Rabu, 14 September 2011

Peran Salahuddin Al-Ayyubi Dalam Menghadapi Pasukan Salib Serta Dampaknya

I.  PENDAHULUAN
Perang Salib berlangsung selama 2 abad, antara abad ke-11 dan ke-13,[1] yang terjadi sebagai reaksi umat Kristen di Eropa terhadap umat Islam di Asia yang dianggap sebagai pihak penyerang. Sejak tahun 632 melakukan ekspansi, bukan saja di Syiria dan Asia Kecil, tetapi juga di Spanyol dan Sicilia. Disebut Perang Salib karena ekspedisi militer Kristen mempergunakan salib sebagai simbol pemersatu untuk menunjukkan bahwa peperangan yang mereka lakukan adalah perang suci dan bertujuan untuk membebaskan kota suci Baitul Maqdis (Yerussalem) dari tangan-tangan orang Islam.[2]
Pendapat mengenai periodesasi Perang Salib para sejarahwan saling berbeda dalam menetapkannya. Prof. Ahmad Syalabi membagi periodesasi Perang Salib atas tujuh periode. Sementara Philip K. Hitti memandang Perang Salib berlangsung terus menerus dengan kelompok-kelompok yang bervariasi, kadang-kadang berskala besar dan tidak jarang pula berskala kecil. Meskipun demikian, Hitti berusaha membuat periodesasi Perang Salib dengan menyederhanakan pembagiannya ke dalam tiga periode.
Pertama, disebut periode penaklukan (1096-1144) jalinan kerjasama antara Kaisar Alexius I dan Paus Urbanus II berhasil membangkitan semangat umat Kristen, yang utama ketika pidato Paus Urbanus II pada Konsiliclerment tanggal 26 November 1095. Pidato ini bergema ke seluruh penjuru Eropa yang mengakibatkan seluruh negara Kristen mempersiapkan berbagai bantuan untuk mengadakan penyerbuan. Dan pada periode ini kemenangan berpihak kepada pasukan Salib dan telah mengubah peta dunia Islam dan situasi di kawasan itu.[3]
Kedua, disebut periode reaksi umat Islam (1144-1192) jatuhnya beberapa wilayah kekuasaan Islam ke tangan kaum Salib membangkitkan kesadaran kaum Muslimin untuk menghimpun kekuatan guna menghadapi pasukan Salib yang dikomando oleh Imaduddin Zangi, Gubernur Mosul, yang setelah itu diganti dengan putranya Nuruddin Zangi. Kota-kota kecil dibebaskannya dari kaum Salib, antara lain: Damaskus, Antiokia, dan Mesir. Keberhasilan kaum Muslimin meraih banyak kemenangan terutama setelah munculnya Salahuddin Yusuf al-Ayyubi (Saladin) di Mesir yang berhasil membebaskan Baitul Maqdis. Dan pada bulan Shafar 589/Februari 1193 Salahuddin al-Ayyubi wafat yang sebelumnya telah menyepakati suatu perjanjian dengan kaum Salib. Intinya adalah perjanjian damai yang mana daerah pedalaman akan menjadi milik kaum Muslimin dan umat Kristen yang akan ziarah ke Baitul Maqdis akan terjamin keamanaNnya.[4] Dan apa yang terjadi setelah itu?
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai faktor penyebab terjadinya Perang Salib dan bagaimana peran Salahuddin al-Ayyubi dalam menghadapi pasukan Salib serta bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh Perang Salib tersebut.
II.  PEMBAHASAN

A. Pengertian Perang Salib

Perang Salib berasal dari Bahasa Arab, yaitu حـر كـة  yang berarti suatu gerakan  atau   barisan, dan صـلـيـبـيـة     yang berarti kayu palang, tanda silang (dua batang kayu yang bersilang).[5] Jadi Perang Salib adalah suatu gerakan (dalam bentuk barisan) dengan memakai tanda salib untuk menghancurkan umat Islam.
Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam, Perang Salib ialah gerakan kaum Kristen di Eropa yang memerangi umat Islam di Palestina secara berulang-ulang, mulai dari abad XI sampai abad XIII M. untuk membebaskan  Bait al-Maqdis dari kekuasaan Islam dan bermaksud menyebarkan agama  dengan mendirikan gereja dan kerajaan Latin di Timur. Dikatakan salib, karena setiap orang Eropa yang ikut bertempur mengenakan tanda salib di dada kanan sebagai bukti kesucian cita-cita mereka.[6]
Terhadap pengertian ini, diperkuat lagi oleh Philip K. Hitti  bahwa Perang Salib itu adalah perang keagamaan  selama hampir dua abad yang terjadi sebagai reaksi umat Kristen di Eropa terhadap umat Islam di Asia yang dianggap sebagai pihak penyerang. Perang ini terjadi karena sejak tahun 632 M. (Nabi saw. wafat)  sampai meletusnya Perang Salib, sejumlah kota-kota penting dan tempat suci umat Kristen telah diduduki umat Islam seperti Suriah, Asia Kecil, Spanyol dan Sicilia. Perang tersebut merupakan suatu ekspedisi militer dan terorganisir untuk merebut kembali tempat suci di Palestina.[7]
Dari beberapa pengertian di atas, dapatlah dipahami bahwa Perang Salib  adalah perang yang dilakukan oleh ummat Kristen Eropa dengan mengerahkan umatnya secara terorganisir yang bersifat militer, dan menurut mereka, Perang Salib ini merupakan perang suci untuk merebut kembali Bait al-Maqdis di Yerussalem dari tangan umat Islam.

B. Faktor-faktor  Terjadinya Perang Salib

Perang Salib sesungguhnya merupakan reaksi bangsa Barat terhadap kekuasaan Islam. Kedudukan Islam di semenanjung Iberia, serangan dan pendudukan Islam atas Sisilia maupun serangan atas semenanjung Balkan dan lebih-lebih lagi pendudukan daerah Timur Tengah oleh bangsa Turki yang akhirnya mengakibatkan terganggunya perjalanan para peziarah ke Yerussalem, sehingga kaum Salib ingin merebut kota suci tersebut. Hal inilah yang memicu terjadinya Perang Salib, dan di antara faktor-faktor penyebabnya, [8] antara  lain :
1.     Faktor Agama
Salah satu peristiwa penting dalam gerakan ekspansi yang dilakukan Alp Arselan (Penguasa Saljuk) adalah peristiwa Manzikart pada tahun 1071 M. (464 H.). Tentara Alp Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Bizantium (Kristen) yang berjumlah 200.000 orang, yang terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Kekalahan ini menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian menjadi benih dari Perang Salib. Kebencian itu bertambah setelah Dinasti Saljuk merebut Bait al-Maqdis pada tahun 471 H. dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Saljuk menetapkan peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah di sana dan aturan tersebut sangat menyulitkan mereka, akhirnya menghilangkan kemerdekaan umat Kristen untuk beribadah di Yerussalem.[9]
Pada abad pertengahan, gereja mempunyai peranan dan pengaruh yang besar terhadap masyarakat di Eropa. Pihak gereja menyatakan bahwa siapa saja yang melanggar aturan yang ditetapkan oleh gereja, maka akan mendapat hukuman. Pada hal masyarakat pada waktu itu banyak yang berbuat kesalahan dan mengerjakan perbuatan yang dilarang oleh gereja. Untuk mensucikan diri dan bertobat dari kesalahan tersebut, manusia harus banyak berbuat baik dan berbakti menurut ajaran agama (Kristen), dengan berziarah ke Bait al-Maqdis di Yerussalem, berpuasa dan mengerjakan kebaikan lainnya. Mereka yakin bahwa apabila berziarah ke tanah suci saja mendapat pahala yang besar dan dapat menebus dosa, maka sudah tentu melepaskan dan memerdekakan Yerussalem dari kekuasaan Islam, adalah jauh lebih besar pahalanya.[10]
  1. 2. Faktor Politik
Kekalahan Bizantium di Manzikart (Armenia) pada tahun 1071 dan jatuhnya Asia Kecil di bawah kekuasaan Saljuk, telah mendorong Kaisar Alexius Comnenus I (Kaisar Costantinopel) untuk meminta bantuan kepada Paus Urbanus II  (menjadi Paus dari 1088-1099) dalam usahanya untuk mengembalikan kekuasaannya dari pendudukan Dinasti Saljuk. Paus Urbanus II bersedia membantu Bizantium karena adanya janji Kaisar Alexius untuk tunduk di bawah kekuasaan Paus di Roma, serta dengan harapan  dapat mempersatukan gereja Yunani dan Roma. Pada waktu itu, Paus memiliki kekuasaan dan pengaruh yang sangat besar terhadap  raja-raja yang berada di bawah kekuasaannya.[11]
Demikian pula, adanya cita-cita Paus yang bersifat agresif untuk menguasai dunia Timur dengan berencana mendirikan suatu kerajaan Latin. Hal ini pulalah yang menyulut peperangan antara Kristen dan Islam, yang secara periodik dan historis menggunakan waktu yang lama serta pengorbanan material dan jiwa yang cukup banyak.
  1. 3. Faktor Sosial Ekonomi
Para pedagang besar yang berada  di kota Venezia, Genoa, dan Pisa, berambisi untuk menguasai sejumlah kota-kota dagang di sepanjang pantai timur dan Selatan Laut Tengah untuk memperluas jaringan perdagangan mereka. Untuk itu, mereka rela menanggung sebagian dana peperangan dengan maksud menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat perdagangan, apabila pihak Kristen Eropa memperoleh kemenangan. Hal itu dimungkinkan karena jalur Eropa akan bersambung dengan jalur perdagangan di Timur melalui jalur strategis tersebut. Demikian pula para petualang dari ksatria Kristen, merasa puas dengan harta rampasan atau upeti dari negeri taklukan.[12]
Di samping itu, stratifikasi sosial masyarakat Eropa ketika itu terdiri dari tiga kelompok, yaitu : Kaum gereja, bangsawan dan ksatria, serta rakyat jelata[13]. Mayoritas  masyarakat di Eropa adalah rakyat jelata, kehidupan mereka sangat tertindas, terhina, dan harus tunduk kepada para tuan tanah yang sering bertindak semena-mena serta mereka dibebani berbagai pajak dan sejumlah kewajiban lainnya. Oleh karena itu, pihak gereja memobilisasi mereka untuk turut mengambil bagian dalam Perang Salib dengan janji akan diberikan kebebasan dan kesejahteraan yang lebih baik, apabila dapat memenangkan peperangan. Mereka menyambut seruan itu secara spontan dengan bersama-sama melibatkan diri dalan perang tersebut.
C. Peranan Shalahuddin al-Ayyubi dalam Menghadapi Pasukan Salib
Mengingat judul yang diangkat dalam pembahasan ini adalah Perang Salib (faktor dan peranan Salahuddin al-Ayyubi), maka dalam mamkalah ini akan dibatasi pada periode kedua dan ketiga dari Perang Salib, sampai wafatnya pada tahun 1193 M.
Salahuddin al-Ayyubi, yang dikenal oleh Orang Eropa dengan nama Saladin, ia juga bergelar Sultan al-Malik al-Nashir ( Raja Sang Penakluk).Ia adalah pendiri dinasti Ayyubiyyah di Mesir yang bertahan selama 80 tahun. Salahuddin berasal dari keluarga  Kurdi di Azerbaijan, yang berimigrasi ke Irak. Salahuddin al-Ayyubi merupakan pahlawan paling mengagumkan, yang pernah dipersembahkan oleh peradaban Islam di sepanjang abad VI dan VII Hijriah. Berkat Salahuddin, umat dan peradaban Islam terselamatkan dari kehancuran, akibat serangan dari kaum Salib. [14]
Pada periode Kedua (1144-1187 M.) dari Perang Salib, Bait al-Maqdis kembali direbut oleh pasukan Salib. Peristiwanya berawal dari jatuhnya beberapa wilayah kekuasaan Islam ke tangan kaum Salib, membangkitkan kesadaran umat Islam untuk menghimpun kekuatan untuk menghadapi mereka. Di bawah komando Imaduddin Zanqi, Gubernur Mosul (Halab), kaum muslimin bergerak maju membendung serangan pasukan Salib.
Pasukan Imaduddin berhasil merebut kembali Aleppo dan Edessa pada tahun 1144 M. Sebelum pasukannya merebut kembali daerah-daerah Islam lainnya, Imaduddin gugur dalam pertempuran pada tahun 1146, posisinya digantikan oleh putranya, Nuruddin Zanqi. Di bawah kepemimpinannya, ia meneruskan cita-cita ayahnya untuk membebaskan wilayah Islam di Timur dari cengkraman kaum Salib. Kota-kota yang berhasil dibebaskannya, antara lain: Damaskus (1147), Antiokia (1149),  Edessa (1151), dan Mesir pada tahun 1169 M.[15]
Kejatuhan Edessa, menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib II. Paus Eugenius III menyerukan perang suci yang disambut positif oleh Raja Perancis, Louis VII dan Raja Jerman, Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syiria. Namun gerak maju mereka dihambat oleh Nuruddin Zanqi. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus, bahkan Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri ke negerinya. Nuruddin wafat tahun 1174 M, pimpinan perang kemudian dipegang oleh Salahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyyah di Mesir tahun 1175 M.[16]
Salahudddin al-Ayyubi yang terkenal gagah perkasa, meneruskan perjuangannya melawan tentara Salib pada tahun 1180 M. Akhirnya, pasukan Salib tidak mampu menghadapi pasukan Islam, maka mereka terpaksa mengajukan permintaan damai. Dengan adanya permintaan damai itu, Salahuddin menghentikan peperangan. Namun karena tahun 1186 M. tentara Salib mengkhianatinya dengan menyerang umat Islam yang akan menunaikan haji, maka pertempuran kembali berkobar dan tentara Salib menderita kekalahan serta kebanyakan di antara mereka menjadi tawanan. Akhirnya Salahuddin al-Ayyubi berhasil merebut kembali Bait al-Maqdis, Yerussalem pada tanggal 2 Oktober 1187 M.[17]
Pada periode ketiga (1189-1192 M.), Salahuddin berhasil mempertahankan Bait al-Maqdis dan kekalahan kaum Salib. Kejadiannya berawal dari jatuhnya Bait al-Maqdis ke tangan orang Islam, menggerakkan semangat  yang meluap-luap di kalangan Kristen Eropa untuk merebut kembali kota suci itu. Dengan kekalahan itu, maka  dibangunlah angkatan Perang Salib III  pada tahun 1189 M. dengan pimpinan perangnya antara lain Kaisar Frederick Barbarosa dari Jerman, Philip Augustus dari Perancis dan Richard Leeuwen Hart dari Inggris. Angkatan Perang Salib III ini berhasil merebut Accon (Aka), namun sesudah itu pasukan Salib pecah, karena Philip berselisih dengan Richard, yang berakhir dengan pulangnya Philip ke Perancis, serta sebelum terjadi penaklukan Aka itu, Kaisar Barbarosa telah meninggal di tengah perjalanan.[18]
Setelah itu, Salahuddin berperangan melawan Richard yang dikenal sebagai panglima yang tindakannya sangat berani sehingga diberi gelar “Berhati Singa”. Ternyata dalam peperangan di Arsuf, Salahuddin berhasil dikalahkan Richard pada tahun 1191 M, namun Bait al-Maqdis  belum berhasil dikuasainya. Maka dibuatlah perjanjian perdamaian di Ramlah antara Salahuddin dengan Richard pada tanggal 2 November   1192 M., yang isinya sebagai berikut :
  1. Yerussalem tetap berada di tangan umat Islam, dan umat Kristen diijinkan untuk menjalankan ibadah di tanah suci.
  2. Orang-orang Salib akan mempertahankan pantai Syiria dan Tyre sampai ke Jaffa.
  3. Umat Islam akan mengembalikan relics (tanda-tanda agama) Kristen kepada umat Kristen.[19]
Setahun berikutnya, Sultan al-Malik al-Nashir Salah al-Din al-Ayyubi meninggal dunia pada tanggal 19 Februari 1193 M.,[20] setelah beberapa waktu lama dengan gigih memimpin pasukan Islam menghadapi tentara Salib, menyelesaikan pekerjaan besar dengan mengembalikan dan mempertahankan Bait al-Maqdis.
C. Dampak Perang Salib
1. Terhadap Dunia Kristen
Walaupun pihak Kristen menderita kekalahan dalam Perang Salib, namun mereka memperoleh pelajaran yang berharga dari dunia Islam. Hal ini disebabkan perkenalan mereka dengan kebudayaan dan peradaban Islam yang sudah maju, bahkan hal tersebut menjadi salah satu faktor pendukung lahirnya renaissance di Barat. Mereka mendapatkan kebudayaan dalam bidang perdagangan, perindustrian, pertanian, pertahanan, pendidikan dan lain-lain.[21]
Kontak perdagangan antara Timur dan barat semakin pesat di mana kota-kota dagang seperti Venezia, Genoa dan Pisa di Italia berkembang pesat dan memperoleh banyak keuntungan dalam perdagangannya dengan Timur. Hal ini pula yang  menyebabkan mereka menggunakan mata uang sebagai alat tukar barang, sebelumnya mereka menggunakan sistem barter.[22]
Dalam bidang perindustrian, mereka banyak menemukan kain tenun sekaligus peralatannya di dunia Timur. Untuk itu mereka mengimpor berbagai jenis kain ke Barat. Mereka juga menemukan berbagai jenis parfum, kemenyan dan getah Arab yang dapat mengharumkan ruangan.[23]
Dalam bidang pertanian, mereka menemukan sistem irigasi yang praktis. Orang-orang Barat mulai menggunakan cengkeh, lada serta rempah-rempah untuk digunakan sebagai bumbu masakan. Mereka mulai membiasakan makan jahe dan menggunakan madu sebagai pemanis makanan.[24]
Dalam bidang pertahanan (militer), mereka menemukan  tehnik berperang yang belum pernah mereka temui sebelumnya di negerinya, seperti penggunaan rebana dan gendang untuk memberi semangat kepada pasukan militer di medan perang, pertarungan senjata dengan menggunakan kuda dan penggunaan burung merpati untuk kepentingan informasi militer.[25]
Bangsa Barat  (Eropa) mulai sadar terhadap kemajuan yang dicapai dunia Timur, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, sehingga mereka berdatangan ke Timur untuk belajar dan menggali ilmu, kemudian diajarkan di negara mereka. Orang Eropa banyak memanfaatkan ilmu pengetahuan dari bangsa Arab. Mereka menyalin ke dalam bahasanya (Yunani). Upaya tersebut dilanjutkan dengan mendirikan Universitas di Paris untuk mempelajari bahasa Timur pada abad XII M. Begitu pula, mendorong mereka dalam memajukan Ilmu Bumi.[26]
Di sisi lain, hasil dari Perang Salib bagi orang Barat  adalah  menemuan kompas. Orang-orang Islamlah yang sudah sejak lama menggunakan kompas untuk keperluan pelayaran di Teluk Persia dalam rangka kegitan perdagangan. Demikian pula, ilmu Astronomi yang telah dikembangkan Islam sejak abad kesembilan M., telah pula mempengaruhi lahirnya berbagai Observatorium di Barat.[27]
2. Pengaruhnya Terhadap Dunia Islam
Pengaruh Perang Salib terhadap Islam, adalah lebih memantapkan dan mengokohkan nilai-nilai persatuan dan kesatuan umat  dalam membela dan mempertahankan eksistensi agama Islam. Pengaruhnya yang lain adalah memperkenalkan dunia Islam yang mempunyai kebudayaaan tinggi kepada dunia Barat.
Dari keterangan di atas, dapat diutarakan bahwa pengaruh langsung atas terjadinya Perang Salib atas dunia Islam adalah mengingatkan kepada umatnya untuk tetap bersatu padu, menyatukan langkah dan gerak yang dijiwai oleh ruh Islam, untuk tetap konsisten terhadap ajaran Islam yang universal.
Dengan adanya peristiwa tersebut, mengingatkan kepada umat Islam untuk tetap mewaspadai segala gerak, tindakan dalam berbagai bentuk yang akan mengadu domba dan menghancurkan ukhuwah islamiyah, dengan melihat ke belakang, membuka lembaran sejarah serta mengambil pelajaran dari Perang Salib. Dunia, khususnya Barat harus berterima kasih dan mengakui  bahwa sumbangan Islam  tidak ternilai harganya, terutama kontribusinya dalam bidang intelektual dan kultural.

III.  K E S I M P U L A N
Perang Salib ialah perang yang dilakukan oleh umat Kristen Eropa untuk merebut dan menguasai Bait al-Maqdis di Yerussalem dari tangan umat Islam.  Dinamakan Salib, karena setiap orang Eropa yang ikut bertempur mengenakan tanda Salib di dada kanan sebagai bukti kesucian cita-cita mereka. Perang ini berlangsung dari tahun 1095- 1291 M.
Adapun penyebab terjadinya Perang Salib ada dua, yaitu : sebab tak langsung dan sebab secara langsung. Penyebab tak langsung ialah sejak wafatnya Rasulullah saw.  di mana daerah-daerah yang dikuasai kaum Nasrani, telah direbut oleh pasukan Islam. Sedangkan penyebab secara langsung ialah 1) Ditetapkannya pajak yang dirasakan menyulitkan kaum Nasrani untuk berzirah ke Yerussalem oleh Penguasa Dinasti Saljuk. 2) Paus Urbanus II beserta Raja-raja Nasrani di Eropa bermaksud membebaskan Konstantinopel (Bizantium) dari kekuasaan Islam serta mempersatukan kekuasaan gereja di Roma dan Yunani. 3) Untuk merebut Bait al-Maqdis di Yerussalem.
Disamping itu ada pula faktor atau motif yang melatar belakanginya, yaitu : faktor agama, politik, dan sosial
Salahuddin al-Ayyubi mendirikan dinasti Ayyubiyyah di Mesir tahun 1175 M. Ia terkenal gagah perkasa, meneruskan perjuangannya melawan tentara Salib pada tahun 1180 M. Ia berhasil merebut kembali Bait al-Maqdis, Yerussalem pada tanggal 2 Oktober 1187 M. Namun dalam peperangannya melawan Richard di Arsuf, Salahuddin dapat dikalahkan oleh Richard pada tahun 1191 M, namun Bait al-Maqdis  belum berhasil dikuasainya. Maka dibuatlah perjanjian perdamaian di Ramlah antara Salahuddin dengan Richard pada tanggal 2 November   1192 M.
Adapun dampak Perang Salib adalah adanya kerugian dan keuntungan bagi kedua belah pihak. Meskipun pihak Kristen Eropa menderita kekalahan dalam Perang Salib, namun mereka mendapat hikmah yang tak ternilai harganya sebab mereka dapat berkenalan dengan kebudayaan dan peradaban Islam yang sudah sedemikian majunya. Dan walaupun umat Islam berhasil mempertahankan wilayah-wilayahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang dipikul terlalu banyak untuk dihitung. Karena peperangan berlangsung dari dalam wilayah sendiri.
DAFTAR  PUSTAKA
Ali,Ameer. The Spirit of  Islam. Diterjemahkan oleh H.B. Yassin dengan judul Api Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1978), h. 370.
Ali,K. A Study of Islamic History. Diterjemahkan oleh Gufron A. Mas’adi dengan judul Sejarah Islam, Tarikh Pra Modern. Cet. IV; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Departemen Agama RI. Text Book Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jilid I. Ujung Pandang: Kerja sama Dirjen Binbaga dengan IAIN Alauddin, 1982.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jilid IV. Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Nasiaonal. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Cet. I; Jakarta; Cipta Adi Pustaka, 1990.
Enan, M.A.  Decisive Moment in the History of Islam. Dialih bahasakan oleh Mahyuddin Syaf dengan judul Detik-Detik Menentukan dalam Sejarah Islam. Surabaya, Bina Ilmu, 1983.
Hamka.  Sejarah Umat Islam. Jilid II. Cet. IV; Jakarta, Bulan Bintang, 1975.
Harun, M. Yahya. Perang Salib dan Pengaruh Islam di Eropa. Cet. I; Yogyakarta: Bina Usaha, 1987.
Hassan, Hassan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.
Hitti, Philip. K. The Arabs A Short. Diterjemahkan oleh Usuluddin Hutagalung dengan judul Sejarah Ringkas Dunia Arab. Cet. II; Bandung: Vorkink Van Hoeve, t. th..
Al-Marbawiy, Muhammad Idris Abd, al-Rauf. Kamus al-Marbawiy. Mesir: Mustafa Bab al-Halabiy wa Awladuh, t. th..
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Arab Indonesia. Cet. XIV; Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.
Oesman, A. Latief. Ringkasan Sejarah Islam. Jakarta: Wijaya, t. th..
Syalabiy,Ahmad.  Mawsu’at al-Tarikh al-Islamiy wa al-Hadharat al-Islamiyyah. Jilid II. Cet. III; Al-Qahirah: Al-Nahdat al-Misriyyah, 1977.
Tajuddin, Abd al-Rahman. Dirasat fi al-Tarikh al-Islamiy. Al-Qahirah: Al-Sunnat al-Muhammadiyyah, 1957.
Uwais, Abdul Halim. Dirasat lisuquti Tsalatsiyna Dawlat Islamiyyah, diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi dengan judul Analisa Runtuhnya Daulah-daulah Islamiyyah. Cet. II; Solo: Pustaka Mantiq, 1992.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Cet. X; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000

[1]Lihat Tim Penyusun, Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 14 (Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1990), h. 38.
[2]Lihat Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, jilid 4 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), h. 240. Lihat pula Tim Penyusun Textbook, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid I (Dirjen Bimbaga Islam, Depag RI., kerjasama IAIN Alauddin Ujung Pandang, 1982), h. 211.
[3]Ibid.
[4]Lihat Tim Penyusun Textbook, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, jilid I (Dirjen Bimbaga Islam, Depag RI., kerjasama IAIN Alauddin Ujung Pandang, 1982), h. 216.
[5]Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia (Cet. XIV; Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), h. 787. Lihat juga Muhammad Idris Abd, al-Rauf al-Marbawiy, Kamus al-Marbawiy, (Mesir: Mustafa Bab al-Halabiy wa Awladuh, t. th.), h. 131.
[6]Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jilid IV (Cet. III; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 240.
[7]Lihat Philip K. Hitti, The Arabs A Short. diterjemahkan oleh Usuluddin Hutagalung dengan judul Sejarah Ringkas Dunia Arab (Cet. II; Bandung: Vorkink Van Hoeve, t. th.), h. 224. Lihat juga  A. Latief Oesman, Ringkasan Sejarah Islam (Jakarta: Wijaya, t. th.), h. 83.
[8]Yang dimaksudkan ialah sebab-sebab terjadinya atau motifasi yang melatar belakangi terjadinya Perang Salib yang pertama. Adapun penyebab terjadinya Perang Salib untuk setiap periodenya adalah kelanjutan dari peperangan yang terjadi sebelumnya, mengingat ada pihak yang kalah dalam perang tersebut. Ringkasnya, bahwa sebab terjadinya  Perang Salib ada dua, yaitu : sebab tak langsung dan sebab secara langsung. Penyebab tak langsung ialah sejak wafatnya Rasulullah saw. di mana daerah-daerah yang dikuasai kaum Nasrani, telah direbut oleh paukan Islam. Sedangkan penyebab secara langsung ialah 1) Ditetapkannya pajak yang dirasakan menyulitkan kaum Nasrani untuk berzirah ke Yerussalem oleh Penguasa Dinasti Saljuk. 2) Paus Urbanus II beserta Raja-raja Nasrani di Eropa bermaksud membebaskan Konstantinopel dari kekuasaan Islam serta mempersatukan kekuasaan gereja di Roma dan Yunani. 3) Untuk merebut Bait al-Maqdis di Yerussalem.
[9]Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Cet. X; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 76.
[10]Lihat M. Yahya Harun, Perang Salib dan Pengaruh Islam di Eropa (Cet. I; Yogyakarta: Bina Usaha, 1987), h. 4.
[11]Lihat Ahmad  Syalabiy, Mawsu’at al-Tarikh al-Islamiy wa al-Hadharat al-Islamiyyah, Jilid II (Cet. III; Al-Qahirah: Al-Nahdat al-Misriyyah, 1977), h. 554.
[12]Lihat  ibid., h. 552.
[13]Lihat M.A. Enan,  Decisive Moment in the History of Islam, dialih bahasakan oleh Mahyuddin Syaf dengan judul Detik-Detik Menentukan dalam Sejarah Islam (Surabaya, Bina Ilmu, 1983), h. 143.
[14]Lihat Abdul Halim Uwais, Dirasat lisuquti Tsalatsiyna Dawlat Islamiyyah, diterjemahkan oleh Yudian Wahyudi dengan judul Analisa Runtuhnya Daulah-daulah Islamiyyah (Cet. II; Solo: Pustaka Mantiq, 1992), h. 98.
[15]Lihat  Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., h. 242.
[16]Lihat Abd al-Rahman Tajuddin, Dirasat fi al-Tarikh al-Islamiy (Al-Qahirah: Al-Sunnat al-Muhammadiyyah, 1957), h. 148.
[17]Lihat Badri Yatim, op. cit., h. 38.
[18]Lihat Hamka,  Sejarah Umat Islam, Jilid II, (Cet. IV; Jakarta, Bulan Bintang, 1975),      h. 216.
[19]Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), h. 287.
[20]Lihat Departemen Agama RI., Text Book Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid I (Ujung Pandang: Kerja sama Dirjen Binbaga dengan IAIN Alauddin, 1982), h. 216.
[22]Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Nasiaonal, Ensiklopedi Nasional Indonesia (Cet. I; Jakarta; Cipta Adi Pustaka, 1990), h. 349.
[23]Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., h. 243
[24]Lihat Yahya Harun, op. cit. h. 34.
[25]Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., h. 242.
[26]Lihat Ameer Ali, The Spirit of  Islam. Diterjemahkan oleh H.B. Yassin dengan judul “Api Islam”, (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), h. 370.
[27]Lihat K. Ali, A Study of Islamic History. Diterjemahkan oleh Gufron A. Mas’adi dengan judul “Sejarah Islam, Tarikh Pra Modern”, (Cet. IV; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 288.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.