Oleh Harya Bhisma |
Dalam konteks apapun, menulis tentang Islam dengan segenap pernak-perniknya merupakan hal yang menarik –bahkan menantang. Ini mungkin yang mengilhami Vartan Gregorian untuk memberi judul bukunya dengan “Islam; A Mosaic, Not Monolitic”. Wajah Islam memang cenderung tidak tunggal dan karenanya fluid. Jika demikian, cara memahaminya pun beragam dan tidak harus seragam meski kesimpulannya tak selalu berbeda. Kemajemukan tersebut nampak dengan ada banyaknya perspektif atau cara yang bisa dipakai dalam menganalisis Islam. Beberapa cerdik-cendekia merasa nyaman dengan pendekatan sejarah (historical approach), teologi (theological approach), sosiologi (sociological method) atau mistis (mystical method). Sedang sebagian sarjana cenderung menggunakan konsep “area studies” atau “case studies”. Ini mengapa, dalam diskursus keislaman, kita menjadi akrab dengan pelbagai istilah “baru”. Kita terbiasa dengan Islam Sunni atau Shi’i, Islam Salafi dan Liberal, atau (dalam konteks Indonesia) Islam Santri dengan Abangan. Terkait dengan perbincangan Islam Postkolonialisme, sudah tentu tema ini cenderung akan merujuk kepada dua pendekatan terakhir sebagai sebuah perspektif (baca: manhaj) yang pokok. Terlebih, nanti, essay ini ingin mencoba mengangkat Islam yang tidak monolitik dengan memberikan Timur Tengah dan Indonesia sebagai sebuah contoh kasus utama. Juga, jika memungkinkan, secara sekilas akan berusaha membidik fenomena di kawasan lain seperti India-Pakistan atau Iran. Islam-Arab Postkolonialisme; Tinjauan Kesejarahan Bagi sebagian pihak, nomenklatur “postcolonialism” (postkolonialisme) sangat mungkin layaknya makhluk asing dari negeri antah berantah. Menurut mereka yang curiga dengan segala hal yang berbau Barat, istilah tersebut pasti memiliki tendensi tertentu (weltanschauung) yang berkait dengan Barat. Agar tidak terjebak dalam stigma semacam itu menjadi wajib bagi kita untuk mengenal lebih dekat terma tersebut. Hal ini pun sesuai dengan anjuran “kaidah” masyhur yang menyebut “al-hukm ‘an shay’ far’un ‘an tasawwurih”. Membincang postkolonialisme berkait-kelindan dengan memahami kolonialisme (colonialism), imperialisme (imperialism) dan neo kolonialisme (neocolonialism). Edward Said (1993) membedakan dengan jelas antara kolonialisme dengan imperialisme. Imperialisme, bagi Said, bermakna sebuah tindakan praksis, teoritis dan etis dari satu kota dalam rangka mengendalikan sebuah wilayah yang jauh [di luar teritori]. Akibat dari praktek imperialisme, masih menurut Said, akan memunculkan satu kenyataan berupa “penanaman” aturan tertentu atas masyarakat di luar teritori mereka yang galib disebut sebagai kolonialisme. Adapun istilah neo kolonialisme pertama kali dicetuskan oleh Kwame Nkrumah sebagai bentuk ekspresi kegusarannya terhadap nasib bangsa Ghana yang meski sudah memperoleh kemerdekaan namun kebijakan ekonomi dan politiknya masih dikendalikan oleh negara penjajah (Robert J.C Young, 2001). Postkolonialisme, sebagaimana asumsi Ania Loomba (1998), adalah “kontestasi dominasi kolonial dan peninggalan kolonialisme”. Secara sederhana, postkolonialisme dapat diartikan sebagai dampak kolonisasi terhadap budaya dan masyarakat (Bill Ashcroft, 1998). Jika demikian, Islam Postkolonialisme di sini sesungguhnya berupaya membidik fenomena yang terjadi dalam dunia Islam yang diakibatkan oleh proyek bertajuk kolonialisme. Atau demi lebih mudahnya, kolonialisme selalu saja disejajarkan dengan “penjajahan”, maka Islam Postkolonialisme sebagai terma yang “baru” dalam pemaknaan yang sederhana adalah studi terhadap pengaruh penjajahan atas dinamika studi keislaman –ekonomi, pemikiran dan kebudayaan. Analisis yang berbeda justru mengemuka dari Ibrahim Abu-Rabi’ (2006)–seorang profesor dari Hartford Seminary Amerika Serikat. Nomenklatur pra kolonial, kolonial dan paska kolonial, olehnya, justru digunakan sebagai salah satu perangkat klasifikasi untuk mengidentifikasi pola dan karakter gerakan kelompok yang disebutnya sebagai kelompok Islamisme atau Salafisme. Namun disini, penulis tak bersepakat dengan model penggunaan terma ala Abu-Rabi’. Hemat penulis, istilah tersebut dapat dipergunakan untuk memotret wajah Islam dalam lingkup yang lebih luas. Tawaran yang lebih bernas berkaitan penggunaan terma pra kolonial disampaikan oleh Nasr Abu Zayd (2006). Dalam penjelasannya, Abu Zayd menyebutkan bahwa isu yang diangkat dalam masa pra kolonial sebagaimana terpotret dari abad XVI, XVII dan XVIII adalah bagaimana para sarjana Muslim mampu menghadapi keberagaman tradisi lokal secara arif atau ide tentang purifikasi Islam. Pada fase ini, topik yang dominan berputar pada bagaimana Islam bisa melakukan penyesuaian dengan kebudayaan setempat seperti yang terlihat dari upaya Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab atau Shah Wali Allah. Terlepas dari perdebatan seputar nomenklatur di atas, karena menjadikan Islam (Postkolonialisme) sebagai tema, maka menjadi sebuah kewajiban untuk menyebut Mesir. Sebab bangsa yang terkenal dengan kebudayaan tuanya, dalam diskursus kajian keislaman, memiliki peran yang sangat signifikan dibanding negara lainnya di Timur Tengah. Tak salah bila Napoleon, sebagaimana dikutip Ahdaf Soueif, menyebutnya sebagai “bangsa terpenting di dunia –the most important country in the world” (Ahdaf Soueif 2000). Buku-buku sejarah mencatat, tahun 1801, berkat persekutuan antara dinasti Turki-Ottoman, Mamluk dan Inggris, dominasi Perancis yang dipimpin Napoleon Bonaparte terhadap Mesir berakhir. Kekalahan Perancis, meski bukan sebagai penanda musnahnya kolonialisme di Timur Tengah, juga yang menjadi tonggak bagi perubahan di Mesir dan Arab. Menunjuk jasa Mesir dalam perbincangan sejarah studi keislaman sama halnya menyebut secara implisit jasa dan jerih payah Rif’at al-Thahthawi. Para penikmat diskursus pemikiran Islam Modern dan Kontemporer sudah pasti familiar dan akrab dengan sosok ini yang lahir ketika invasi Perancis berakhir. Karena ide dan gagasannya, tradisi intelektual Mesir dan Arab-Islam kembali menggeliat. Kepulangannya dari Perancis di tahun 1831 dan kiprah, dedikasi serta pengabdiannya bagi Mesir lantas menjadi inspirasi bagi banyak kalangan untuk menggelorakan kembali kemajuan dunia Islam. Sesungguhnya, jasa besar al-Thahthawi tak bisa dilepaskan dari adanya dukungan penuh dari Muhammad Ali, sang pendiri negara Mesir modern, yang mencetuskan ide reformasi sosial, politik dan kebudayaan sekaligus (Afaf Lutfi al-Sayyid Marsot 2007). Sebagai orang yang membaca langsung ide-ide filsuf Barat, al-Thahthawi mampu menerjemahkan dengan fasih konsep dan gagasan yang eksis dalam masa Pencerahan. Konsekuensinya, al-Thahthawi yang notabene seorang Azhari mendapat dua atribut sekaligus; Pionir Pencerahan Arab Modern dan Pengusung Nilai Barat. Terlepas dari polemik tersebut, eksistensi al-Thahthawi sesungguhnya menjadi semacam pintu gerbang bagi tradisi keilmuan Barat dalam mewarnai dunia Islam. Al-Thahthawi, jika ditamsilkan di eranya, seperti sedang mengambil peran Hunayn ibn Ishaq dalam transformasi peradaban liyan. Sekalipun berjuluk Pioner Pencerahan Arab Modern, menjadikan al-Thahthawi sebagai poros kajian Arab Postkolonialisme adalah sebuah tindakan yang simplistik dan cenderung gegabah. Faktanya, keruntuhan kolonialisme Perancis yang terjadi di Mesir malah diteruskan oleh “penjajahan” mazhab Dinasti Turki-Ottoman dan bahkan oleh bangsa Mesir sendiri yang dipimpin oleh Muhammad Ali. Hemat penulis, posisi al-Thahthawi dalam tema ini tak lebih sebagai sumber inspirasi bagi geliat mazhab baru dalam pemikiran keislaman yang kelak akan terlahir secara matang pasca kekalahan Arab dari Israel pada tahun 1967. Ia dengan Hasan al-‘Aththar adalah ikon bagi gerakan Islam “masa kolonialisme”. Lantas apakah yang menarik dari Islam masa kolonialisme ini selain melakukan tafsir ulang atas al-Qur’an dan Sunnah? Dalam rangka menjawab pertanyaan ini adalah menarik mencermati mapping yang dilakukan oleh Ibrahim Abu-Rabi’ (2004) terhadap dinamika pemikiran Arab sebelum perang Arab-Israel dalam rangka memperkokoh tesis yang penulis ajukan. Daya cengkeram kolonialisme yang masih menguat pada abad XIX memantik daya kritis para ulama dan sarjana untuk merumuskan bagaimana dunia Arab-Islam tidak selalu menjadi objek penjajahan. Maka tak ayal, di abad ini, para generasi intelektual yang semasa dengan atau terinspirasi oleh al-Thahthawi banyak berkonsentrasi dengan isu tradisi, modernisasi, reformasi dan kemajuan. Tema-tema tersebut banyak mendominasi dalam pelbagai literatur dan pemikiran mereka. Generasi abad ini melahirkan nama-nama beken semisal Muhammad Bayram V (w. 1889 M.), Ahmad Faris al-Syadyaq (w. 1888 M.) dan Khayruddin al-Tunisi (w. 1889 M.). Muncul pula figur sekelas al-Shawkani (w. 1251 H./ 1834 M.), al-Afghani (w. 1897 M.), Muhammad Abduh (w. 1905 M.) dan Rashid Ridha (w. 1935 M.). Disusul sosok-sosok lain seperti Syibli Shoumayl (1850 - 1917 M.), Farah Anthon (1874 - 1922 M.), Salamah Musa (1887 - 1958 M.), Thaha Husayn (w. 1973 M.), juga Abdul Hamid al-Zahrawi (w. 1916 M.), Rafiq al-‘Adhm (1922 M.), Mushtafa Sadiq al-Rafi’i (m. 1937 M.), Shakib Arslan (w. 1946 M.), al-Khidhr Husayn (w. 1958 M.) Mereka semua mempunyai kegelisahan yang sama –bagaimana melawan dan mengatasi keterbelakangan dunia Arab-Islam? Dan bagaimana pula melakukan kompromi nilai-nilai Islam dengan budaya Barat yang dibawa oleh dominasi kolonialisme (Muhammad Salih al-Marakishi 1992)? Cara para sarjana dalam berijtihad dan merespon isu tersebut, pada akhirnya, menghadirkan kesimpulan yang tak seragam. Sebagian (kutub fundamentalisme) menganggap –ini karena terbuai oleh glorifikasi imperium Islam- kemunduran Arab-Islam terjadi karena umat Islam menjauh dan mengkhianati tradisi. Oleh karenanya, kembali kepada turath (tradisi) adalah jalan mutlak untuk mencapai kembali kejayaan. Kalangan kedua (sayap moderatisme) berargumentasi kemajuan umat Islam hanya akan terjadi jika mereka melakukan kombinasi dan persesuaian yang tepat antara khazanah Islam dengan Barat. Sedang kelompok terakhir (kelompok liberalisme), karena terbuai kebesaran Barat, meyakini bahwa taklid buta terhadap Barat adalah prasyarat utama menuju kemajuan. Kuatnya dominasi tema seputar tradisi, reformasi dan modernisasi bukan berarti mengunci ruang publik dari perdebatan isu-isu lain. Beberapa topik lain seperti sekulerisme atau feminismejuga turut mengemuka meski tentu saja dalam taraf yang tidak semassif tiga isu di atas. Ada Ali Abdul Raziq (w. 1966 M.) dan Qasim Amin (w. 1908 M.) yang mewakili kalangan minoritas ini. Namun, jika didalami, kedua isu ini juga termasuk dalam bagian besar bertajuk proyek melawan keterbelakangan Arab-Islam. Praktis kecenderungan terhadap isu-isu di atas mengalami perubahan yang signifikan ketika dunia Arab dikalahkan oleh Israel dalam perang enam hari di tahun 1967. Jika boleh diibaratkan, kekalahan Arab atas Israel seperti halnya keruntuhan Baghdad akibat serangan Mongol. Paska kekalahan memalukan atas Israel, sarjana Arab tak lagi menyanyikan tema bagaimana mengatasi kemunduran, kebodohan dan ketakberdayaan di dunia Arab. Mereka mengganti koor dengan nada yang berbeda. Jika sebelumnya mereka menggugat dalam sederet pertanyaan: kenapa kolonialisme tak kunjung terenyahkan?, mengapa keterbelakangan mencengkeram kuat nasib mereka?, bagaimana mempertemukan tradisi dengan ide kemajuan warisan kolonial?, maka, setelah perang Arab-Israel, mereka mengajukan gugatan berupa: mengapa Arab yang besar dikalahkan oleh Israel yang baru berdiri?, bagaimana mengobati kekalahan yang menyakitkan ini?, bagaimanakah sesungguhnya bentuk negara ideal?, apakah kriteria karakter (yang tepat) bagi pemimpin dan bagaimana menempatkan Barat dalam posisi yang proporsional? Kritikan-kritikan ini seperti memijarkan aneka ragam persoalan yang teridentifikasi yang harus segera diselesaikan agar Arab-Islam kembali bangkit. Para intelektual Arab menyodorkan permasalahan dunia Arab-Islam sebagai tema baru seperti: demokrasi, masyarakat sipil, agama, nasionalisme, strata, kondisi sosial dan hegemoni dalam diskusi yang panjang dan melelahkan (Ibrahim Abu-Rabi’ 2004). Sarjana-sarjana Arab dihadapkan pada tuntutan problematika sosial kemasyarakatan yang harus segera dijawab. Mereka harus merespon, bagaimana menegoisasikan kembali antara hal yang profan dengan sakral, merumuskan bangunan yang tepat untuk masyarakat, menyediakan sistem yang sehat dan adil bagi kompleksitas hidup dan bagaimana membangun kembali peradaban yang sedang terpuruk? Dalam kondisi yang centang-perenang, masa dimana bisa kita sebut sebagai “masa postkolonialisme”, generasi intelektual semodel Muhammad Abid al-Jabiri, Hassan Hanafi atau Abdullah Laroui dan juga pemikir Arab kontemporer lainnya mendapatkan applaus dan memperoleh pengikut. Lewat pelbagai karyanya, mereka berlomba-lomba menawarkan diagnosa dan obat bagi dunia Arab yang tengah dikungkung defeatisme dan konflik (‘azmah). Hasil ijtihad mereka boleh berbeda, tapi kristalisasi dari solusi yang ditawarkan seperti menunjukkan bahwa ada bagian-bagian sejarah era kolonialisme yang terulang di fase ini. Mereka, para intelektual Arab, terjebak dalam tiga kelompok sebagaimana asumsi Abu-Rabi’. Sebagian menginduk kepada kalangan Fundamental, sebagian lain berlindung kepada kelompok Liberal dan sisanya memilih Marxis sebagai payung. Tetapi, hemat penulis, klasifikasi ini tak sepenuhnya tepat. Ada geliat lain yang tak tertampung oleh pembagian model Abu-Rabi’, yaitu kalangan yang tidak mau terjebak dalam dua kutub ekstrem; Kanan dan Kiri. Said Ramadhan al-Buthi dan Yusuf al-Qardhawi bisa diajukan sebagai sample ideal bagi kalangan yang dalam satu saat yang bersamaan berlaku kritis dan akomodatif kepada tradisi luar Islam (baca: Barat). Mereka memandang kekalahan Arab atas Israel dalam kaca mata kelompoknya masing-masing. Dalam anggapan kalangan Islamis, kekalahan tersebut lebih dari sekadar bukti bahwa sudah saatnya agama (Islam) diberikan bentuk konkretnya berupa negara Islam. Sebab sudah terbukti jelas, sistem non Islam (kafir atau thaghut) gagal dalam menghindarkan umat dari kekalahan perang. Lain pula keyakinan kalangan Liberal yang mempercayai bahwa kekalahan itu serupa jalan lempang bagi keharusan penegakan sistem yang demokratis yang menjamin hak-hak individu. Sedang kelompok Marxis bersikukuh jika kekalahan itu sebagai petanda atas krisis nasionalisme di masyarakat Arab dan perlunya membangkitkan kembali ide sosialisme. Fenomena yang tak sama bisa didapati di Iran. Alih-alih menjadikan peristiwa perang enam hari tahun 1967 sebagai semacam garis tipis pembeda, geliat intelektual Iran mengalami shift paradigm justru paska revolusi 1978-1979. Revolusi Iran yang meruntuhkan dominasi Amerika Serikat atas Iran yang bertamengkan Dinasti Pahlevi menghentak dunia sesungguhnya menyodorkan tiga pilihan sulit yang harus diambil oleh masyarakat Iran –melestarikan identitas mereka yang berbasis konsep Islam-tradisional, menampilkan karakter baru yang sudah mengalami perbaikan (reformasi) ataukah menanggalkan semuanya dan berganti dengan modernisasi. Perdebatan dalam merumuskan sikap yang tepat untuk masyarakat Iran usai revolusi memantik perdebatan yang tak kunjung usai di antara kalangan cendekiawan Iran. Mereka terbelah dalam tiga kubu besar: kelompok konservatif, kalangan reformis dan kubu sekuler-modernis. Kalangan pertama turut berjasa dalam mempertahankan otoritas agama atas negara dalam sebuah mekanisme bernama Velayat-e Faqih yang digagas oleh Ayatollah Khomeini dan disokong oleh Ayatollah Hoseinali Montazeri. Kubu kedua yang terinspirasi oleh Ali Shariati dan memunculkan nama seperti Abdolkarim Soroush atau Mohsen Kadivar beranggapan bahwa cara pandang tradisionalis sudah pasti tidak akan mampu menjawab kompleksitas sosial dan karenanya meniscayakan adanya reformasi. Kelompok ketiga yang terdiri dari tokoh terkenal antara lain: Musa Ghaninezhad dan Ramin Jahanbegloo berkeyakinan bahwa modernisasi tidak akan tercapai jika mengabaikan sekulerisasi –konsekuensinya meninggalkan tradisi dan reformasi sekaligus (Mehran Kamrava 2008). Islam-Arab dan Indonesia Postkolonialisme; Sebuah Juktaposisi Jika benar analisis historis yang menjelaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia (Nusantara) sejak abad IX atau pada masa kekhalifahan Uthman ibn ‘Affan, maka sejarah Islam Nusantara tak begitu mengambil jarak dengan sejarah Islam Mesir (Timur Tengah). Meski demikian, sayangnya gegap-gempita Islam Nusantara seolah tenggelam oleh hiruk-pikuk dengan Islam Timur Tengah. Realitas ini diperparah dengan minimnya bukti ilmiah terkait dengan sejauh mana eksistensi dan penetrasi Islam di kawasan Nusantara dari abad IX hingga XV kecuali yang berkaitan dengan kerajaan Samudera Pasai atau Malaka. Ketiadaan literatur mengenai situasi Islam pada masa ini menimbulkan kesulitan tersendiri dalam mengambil kesimpulan, bagaimanakan karakter Islam Nusantara pra kolonialisme. Hanya saja dapat disimpulkan bahwa keruntuhan imperium Majapahit paska kegemilangan Hayam Wuruk merupakan titik awal penyebaran Islam secara massif di Nusantara. Ini ditandai dengan berdirinya Kesultanan Ternate (1200 M.), Malaka (1400 M.), Demak (1475 M.), Aceh (1496 M.), Banten (1526 M.) dan Mataram (1500 M.). Memasuki abad XVI hingga XVII atau tahun 1509 M.-1620 M., M.C Ricklefs menyebutnya sebagai masa kedatangan bangsa Eropa (Portugal dan –kemudian- Belanda) ke kawasan Nusantara. Dan sejak Portugal menaklukkan Malaka, maka era kolonialisme (juga masa bagi kesultanan-kesultanan Islam) bermula. Portugal juga sukses masuk ke kawasan Maluku –berasal dari bahasa Arab “jazirat al-muluk” berkat undangan Sultan Ternate, Abu Lais. Bisa dikatakan, pengaruh Portugal begitu kental sehingga beberapa bahasa Portugal seperti: pesta, sepatu, bendera, meja atau Minggu sampai sekarang masih digunakan dan juga penyebaran agama Kristen di kawasan Timur (M.C Ricklefs 2001). Ketika kontrol Portugal atas Nusantara melemah karena manajemen yang amburadul, Belanda datang dengan berbekal peralatan yang lebih modern, kekuatan finansial dan keteraturan manajerial. Pada Juni 1596, Cournelis de Houtman mendarat di Banten dan terlibat konflik dengan kekuatan Portugal dan masyarakat lokal. Kedatangan Houtman sekaligus menandai permulaan besarnya minat beberapa firma perdagangan Belanda. Kompetisi untuk mengeksploitasi Nusantara lantas memicu konflik kepentingan dalam tubuh kolonial Belanda. Konflik yang berdasar atas perlombaan mengeruk keuntungan ini kemudian menyadarkan mereka untuk menyatukan mereka dalam satu wadah bernama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Berdirinya VOC pada Maret 1602 M. seakan menabuhkan genderang perang dan awal bagi kolonialisme Belanda di Nusantara (M.C Ricklefs 2001). Suasana dan kondisi Nusantara yang berkutat dengan konflik melawan imperialisme Belanda bukan berarti mematikan gairah intelektual. Beberapa sarjana dan intelektual muncul dalam masa ini. Dari kawasan Sumatera, ada Hamzah al-Fansuri (w. 1527 M.), Shams al-Din al-Pasa’i (w. 1630 M.), Abd al-Ra’uf al-Sinkili (1615-1693 M.) dan Nuruddin al-Raniri (w. 1658 M.). Sama halnya dengan Ricklefs, F.R von der Mehden juga berpendapat bahwa kecenderungan intelektual yang dominan di Indoensia (Mehden menggunakan istilah Indonesia, meski bagi penulis istilah ini problematis karena Indonesia sebagai sebuah negara belumlah terbentuk) saat itu adalah kecenderungan sufistik (F.R von der Mehden 1995). Penjelasan Mehden mengenai tipologi Islam di Indonesia sesungguhnya lebih jelas. Ia membagi sejarah Islam Indonesi kedalam empat fase. Pertama, fase 1400-1650 M., fase ini merupakan fase dimana corak sufisme begitu digandrungi dan kebanyakan intelektual muncul dari tarekat atau ordo-ordo sufi. Ia juga mensinyalir jika Islam Indonesia pada fase ini banyak terpengaruh oleh kebudayaan India. Periode kedua 1659-1868 M., merupakan periode yang menandai kemunculan sikap berislam gaya Indonesia yang kemudian dikenal dengan istilah “Islam Abangan” sebagai akibat dari kuatnya dominasi kolonial Belanda. Fase ini, hemat penulis, juga memunculkan banyak ulama yang multi disipliner yang kemudian hengkang ke Timur Tengah karena alasan keamanan. Untuk menyebut salah satunya, Nawawi al-Bantani (l. 1813 M.) bisa dijadikan sebagai perwakilan. Fase ketiga 1868-1900 adalah fase dimana umat Islam Indonesia dapat berhubungan (kembali) dengan Mekkah yang notabene menjadi salah satu pusat studi keislaman. Periode terakhir adalah abad XX dimana Mesir yang tengah mendengungkan reformasi keagamaan melalui Rashid Ridha mengambil peran penting bagi corak Islam Indonesia (F.R von der Mehden 1995). Pengaruh nyata dari seruan pembaruan yang menggema nampak benar dengan kemunculan dua majalah al-Imam dan al-Munir di Sumatera. Mereka menyanyikan kembali kemunduran dunia Islam dan perlunya melakukan purifikasi agama dengan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Dampak dari pergolakan keagamaan di Timur Tengah juga dapat dikenali dari pendirian Muhammadiyah (1912) dan Nahdlatul Ulama (1926) meski keduanya memiliki perbedaan dalam ranah orientasi pergerakannya (Nasr Abu Zayd 2006). Dalam amatan penulis, kemunculan dua organisasi keagamaan ini seperti tengah mengirimkan sinyal bahwa paradigma keberagamaan di Indonesia didominasi oleh diskursus seputar tradisi versus heresi meski keduanya tergabung dalam Masyumi pada jaman pendudukan Jepang. Meskipun beberapa kalangan lain menembangkan pentingnya upaya melawan kolonialisme dan keterbelakangan, namun pergesekan antara kelompok tradisional dengan modern masih menjadi isu utama. Di balik perdebatan mengenai purifikasi agama dan relasinya dengan tradisi atau kebudayaan lokal, kalangan sarjana Indonesia juga memulai berkenalan dengan ide dan konsep dari Barat. Pendirian Perserikatan Komunis di Hindia di tahun 1920 yang diketuai oleh Semaun, murid dari H.O.S Cokroaminoto salah satu tokoh terkemuka Sarekat Islam bisa menjadi bukti kuat bahwa pengaruh kolonialisme tak dapat terelakkan. Di masa ini hingga masa pemerintahan Sukarno, gejala pengkubu-kubuan cerdik-cendekiawan berdasarkan latar belakang politik dan ideologinya semakin menguat. Lahir kubu Nasionalis, kelompok Sosialis dan Islamis. Mereka semua mempunya concern yang sama tentang nasib Indonesia (Hindia-Belanda saat itu) dan tentu saja dalam paradigma yang berbeda. Ketiga kecenderungan ini yang nantinya sesudah kemerdekaan oleh Sukarno dibingkai dalam jargon yang terkenal bertajuk Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme) sebagai a counter concept againts democracy. Suasana politik yang chaos juga menimbulkan perdebatan tentang urgensi Islam sebagai dasar negara. Meski tidak terlalu mirip dengan fenomena di Arab, diskursus mengenai relasi agama dengan negara juga terjadi di Indonesia. Faksi-faksi Islam yang tergabung dalam Masyumi jelas merekomendasikan Islam sebagai dasar negara. Perbedaan ijtihad dalam berproses menuju “masyarakat Islami” dan dalam menghadapi kolonialisme memicu perpecahan. Puncaknya adalah sikap keras dalam bentuk mengangkat senjata yang dilakukan oleh Kartosoewirjo karena kekecewaannya yang mendalam (http://tempointeraktif.com/khusus/selusur/kartosoewirjo/). Hingga rezim Sukarno berganti, perdebatan belum banyak berubah kecuali tergusurnya ide-ide Marxisme-Sosialisme oleh konsep Liberalisme. Semangat kalangan Islamis untuk merubah dasar negara sayup-sayup masih terdengar meski sering terbungkam oleh politik represif Orde Baru di bawah Suharto. Di masa Suharto, kekuatan agama, secara halus, dipandang sebagai ancaman meski punya jasa besar dalam masa kolonialisme. Ini mengingatkan tragedi pengucilan kelompok Ikhwanul Muslimin di Mesir dari pentas politik. Kiblat di masa Suharto bukan lagi Rusia atau China, tapi Amerika dan negara Eropa lainnya seperti Perancis dan Jerman. Kebijakan ini mendorong generasi sarjana Indonesia postkolonialisme menengok Barat sebagai tempat menuntut ilmu. Beberapa sarjana terlahir dari kebijakan ini seperti Harun Nasution dan Nurcholish Madjid. Keduanya disinyalir banyak terpengaruh oleh rasionalisme model Muhammad Abduh sekalipun Harun Nasution lebih gentle dengan mendeklarasikan dirinya sebagai neo Mu’tazilah –sikap yang membuat banyak kalangan antipati, sedang keluwesan Nurcholish Madjid hanya menempatkannya sebagai sosok yang dicurigai sebagai neo Mu’tazilah (Richard Martin 1997). Generasi lain yang tak kalah mewarnai adalah Abdurrahman Wahid. Pandangannya tentang multikulturalisme menjadikannya dikenal sebagai pemikir yang disegani. Ditambah lagi keteguhannya dalam mengambil sikap oposisi dengan rezim Orde Baru. Ketiga tokoh ini, dengan tidak menafikan kontribusi Ahmad Wahib, menjadi inspirasi bagi gerakan liberal di Indonesia. Sampai era Reformasi datang, gelombang pemikiran di Indonesia berkutat dalam beberapa domain penting yaitu: pertama, isu kemunduran dalam pelbagai bidang; kedua, isu mengenai kebebasan beragama; ketiga, isu tentang tathbiq al-shari’ah dan keempat, kekerasan atas nama agama dan terorisme. Beberapa konsep yang beredar memiliki kedekatan epitemologi yang mencolok dengan diskursus yang tengah berkembang di Timur Tengah. Nama-nama seperti Muhammad Sahrur, George Tharabishi, Mohamad Arkoun, Jamal al-Banna, Muhammad Ghazali dan tokoh lainnya menjadi rujukan utama. Pemikiran mereka muncul dalam ide-ide yang dilontarkan cendekiawan muda Indonesia seperti Ulil Abshar-Abdalla, Luthfi Assyaukanie dan Moqsith al-Ghazali. Dan kembali, peranan mahasiswa Indonesia yang tengah menimba ilmu di Mesir banyak menyumbangkan jasanya dalam melakukan transformasi. Jika harus disederhanakan, di era kekinian, Islam Indonesia mengalami metamorfosa yang mencengangkan karena memiliki keberagaman yang tak ada duanya. Islam Indonesia adalah pasar raya yang mencakup segala jenis atau macam “Islam”. Fenomena ini yang tidak bisa ditemukan di Mesir yang notabene adalah tempat menggelegarnya pembaruan atau bahkan tidak ada di Iran. Hal tersebut bisa terjadi karena iklim kebebasan yang belum dimiliki oleh Mesir dan Iran, juga India dan Pakistan. Iklim kebebasan yang tercipta di era postkolonialisme. Selain generasi yang progressif, Indonesia juga menyisakan ruang buat kalangan fundamental dan moderat sekaligus serta kelompok tradisional. Mereka bertarung dalam kompetisi yang fair dalam menjajakan idenya. Kelompok liberal yang tergabung dalam JIL (Jaringan Islam Liberal) mempunyai kompetitor yang sepadan dari generasi sarjana yang tergabung dalam Insist dan dua kalangan ini kerap kali harus bersinggungan dengan kelompok-kelompok konservatif semisal HTI (Hizb Tahrir Indonesia). Beginilah wajah Indonesia sebagai konsekuensi dari terbuka lebarnya keran demokrasi dan kebebasan. Keterbukaan yang bahkan melampaui “senior”-nya seperti negara-negara inspirator di Timur-Tengah dan Barat.[] Kesimpulan Dengan keterbatasan ruang dan keluasan tema yang mendorong pada ketidakmungkinan mendedahkan banyak data penting, penulis berkeyakinan jika Islam-Indonesia Postkolonialisme lebih kaya dalam pola dan kecenderungan dibandingkan dengan Islam-Iran atau Islam-Arab Postkolonialisme. Islam-Indonesia seperti tidak mengambil batas yang jelas dan posisi yang pasti kapan Islam sebagai agama dan Islam sebagai politik sebagaimana yang nampak di Iran. Keduanya mengadopsi Marxisme-Sosialisme dalam permulaannya dan menengok liberalisme di era modern. Sumber: http://afkar.numesir.com/index.php?option=com_content&view=article&id=39:islam-pasca-kolonial-dari-timur-tengah-sampai-indonesia&catid=4:diskursus&Itemid=28 |
Senin, 26 September 2011
Islam Pasca Kolonial Dari Timur Tengah Sampai Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.