oleh 'Rizki Zulqornain
Al-MuafahPara ulama besar
di Tanah betawi menolak shalat tarawih yang dikerjakan dengan cara 4 rakaat
sekali salam. sebut saja Allah Yarhamuh Hadrotus syaikh K.H Muhammad Syafii
Hadzami Mufti Betawi abad 21 mengatakan:
Tidak dikenal ikhtilaf (perbedaan) antara Imam-Imam mujtahidin yang empat
hal bilangan atau jumlah rakaat Qiyam Ramadhan (Shalat Tarawih) melainkan
sebagai berikut :
1) 20 rakaat menurut mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan
Imam Ahmad Ibn Hambal.
2) 36 rakaat merupakan salah satu riwayat Imam Malik bagi penduduk Madinah.
Syaikh
Abdul Wahhab al-Sya’râniy pun menyebutkan hal ini dalam kitab
al-Mîzân
al-Kubrâsebagai berikut:
وَمِنْ ذَلِكَ قَوْلُ أَبِي حَنِيْفَةَ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ اَنَّ صَلاَةَ التَّرَاوِيْحَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً وَاِنَّهَا فِي الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مَعَ قَوْلِ مَالِكٍ فِي اِحْدَى الرِّوَايَاتِ عَنْهُ اِنَها سِتَّةٌ وَثَلاَثُوْنَ رَكْعَةً (الميزان الكبرى ج 1 ص :
185 دار الفكر د ت)
Artinya:
Sebagian dari yang demikian adalah Qaul Imam Abi Hanifah,
Imam Syafii dan Imam Ahmad bahwa Shalat Tarawih di dalam Bulan Ramadhan adalah
20 rakaat dan sesungguhnya berjamaah itu lebih utama disertai Qaul Imam Malik
dalam satu riwayat darinya adalah 36 rakaat.
Kaifiyyah 20 rakaat yaitu dikerjakan dengan sepuluh salam dan memberi salam
pada tiap dua rakaat. Kata Imam Nawawi dalam kitab Rawdhah” jika seseorang
bersembahyang Tarawih 4 rakaat dengan satu salam niscaya tidak sah, karena
menyalahi yang disyariatkan. (K.H Muhammad Syafii Hadzami,
Risalah Shalat
Tarawih, h. 6. )
*****Syaikh Abuya K.H Abdurrahman Nawi pendiri Pondok Pesantren
al-Awwabin Depok menegaskan:
Shalat Tarawih hukumnya Sunah muakkadah. Bilangan rakaatnya yaitu:
1) Bagi kita 20 rakaat (ijma’ para sahabat).
2) Bagi Ahli Madinah 36 rakaat.
Waktunya Ba’da Shalat Isya hingga fajar shodiq.
Perhatian!!!
1) Dilakukan dengan 10 salam.
2)
Tidak sah dilakukan 4 rakaat satu salam.
3) Sunah dijamaahkan. (K.H Abdurrahman Nawi Tebet,
Kitab 7
Kaifiyyat Shalat sunah, h. 11)
***** Syaikh Abuya K.H Saifuddin Amsir pendiri pondok pesantren
al-Asyirah al-Qur'aniyyah Jakarta
memberikan komentar:
Banyak orang mengerjakan shalat Tarawih dengan cara 4 rakaat sekali salam, 4
rakaat sekali salam, dengan dalil hadis Siti Aisyah sebagai berikut:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي.
Artinya:
Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam (sepanjang
tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Beliau
shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian
beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya.
Kemudian beliau shalat 3 rakaat.
Kemudian aku bertanya ”Ya
Rasulullah apakah kamu tidur sebelum shalat Witir”? Kemudian beliau menjawab:
”Aisyah, meskipun kedua mataku tidur, hatiku tidaklah tidur”.
Hadis
yang dijadikan dalil, bukan hadis tentang shalat Tarawih, hadis tersebut adalah
hadis pada pekerjaan shalat malam Rasulullah pada umumnya, yakni shalat Witir.
Karenanya para Fuqaha (ahli Fiqh) tidak menyetujui untuk menjadikan hadis
tersebut sebagai dalil shalat Tarawih. Dengan alasan shalat Tarawih merupakan ibadah
khusus yang hanya dilakukan pada bulan Ramadhan, dan jumlah bilangan shalat
Tarawih 20 rakaat ditambah shalat Witir 3 rakaat, telah disosialisasikan oleh
para sahabat, dalam hal ini adalah Sayidina Umar Ibn Khatthab yang disepakati
dan disetujui oleh para sahabat lainnya. Lantaran pada umumnya para Imam tidak
mempunyai kemampuan untuk mengingkari apa yang menjadi perintah Rasulullah:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ فَتَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Artinya;
Hendaklah kalian ikuti sunahku dan sunah para Khalifah
yang mendapat petunjuk setelahku, peganglah dengan kuat dan gigitlah olehmu
dengan geraham ”.[1]
Pelanggaran terhadap yang disepakati para sahabat merupakan pelanggaran
terhadap agama.
Sehingga dalam Mazhab Syafii, kalau shalat Tarawih
dikerjakan bukan dengan cara 2 rakaat, 2 rakaat, shalat Tarawih tersebut
dipandang batal/tidak sah.
Oleh sebab itu, shalat Qiyam Ramadhan yang lebih populer di kota Makkah,
Madinah dan berbagai negara Islam juga tidak berani beranjak dari situ,
paling-paling sedikit penambahan dari jumlah rakaat yang dilaksanakan di zaman
Sayidina Umar Ibn Khatthab itu 23 rakaat, tetapi orang yang ingin memperbanyak
ibadah tidak ada salahnya menambah rakaat. Jadi pada zaman dahulu inisiatif
penduduk kota Madinah untuk menambahkan jumlah
rakaat, merupakan pengganti tradisi penduduk kota Makkah yang biasanya setelah tiap 4
rakaat (2 salam) mereka melakukan tawaf, karena memang ada Ka’bah di situ.
Sedangkan di Madinah tidak terdapat tempat untuk bertawaf, sehingga menjadi
kuat dalil bahwa sahabat- sahabat Nabi di Makkah itu bertawaf pada
bilangan-bilangan tertentu, yakni setelah 4 rakaat mereka bertawaf.
Hal ini diperkuat dalilnya dengan amaliyah penduduk kota Madinah, khususnya pada pemerintahan
Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz yang menambahkan jumlah rakaat shalat Tarawih
menjadi 36 rakaat di luar shalat Witir. Hal ini bukan dalil yang mengatakan
khilaf-khilafnya, tetapi justru memperkuat bahwa itulah yang terjadi di zaman
para sahabat, karena Rasulullah tidak membatasi jumlah rakaat shalat Tarawih,
para sahabat yang lebih mengatur itu dan memiliki concern (perhatian) terhadap
hal tersebut.
Untuk mencegah terjadinya kekacauan yang berkepanjangan di dunia
Islam, Sayidina Umar Ibn Khatthab memikirkan jumlah-jumlah rakaat shalat sunah
yang dilakukan Rasulullah, jadi hal tersebut sudah dipikirkan oleh Sayidina
Umar Ibn Khatthab secara
Taftisy (matang dan teliti) dengan
ketepatan jumlah rakaat yang dilakukan Rasulullah, ketika dihitung hadis-hadis
yang membicarakan tentang jumlah rakaat shalat sunah Rasulullah, ketika
digabung-gabung, tepat 20 rakaat, dari keterangan hadis yang zhahir-zhahir.
Apa yang dilakukan oleh Sayidina Umar Ibn Khatthab tidak beranjak dari apa
yang dikerjakan Rasulullah. Hal ini menjadi sunah sahabat. Sunah sahabat tidak
boleh dianggap remeh, ulama berpendapat seperti itu. Kalau sunah sahabat mulai
dikorbankan untuk perasaan, maka lambat laun apa saja bisa dikorbankan. Ini
yang menyebabkan shalat Tarawih yang dilakukan sebanyak 20 rakaat dilakukan
dengan 2 rakaat, 2 rakaat, 2 rakaat dan seterusnya ditutup dengan shalat Witir
3 rakaat dapat berusia panjang dan sampai saat ini masih dilaksanakan.
Dalam kitab (
التراويح أكثر من ألف عام في
مسجد النبي عليه الصلاة والسلام ) karya Syaikh
Athiyyah Muhammad Salim, seorang Qadhi Mahkamah Syariah, ahli hadis dan pakar
fiqh di Madinah; Saudi
Arabia, juga merupakan salah seorang murid
utama seorang raksasa ilmu di zamannya yaitu Syaikh Muhammad al-Amin Ibn
Muhammad Mukhtar al-Syinqithiy (w. 1393 H). Syaikh Athiyyah Muhammad Salim,
memiliki perhatian khusus tentang dalil shalat Tarawih. Hal ini harus
diperhatikan, sebab sekarang orang tidak lagi mau mentahqiq (mengkaji ulang)
soal dalil, orang sudah begitu sibuk dengan berbagai kesibukan. Jadi, di luar kota Makkah ada juga yang
mengerjakan shalat Tarawih 11 rakaat, dengan alasan, itulah hadis yang zhahir
dari Rasulullah. Hanya saja, hal ini akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan
tentang bagaimana mengikuti para sahabat Rasulullah yang sebenarnya.
Karena jika shalat Tarawih 11 rakaat yang paling benar, tentunya 3 abad
setelah Rasulullah, shalat Tarawih 11 rakaat dengan berjamaah itu sudah menjadi
populer. Padahal kenyataannya shalat 11 rakaat populer baru belakangan ini.
Shalat Tarawih 20 rakaat yang lebih populer, setelah Sayidina Umar Ibn Khattab
wafat, Sayidina Usman melanjutkan shalat Tarawih 20 rakaat, demikian pula
dengan Sayidina Ali, mengerjakan shalat Tarawih seperti yang disepakati oleh
para sahabat dan tidak ada riwayat yang zhahir yang menyatakan bahwa Sayidina
Ali menentang shalat Tarawih 20 rakaat. Ini yang menyebabkan shalat Tarawih 20
rakaat tetap bertahan. Dalam sekian banyak riwayat, kita temukan riwayat yang menjelaskan
tambahan rakaat shalat Tarawih dari 20 rakaat, tetapi kita tidak menemukan
riwayat shalat Tarawih yang kurang dari 20 rakaat. Kalaupun ada akan
mengkhilafkan mayoritas umat Islam yang begitu banyaknya.
Menurut Mazhab Syafii shalat Tarawih yang dikerjakan dengan cara 4 rakaat
sekali salam hukumnya dikatakan tidak sah dengan beberapa alasan. Tetapi yang
jelas alasan-alasan tersebut merupakan ittiba’ (mengikuti) kepada Rasulullah
dan para sahabat yang tidak boleh diganggu oleh kreasi baru, jika ada kreasi
baru, maka
kreasi tersebut tidak akan jelas namanya.
Karena istilah Tarawih telah jelas kita pahami, seperti yang kita ketahui saat
ini, Tarawih adalah shalat sunah yang hanya ada pada bulan Ramadhan dikerjakan
dengan 20 rakaat terdiri dari 10 salam, dikerjakan dengan salam pada tiap 2
rakaatnya dan tiap 4 rakaat disebut 1 tarwihah (istirahat).
Penduduk Makkah mengerjakan tawaf pada tiap selesai satu tarwihah.
Pelaksanaannya di awal malam disertai adanya pendapat mengerjakan shalat
Tarawih di akhir malam itu lebih utama.
Jadi, penamaan akan
membentuk satu istilah, kalau sudah ada istilah, maka definisinya akan menjadi
jelas, karenanya orang yang mengerjakan shalat 4 rakaat dengan sekali salam
dengan niat shalat Tarawih, maka hukum shalat Tarawihnya tidak sah. Jika shalat
tersebut tidak dinamakan shalat Tarawih, maka sah-sah saja dilakukan.
Apa yang dilafazkan dan dikerjakan oleh Rasulullah seharusnya dijadikan
pilihan terbaik.
Hadis (
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ) bukan hadis
yang tidak kuat. Sedangkan shalat dengan 4,4,3 cuma merupakan salah satu
riwayat dari sekian banyak riwayat shalat malam Rasulullah, yang pernah dilihat
oleh Siti Aisyah dan hal tersebut dipertimbangkan oleh para ulama, lantaran
Siti Aisyah merupakan istri Rasulullah. Jadi, sesuatu yang Rasulullah sebutkan
merupakan anjurannya dan keduanya boleh berjalan. Tetapi mayoritas ulama
menganggap shalat malam yang dikerjakan dengan cara 2 rakaat-2 rakaat adalah
yang lebih baik kita ambil. Karena merupakan anjuran Rasulullah yang didasarkan
kepada perkataan dan perbuatan Rasulullah. Sedangkan hadis 4,4,3 hanya
berdasarkan perbuatan yang diceritakan oleh Siti Aisyah dalam salah satu
riwayatnya.
Untuk memahami kandungan hadis-hadis Rasulullah dengan baik dan benar
seseorang bukan hanya dituntut banyak membaca hadis tetapi juga ia harus
mendalami
fiqhul hadis (pemahaman hadis).
Dalam risalah ini menjelaskan pemaparan tentang perkara-perkara terpenting
dalam shalat Tarawih secara sederhana. Dengan demikian risalah ini menjadi
tulisan yang dapat dihayati dan sangat layak dibaca oleh siapa saja yang ingin
memahami secara benar dan mau menyelamatkan perkara ibadahnya.
Semoga Allah melimpahkan pahala yang besar kepada penyusun risalah ini atas
usahanya, mudah-mudahan Allah memperbanyak orang-orang yang mau mengikuti
langkah-langkah mulia ini dalam berpegang teguh kepada kebenaran. Amin.
***
Syaikh Maulana Kamal Yusuf guru besar ulama Jakarta menambahkan:
Tuduhan Bid’ah, kufur, musyrik, dan sesat sangat sering dilontarkan oleh
sekelompok orang dengan mengatasnamakan Sunnah. Kelompok ini giat menyebarkan
buku-buku, selebaran-selebaran, dan kitab-kitab yang berisi tuduhan keji
terhadap pelbagai persoalan keagamaan masyarakat seperti: Nisfu Sya’ban,
Tahlilan, Haul, merayakan Maulid, Tawassulan, ziarah para wali dan lain-lain.
Padahal kalau diteliti secara mendalam, amal ibadah maupun muamalah yang
berkembang dan berurat akar dalam tradisi masyarakat itu memiliki landasan
kokoh dari al-Qur’an, Hadis dan pendapat para ulama yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Mereka tidak memahami al-Qur’an dan hadis secara
syamil (menyeluruh).
Pandangan mereka sempit, sehingga mereka gampang mengatakan Musyrik, Kafir,
memvonis Bid’ah sesat terhadap praktek/amaliah orang lain yang memiliki dasar
dan argumentasi kuat yang juga telah menjadi tradisi
Ahlussunnah Wal-Jamaah.
Rasulullah mengatakan dalam sabdanya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا (رواه البخاري) .
Artinya: ”
Sesungguhnya Rasulullah bersabda: Apabila seseorang memanggil
saudaranya yang muslim dengan kalimat “Wahai Kafir maka akan kembali kalimat
itu kepada salah satu dari keduanya”.
Pernyataan mereka dalam buku-buku atau kitab-kitab yang banyak beredar
sangat berbahaya khususnya bila dibaca oleh orang-orang awam. Karena faktor
ketidaktahuan, mereka yang awam menerima langsung atau menelan mentah-mentah
isi buku/kitab tersebut tanpa mencoba untuk menelaah lebih lanjut isu-isu
negatif yang telah disebarkan di dalamnya. Keadaan orang-orang awam ketika itu
bagaikan orang yang makan ikan tanpa menyiangi (membersihkan sisik, kotoran dan
duri ikan) terlebih dahulu yang menyebabkan dirinya bukan hanya ketulangan tapi
lebih dari itu, ia akan tersendat, orang Betawi bilang dengan istilah “
kesungkakan.”
Di antara tuduhan keji yang mereka katakan bahwa: ”
Shalat Tarawih yang
dikerjakan para sahabat dengan 20 rakaat dalilnya lemah dan termasuk Bid’ah
sesat.” Menurut mereka jumlah rakaat shalat Tarawih itu hanya 11 rakaat,
shalat Tarawih yang lebih dari 11 rakaat adalah Bid’ah sesat. Mereka berani
menganggap shalat Tarawih 20 rakaat sebagai hadis lemah dan Bid’ah sesat
beralasan dengan hadis Siti Aisyah yang menurut mereka telah memberikan sinyal
bahwa shalat Tarawih hanya 11 rakaat.”
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي.
Artinya:
Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam (sepanjang
tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Beliau
shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian
beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya.
Kemudian beliau shalat 3 rakaat. Kemudian aku bertanya ”Ya Rasulullah apakah
kamu tidur sebelum shalat Witir”? Kemudian beliau menjawab: ”Aisyah, meskipun
kedua mataku tidur, hatiku tidaklah tidur”.
”Perlu diketahui bahwa hadis Siti Aisyah di atas merupakan hadis yang
menyatakan dalil shalat Witir, bukan dalil shalat Tarawih. Apabila hadis Aisyah
di atas sebagai dalil shalat Tarawih, Maka kita pantas mempertanyakan adakah
shalat Tarawih selain di bulan Ramadhan? dan mengapa Sayidina Umar Ibn Khatthab
dan para sahabat mengerjakan shalat Tarawih dengan 20 rakaat?
Dari perkataan Siti Aisyah : (
فِي رَمَضَانَ
وَلَا فِي غَيْرِهِ ) ”(
Pada bulan Ramadhan dan di
selain Ramadhan), jelas sekali kita dapat memahami bahwa shalat yang Siti
Aisyah lihat adalah shalat malam Rasulullah yang beliau kerjakan sepanjang
tahun baik pada bulan Ramadhan dan di bulan lainnya. Oleh karenanya, sangat
tepat 11 rakaat dalam hadis tersebut adalah dalil shalat Witir, bukan sebagai
dalil shalat Tarawih. Karena shalat Witir ada di bulan Ramadhan dan di bulan
lainnya. Sedangkan shalat Tarawih hanya khusus pada bulan Ramadhan dikerjakan
dengan 2-2 (tiap 2 rakaat salam). Berbeda dengan pelaksanaan shalat Witir yang
boleh dikerjakan lebih dari 2 rakaat pada setiap salamnya.
Namun demikian, menurut para ulama maksud dari 4 rakaat dalam hadis Siti
A’isyah di atas, masih memiliki
ihtimal (kemungkinan) bahwa
Rasulullah melakukannya 4 rakaat dengan 1 salam, bisa juga dipahami 4 rakaat
beliau kerjakan dengan 2 salam yakni 2 rakaat- 2 rakaat. Tetapi bila 4 rakaat
dilakukan dengan cara 2 rakat- 2 rakaat, pendapat inilah yang lebih selamat dan
bisa dipertanggungjawabkan. Sebagaimana ada keterangan hadis shahih yang
mengatakan shalat malam itu dilakukan dengan cara 2 rakaat- 2 rakaat.
Ada kaidah
mengatakan:” [1](
اِذَا ظَهَرَ
اْلاِحْتِمَالُ سَقَطَ اْلاِسْتِدْلاَلُ ) artinya: “
Apabila
terjadi kemungkinan-kemungkinan maka hal itu menyebabkan gugurnya Istidlal
(menjadikan dalil)”. Maksudnya adalah Pendapat yang memahami 4 rakaat
dikerjakan dengan sekali salam itu tidak bisa dijadikan dalil, karena pendapat
itu hanya sebuah kemungkinan. Sesuatu yang mengandung kemungkinan dinyatakan
gugur manakala ada dalil yang lebih jelas. Hadis Nabi yang menyatakan shalat
malam dilakukan dengan 2 rakaat- 2 rakaat sangat cocok untuk mengkompromikan
dan memahami hadis Siti A’isyah tersebut”.
Saya berharap agar kaum muslimin dapat membaca risalah ini secara tuntas. Di
samping itu juga harus banyak mengkaji serta bertanya kepada para ulama yang
memiliki ilmu yang
syamil (menyeluruh). Sehingga tidak
gampang terkecoh dan terprovokasi (terhasut) oleh tulisan-tulisan atau pendapat
sekelompok orang yang menyalahkan
praktek/amaliah yang
selama ini dilakukan oleh masyarakat berdasarkan tuntunan ulama. Shalat Tarawih
20 rakaat dengan 10 salam memiliki dalil yang kuat dan jelas. Jangan terkecoh
dengan pendapat orang yang mengatakan shalat Tarawih hanya 8 rakaat dikerjakan
dengan 4 rakaat-4 rakaat sekali salam dengan berdalil hadis riwayat Siti
Aisyah.
Menurut para ulama, hadis tersebut berbicara tentang dalil shalat Witir
Rasulullah, bukan dalil shalat Tarawih. 11 rakaat adalah jumlah maksimal shalat
Witir. Sedangkan minimal shalat Witir adalah satu rakaat. Betapa batilnya
tuduhan-tuduhan orang yang tidak menyetujui shalat Tarawih 20 rakaat dengan menggunakan
dalil, satu hadis Siti Aisyah yang menerangkan satu paket shalat Witir, mereka
pecah menjadi dua dalil sekaligus, 8 rakaat untuk shalat Tarawih dan 3 rakaat
untuk shalat Witir. Semoga kelompok yang tidak suka dengan shalat Tarawih 20
rakaat dapat merenungkan hal ini.
Saya sangat menyambut baik dan gembira atas terbitnya risalah ini yang
disusun oleh orang yang memiliki ilmu dan menimba ilmu dengan bertemu langsung
kepada para Masyaikh (guru) serta mempunyai kerajinan yang luar biasa dalam
mengumpulkan literatur pembahasan yang ia tekuni. Kajian di dalamnya sangat
dibutuhkan umat yang selalu ingin berjalan di jalan yang benar dalam memahami
shalat Tarawih. Semoga penulis diberikan balasan yang berlanjut atas jerih
payahnya mengukir karya berharga ini, dan mudah-mudahan banyak manfaat
fiddunya
Wal akhirah. Amin.