Sabtu, 03 September 2011

Perkembangan Faham Asy’ariyah di Indonesia


Pada abad ke-9 Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Bagdad mengirimkan delegasi dakwah yang terdiri dari orangorang Arab yang berakidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah Asy’ariyah dan bermadzhab Syafi’i ke wilayah Sumatera Utara. Pada tahun 1042 berdiri kerajaan Islam Samudera Pasai dan pada tahun 1025 berdiri Kerajaan Islam Aceh. Al-Malikus Shaleh merupakan kerajaan yang menganut faham Asy’ariyah dan menganut madzhab Syafi’i.[1]
Sementara Islam masuk ke Pulau Jawa diperkirakan pada akhir abad ke-14 atau awal abad ke-15. Pada saat itu, dengan dukungan Walisongo, Raden Patah mendirikan Kerajaan Demak. Berkat dakwah yang dilakukan Walisongo, Islam berkembang pesat sehingga dalam waktu yang relatif singkat hampir seluruh masyarakat Jawa memeluk agama Islam. Menyusul kemudian berdiri beberapa kerajaan Islam di Ternate, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Pada abad ke-16, Islam telah menjadi agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia.[2]
Perkembangan Islam yang berhaluan Asy’ariyah bertambah pesat ketika generasi penerus Walisongo mengembangkan strategi dan pendekatan penyebaran Islam melalui lembaga pesantren. Pesantren tampil dan berperan sebagai pusat penyebaran dan pendalaman agama Islam secara Iebih terarah. Dari pesantren inilah lahir lapisan masyarakat dengan tingkat kesadaran dan pemahaman agama yang relatif utuh dan lurus.[3]
Seiring dengan dibukanya Terusan Suez tahun 1869, terjadi kontak langsung antara umat Islam di Indonesia dan dunia Islam Iainnya, termasuk negara-negara Arab. Tidak saja melalui jamaah haji, tetapi juga melalui sejumlah pelajar Indonesia di negara-negara Arab, sehingga perkembangan agama dan ilmu pengetahuan Islam makin pesat. Seiring dengan perkembangan pengetahuan Islam melalui kontak langsung tersebut, telah masuk faham-faham Islam Iainnya yang bertentangan dengan faham Aswaja yang dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia.[4]
Oleh karena itu, untuk membendung arus faham-faham lain tersebut maka para ulama Ahlussunnah Wal jamaah bangkit secara proaktif mendirikan jam’iyyah (organisasi) yang diamakan Nahdlatul Ulama yang berarti kebangkitan ulama.[5] Nama yang dipilih adalah kebangkitan, bukan sekadar perkumpulan atau perhimpunan. Yang bangkit adalah para ulama yang menjadi panutan umat. Jam’iyyah Nahdlatul Ulama didirikan pada tanggal 16 Rajab 1334 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya dengan Hadratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari sebagai Rois Akbar.[6]
Nahdlatul Ulama adalah jam’iyyah diniyyah Islamiyyah berdasarkan faham Ahlussunah wal Jama’ah dalam bidang akhidah menganut faham Ahlussunnah wal jamaah yang dipelopori oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dan dalam bidang fiqih menganut salah satu dari madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.[7]


[1]Said Aqil Siraj et.al., Faham Ahlussunah wal jama’ah dalam http://www.lakpesdam.or.id/ publikasi/302/ faham-ahlus-sunnah-wal-jamaah
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Zahro, Tradisi Intelektual, 48
[6] Abdul Muchith Muzadi, Mengenal Nahdlatul Ulama (Surabaya: Khalista, 2006), 8
[7] Ibid., 48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.