang menolak bila fundamentalisme digambarkan sebagai golongan pinggiran yang kolot yang terasing dari lingkungannya, hidup dan bergantung dengan masa lalu, tidak realistis dalam menghadapi kehidupan yang selalu berubah, banyak dalil yang menunjukkan bahwa kaum fundamentalisme mampu berinteraksi secara dinamis dengan lingkungan masyarakat dan kebudayaan modern, namun beragam tingkat interaksinya, terlebih tidak ada satu kawasan pun yang bisa terlepas dari pengaruh luar, dalam hal ini bidang politik bisa di jadikan contoh.
                        Aktifitas politik bukan hanya dilakukan oleh kaum Islam fundamentalis, namun juga dilakukan oleh kaum-kaum fundamentalis lain, meski dalam Islam lebih banyak berpengaruh dan menyibukkan dunia, dikarenakan aktifitas politik yang dilakukan oleh kaum fundamentalis itu tergantung pada kondisi yang dihadapi.16 Di dunia Islam, aktifitas politik itu sebagai reaksi atas imperialisme yang sangat keras, adapun dalam lingkungan Protestan, fundamentalisme Amerika itu sebagai reaksi melawan gerakan kaum liberal yang menguasai dunia Kristen paska Darwin di bawah cahaya ilmiyah dan sejarah nash yang tercabik-cabik. Sehingga mereka senantiasa menghubungkan evolusi dengan sosialisme, dan kelanjutan dari perang dingin dengan komunis. Bagi mereka fenomena di atas dianggap ancaman dari kaum kiri dan pembangkangan terhadap Kristen.
            Di Amerika Selatan, muncul golongan “para penjaga” yang menghadapi dekandensi moral, keluarga, dan hak-hak wanita, demikian juga kekuatan golongan "akhlak mayoritas" sebagai kekuatan penjaga kelompok kanan, di mana hal ini merupakan akibat dari kekawatiran terhadap perubahan.¹? Tatanan fundamen­talisme berkembang sampai keluar Amerika menjamah Amerika Latin, di situ terdapat  perseteruan sengit di dalam Gereja Katolik akibat dari gerakan pembebasan. Dalam Kristen, aktifitas tersebut sebagai reaksi melawan gerakan aliran liberal.
 

Fundamentalisme vis a vis Ilmu dan Pembaharuan

Dari segi politik, semua bentuk fundamentalisme bisa dikatakan baru karena mereka berusaha untuk mewujudkan kembali sistem ideal di masa kini, atau mencari negara model baru di dalam sejarah. Hal ini sesuai dengan fundamentalisme Islam yang merupakan gerakan politik dan pemikiran-pemikiran baru yang berusaha mendirikan negara Islam, yang diilhami oleh masyarakat Madinah dan masa Khulafaurrasyidin, sebagai manifestasi dari usaha peng­korelasian masa lalu dan sekarang.¹?
            Usaha Fundamentalisme dalam mendirikan atau merubah negara dan masyarakat tidak mungkin menolak hal-hal baru secara kese­luruhan, dari sini muncul pemikiran tidak pertentangan anatara kondisionalisasi akidah dengan realita. Seperti hubungan akidah dengan ilmu dan pengetahuan.
            Pada sisi lain, bersamaan dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan semestinya fundamentalisme akan surut dan rugi, hal ini secara teori sangat logis sekali, namun lain dalam kenyataan, banyak sekali dalam masyarakat sekuler, fundamentalisme berkembang pesat, dikarenakan perasaan adanya bahaya yang mengancam. Fundamentalisme tidak hanya tersebar bagi kalangan non pelajar saja, banyak yang mengatakan bahwa hal ini juga menghinggapi para ahli fisika dengan kadar lebih banyak dari pada ahli biologi, dan ahli biologi lebih banyak dari pada orang yang belajar ilmu-ilmu sosial masyarakat.19 Banyak dikatakan fundamentalisme tumbuh subur di lingkungan pedalaman tradisional, sedang faham liberal tumbuh subur dilingkungan perindustrian kota, namun hal ini tidak bisa dijadikan pegangan, karena banyak pemimpin fundamentalisme berasal dari satu masyarakat di mana para penganut liberal berasal, karena pengaruh yang sebenarnya bukan hanya berasal dari tempat asal, tapi juga dari pengaruh macam-macam pemikiran.
            Meski Kristen fundamentalis menghalangi perkembangan dan ilmu dalam jangka waktu yang lama, namun toleransi antara ilmu dan non ilmu berkembang di masyarakat Barat modern, di mana semestinya antara ilmu dan fundamentalisme saling bertentangan, minimal dalam satu individu atau satu kebudayaan, namun pada kenyataannya banyak sekali orang yang aktifitasnya erat sekali dengan keilmuan tidak begitu memperhatikan ilmu sebagai pembentuk jalan kehidupan atau sebagi pandangan hidup, mereka menggunakan ilmunya sekedar spesialisasi. Dari sini mulai tampak pemisahan antara teori dan praktek, ilmu sekedar pekerjaan atau pengetahuan, tidak berubah menjadi pembentuk kepribadian.²?
            Dalam satu segi, fundamentalisme kadang berdiri berlawanan dengan agama masyarakat, karena melarang nujum, sihir, khurafat, dan lainnya. Mereka berpegang teguh pada ajaran-ajaran dan akidah-akidah ortodoks yang tertutup dan intoleran. Kaum Islam fundamentalis dikenal senjatanya yaitu, "bid'ah", menjadikan faham fundamentalis jauh dari agama masyarakat.
            Fundamentalisme dan agama masyarakat kadang berada dalam posisi berlawanan, dan hal ini tentunya membawa konsekuensi runtuhnya kedua hal tersebut, namun para pengamat sering dibuat kagum karena kedua hal tersebut masih tetap berlangsung hidup. Dalam kondisi ini banyak yang menganggap lebih disebabkan oleh pengaruh luar, dan sebagian menganggap perkembangan fundamentalisme itu akibat dari kurang memperhatikannya kaum liberal terhadap kegiatan masyarakat.²¹
            Bisa juga fundamentalisme bertentangan dengan pembaharuan, karena fundamentalisme berfaham pada kekuasaan nash yang mutlak, sedangkan pembaharuan nisbi, berubah-rubah, dan penuh pertanyaan-pertanyaan tanpa henti. Sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Iqbal tentang Islam Fundamentalis: "Mereka membaca Al-Quran dengan penglihatan mati, tidak mampu berijtihad dan tidak kritis".²²
           

Adakah Fundamentalisme dalam Islam?

Sebagian pembahas melihat bahwasanya fundamentalisme adalah inti dari agama-agama Semit (Yahudi, Kristen dan Islam), maka secara langsung agama-agama inilah yang melahirkan fundamentalisme. Tapper menganggap bahwa Protestan fundamentalis tersembunyi dalam agama-agama Semit, terbukti dengan adanya dogma sentral, yaitu kepercayaan terhadap kemaksuman kitab suci, yang merupakan lambang utama keberlangsungan ideologi dan untuk menjaga kritik yang menentang kepercayaan kemaksuman tersebut.²³
            Di samping sifat-sifat yang telah disebutkan di atas, seperti mengasingkan diri, penentangan, dan perasaan adanya bahaya, fundamentalisme merupakan doktrin kekuasaan suci, atau ideologi kitab dan nash, dan pemikiran Islam mencakup ideologi ini khususnya dalam interaksinya dengan Al Quran sebagai wahyu Tuhan dan penyempurna bagi agama-agama yang lain.
            Lampton berpendapat, bahwasanya dalam Islam terdapat inti pokok fundamentalisme, sedang dalam Kristen dan Yahudi bukan fundamentalisme secara sempurna, namun terdapat potensi yang kuat bagi munculnya fundamentalisme, dan itu  telah terjadi, dan menganggap kalimat-kalimat yang terdapat dalam kitab suci, baik Taurat, Injil maupun Al-Quran, meski datangnya dari Tuhan masih membutuhkan penerjemah, pengurai, penta'wil yang hadir secara manusiawi. Dari sini akan kita temukan macam-macam fundamentalisme yang setiap satunya mengklaim kebenaran, untuk itu ditemukan hubungan antara fundamentalisme dan perseteruan sekte dan madzhab, sampai dikatakan hal tersebut disebabkan karena Islam pada intinya adalah fundamentalisme, oleh karena itu perpecahan dan perselisihan berlangsung dalam jangka waktu yang lama, dan tidak luput dari unsur agama.²? Pendapat ini ada benarnya, meski kelemahan penguasa ikut andil dalam perpecahan dan perselisihan tersebut.
            Para orentalis menganggap Islam fundamentalis sebagaimana fundamentalisme secara umum. Watt mengemukakan ciri-ciri bagi orang Islam seperti: teguh, tidak mudah goyah, hilangnya pikiran perkembangan, dan wataknya tidak berubah, Islam cukup mengambil sample dari masa-masa pertama. ²?
            Gellner melihat Islam fundamentalis itu mempunyai sifat kesederhanaan, penuh dengan kekuatan, militansi yang kadang-kadang keras, dan gerakan menjaga masyarakat, mayoritas kehidupannya miskin, mampu mengkondisikan masyarakat dengan kebudayaan kuno yang terkandung dalam akidahnya, serta menunjukkan sebab-sebab kesengsaraannya itu disebabkan oleh penyimpangan dari jalan yang benar, dan solusi dari semua ini adalah kembali kepada etika dan kekuatan identitas. 26
            Sebagian lagi berpendapat, bahwasanya fundamentalisme adalah ideologi yang kuat pada dunia ketiga yang bergerak untuk mencapai kemerdekaaan dari para penjajah,²? namun pada saat sekarang ini terkadang sekedar menjaga identitas kebudayaan dari arus globalisasi.
            Para pembaharu Islam mengemukakan penafsiran yang berbeda tentang fundamentalisme dan integrisme Islam, dalam upaya menempatkannya dalam bentuknya yang asli, dan ketidakcocokannya dengan akidah Islam, bahkan sampai cara penyebarannya, Arkoun mengatakan: umat Islam pada saat ini terdapat bermacam-macam sentral, bukan hanya satu, ada yang membawa nama fundamentalisme, Khumeinisme, integrisme dan lain-lain. Demikian karena pergerakan Islam telah berbentuk obsesi-obsesi yang tidak lagi seperti agama, namun seperti ambisi dari ideologi besar dalam upaya menggerakkan impian masyarakat dan menyalakannya.²? Dan kemudian berusaha mencari akar kebudayaan, psikologi, dan bahasa bagi fundamentalisme yang ada dalam masyarakat kitab.29
            Abdul Jabbar berpendapat; gerakan Islam fundamentalis adalah salah satu fenomena penentangan akan kondisi irrasional bagi masyarakat sekarang, dan mempunyai watak politik ideologi. Pergerakan fundamentalisme dalam dunia Arab selalu berusaha untuk mengembalikan kecenderungan sosial masa lalu dalam bentuknya yang baru, di mana pergerakan politik lebih dominan dari pada ilmiyah.³? Dalam lingkup Islam politik dan pergerakan sendiri di situ ada penolakan dengan penamaan ini, namun kadarnya berlainan, namun ada juga yang menerima secara tersirat.
            Syeikh Syamsuddin mengatakan: "dalam Islam tidak ada fundamentalisme, penamaan ini akibat dari pengaruh peristilahan, bahasa dan pemikiran Barat, barangkali terdapat Kristen fundamentalis dan Kristen non fundamentalis, dalam Islam tidak ada fundamental dan nonfundamental, yang ada muslim multazim (yang menjalankan agamanya dengan baik) dan muslim tidak multazim. Ada orang yang sholat lima waktu dan ada juga yang teledor. Dan apa yang dinamakan dengan gerakan fundamental kita menamakannya pergerakan orang-orang Islam yaitu orang-orang yang berkecimpung di dunia politik.³¹
            Syeikh Turoby sependapat dengan hal ini dan menambahkan, bahwasanya di dunia Islam,  fenomena ini ada yang serupa dengan kebangkitan di Eropa, semacam gerakan pembaharuan kebudayaan menyeluruh, yang berupaya untuk mengadakan perbaikan terhadap masyarakat secara efektif melawan kekakuan dan dogma masyarakat tradisional yang terbelakang, tapi istilah ini sering menyesatkan.³²
           

Epilog

Semua hal di atas menunjukkan dilema fundamentalisme dalam berinteraksi dengan fakta dan sejarah, mustahil kembali ke asal sebagaimana semula. Mengulang ke model peradaban, masyarakat, atau kebudayaan masa lalu akan mengingatkan kita kepada anekdot terkenal "kamu tidak akan turun dalam satu sungai dua kali", dan inilah kondisi yang sebenarnya, karena sungai itu berubah dan kita juga berubah, bahkan sampai pemikiran perbaikan ataupun pembaharuan akan menemui kesulitan untuk mencapai kesepakatan. Kenapa kita harus memperbaiki sesuatu yang tidak mampu lagi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan baru? Apa salahnya kalau kita gunakan hal-hal baru untuk sesuatu yang baru juga? Klaim pembaharuan dan kembali ke asal (identitas), hanya sekadar pembenaran pribadi, dan merupakan perbuatan yang tidak didasari logika.
            Pada dasarnya fundamentalisme adalah pembahasan tentang keamanan, ketenangan, dan kepuasan jiwa. Karena hal tersebut merupakan piranti-piranti yang murah dan tidak membutuhkan banyak tuntutan, tanpa petualangan dan benturan serta langsung menukik ke dunia nyata.
Wallahu A'lam Bi Al Shawab.
 
* Diterjemahkan dan disarikan oleh: Nurhadi, Mahasiswa Fakultas Sastra Arab, Universitas Al Azhar Kairo.
 
Catatan Kaki:
1 DR. Haidar Ibrahim Ali. Guru Besar Ilmu Sosial dan Direktur Pusat Pendidikan Sudan. Judul asli makalah ini, Al Ushûliyyah; Al Târîkh Wa Al Ma’na
2 James Barr: Fundamentalism. London : SCM Press, 1977, phal 1-3
3 Lionel Caplan (ed): Studies In Fundamentalism. London : Mac Millan Press, 1987, hal. 1
4 Marsden, G. : Fundamentalism And American Culture; The Shaping Of Twenthiet Century Evangelicalism, 1890 – 1925. New York: Oxfort University Press, 1980, hal. 244
5 Roger Garaudy :  Al Ushûliyyah Al Mu'âshirah; Asbabuha Wa Madha­hiruha. Ta'rib Khalil Ahmad Khalil. Paris, Dar Alfain, 1992, hal. 13
6 Barr, op. cit., hal. 2
7 Walker, A., Fundamentalism And Modernity: The Rentoration Movement In Britain, in caplan, hal. 195
8 Caplan, L., op. cit., hal. l
9 Garaudy, op. cit., hal. 13
10 Burrel, R.M. (ed.) Islamic Fundamentalism . No. 1/ 1989, hal. 5
11 Lambton, A.K.S., The Clash Of Civilizations: Authority, Legitimacy And Perfectibility, in caplan, hal. 33
12 Burrel, R.M., op. cit, hal. 5
13 Ricard and Nanany Tapper: "Thank God We're Seculer!" Aspects Of Fundamentalism In A Turkish Town, in caplan, hal. 51
14 Barr, op. cit., hal. 318, 341
15 Garaudy, op. cit., hal. 36.
16 Caplan, hal. 5-6
17 Ibid, hal. 6
18 Sami Zubaida, The Quest For The Isamic Fundamentalism. In Egypt And Iran, in caplan, hal. 25-27
19 Barr, op. cit.,  hal. 90
20 Ibid, hal. 91
21 Robert Wuthnow, Sociology Of Religion, in : Neil Semelser (ed.). Handbook Of Sociology. London. Sag Publication, 1988, hal. 483
22 Auro Garaudy, op. cit., hal. 97,  An Ki­tabi Iqbal, "Mu'awedah Bina' Al Fikri Al-Islam Al-Dini,  Dar Mizunuf, Paris 1955
23 Tapper and Tapper, op. cit.,  hal. 55
24 Lampton,  op. cit.,  hal. 34
25 W. Montgomery Watt: Islamic Fundamentalism And Modernity, London: Routledge, 1992, hal. 72
26 Ernest Gellner : Postmodernism, Reason And Religion. London: Routledge, 1992, hal. 72
27 Tapper, op. cit., hal. 58
28 Muhammad Arkoun : Aina Huwa Al Fikr Al Islami Al Muashir?  London, Dar Assaq, 1993, hal. 126
29 Ibid, hal. 126
30 Falih Abdul Jabar, Ma'âlim Al Aqlâniyah Wa Al Khurâfat Fi Al Fikri Al Siyâsi Al Arâby. London, Dar Assaqy, 1992, hal. 80
31 Syekh Muhammad Mahdi Syamsuddin, Majalah Al Wathân Al Arâby, 27 Desember 1991.
32 Syeikh Hasan Turoby: Syahâdah Amâm Majlis Al Nuwâb Al Amrîki,  Mei 1992, dari majalah Syu'ûn Syarqi Al Awsath, Issue: 10, Juli 1992, hal. 49