Jumat, 14 Oktober 2011

Kriteria Awal Bulan Hijriah di Indonesia Berhasil Diputuskan


Hari Raya Idul Fitri 1432 H memang sudah berlalu tetapi polemik penetapan 1 Syawal 1432 H masih saja menjadi perdebatan yang seolah tiada henti-hentinya. Ada sebagian muslim Indonesia seperti Muhammadiyah dan Hizbut Tahrir Indonesia merayakan Idul Fitri pada 30 Agustus 2011 dan ada sebagian lainnya mengikuti penetapan pemerintah pada 31 Agustus 2011 seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan beberapa ormas lain. Masing-masing pihak tetap bersikukuh pada pendirian dan keyakinannya sehingga perbedaan perayaan Idul Fitri tidak dapat dihindari.

NU dan Muhammadiyah merupakan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yang mempunyai jutaan pengikut dibanding ormas Islam lainnya yang relatif lebih sedikit pengikutnya. Tidak heran, kalau keputusan yang ditetapkan oleh kedua ormas ini akan sangat dirasakan oleh umat Islam di negeri ini dan berdampak secara nasional. Hal ini dapat terlihat apabila terdapat perbedaan mengenai penetapan awal bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal. Salah satu contohnya adalah saat penetapan awal Syawal 1432 H kemarin. Muslim Indonesia tampak terpecah belah dan kurang bersatu.

Berbagai opini pun dikemukakan baik secara individu maupun organisasi untuk mengklaim bahwa pendapatnya adalah yang paling benar. Metode yang digunakannya adalah yang paling sesuai. Alhasil, perbedaan pendapat tak dapat terelakan. Perbedaan pendapat boleh saja terjadi, hanya saja sangat disayangkan ada segelintir pihak tertentu yang tampaknya kurang menghargai pendapat-pendapat yang berbeda dengannya. Tidak jarang, sesama muslim timbul saling mengejek, saling menghina, dan saling menyesatkan satu sama lain. Bahkan ada yang sampai “mengkafirkan” sesama muslim hanya gara-gara berbeda perayaan Idul Fitri.

Kontroversi penetapan awal Syawal 1432 H mencuat kembali pada pertengahan september 2011 kemarin yang berbarengan dengan hebohnya kemunculan bulan purnama. Sebagian pihak menjadikan bulan purnama sebagai bukti pembenaran untuk mendukung pendapatnya dan sebagian lain menolak dengan tegas. Masing-masing pihak pun mengungkapkan alasannya sendiri. Sayangnya, ada saja pihak-pihak yang merasa diri paling benar dan paling lurus sampai-sampai menuduh sesat dan menyesatkan pihak yang berbeda pendapat dengannya. Dan yang lebih menyedihkan lagi adalah adanya pihak tertentu yang dengan terang-terangan mendo’akan umat Islam lain yang jelas-jelas satu aqidah dengan sebuah do’a yang tidak sepantasnya ditunjukan oleh seorang muslim. Dengan begitu bangga seseorang yang mengaku muslim mendo’akan muslim lain agar tertimpa adzab dan kutukan dari Allah SWT hanya karena muslim tersebut berbeda pendapat dengannya, hanya gara-gara muslim tersebut berbeda perayaan awal Idul Fitri 1432 H. Padahal do’a tersebut ditunjukan Allah SWT untuk orang-orang kafir dan munafik bukan untuk orang Islam. Sungguh salah sasaran dan sangat disayangkan dilakukan oleh saudara kita sesama muslim. Semoga Allah SWT membukakan pintu hidayah-Nya untuk saudara-saudara kita agar kenbali ke jalan yang benar dan menjadikan umat Islam bersatu kembali.

Dampak perbedaan perayaan Idul Fitri tahun ini tidak hanya menimbulkan perpecahan dan perselisihan sesama umat Islam tetapi telah melahirkan (kalau boleh dikatakan) semacam “hasil ijtihad baru” dari seorang yang sudah dipastikan jauh memenuhi syarat sebagai seorang “mujtahid”. Dikatakan bahwa untuk menentukan kapan dimulainya bulan Ramadhan atau Syawal dapat diketahui tanpa melihat hilal dan hisab tetapi cukup menggunakan kalender-kalender fullmoon atau melihat bulan purnama. Dan anehnya pernyataannya ini dipublikasikan dan menjadi referensi di beberapa media kenamaan di Indonesia baik media nasional seperti Kompas maupun media Islam seperti Arrahmah.

Apakah betul Islam mengajarkan bahwa adanya bulan purnama dapat dijadikan pembenaran untuk menentukan kapan awal Ramadhan atau Syawal dan tidak perlu melakukan hisab atau melihat hilal? Sebagai orang awam yang bisa dilakukan adalah mengikuti para pemimpinnya yang memang berilmu dan ahli di bidangnya. Lihatlah bagaimana ormas-ormas Islam Indonesia berpedoman dalam menentukan awal bulan Hijriah. Bagi NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia berpegangan pada rukyatul hilal bil fi’li (imkanur rukyat), yaitu dengan melihat hilal secara langsung untuk menentukan awal bulan Hijriah sementara Muhammadiyah berpedoman dengan metode hisab wujudul hilal. Organisasi lain seperti Persis dan Hizbut Tahrir Indonesia pun tidak jauh berbeda yang berpedoman pada hisab atau rukyat. Tidak ada satupun dari ormas-ormas tersebut yang menyatakan bulan purnama dapat dijadikan sebagai pedoman dalam penentuan awal bulan Hijriah.

Allah SWT Maha Mengetahui dan alhamdulillah polemik kalender purnama sekiranya cukup terjawab melalui tulisan Nugraha Ahmad atau Nazaruddin Ilham. Purnama tidak dapat menjadi pedoman penentuan awal bulan Hijriah. Hal ini dipertegas dengan pernyataan dari Professor riset astronomi-astrofisika dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Jamaludin yang menyatakan purnama tidak bisa menjadi penentu awal bulan Qomariyah seperti yang tertulis dalam website resminya di http://tdjamaluddin.wordpress.com.

Kalau kita melihat kembali sejarah bangsa dan perjuangan umat Islam di Indonesia akan terlihat begitu kuatnya persatuan umat Islam kita terdahulu seperti yang dicontohkan oleh ulama dan pahlawan yang menjadi panutan kita bersama, KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari. Keduanya adalahh tokoh hebat yang sangat berjasa yang telah menempuh perjuangan dengan penuh keikhlasan dan kemuliaan. Rasa persaudaraan ukhuwah Islamiyyah sangat dijunjung tinggi oleh mereka berdua seperti yang tertulis dalam facebook Ahmad Musta’in Syafi’ie. Sudah selayaknya kita sebagai penerus meneladani sikap dan perilaku yang dicontohkan kedua ulama tersebut.

Dibalik kontroversi dan polemik penetapan awal Syawal 1432 H ini ternyata membawa hikmah yang luar biasa. Umat Islam khususnya di Indonesia semakin dewasa dan semakin menunjukan persatuannya di bawah panji ukhuwah Islamiyyah. Hal ini terlihat melalui acara “Lokakarya Mencari Kriteria Format Awal Bulan di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama RI di Hotel USSU, Cisarua, Bogor, pada 19 – 21 September 2011 lalu. Lokakarya yang dihadiri sekitar 40 orang ahli hisab-rukyat dari ormas-ormas Islam, perorangan, dan dari instansi diadakan dengan tujuan untuk mempersatukan seluruh ormas Islam dalam menentukan kriteria yang digunakan dalam penyusunan kalender hijriah Indonesia.

Sidang perumusan yang dipimpin oleh Prof. Dr. H. Susiknan Azhari, MA (Wakil Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah) dan Dr. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag. (Anggota Lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama) telah berhasil menyepakati kriteria imkan rukyat sebagai kriteria yang akan digunakan dalam penyusunan kalender hijriah Indonesia. Alhamdulillah, ini adalah langkah maju dan mudah-mudahan menjadi langkah awal menuju persatuan umat Islam Indonesia dan diharapkan tidak ada lagi polemik perselisihan dalam penetapan awal bulan hijriah seperti yang telah terjadi sebelumnya.

Dan berikut adalah Hasil Keputusan Lokakarya Mencari Kriteria Format Awal Bulan di Indonesia atau dapat dilihat di sini:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.