Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari lahir di kota Basrah pada tahun 260 H/873 M. Dia lahir dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mengikuti faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Ayahnya, Ismail seorang ulama ahli hadits yang menganut faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Hal ini terbukti, bahwa ketika Ismail menjelang wafat, dia berwasiat agar al-Asy’ari diasuh oleh al-Imam al-Hafizh Zakariya al-Saji, pakar hadits dan fiqih madzhab al-Syafi’i yang sangat populer di kota Basrah.
Pada masa kecilnya, al-Asy’ari selain berguru kepada al-Saji, dia juga menimba ilmu dari ulama-ulama ahli hadits yang lain, seperti Abdurrahman bin Khalaf al-Dhabbi, Sahal bin Nuh al-Bashri, Muhammad bin Ya’kub al-Maqburi dan lain-lain. Sehingga hal tersebut mengantar al-Asy’ari menjadi ulama yang menguasai hadits, tafsir, fiqih, ushul fiqih dan lain-lain.
Hanya saja, setelah dia berusia sepuluh tahun, ada unsur asing yang sangat berpengaruh dan bahkan mengubah jalan hidupnya, yaitu kehadiran Abu Ali al-Jubba’i – tokoh Mu’tazilah terkemuka di kota Basrah dalam keluarganya, yang menjadi ayah tirinya dengan menikahi ibunya, dan kemudian mengarahkan al-Asy’ari menjadi penganut Mu’tazilah hingga berusia 40 tahun.
Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahhab bin Salam al-Jubba’i (235-303 H/849-916 M) adalah tokoh Mu’tazilah terkemuka. Hubungan yang sangat dekat antara guru dan murid ini, menjadikan al-Asy’ari menjadi kader Mu’tazilah dan pada akhirnya mengantarnya menjadi salah satu tokoh Mu’tazilah yang populer. al-Asy’ari memiliki kecerdasan yang luar biasa, dan kemampuan yang hebat dalam membungkam lawan debatnya, sehingga tidak jarang al-Asy’ari mewakili Abu Ali al-Jubba’i dalam forum perdebatan dengan kelompok luar Mu’tazilah.