Senin, 26 September 2011

Partai Islam Bukan Islam




Oleh Tobroni Basya   
Islam bukan partai politik. Terlalu dini untuk menyatakan bahwa Islam melingkupi segala hal, termasuk politik. “Kamu sekalian tentu lebih tahu tentang urusan duniawimu,” demikianlah kata Nabi terhadap kaumnya.  Ia memberikan jarak, antara urusan duniawi dan ukhrawi, biarpun keduanya memiliki hubungan. Seperti politik, sesuatu yang lebih dekat dengan urusan duniawi: kekuasaan, jabatan, monopoli, kepentingan pribadi. Lalu sebagian orang berteriak lantang, bahwa politik adalah mutlak urusan agama, sambil lupa diri atau mungkin melupakan diri, bahwa sejatinya manusia adalah tempat luput dan lupa. Sedang mereka tak hirau pada sebagian pendapat lain, bahwa perbuatan tersebut sama halnya mempertaruhkan agama, mirip judi.

Tak ditemukan terma siyâsah (politik) dalam al-Qur`an maupun Hadits. Namun ada pelajaran, Nabi Muhammad Saw. menghindar dari arus besar politik. Waktu itu, saat beliau ditawari sebuah kerajaan dan menjadi pimpinan Quraisy, ia menolak, lalu mengatakan dengan tegas: itu bukan bagian dari risalah saya. Bukan berarti tak berpolitik, dan benar ujar sebuah adagium, “manusia adalah makhluk politik”. Nabi pun manusia. Menghadapi berbagai cobaan, tentu beliau harus menggunakan strategi. Strategi sebagai langkah politik. Strategi adalah bagian dari cara mencapai tujuan, dan bukan tujuan itu sendiri, namun sebagian manusia sering terjebak, bahkan menjebakkan diri. Dalam hal mengambil jalan politik, Nabi tak bertangan kosong. Ia punya bekal yang di kemudian hari menjadi teladan: intelektual tinggi dan baiknya kualitas moral. Bai`ât al-‘Aqabah, hijrah, serta piagam Madinah merupakan bukti atas kemampuan beliau mengatur strategi. Maka, bukan hal mudah membangun masyarakat beradab dari pemimpin yang tanpa bekal, biarpun seluruh rakyatnya mendukung sekalipun.

Piagam Madinah telah menjadi semacam simbol, bahwa perbedaan, kebebasan, toleransi, persamaan penduduk, dan keadilan, perlu dibingkai dalam persatuan masyarakat, demi kepentingan bersama. Prinsip hubungan antara Islam dan selainnya dengan dasar bersaudara yang baik, saling membantu, membela yang teraniaya, saling menasehati juga menghormati kebebasan beragama, telah mencitrakan Islam sebagai agama yang terbuka. Piagam Madinah adalah undang-undang dasar yang dibuat untuk mempersatukan pola pandang kehidupan bermasyarakat. Sedang yang belum tersuarakan dalam piagam, akan dimusyawarahkan secara kondisional. Waktu itu, Masjid Nabawi adalah tempat musyawarah mengenai keputusan-keputusan negara; perjanjian-perjanjian damai, perang, dan sebagainya. Musyawarah telah menunjukkan kedekatan pemerintah dengan rakyat, bukti bahwa dalam urusan negara, tak ada penguasa tunggal yang punya suara mutlak, bahkan Nabi sekalipun. Karena yang dimusyawarahkan hanyalah permasalahan duniawi. Sebaliknya dalam urusan agama, Nabi lebih berwenang. Namun, Nabi adalah penyampai wahyu ilahi, bukan pemilik wahyu itu sendiri. Kesadarannya sebagai utusan, membuatnya berhasrat untuk menjadikan tatanan sosial Arab bercorak theocentric society, sebuah tatanan sosial yang menjadikan Tuhan sebagai poros kehidupan. Ini menegaskan bahwa kebenaran ada di tangan Tuhan, bukan di tangan manusia. Demikianlah Nabi melaksanakan tugasnya sesuai apa yang diperintahkan kepadanya, tak lebih.

Tak ada negara Islam di zaman Nabi, tak juga sistem politik. Yang ada adalah negara madani, negara persatuan yang didasarkan atas perbedaan-perbedaan: agama, suku, ras, dan adat istiadat. Nabi, dengan segala kemampuan dan kelebihannya, dianggap paling tepat menjadi pemimpin. Sikapnya yang adil dan bijaksana telah membius hati para penduduk. Tentu tak mudah untuk bisa seperti Nabi, mungkin mustahil. Bagi Nabi, ketika jumlah kaum Muslim semakin bertambah, demi mempermudah pengelolaan dan pengaturan, maka perlu dibentuk tata cara dan aturan-aturan. Ada pengelolaan ekonomi, meliputi zakat, sedekah, upeti (jizyah), maupun harta rampasan perang (ghanîmah). Ada pengelolaan hukum, seperti lembaga peradilan (qadhâ`). Ada juga pengelolaan militer, seperti pasukan perang. Yang demikian itu dianggap perlu oleh Nabi, terlebih pada masa awal penyebaran Islam. Lalu, oleh orang-orang, segala yang dilakukan Nabi tersebut, dibaca dan dianggap sebagai tindakan politik. Bukan sekedar aturan, melainkan sistem. Lebih berani, sebagian orang menyebutnya “sistem politik Islam”. Membaca nuansa politik di zaman Nabi, perlu kehati-hatian yang cukup, agar terhindar dari ketergesa-gesaan dalam menilai. Mendasarkan kesimpulan dari gambaran dengan tingkat kejelasan yang tinggi, begitulah seharusnya.

Nabi wafat, dan ia tak mewasiatkan apa-apa terkait politik dan pemerintahan. Posisi tertinggi kepemimpinan juga dibiarkan kosong tanpa menunjuk pengganti. Ada beberapa kemungkinan. Pertama, Nabi memberikan ruang pada penerusnya untuk bebas menentukan pilihan, antara diteruskan atau tidaknya kursi kepemimpinan. Kedua, Nabi memberikan ruang sebebas-bebasnya dalam hal menentukan pengganti dengan cara yang dianggap paling baik oleh generasi penerus. Ketiga, jabatan kepemimpinan tak perlu diteruskan. Dan tentu masih banyak kemungkinan lain. Tapi paling tidak, ada prinsip-prinsip umum yang bisa diambil. Pertama, tak ada perintah dan larangan dari Nabi dalam hal politik dan pemerintahan. Kedua, tak ada ketentuan yang menjelaskan hal-ihwal mekanisme pemilihan pemimpin. Dengan demikian, imâmah bukanlah rukun iman, melainkan wilayah ijtihâd. 

Pengelolaan peradilan, ekonomi, dan keamanan perlu dipertahankan, bahkan dikembangkan. Ajaran Islam dari Nabi perlu disampaikan, bahkan disebar-luaskan. Untuk itulah kursi kepemimpinan merasa perlu dilanjutkan. Saat Nabi sebagai pemegang otoritas wahyu sudah tiada, dimulailah masa transisi dari masa wahyu ke masa tafsir. Hal ini nampak sekali pada perbedaan tata cara pengangkatan pemimpin. Abu Bakar ditentukan oleh komponen Muhajirin dan Ansor, Umar dengan surat wasiat, Utsman dipilih oleh Ahl al-hal wa al-‘aqd dari komponen Muhajirin-Quraisy, dan Ali dipilih oleh rakyat umum. Pun demikian masa-masa setelahnya. Meletusnya kejadian fitnah kubrâ, terjadinya perang Jamal, perang Shiffin, juga Tahkîm (arbitrasi) yang berujung pada munculnya sekte-sekte Islam, adalah bukti bahwa perbedaan penafsiran dan perbedaan pandangan dalam politik kekuasaan, menjadi salah satu penyebab terpecahnya persatuan. Kalau sudah demikian, adakah hal yang lebih baik dari upaya mengambil pelajaran?

Paska Tahkîm, umat Islam terbagi tiga: pertama, blok Muawiyah. Kedua, blok Ali yang kemudian melahirkan Syiah. Ketiga, Khawarij, pihak yang keluar dari barisan Ali disebabkan ketidaksetujuannya terhadap keputusan Ali yang menerima Tahkîm. Perpecahan semakin menjadi. Di tahun 41 H. muncullah ‘âm al-jamâ’ah, sebuah masa persatuan yang mencoba mencari titik temu atas beberapa kecenderungan. Sayyidina Hasan pun berdamai dengan Muawiyah. Pada saat inilah harapan persatuan Islam mendapat perhatian besar, umat Islam bersatu dalam satu khalifah; Muawiyah. Namun seperti biasa terjadi dalam politik, rencana dan keadaan bisa berubah sewaktu-waktu. Pada akhirnya, bukan lahir kesepahaman, melainkan memuncaknya perbedaan epistemologi yang saling bertolak belakang.

Muawiyah berkuasa penuh. Dengan kekuasaannya, ia mulai berani merubah banyak hal. Pada ‘âm al-jamâ’ah, di masjid Nabawi Madinah, Muawiyah berpidato, ia akan merubah model politik Khulafâ` al-Râsyidîn menjadi politik monarki. Harusnya, model politik ini mendasarkan sistemnya pada maslahat negara, dengan tanpa mengangkat pedang. Namun pada perkembangannya, yang maslahat bagi negara juga harus maslahat bagi keluarga istana; klan Umayah. Demi memperkuat legitimasi kepemimpinan, Muawiyah mengangkat konsep Jabariyyah (predestinasi). Menurutnya, kekusaan Muawiyah adalah pemberian Allah. Muawiyah mulai menarik-narik politik ke wilayah ideologi, sebuah potret politik dengan bungkus agama. Khawarij sebagai oposan melemparkan konsep tandingan, bahwa iman tak terpisah dengan amal. Baginya, siapapun yang meninggalkan sholat, puasa dan berbuat dosa besar maka keluar dari Islam, bahkan yang berbeda dengan mereka pun dianggap kafir. Khawarij juga berpandangan, bahwa jika pemimpin berbuat lalim, maka pengikut wajib keluar dari barisannya. Maka, kerelaan Ali terhadap Tahkîm adalah salah. Keluarnya 12.000 orang dari barisan Ali, yang kemudian bernama Khawarij, adalah benar. Bagi Syiah, pandangan Khawarij tersebut teramat menyalahkan dan menghinakan Ali. Demikianlah. Peperangan demi peperangan antara kelompok-kelompok Islam pun semakin meruyak.

Perang saudara terus terjadi. Syiah, Muawiyah, Khawarij, saling menyalahkan dan membenarkan diri sendiri. Lalu muncullah Murji`ah, kelompok yang berusaha menghindari perpecahan umat Islam. Baginya, iman tak hilang karena maksiat, dan pendosa besar ditangguhkan hukumannya hingga hari kiamat, di bawah keputusan Tuhan. Muawiyah yang berkuasa, Khawarij yang keras dan Syiah yang fanatik, ketiganya sama beriman. Madzhab yang toleran ini dipimpin oleh Abdullah bin Umar dan Sa'ad bin Abi Waqqash. Bersamaan sikap menghindari perpecahan, lahir pula gerakan sufi. Kaum sufi yang bebas dan aktif. Bebas tak memihak dan menjauhi aktivitas politik, namun aktif menolak pertumpahan darah. Mereka menawarkan konsep taubat, dan menyatakan rendahnya dunia serta tingginya derajat akhirat. Kemudian lahir antitesis baru, kelompok Muktazilah. Hasil perdebatan Wasil bin Atha' dan gurunya Hasan al-Bashri tentang pelaku dosa besar yang dihukumi kafir oleh Khawarij, membuat Wasil tak puas. Pandangan sang guru bahwa posisi pendosa besar dipasrahkan pada Allah, bertentangan dengan keyakinan Wasil. Baginya, pendosa besar tetap mu’min secara iman tapi fâsiq secara amal, posisi mereka ada di antara dua tempat (al-manzilah baina al-manzilatain). Dan tak ada cara lain untuk selamat di akhirat, kecuali bertaubat. Inilah sikap politik Muktazilah melawan Muawiyah secara halus. Dengan cepat, Muktazilah mulai berbicara tentang imâmah, hingga menyeretkan diri ke wilayah politik. Aliran yang mengedepankan akal ini, melakukan ta'wîl besar-besaran terhadap teks al-Qur`an dan al-Hadits. Hal ini merangsang lahirnya Ahl al-Sunnah, madzhab yang berusaha menggunakan nash dan akal secara seimbang. Mulanya, akademisi madzhab ini menjauh dari aktivitas politik. Namun akhirnya menanggapi jua situasi politik, dengan mencari jalan tengah, bersikap netral, menerima umat Islam tanpa mempermasalahkan asal-usulnya. Madzhab yang dipelopori al-Asy'ari dan al-Maturidi ini belajar menghargai perbedaan pendapat, tak seperti Khawarij yang mudah menghakimi, tak juga Syiah yang melebih-lebihkan Ali dibanding Muawiyah, ataupun Muawiyah yang merendahkan Ali. Bagi Ahl al-Sunnah, Ali dan Muawiyah adalah sama-sama sahabat Nabi. Masuk surga atau tidaknya seseorang, adalah rahmat Tuhan, namun manusia wajib berusaha, bagi pendosa besar sekalipun.

Berlanjut ke zaman Abasiyah, corak politik sedikit berbeda. Kaum fuqahâ` sebagai tokoh agama, tak ingin perpecahan Islam terjadi untuk ke sekian kali, maka sikap lunak terhadap penguasa menjadi pilihan. Bagi fuqahâ`, kedekatannya dengan penguasa dimaksudkan untuk mempermudah menerapkan syarî'ât, tanpa mempermasalahkan pemegang kursi kepemimpinan. Penguasa Abasiyah pun merasa diuntungkan. Dengan adanya fuqahâ`, status politik Abasiyah menguat. Islam atau tidaknya negara, dilihat dari apakah negara melaksanakan hukum Islam atau tidak, tanpa menyoal justifikasi kepemimpinan, demikian pendapat fuqahâ` masa itu. Karena terfokus pada hukum, maka posisi fikih menjadi tema penting yang menentukan banyak hal. Pada saat inilah pertumbuhan fikih tak berjalan alami. Ia dirancang dengan kecondongan untuk justifikasi pemimpin yang sedang berkuasa. Hingga pada pendapat, bahwa keinginan raja adalah keinginan Tuhan. Taat kepada imam adalah taat kepada Tuhan, Abasiyah pun adalah keinginan Tuhan.

Akhirnya, sejarah mencatat, dan manusia seharusnya memahami apa yang terbaik yang harus diteladani, juga yang buruk yang harus ditinggalkan. Politik, akidah, syariah, terlampau sering dicampur-adukkan, ditarik-tarik, dibungkus-bungkus, dihias-hias. Jelas, ada urusan duniawi yang menuntut manusia melakukan ijtihâd, menyesuaikan tempat, waktu, dan segala sesuatu yang berubah. Politik adalah urusan duniawi. Dan fikih, bukanlah syariah. Syariah adalah ketentuan-ketentuan Tuhan, sedangkan fikih adalah pandangan-pandangan manusia. Seperti Nabi, yang menyampaikan Islam dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dengan beragam cara, sesuai ruang dan waktu, bukan dengan paksa. Teringat kata Ali: “al-Qur`an tertulis, tapi tak dapat berbicara. Manusialah yang berbicara atas namanya. Padahal al-Qur`an mempunyai banyak wajah”. Dan karena kita manusia, yang setiap pikiran, hati, dan jiwa tak diciptakan sama, maka akan selalu ada perbedaan. Maka, politik adalah ijtihâd, bukan agama. Lalu, mengapa sebagian orang berteriak-teriak lantang, mendeklarasikan diri sebagai partai Islam? Jadi jelas sudah, bahwa partai Islam, bukan Islam.
Sumber: http://afkar.numesir.com/index.php?option=com_content&view=article&id=6:partai-islam-bukan-islam&catid=3:opini&Itemid=27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.