Selasa, 06 September 2011

Anthropomorphisme dalam Pandangan Asy'ariyah


 Abu Nadhief Muhammad
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat seperti memiliki tangan dan kaki dan ini tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis. Al-Asy’ari berbendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan dengan sifat-sifat manusia yang tampak mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya.[1] Tuhan mempunyai muka, tangan, mata,  dan  sebagainya  dengan   tidak  ditentukan   bagaimana   (bila kaifa)  yaitu
dengan tidak mempunyai bentuk dan batasan (la yukayyaf wa la yuhad).[2]
Ayat-ayat Al-Qur’an kendatipun menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmaniah, tidak boleh ditakwil dan diterima sebagai makna harfinya. Oleh sebab itu Tuhan dalam pandangan Asy’ari mempunyai mata, wajah tangan serta bersemayam disinggasa. Namun, semua itu dikatakan la yukayyaf wa la yuhadd (tanpa diketahui bagaimana cara dan batasnya).[3]
Sementara itu al-Juwaini tidak selamanya setuju dengan ajaran-ajaran yang ditinggalkan al-Asy’ari. Mengenai anthropomorphisme umpamanya ia berpendapat bahwa tangan Tuhan harus diartikan  (ta’wil) kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan tuhan dan wajah Tuhan diartikan Wujud Tuhan. Dan Keadaan Allah bersemayam dia arays’  diartikan Tuhan berkuasa dan maha tinggi.[4]
Ulama khalaf tidak merasa puas dengan cara-cara berfikir yang ditempuh ulama salaf. Cara mereka berbeda dengan cara ulama salaf. Mereka menakwilkan sesuatu yang mutasyabihat sesuai dengan kehendak akal dan sesuai pula dengan itikad mensucikan Allah dari sifat yang tidak layak baginya.[5]
Mayoritas ulama khalaf  mena’wil istiwa’ dengan kekuasan Allah, menafsirkan tangan dengan kekuatan dan kedermawanan, menafsirkan ’ain {mata} dengan pertolongan (’inayah) dan pemeliharaan (ri’ayah), menafsirkan dua jari-jari dalam hadits ”hayi sorang mukmin berada diantara dua jari-jari Tuhan” dengan kehendak (iradah) dan kekuasaan (qudrah) Allah dan lain sebagainya.[6]


[1] C,A Qodir, Filsafat Islam dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor, 1991),  67-68
[2] Nasution, Teologi Islam, 70
[3] M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam: Pemikiran kalam, (Jakarta: Perkasa, 1990), 93-94
[4] Nasution, Teologi Islam, 72
[5]Teungku Muhammad Habsi Ash-Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam (Semarang: Pustaka Riski Putra, 1999), 35
[6] Ramli, Madzhab Al-Asy’ari, 212

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.