By: Ali Wafi
Kemunculan aliran Mu'tazilah
dalam pemikiran teologi Islam diawali oleh masalah yang hampir sama yaitu
mengenai status pelaku dosa besar. Bila Khawarij mengkafirkan pelaku dosa
besar dan Murji'ah memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mu'tazilah
tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah
tetap mukmin atau telah kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal
al-manzilah bain al-manzilatain. Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu'tazilah
menempati posisi tengah diantara posisi mukmin dan posisi kafir. Jika meninggal
dunia sebelum bertobat, ia akan dimasukkan dalam neraka selama-lamanya. Namun,
siksaan yang bakal diterimanya lebih ringan dari pada siksaan orang kafir. Dalam
perkembangannya beberapa tokoh Mu 'tazilah seperti Wasil bin Atha dan
Amr bin ubaid mempejelas sebutan itu dengan istilah fasik yang bukan mukmin
atau kafir, melainkan sebagai kategori netral dan independen.[1]
Definisi iman menurut Wasil bin Atha sebagai
pendiri Mu'tazilah ialah suatu ungkapan dari budi pekerti yang baik.
Adapun menurut Abu Al-Huzail iman adalah seluruh perbuatan taat, baik yang
merupakan kewajiban maupun anjuran dari perintah Allah SWT.
Seluruh pemikir Mu'tazilah
sepakat bahwa amal perbuatan merupakan salah satu unsur terpenting dalam konsep
iman, bahkan hampir mengidentikkannya dengan iman. Ini mudah dimengerti karena
konsep mereka tentang amal sebagai bagian penting keimanan memiliki keterkaitan
langsung dengan masalah al-wa'd wa al waa'id (janji dan ancaman) yang merupakan
salah satu dari "Pancasila" Mu'tazilah.
Aspek penting
lainnya dalam konsep Mu'tazilah tentang iman adalah apa yang mereka
identifikasikan sebagai ma’rifah (pengetahuan dan akal). Ma’rifah sebagai
unsur pokok yang rasional dari iman berimplikasi pada setiap penolakan keimanan
berdasarkan otoritas orang lain. Mu'tazilah sangat menekankan pentingnya
pemikiran logis atau penggunaan akal bagi keimanan.Harun Nasution menjelaskan bahwa
menurut Mu'tazilah, segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan
akal dan segala kewajiban dapat diketahui dengan pemlkiran yang mendalam. Dengan
demikian, menurut mereka, iman seseorang dapat dikatakan besar apabila didasarkan
pada akal bukan karena taglid kepada orang lain.
Pandangan Mu'tazilah
seperti ini, menurut Toshihiko Izutsu sangat sarat dengan konsekuensi dan
implikasi yang cukup fatal. Hal ini karena hanya para mutakallim
(teolog) saja yang benar-benar dapat menjadi orang yang beriman, sedangkan masyarakat
awam yang mencapai jumlah mayoritas tidak dipandang sebagai orang yang benar-benar
beriman/ mukmin.[2]
Masalah fluktuasi iman, yang merupakan persoalan
teologi yang diwariskan aliran Murji'ah, disinggung pula oleh Mu'tazilah.
Aliran ini berpendapat bahwa manakala seseorang meningkatkan dan melaksanakan
amal kebaikannya, imannya semakin bertambah. Setiap kali ia berbuat maksiat,
imannya semakin berkurang. Kenyataan ini dapat dipahami mengingat Mu'tazilah
seperti halnya Murji'ah, memasukkan unsur amal sebagai unsur penting
dari iman (al-amal juz'un min al-iman).
[1] Definisi iman menurut Wasil bin Atha sebagai
pendiri Mu'tazilah ialah suatu ungkapan dari budi pekerti yang baik.
Adapun menurut Abu Al-Huzail iman adalah seluruh perbuatan taat, baick yang
merupakan kewvajiban maupun anjuran dari perintah Allah SWT.
[2] Toshihiko Izutsu, 1994, Konsep
Kepercayaan Dalam Teologi Islam Analisis Semantik Iman Dan Islam, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. hlm.135.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.