Minggu, 04 September 2011

Akal dan Wahyu


             Dalam pendapatnya segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Bentuk akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepadaNya. Juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh pahala dan yang tidak patuh kepadaNya akan mendapat hukuman.[1] Dari sini dapat disimpulkan bahwa menurut pendapat Al-Asy’ari akal tak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban untuk itulah diperlukanlah wahyu
            Menurut Al-Syahrastani salah seorang pengikut al-Asy’ari, kaum Asy’ariyah berpendapat bahwa kewajiban-kewajiban diketahui dengan wahyu dan pengetahuan diperoleh dengan akal. Akal tidak dapat menentukan bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah wajib, karena akal tidak membuat sesuatu menjadi harus atau wajib. Wahyu sebaliknya tidak pula mewujudkan pengetahuan. Wahyu membawa kewajiban-kewajiban. Sedangkan Menurut al-Baghdadi dan al-Ghazali akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, karena segala kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu.[2]
            Walaupun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradikif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal. Dalam menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.[3]
            Aliran Asy’ariyah, yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kecil dan manusia tidak mempunyai kebebasan atas kehendak dan perbuatannya, mengemukakan bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan haruslah berlaku semutlak-mutlaknya. Al-Asy’ari sendiri menjelaskan bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun dan tidak satu dzat lain di atas Tuhan yang dapat membuat hukum serta menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat Tuhan. Malah lebih jauh dikatakan oleh Asy’ari, kalau memang Tuhan menginginkan, Ia dapat saja meletakkan beban yang tak terpikul oleh manusia.[4]


[1] Nasution, Teologi Islam, 81-82
[2] Ibid
[3] Rozak & Anwar,  Ilmu Kalam, 122
[4]Ibid. 185

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.