Selasa, 14 Agustus 2012

KESESATAN IBNU TAIMIYAH


Sebagian orang awam di masa itu, -juga seperti yang terjadi di zaman sekarang- yang tidak mengenal persis siapa Ibn Taimiyah terlena dan terbuai dengan “kebesaran” namanya. Mereka kemudian mengikuti bahkan laksana “budak” bagi faham-faham yang diusung oleh Ibn Taimiyah ini. Para ulama di masa itu, di masa hidup Ibn Taimiyah sendiri telah banyak yang memerangi faham-faham tersebut dan menyatakan bahwa Ibn Taimiyah adalah pembawa ajaran-ajaran baharu dan ahli bid’ah. Di antara ulama terkemuka yang hidup di masa Ibn Taimiyah sendiri dan gigih memerangi faham-fahamnya tersebut adalah al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin ‘Ali ibn ‘Abd al-Kafi as-Subki. Beliau telah menulis beberapa risalah yang sangat kuat sebagai bantahan atas kesesatan Ibn Taimiyah. Imam Taqiyyuddin as-Subki adalah ulama terkemuka multi disipliner yang oleh para ulama lainnya dinyatakan bahwa beliau telah mencapai derajat mujtahid mutlak, seperti Imam asy-Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah atau lainnya. Dalam pembukaan salah satu karya bantahan beliau terhadap Ibn Taimiyah, beliau menuslikan sebagai berikut:
“Sesungguhnya Ibn Taimiyah telah membuat ajaran-ajaran baru. Ia telah membuat faham-faham baru dalam masalah pokok-pokok akidah. Ia telah menghancurkan sendi-sendi Islam dan rukun-rukun keyakinannya. Dalam mempropagandakan faham-fahamnya ini, ia memakai topeng atas nama mengikut al-Qur’an dan Sunnah. Ia menampakkan diri sebagai orang yang menyeru kepada kebenaran dan kepada jalan surga. Sesungguhnya dia bukan seorang yang mengikut kepada kebenaran, tapi dia adalah seorang yang telah membawa ajaran baru, seorang ahli bid’ah. Ia telah menyimpang dari mayoritas umat Islam dengan menyalahi berbagai masalah yang telah menjadi ijma’. Ia telah berkeyakinan pada Dzat Allah yang Maha Suci sebagai Dzat yang memiliki anggota-anggota badan dan tersusun darinya”[
Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa Allah adalah benda ia sebutkan dalam banyak tempat dari berbagai karyanya, dan bahkan membela kesesatan kaum Mujassimah; kaum yang berkeyakinan bahwa Allah sebagai jism. Pernyataannya ini di antaranya disebutkan dalam Syarh Hadits an-Nuzul (h. 80), Muwafaqat Sharih al-Ma’qul Li Shahih al-Manqul (j. 1, h. 62, j. 1, h. 148), Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah (j. 1, h. 197, dan j. 1, h. 180), Majmu’ Fatawa[ j. 4, h. 152], dan Bayan Talbis al-Jahmiyyah.
 Di antara ungkapannya yang ia tuliskan dalam Bayan Talbis al-Jahmiyyah adalah sebagai berikut: “Sesungguhnya tidak ada penyebutan baik di dalam al-Qur’an, hadits-hadits nabi, maupun pendapat para ulama Salaf dan para Imam mereka yang menafian tubuh (jism) dari Allah. Juga tidak ada penyebutan yang menafikan bahwa sifat-sifat Allah bukan sifat-sifat benda. Dengan demikian mengingkari apa yang telah tetap secara syari’at dan secara akal; artinya menafikan benda dan sifat-sifat benda dari Allah, adalah suatu kebodohan dan kesesatan” (Bayan Talbis al-Jahmiyyah, j. 1, h. 101)
Keyakinan Ibn Taimiyah bahwa Allah berada pada tempat dan bahwa Allah memiliki bentuk dan ukuran dengan sangat jelas ia sebutkan dalam karya-karyanya sendiri. Di antaranya dalam karyanya berjudul Muwafaqat Sharih al-Ma’qul, Ibn Taimiyah menuliskan sebagai berikut:
“Semua manusia, baik dari orang-orang kafir maupun orang-orang mukmin telah sepakat bahwa Allah bertempat di langit, dan bahwa Dia diliputi dan dibatasi oleh langit tersebut, kecuali pendapat al-Marisi dan para pengikutnya yang sesat. Bahkan anak-anak kecil yang belum mencapai umur baligh apa bila mereka bersedih karena tertimpa sesuatu maka mereka akan mengangkat tangan ke arah atas berdoa kepada Tuhan mereka yang berada di langit, tidak kepada apapun selain langit tersebut. Setiap orang lebih tahu tentang Allah dan tempat-Nya di banding orang-orang Jahmiyyah”[ Muwafaqat Sharih al-Ma’qul, j. 2, h. 29-30].
Dalam karyanya berjudul as-Sab’iniyyah, Ibn Taimiyah menuliskan sebagai berikut:
“Allah berfirman (Laisa Kamitslihi Syai’) Dia Allah tidak menyerupai suatu apapun) QS. Asy-Syura: 11, pada ayat ini ia mensucikan diri-Nya bahwa Dia tidak menyerupai suatu apapun. Kemudian Allah berfirman (Wa Huwa as-Sami’ al-Bashir), pada ayat ini Dia menyerupakan diri-Nya sendiri dengan makhluk-Nya. Ayat QS. Asy-Syura; 11 ini adalah ayat yang paling jelas dalam al-Qur’an dalam menetapkan kesucian Allah dari menyerupai segala makhluk-Nya, namun demikian Dia tidak lepas dari keserupaan dengan makhluk-nya dalam keberadaan dengan tempat”[ As-Sab’iniyyah, h. 178].
            Dalam Muwafaqat Sharih al-Ma’qul Ibn Taimiyah menuliskan perkataan Abu Sa’id ad-Darimi dan menyepakatinya, berkata:
“Sesungguhnya Allah memiliki batasan (bentuk) dan tidak ada yang mengetahui bentuk-Nya kecuali Dia sendiri. Tidak boleh bagi siapapun untuk membayangkan bahwa bentuk Allah tersebut adalah sesuatu yang berpenghabisan. Seharusnya ia beriman bahwa Allah memiliki bentuk, dan cukup ia serahkan pengetahuan tentang itu kepada-Nya. Demikian pula tempat-Nya memiliki batasan (bentuk), yaitu bahwa Dia berada di atas ‘arsy di atas seluruh lapisan langit. Maka keduanya ini (Allah dan tempat-Nya) memiliki bentuk dan batasan”( Muwafaqat Sharih al-Ma’qul, j. 2, h. 29)

Pernyataan Ibn Taimiyah bahwa Allah bersifat dengan duduk sangat jelas ia sebutkan dalam beberapa tempat dari karya-karyanya, sekalipun hal ini diingkari oleh sebagian para pengikutnya ketika mereka tahu bahwa hal tersebut adalah keyakinan yang sangat “buruk”. Di antaranya dalam kitab berjudul Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, Ibn Taimiyah menuliskan sebagai berikut: “Sesungguhnya mayoritas Ahlussunnah berkata bahwa Allah turun dari ‘arsy, namun demikian ‘arsy tersebut tidak sunyi dari-Nya”( Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, j. 1, h. 262)
Dan bahkan lebih jelas lagi ia sebutkan dalam Majmu’ Fatawa. Ibn Taimiyah berkata: “Para ulama yang diridlai oleh Allah dan para wali-Nya telah menyatakan bahwa Rasulullah; Muhammad didudukan oleh Allah di atas ‘arsy bersama-Nya” (Majmu’ Fatawa, j. 4, h. 374).
Keyakinan buruk Ibn Taimiyah ini disamping telah dinyatakan sendiri dalam karya-karyanya, demikian pula telah disebutkan oleh para ulama yang semasa dengannya atau para ulama yang datang sesudahnya. Dengan demikian keyakinan ini bukan sebuah kedustaan belaka, tapi benar adanya sebagai keyakinan Ibn Taimiyah. Dan oleh karena itu keyakinan inilah di masa sekarang ini yang dipropagandakan oleh para pengikutnya. Salah seorang ulama terkemuka yang hidup semasa dengan Ibn Taimiyah; yaitu Al-Imam al-Mufassir Abu Hayyan al-Andalusi dalam kitab tafsirnya bejudul an-Nahr al-Madd menuliskan sebagai berikut:
“Saya telah membaca dalam sebuah buku karya Ahmad ibn Taimiyah, seorang yang hidup semasa dengan kami, dengan tulisan tangannya sendiri, buku berjudul al-‘Arsy, ia berkata: Sesungguhnya Allah duduk di atas Kursi, dan Dia telah menyisakan tempat dari Kursi tersebut untuk Ia dudukan nabi Muhammad di sana bersama-Nya. Ibn Taimiyah ini adalah orang yang pemikirannya dikuasai oleh pemikiran at-Taj Muhammad ibn ‘Ali ibn ‘Abd al-Haqq al-Barinbri. Bahkan Ibn Taimiyah ini telah menyerukan dan berdakwah kepada pemikiran orang tersebut, dan mengambil segala pemikirannya darinya. Dan kita telah benar-benar membaca hal tersebut di dalam bukunya tersebut”( An-Nahr al-Madd, tafsir ayat al-Kursi).
 Klaim Ibn Taimiyah bahwa apa yang ia tuliskan ini sebagai keyakinan ulama Salaf adalah bohong besar. Kita tidak akan menemukan seorang-pun dari para ulama Salaf saleh yang berkeyakinan tasybih semacam itu. Anda perhatikan pernyataan Ibn Taimiyah di atas, sangat tidak baik dan tidak konsisten. Di beberapa karyanya ia menyatakan bahwa Allah duduk di atas ‘arsy, namun dalam karyanya yang lain ia menyebutkan bahwa Allah duduk di atas kursi. Padahal dalam sebuah hadits shahih telah disebutkan bahwa besarnya bentuk antara ‘arsy di banding dengan kursi tidak ubahnya seperti  sebuah kerikil kecil di banding padang yang sangat luas. Artinya bahwa bentuk ‘arsy sangat besar sekali, dan merupakan makhluk Allah yang paling besar bentuknya. Di mana logikanya, ia mengatakan bahwa Allah duduk di atas ‘arsy, dan pada saat yang sama ia juga mengatakan bahwa Allah duduk di atas kursi?!

BANTAHAN ATAS KLAIM IBNU TAIMIYAH
Cukup untuk membantah keyakinan sesat semacam ini dengan mengutip pernyataan al-Imam ‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib; atau yang lebih dikenal dengan nama al-Imam ‘Ali Zain al-‘Abidin, bahwa beliau berkata: “Maha suci Engkau wahai Allah, Engakau tidak di dapat diindra, tidak dapat di sentuh, dan tidak dapat di raba”( al-Hafizh Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 4, h. 380). Artinya bahwa Allah bukan benda yang berbentuk dan berukuran.

 BUKTI-BUKTI KESESATAN IBNU TAIMINYAH
KATA IBNU TAIMIYAH, ALLAH ADALAH JISM
قَوْلُهُ: هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا [المريم: 65] وَنَحْوُ ذَلِكَ فَإِنَّهُ لَايَدُلُّ عَلَى نَفْيِ الصِّفَاتِ بِوَجْهٍ مِنَ الْوُجُوْهِ بَلْ وَلَا عَلَى نَفْيِ مَا يُسَمِّيْهِ أَهْلُ الْاِصْطِلاَحِ جِسْمًا بِوُجُوْهٍ مِنَ الْوُجُوْه. اهـ (موافقة صريح المعقول لصحيح المنقول: 1/62)
Tidak ada larangan mengatakan Tuhan itu Jisim (jasad atau fisik)
KATA IBNU TAIMIYAH, ALLAH ADA DIATAS

وَالْبَارِي سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَوْقَ الْعَالَمِ فَوْقِـــيَّةً حَقِيْقِيَّةً لَيْسَتْ فَوْقِــيَّةَ الرَّتْبَةِ. (بيان تلبيس الجهمية ج 1 / ص 111)
Allah SWT itu berada diatas alam semesta dalam arti yang sesungguhnya. Bukan diatas yang berarti tinggi derajat-Nya.
قَالَ إِبْنُ تَيْمِيَّةِ: وَأَمَّا أَكْثَرُ أَهْلِ الْحَدِيْثِ وَمَنْ وَافَقَهُمْ فَإِنَّهُمْ لَا يَجْعَلُوْنَ النَّوْعَ (الْعَالَمَ) حَادِثًا بَلْ قَدِيْمًا.(منهاج السنة النبوية 2/75)
Kata Ibnu Taimiyah: Mayoritas ahli hadits dan orang yang sependapat dengan mereka itu tidak mengatakan alam itu baru tetapi Qadim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.