Sebagian orang awam di masa itu, -juga seperti yang terjadi
di zaman sekarang- yang tidak mengenal persis siapa Ibn Taimiyah terlena dan
terbuai dengan “kebesaran” namanya. Mereka kemudian mengikuti bahkan laksana
“budak” bagi faham-faham yang diusung oleh Ibn Taimiyah ini. Para
ulama di masa itu, di masa hidup Ibn Taimiyah sendiri telah banyak yang
memerangi faham-faham tersebut dan menyatakan bahwa Ibn Taimiyah adalah pembawa
ajaran-ajaran baharu dan ahli bid’ah. Di antara ulama terkemuka yang hidup di
masa Ibn Taimiyah sendiri dan gigih memerangi faham-fahamnya tersebut adalah
al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin ‘Ali ibn ‘Abd al-Kafi as-Subki. Beliau telah
menulis beberapa risalah yang sangat kuat sebagai bantahan atas kesesatan Ibn
Taimiyah. Imam Taqiyyuddin as-Subki adalah ulama terkemuka multi disipliner
yang oleh para ulama lainnya dinyatakan bahwa beliau telah mencapai derajat
mujtahid mutlak, seperti Imam asy-Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah atau
lainnya. Dalam pembukaan salah satu karya bantahan beliau terhadap Ibn
Taimiyah, beliau menuslikan sebagai berikut:
“Sesungguhnya
Ibn Taimiyah telah membuat ajaran-ajaran baru. Ia telah membuat faham-faham
baru dalam masalah pokok-pokok akidah. Ia telah menghancurkan sendi-sendi Islam
dan rukun-rukun keyakinannya. Dalam mempropagandakan faham-fahamnya ini, ia
memakai topeng atas nama mengikut al-Qur’an dan Sunnah. Ia menampakkan diri
sebagai orang yang menyeru kepada kebenaran dan kepada jalan surga.
Sesungguhnya dia bukan seorang yang mengikut kepada kebenaran, tapi dia adalah
seorang yang telah membawa ajaran baru, seorang ahli bid’ah. Ia telah
menyimpang dari mayoritas umat Islam dengan menyalahi berbagai masalah yang
telah menjadi ijma’. Ia telah berkeyakinan pada Dzat Allah yang Maha Suci
sebagai Dzat yang memiliki anggota-anggota badan dan tersusun darinya”[
Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa Allah
adalah benda ia sebutkan dalam banyak tempat dari berbagai karyanya, dan
bahkan membela kesesatan kaum Mujassimah; kaum yang berkeyakinan bahwa Allah
sebagai jism. Pernyataannya ini di antaranya disebutkan dalam Syarh Hadits
an-Nuzul (h. 80), Muwafaqat Sharih al-Ma’qul Li Shahih al-Manqul (j. 1, h. 62,
j. 1, h. 148), Minhaj
as-Sunnah an-Nabawiyyah (j. 1, h. 197, dan j.
1, h. 180), Majmu’
Fatawa[ j.
4, h. 152], dan Bayan Talbis
al-Jahmiyyah.
Di antara ungkapannya yang ia tuliskan dalam Bayan
Talbis al-Jahmiyyah adalah sebagai berikut: “Sesungguhnya tidak ada
penyebutan baik di dalam al-Qur’an, hadits-hadits nabi, maupun pendapat para
ulama Salaf dan para Imam mereka yang menafian tubuh (jism) dari Allah. Juga
tidak ada penyebutan yang menafikan bahwa sifat-sifat Allah bukan sifat-sifat
benda. Dengan demikian mengingkari apa yang telah tetap secara syari’at dan
secara akal; artinya menafikan benda dan sifat-sifat benda dari Allah, adalah
suatu kebodohan dan kesesatan” (Bayan Talbis al-Jahmiyyah, j. 1, h. 101)
Keyakinan Ibn Taimiyah bahwa Allah
berada pada tempat dan bahwa Allah memiliki bentuk dan ukuran dengan sangat
jelas ia sebutkan dalam karya-karyanya sendiri. Di antaranya dalam karyanya
berjudul Muwafaqat Sharih al-Ma’qul, Ibn Taimiyah menuliskan sebagai
berikut:
“Semua manusia,
baik dari orang-orang kafir maupun orang-orang mukmin telah sepakat bahwa Allah
bertempat di langit, dan bahwa Dia diliputi dan dibatasi oleh langit tersebut,
kecuali pendapat al-Marisi dan para pengikutnya yang sesat. Bahkan anak-anak
kecil yang belum mencapai umur baligh apa bila mereka bersedih karena tertimpa
sesuatu maka mereka akan mengangkat tangan ke arah atas berdoa kepada Tuhan
mereka yang berada di langit, tidak kepada apapun selain langit tersebut.
Setiap orang lebih tahu tentang Allah dan tempat-Nya di banding orang-orang
Jahmiyyah”[ Muwafaqat
Sharih al-Ma’qul, j. 2, h. 29-30].
Dalam karyanya berjudul as-Sab’iniyyah, Ibn Taimiyah
menuliskan sebagai berikut:
“Allah berfirman
(Laisa Kamitslihi Syai’) Dia Allah tidak menyerupai suatu apapun) QS.
Asy-Syura: 11, pada ayat ini ia mensucikan diri-Nya bahwa Dia tidak menyerupai
suatu apapun. Kemudian Allah berfirman (Wa Huwa as-Sami’ al-Bashir),
pada ayat ini Dia menyerupakan diri-Nya sendiri dengan makhluk-Nya. Ayat QS.
Asy-Syura; 11 ini adalah ayat yang paling jelas dalam al-Qur’an dalam
menetapkan kesucian Allah dari menyerupai segala makhluk-Nya, namun demikian
Dia tidak lepas dari keserupaan dengan makhluk-nya dalam keberadaan dengan
tempat”[
As-Sab’iniyyah, h. 178].
Dalam Muwafaqat Sharih al-Ma’qul Ibn Taimiyah menuliskan perkataan Abu
Sa’id ad-Darimi dan menyepakatinya, berkata:
“Sesungguhnya
Allah memiliki batasan (bentuk) dan tidak ada yang mengetahui bentuk-Nya
kecuali Dia sendiri. Tidak boleh bagi siapapun untuk membayangkan bahwa bentuk
Allah tersebut adalah sesuatu yang berpenghabisan. Seharusnya ia beriman bahwa
Allah memiliki bentuk, dan cukup ia serahkan pengetahuan tentang itu
kepada-Nya. Demikian pula tempat-Nya memiliki batasan (bentuk), yaitu bahwa Dia
berada di atas ‘arsy di atas seluruh lapisan langit. Maka keduanya ini (Allah
dan tempat-Nya) memiliki bentuk dan batasan”( Muwafaqat Sharih
al-Ma’qul, j. 2, h. 29)
Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa Allah
bersifat dengan duduk sangat jelas ia sebutkan dalam beberapa tempat dari
karya-karyanya, sekalipun hal ini diingkari oleh sebagian para pengikutnya
ketika mereka tahu bahwa hal tersebut adalah keyakinan yang sangat “buruk”. Di
antaranya dalam kitab berjudul Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, Ibn
Taimiyah menuliskan sebagai berikut: “Sesungguhnya mayoritas Ahlussunnah
berkata bahwa Allah turun dari ‘arsy, namun demikian ‘arsy tersebut tidak sunyi
dari-Nya”( Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, j. 1, h. 262)
Dan bahkan lebih jelas lagi ia
sebutkan dalam Majmu’ Fatawa. Ibn Taimiyah berkata: “Para ulama yang
diridlai oleh Allah dan para wali-Nya telah menyatakan bahwa Rasulullah;
Muhammad didudukan oleh Allah di atas ‘arsy bersama-Nya” (Majmu’
Fatawa, j. 4, h. 374).
Keyakinan buruk Ibn Taimiyah ini disamping telah dinyatakan
sendiri dalam karya-karyanya, demikian pula telah disebutkan oleh para ulama
yang semasa dengannya atau para ulama yang datang sesudahnya. Dengan demikian
keyakinan ini bukan sebuah kedustaan belaka, tapi benar adanya sebagai
keyakinan Ibn Taimiyah. Dan oleh karena itu keyakinan inilah di masa sekarang ini yang dipropagandakan
oleh para pengikutnya. Salah seorang ulama terkemuka yang hidup semasa dengan
Ibn Taimiyah; yaitu Al-Imam al-Mufassir Abu Hayyan al-Andalusi dalam kitab
tafsirnya bejudul an-Nahr al-Madd menuliskan sebagai berikut:
“Saya telah membaca dalam sebuah buku
karya Ahmad ibn Taimiyah, seorang yang hidup semasa dengan kami, dengan tulisan
tangannya sendiri, buku berjudul al-‘Arsy, ia berkata: Sesungguhnya Allah duduk
di atas Kursi, dan Dia telah menyisakan tempat dari Kursi tersebut untuk Ia
dudukan nabi Muhammad di sana bersama-Nya. Ibn Taimiyah ini adalah orang yang
pemikirannya dikuasai oleh pemikiran at-Taj Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Abd al-Haqq
al-Barinbri. Bahkan Ibn Taimiyah ini telah menyerukan dan berdakwah kepada
pemikiran orang tersebut, dan mengambil segala pemikirannya darinya. Dan kita telah benar-benar membaca hal tersebut di dalam
bukunya tersebut”( An-Nahr al-Madd,
tafsir ayat al-Kursi).
Klaim Ibn Taimiyah
bahwa apa yang ia tuliskan ini sebagai keyakinan ulama Salaf adalah bohong
besar. Kita tidak
akan menemukan seorang-pun dari para ulama Salaf saleh yang berkeyakinan
tasybih semacam itu. Anda perhatikan pernyataan Ibn Taimiyah di atas, sangat
tidak baik dan tidak konsisten. Di beberapa karyanya ia menyatakan bahwa Allah
duduk di atas ‘arsy, namun dalam karyanya yang lain ia menyebutkan bahwa Allah
duduk di atas kursi. Padahal dalam sebuah hadits shahih telah disebutkan bahwa
besarnya bentuk antara ‘arsy di banding dengan kursi tidak ubahnya
seperti sebuah kerikil kecil di banding padang yang sangat luas. Artinya
bahwa bentuk ‘arsy sangat besar sekali, dan merupakan makhluk Allah yang paling
besar bentuknya. Di mana logikanya, ia mengatakan bahwa Allah duduk di atas
‘arsy, dan pada saat yang sama ia juga mengatakan bahwa Allah duduk di atas
kursi?!
BANTAHAN ATAS KLAIM IBNU TAIMIYAH
Cukup untuk
membantah keyakinan sesat semacam ini dengan mengutip pernyataan al-Imam ‘Ali
ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib; atau yang lebih dikenal dengan nama
al-Imam ‘Ali Zain al-‘Abidin, bahwa beliau berkata: “Maha suci Engkau wahai
Allah, Engakau tidak di dapat diindra, tidak dapat di sentuh, dan tidak dapat
di raba”( al-Hafizh Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf
as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 4, h. 380). Artinya bahwa Allah bukan benda yang berbentuk dan
berukuran.
BUKTI-BUKTI KESESATAN IBNU TAIMINYAH
KATA IBNU
TAIMIYAH, ALLAH ADALAH JISM
قَوْلُهُ:
هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا [المريم: 65] وَنَحْوُ ذَلِكَ فَإِنَّهُ لَايَدُلُّ
عَلَى نَفْيِ الصِّفَاتِ بِوَجْهٍ مِنَ الْوُجُوْهِ بَلْ وَلَا عَلَى نَفْيِ مَا
يُسَمِّيْهِ أَهْلُ الْاِصْطِلاَحِ جِسْمًا بِوُجُوْهٍ مِنَ الْوُجُوْه. اهـ (موافقة
صريح المعقول لصحيح المنقول: 1/62)
Tidak ada
larangan mengatakan Tuhan itu Jisim (jasad atau fisik)
KATA IBNU TAIMIYAH, ALLAH ADA DIATAS
وَالْبَارِي
سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَوْقَ الْعَالَمِ فَوْقِـــيَّةً حَقِيْقِيَّةً لَيْسَتْ
فَوْقِــيَّةَ الرَّتْبَةِ. (بيان تلبيس الجهمية ج 1 / ص 111)
Allah SWT itu
berada diatas alam semesta dalam arti yang sesungguhnya. Bukan diatas yang
berarti tinggi derajat-Nya.
قَالَ
إِبْنُ تَيْمِيَّةِ: وَأَمَّا أَكْثَرُ أَهْلِ الْحَدِيْثِ وَمَنْ وَافَقَهُمْ
فَإِنَّهُمْ لَا يَجْعَلُوْنَ النَّوْعَ (الْعَالَمَ) حَادِثًا بَلْ
قَدِيْمًا.(منهاج السنة النبوية 2/75)
Kata Ibnu
Taimiyah: Mayoritas ahli hadits dan orang yang sependapat dengan mereka itu
tidak mengatakan alam itu baru tetapi Qadim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.