Terkecuali Rabiah al-Adawiyah, sepertinya memang jarang sekali muncul figur-figur sufi dari kalangan kaum hawa dalam sejarah tasawuf. Namun, hal itu bukan berarti karena jumlah mereka sedikit. Perempuan memiliki potensi yang sama dengan laki-laki dalam menerjuni wilayah penempaan spiritual. Bahkan, boleh jadi kaum hawa memiliki kesempatan yang lebih besar, karena berada dalam ruang interaksi sosial yang terbatas.
Dalam Islam, perempuan lebih jarang menghuni wilayah publik. Hal itu merupakan salah satu bagian terpenting dari kemuliaan ajaran hijab yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad. Keterbatasan ruang ini menempatkan mereka dalam ranah uzlah dengan tanpa sengaja. Mereka tak banyak terikat dengan interaksi sosial yang memecah konsentrasi kepada Sang Pencipta.
Boleh jadi, karena inilah sejarah jadi agak sulit untuk mendapatkan data-data mereka. Data-data kehidupan seorang muslimah yang zuhud lebih sering berputar di dalam pagar rumahnya sendiri. Sehingga, pintu akses untuk penelitian sejarah menjadi sangat terbatas, tidak terbuka seperti tokoh-tokoh dari kalangan lelaki.
Namun demikian, masih ada beberapa sejarawan yang berhasil merangkum mutiara sejarah beberapa tokoh sufi dari kalangan hawa, meski kelengkapan data-datanya relatif minim. Misalnya, Ibnul Jauzi dalam Shifatus-Shafwah atau as-Sulami dalam Dzikrun-Niswah al-Muta’abbidah al-Shufiyât. Di dua kitab itu, lumayan banyak kisah tokoh-tokoh sufi perempuan dari berbagai penjuru dunia Islam sepanjang Abad Pertengahan.
*****
Secara naluriah, perempuan sebenarnya sangat mudah menerima ajaran-ajaran sufi. Perempuan lebih mudah dikuasai perasaan, dan itu merupakan bekal istimewa untuk memasuki dunia sufi yang oleh banyak kalangan disebut sebagai dunia perasaan (dzauqiyyât).
Dan, ketika ditelusuri ke dalam kisah-kisah sejarah yang disebutkan oleh Ibnul Jauzi maupun as-Sulami, ternyata corak tasawuf perempuan memang tak terlalu jauh dari simpul-simpul naluri alamiah yang tertanam pada jiwa mereka pada umumnya. Jika diamati, setidaknya, ada tiga naluri yang paling banyak mewarnai corak tasawuf mereka, yaitu: malu, cinta dan air mata.
Tasawuf Malu
Sifat pemalu yang biasanya sangat lekat dengan perempuan membuahkan kekuatan spiritual yang hebat saat bersentuhan dengan penempaan tasawuf. Beberapa sufi perempuan semacam Saidah binti Zaid, Lubabah asy-Syamiyah dan Dzakkarah terkenal dengan “tasawuf malu” dalam menjalani suluk.
Dalam kerangka sufistik mereka, malu kepada Allah, setidaknya diwujudkan dalam tiga hal, yaitu: (1) malu untuk meminta saat menyadari kelalaian diri dalam menyukuri nikmat Allah; (2) malu untuk disibukkan oleh selain Allah saat dirinya sudah mengenal Allah; dan (3) malu dilihat Allah jika melakukan hal-hal yang membuat-Nya tidak suka.
Tiga pengejawantahan religius itu sudah sangat cukup untuk membuat seseorang terus menerus beribadah, bersyukur dan menghindari segala bentuk larangan Allah, baik yang haram maupun yang makruh. Inilah mungkin yang menjadi substansi dalam sabda Rasulullah, “Bila engkau tidak malu, maka lakukanlah apa saja yang engkau mau.” (HR al-Bukhari dari Abu Mas’ud)
Tasawuf Cinta
Tasawuf cinta adalah kecenderungan sufistik yang sangat populer, tidak hanya di kalangan sufi perempuan, tapi juga di kalangan tokoh-tokoh sufi lelaki. Faktor utama populernya tasawuf cinta ini adalah karena sangat banyak nash al-Qur’an maupun Hadis yang berbicara tentang cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Selain itu, “cinta” merupakan filosofi utama dalam tasawuf Rabiah al-Adawiyah, tokoh sufi perempuan yang paling masyhur sepanjang sejarah.
Mengenai tasawuf cinta ini ada sufi perempuan yang merumuskannya ke dalam tiga kata, yaitu: ingin/suka, cinta dan rindu. Kata pertama dibangun di atas harapan nikmat di akhirat. Kata kedua dibangun di atas nikmat yang telah didapat. Sedangkan, yang terakhir berdasarkan hakikat Allah sebagai Pemberi Cinta itu sendiri. Fathimah Ummul Yaman berkata, “Bagaimana mungkin aku tidak ingin memperoleh apa yang berada di sisi-Mu, sedangkan Engkau adalah tempat aku kembali. Bagaimana mungkin aku tidak men-cintai-Mu, sedangkan semua kebaikan yang aku dapat berasal dari-Mu. Bagaimana mungkin aku tidak me-rindukan-Mu, sedangkan Engkau merasukkan rasa rindu itu ke dalam hatiku.”
Ada pula sufi perempuan yang membagi cinta Allah itu menjadi dua, yaitu: cinta Allah karena Dia adalah Tuhannya dan cinta Allah karena Dia adalah Sang Pemberi Nikmat. Hal ini tersirat dalam syair terpopuler dari Rabiah al-Adawiyah, “Aku mencintai-Mu dengan dua cinta: cinta suka (karena nikmat) dan cinta karena Engkau adalah yang berhak untuk dicintai.”
Sementara itu, menurut Lubabah, tokoh sufi dari Syria, tasawuf cinta ini bukanlah sebuah pencapaian spiritual yang berdiri sendiri. Cinta Allah lahir dari akar, lalu melahirkan daun, bunga dan buah. Cinta adalah satu tahap dalam lingkaran pengembaraan batin seorang sufi. “Kenal melahirkan cinta. Cinta melahirkan rindu. Rindu melahirkan keinginan untuk selalu bersama. Selalu bersama melahirkan pengabdian dan kepatuhan,” demikian Lubabah meletakkan posisi cinta dalam lingkaran pengembaraan batinnya.
Dan, kesan berbeda mengenai tasawuf cinta dicetuskan oleh Raihanah. Ia mengartikan kerinduan kepada Tuhan dengan kerinduan terhadap ajal. Tak pelak, tasawuf cinta ala Raihanah ini mengukir kesan keindahan maut. Suatu ketika, Raihanah menggubah syair, “Tuhan, begitu lama aku merindukan-Mu. Kapan akan bertemu? Sama sekali, aku tak memohon nikmat surga. Aku hanya ingin bersua dengan-Mu.”
Tasawuf Air Mata
Menangis merupakan bentuk ekspresi yang paling lekat dengan kaum hawa. Air mata mereka memiliki kekuatan tersendiri, bahkan, juga dalam ranah pengembaraan spiritual. Dalam tasawuf perempuan, air mata adalah ekspresi penting dari kesungguhan mereka terhadap Allah.
Ghufairah, tokoh sufi dari Basrah, sehari-hari ia menangis hingga hilang penglihatannya. Tangisan religiusnya itu disebabkan oleh perasaan takut jauh dari Allah. Konon, ada orang menanyainya, “Buta apa yang paling buruk?” Ghufairah menjawab, “Terhalang dari Allah sangat buruk. Sedangkan kebutaan hati hingga tidak bisa memahami maksud Allah dalam segala perintah-Nya jauh lebih buruk dan lebih buruk.”
Sama-sama bermandikan air mata, tapi tasawuf Sya’wanah sedikit berbeda dari Ghufairah. Sya’wanah tinggal di daerah Ubullah, di ujung pantai Teluk Persia, tak terlalu jauh dari Basrah, tempat tinggal Ghufairah. Ia juga dikenal dengan tasawuf air matanya, tapi bukan karena rasa takut, melainkan karena rasa rindu. Konon, Sya’wanah pernah bergumam, “Mata yang berpisah dari Sang Kekasih dan mengimpikan pertemuan, tapi tidak menangis? Oh, benar-benar tidak pantas!”
Jadi, air mata sufipun lahir dari perasaan yang berbeda. Tapi, air mata apapun tetaplah ekspresi kesungguhan mereka terhadap Tuhan. Dan, salah satu filosofi tangisan sufistik yang mereka pegang adalah air mata yang mengalirkan air mata. Seperti pernah ditegaskan oleh Aisyah an-Naisaburi, “Tangisan sejati adalah menangis, lalu menangisi tangisan itu karena merasa tangisan yang pertama tidak jujur dan tidak diridai Allah. Menangisi tangisan yang dirasa tidak jujur lebih berguna daripada tangisan yang pertama.”
Berarti, air mata hakiki dalam perjalanan suluk para sufi perempuan itu adalah mata air yang tak pernah mengering. Ia senantiasa mengalir, untuk membeningkan aliran-aliran yang sebelumnya. Oh, betapa beningnya!Sumber: Buletin SIDOGIRI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.