oleh 'Rizki Zulqornain Al-MuafahPara ulama besar di Tanah betawi menolak shalat tarawih yang dikerjakan dengan cara 4 rakaat sekali salam. sebut saja Allah Yarhamuh Hadrotus syaikh K.H Muhammad Syafii Hadzami Mufti Betawi abad 21 mengatakan:
Tidak dikenal ikhtilaf (perbedaan) antara Imam-Imam mujtahidin yang empat hal bilangan atau jumlah rakaat Qiyam Ramadhan (Shalat Tarawih) melainkan sebagai berikut :
1) 20 rakaat menurut mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad Ibn Hambal.
2) 36 rakaat merupakan salah satu riwayat Imam Malik bagi penduduk Madinah.
Syaikh Abdul Wahhab al-Sya’râniy pun menyebutkan hal ini dalam kitab al-Mîzân al-Kubrâsebagai berikut:
وَمِنْ ذَلِكَ قَوْلُ أَبِي حَنِيْفَةَ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ اَنَّ صَلاَةَ التَّرَاوِيْحَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً وَاِنَّهَا فِي الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مَعَ قَوْلِ مَالِكٍ فِي اِحْدَى الرِّوَايَاتِ عَنْهُ اِنَها سِتَّةٌ وَثَلاَثُوْنَ رَكْعَةً (الميزان الكبرى ج 1 ص : 185 دار الفكر د ت)
Artinya: Sebagian dari yang demikian adalah Qaul Imam Abi Hanifah, Imam Syafii dan Imam Ahmad bahwa Shalat Tarawih di dalam Bulan Ramadhan adalah 20 rakaat dan sesungguhnya berjamaah itu lebih utama disertai Qaul Imam Malik dalam satu riwayat darinya adalah 36 rakaat.
Kaifiyyah 20 rakaat yaitu dikerjakan dengan sepuluh salam dan memberi salam pada tiap dua rakaat. Kata Imam Nawawi dalam kitab Rawdhah” jika seseorang bersembahyang Tarawih 4 rakaat dengan satu salam niscaya tidak sah, karena menyalahi yang disyariatkan. (K.H Muhammad Syafii Hadzami,Risalah Shalat Tarawih, h. 6. )
*****Syaikh Abuya K.H Abdurrahman Nawi pendiri Pondok Pesantren al-Awwabin Depok menegaskan:
Shalat Tarawih hukumnya Sunah muakkadah. Bilangan rakaatnya yaitu:
1) Bagi kita 20 rakaat (ijma’ para sahabat).
2) Bagi Ahli Madinah 36 rakaat.
Waktunya Ba’da Shalat Isya hingga fajar shodiq.
Perhatian!!!
1) Dilakukan dengan 10 salam.
2) Tidak sah dilakukan 4 rakaat satu salam.
3) Sunah dijamaahkan. (K.H Abdurrahman Nawi Tebet, Kitab 7 Kaifiyyat Shalat sunah, h. 11)
***** Syaikh Abuya K.H Saifuddin Amsir pendiri pondok pesantren al-Asyirah al-Qur'aniyyah Jakarta memberikan komentar:
Banyak orang mengerjakan shalat Tarawih dengan cara 4 rakaat sekali salam, 4 rakaat sekali salam, dengan dalil hadis Siti Aisyah sebagai berikut:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي.
Artinya: Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam (sepanjang tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat. Kemudian aku bertanya ”Ya Rasulullah apakah kamu tidur sebelum shalat Witir”? Kemudian beliau menjawab: ”Aisyah, meskipun kedua mataku tidur, hatiku tidaklah tidur”.
Hadis yang dijadikan dalil, bukan hadis tentang shalat Tarawih, hadis tersebut adalah hadis pada pekerjaan shalat malam Rasulullah pada umumnya, yakni shalat Witir. Karenanya para Fuqaha (ahli Fiqh) tidak menyetujui untuk menjadikan hadis tersebut sebagai dalil shalat Tarawih. Dengan alasan shalat Tarawih merupakan ibadah khusus yang hanya dilakukan pada bulan Ramadhan, dan jumlah bilangan shalat Tarawih 20 rakaat ditambah shalat Witir 3 rakaat, telah disosialisasikan oleh para sahabat, dalam hal ini adalah Sayidina Umar Ibn Khatthab yang disepakati dan disetujui oleh para sahabat lainnya. Lantaran pada umumnya para Imam tidak mempunyai kemampuan untuk mengingkari apa yang menjadi perintah Rasulullah:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ فَتَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Artinya; Hendaklah kalian ikuti sunahku dan sunah para Khalifah yang mendapat petunjuk setelahku, peganglah dengan kuat dan gigitlah olehmu dengan geraham ”.[1]
Pelanggaran terhadap yang disepakati para sahabat merupakan pelanggaran terhadap agama.Sehingga dalam Mazhab Syafii, kalau shalat Tarawih dikerjakan bukan dengan cara 2 rakaat, 2 rakaat, shalat Tarawih tersebut dipandang batal/tidak sah.
Oleh sebab itu, shalat Qiyam Ramadhan yang lebih populer di kota Makkah, Madinah dan berbagai negara Islam juga tidak berani beranjak dari situ, paling-paling sedikit penambahan dari jumlah rakaat yang dilaksanakan di zaman Sayidina Umar Ibn Khatthab itu 23 rakaat, tetapi orang yang ingin memperbanyak ibadah tidak ada salahnya menambah rakaat. Jadi pada zaman dahulu inisiatif penduduk kota Madinah untuk menambahkan jumlah rakaat, merupakan pengganti tradisi penduduk kota Makkah yang biasanya setelah tiap 4 rakaat (2 salam) mereka melakukan tawaf, karena memang ada Ka’bah di situ. Sedangkan di Madinah tidak terdapat tempat untuk bertawaf, sehingga menjadi kuat dalil bahwa sahabat- sahabat Nabi di Makkah itu bertawaf pada bilangan-bilangan tertentu, yakni setelah 4 rakaat mereka bertawaf.
Hal ini diperkuat dalilnya dengan amaliyah penduduk kota Madinah, khususnya pada pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz yang menambahkan jumlah rakaat shalat Tarawih menjadi 36 rakaat di luar shalat Witir. Hal ini bukan dalil yang mengatakan khilaf-khilafnya, tetapi justru memperkuat bahwa itulah yang terjadi di zaman para sahabat, karena Rasulullah tidak membatasi jumlah rakaat shalat Tarawih, para sahabat yang lebih mengatur itu dan memiliki concern (perhatian) terhadap hal tersebut.
Untuk mencegah terjadinya kekacauan yang berkepanjangan di dunia Islam, Sayidina Umar Ibn Khatthab memikirkan jumlah-jumlah rakaat shalat sunah yang dilakukan Rasulullah, jadi hal tersebut sudah dipikirkan oleh Sayidina Umar Ibn Khatthab secara Taftisy (matang dan teliti) dengan ketepatan jumlah rakaat yang dilakukan Rasulullah, ketika dihitung hadis-hadis yang membicarakan tentang jumlah rakaat shalat sunah Rasulullah, ketika digabung-gabung, tepat 20 rakaat, dari keterangan hadis yang zhahir-zhahir.
Apa yang dilakukan oleh Sayidina Umar Ibn Khatthab tidak beranjak dari apa yang dikerjakan Rasulullah. Hal ini menjadi sunah sahabat. Sunah sahabat tidak boleh dianggap remeh, ulama berpendapat seperti itu. Kalau sunah sahabat mulai dikorbankan untuk perasaan, maka lambat laun apa saja bisa dikorbankan. Ini yang menyebabkan shalat Tarawih yang dilakukan sebanyak 20 rakaat dilakukan dengan 2 rakaat, 2 rakaat, 2 rakaat dan seterusnya ditutup dengan shalat Witir 3 rakaat dapat berusia panjang dan sampai saat ini masih dilaksanakan.
Dalam kitab (التراويح أكثر من ألف عام في مسجد النبي عليه الصلاة والسلام ) karya Syaikh Athiyyah Muhammad Salim, seorang Qadhi Mahkamah Syariah, ahli hadis dan pakar fiqh di Madinah; Saudi Arabia, juga merupakan salah seorang murid utama seorang raksasa ilmu di zamannya yaitu Syaikh Muhammad al-Amin Ibn Muhammad Mukhtar al-Syinqithiy (w. 1393 H). Syaikh Athiyyah Muhammad Salim, memiliki perhatian khusus tentang dalil shalat Tarawih. Hal ini harus diperhatikan, sebab sekarang orang tidak lagi mau mentahqiq (mengkaji ulang) soal dalil, orang sudah begitu sibuk dengan berbagai kesibukan. Jadi, di luar kota Makkah ada juga yang mengerjakan shalat Tarawih 11 rakaat, dengan alasan, itulah hadis yang zhahir dari Rasulullah. Hanya saja, hal ini akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana mengikuti para sahabat Rasulullah yang sebenarnya.
Karena jika shalat Tarawih 11 rakaat yang paling benar, tentunya 3 abad setelah Rasulullah, shalat Tarawih 11 rakaat dengan berjamaah itu sudah menjadi populer. Padahal kenyataannya shalat 11 rakaat populer baru belakangan ini. Shalat Tarawih 20 rakaat yang lebih populer, setelah Sayidina Umar Ibn Khattab wafat, Sayidina Usman melanjutkan shalat Tarawih 20 rakaat, demikian pula dengan Sayidina Ali, mengerjakan shalat Tarawih seperti yang disepakati oleh para sahabat dan tidak ada riwayat yang zhahir yang menyatakan bahwa Sayidina Ali menentang shalat Tarawih 20 rakaat. Ini yang menyebabkan shalat Tarawih 20 rakaat tetap bertahan. Dalam sekian banyak riwayat, kita temukan riwayat yang menjelaskan tambahan rakaat shalat Tarawih dari 20 rakaat, tetapi kita tidak menemukan riwayat shalat Tarawih yang kurang dari 20 rakaat. Kalaupun ada akan mengkhilafkan mayoritas umat Islam yang begitu banyaknya.
Menurut Mazhab Syafii shalat Tarawih yang dikerjakan dengan cara 4 rakaat sekali salam hukumnya dikatakan tidak sah dengan beberapa alasan. Tetapi yang jelas alasan-alasan tersebut merupakan ittiba’ (mengikuti) kepada Rasulullah dan para sahabat yang tidak boleh diganggu oleh kreasi baru, jika ada kreasi baru, maka kreasi tersebut tidak akan jelas namanya. Karena istilah Tarawih telah jelas kita pahami, seperti yang kita ketahui saat ini, Tarawih adalah shalat sunah yang hanya ada pada bulan Ramadhan dikerjakan dengan 20 rakaat terdiri dari 10 salam, dikerjakan dengan salam pada tiap 2 rakaatnya dan tiap 4 rakaat disebut 1 tarwihah (istirahat).
Penduduk Makkah mengerjakan tawaf pada tiap selesai satu tarwihah. Pelaksanaannya di awal malam disertai adanya pendapat mengerjakan shalat Tarawih di akhir malam itu lebih utama. Jadi, penamaan akan membentuk satu istilah, kalau sudah ada istilah, maka definisinya akan menjadi jelas, karenanya orang yang mengerjakan shalat 4 rakaat dengan sekali salam dengan niat shalat Tarawih, maka hukum shalat Tarawihnya tidak sah. Jika shalat tersebut tidak dinamakan shalat Tarawih, maka sah-sah saja dilakukan.
Apa yang dilafazkan dan dikerjakan oleh Rasulullah seharusnya dijadikan pilihan terbaik. Hadis ( صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ) bukan hadis yang tidak kuat. Sedangkan shalat dengan 4,4,3 cuma merupakan salah satu riwayat dari sekian banyak riwayat shalat malam Rasulullah, yang pernah dilihat oleh Siti Aisyah dan hal tersebut dipertimbangkan oleh para ulama, lantaran Siti Aisyah merupakan istri Rasulullah. Jadi, sesuatu yang Rasulullah sebutkan merupakan anjurannya dan keduanya boleh berjalan. Tetapi mayoritas ulama menganggap shalat malam yang dikerjakan dengan cara 2 rakaat-2 rakaat adalah yang lebih baik kita ambil. Karena merupakan anjuran Rasulullah yang didasarkan kepada perkataan dan perbuatan Rasulullah. Sedangkan hadis 4,4,3 hanya berdasarkan perbuatan yang diceritakan oleh Siti Aisyah dalam salah satu riwayatnya.
Untuk memahami kandungan hadis-hadis Rasulullah dengan baik dan benar seseorang bukan hanya dituntut banyak membaca hadis tetapi juga ia harus mendalami fiqhul hadis (pemahaman hadis).
Dalam risalah ini menjelaskan pemaparan tentang perkara-perkara terpenting dalam shalat Tarawih secara sederhana. Dengan demikian risalah ini menjadi tulisan yang dapat dihayati dan sangat layak dibaca oleh siapa saja yang ingin memahami secara benar dan mau menyelamatkan perkara ibadahnya.
Semoga Allah melimpahkan pahala yang besar kepada penyusun risalah ini atas usahanya, mudah-mudahan Allah memperbanyak orang-orang yang mau mengikuti langkah-langkah mulia ini dalam berpegang teguh kepada kebenaran. Amin.
*** Syaikh Maulana Kamal Yusuf guru besar ulama Jakarta menambahkan:
Tuduhan Bid’ah, kufur, musyrik, dan sesat sangat sering dilontarkan oleh sekelompok orang dengan mengatasnamakan Sunnah. Kelompok ini giat menyebarkan buku-buku, selebaran-selebaran, dan kitab-kitab yang berisi tuduhan keji terhadap pelbagai persoalan keagamaan masyarakat seperti: Nisfu Sya’ban, Tahlilan, Haul, merayakan Maulid, Tawassulan, ziarah para wali dan lain-lain. Padahal kalau diteliti secara mendalam, amal ibadah maupun muamalah yang berkembang dan berurat akar dalam tradisi masyarakat itu memiliki landasan kokoh dari al-Qur’an, Hadis dan pendapat para ulama yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Mereka tidak memahami al-Qur’an dan hadis secara syamil (menyeluruh). Pandangan mereka sempit, sehingga mereka gampang mengatakan Musyrik, Kafir, memvonis Bid’ah sesat terhadap praktek/amaliah orang lain yang memiliki dasar dan argumentasi kuat yang juga telah menjadi tradisiAhlussunnah Wal-Jamaah. Rasulullah mengatakan dalam sabdanya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا (رواه البخاري) .
Artinya: ”Sesungguhnya Rasulullah bersabda: Apabila seseorang memanggil saudaranya yang muslim dengan kalimat “Wahai Kafir maka akan kembali kalimat itu kepada salah satu dari keduanya”.
Pernyataan mereka dalam buku-buku atau kitab-kitab yang banyak beredar sangat berbahaya khususnya bila dibaca oleh orang-orang awam. Karena faktor ketidaktahuan, mereka yang awam menerima langsung atau menelan mentah-mentah isi buku/kitab tersebut tanpa mencoba untuk menelaah lebih lanjut isu-isu negatif yang telah disebarkan di dalamnya. Keadaan orang-orang awam ketika itu bagaikan orang yang makan ikan tanpa menyiangi (membersihkan sisik, kotoran dan duri ikan) terlebih dahulu yang menyebabkan dirinya bukan hanya ketulangan tapi lebih dari itu, ia akan tersendat, orang Betawi bilang dengan istilah “kesungkakan.”
Di antara tuduhan keji yang mereka katakan bahwa: ”Shalat Tarawih yang dikerjakan para sahabat dengan 20 rakaat dalilnya lemah dan termasuk Bid’ah sesat.” Menurut mereka jumlah rakaat shalat Tarawih itu hanya 11 rakaat, shalat Tarawih yang lebih dari 11 rakaat adalah Bid’ah sesat. Mereka berani menganggap shalat Tarawih 20 rakaat sebagai hadis lemah dan Bid’ah sesat beralasan dengan hadis Siti Aisyah yang menurut mereka telah memberikan sinyal bahwa shalat Tarawih hanya 11 rakaat.”
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي.
Artinya: Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam (sepanjang tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat. Kemudian aku bertanya ”Ya Rasulullah apakah kamu tidur sebelum shalat Witir”? Kemudian beliau menjawab: ”Aisyah, meskipun kedua mataku tidur, hatiku tidaklah tidur”.
”Perlu diketahui bahwa hadis Siti Aisyah di atas merupakan hadis yang menyatakan dalil shalat Witir, bukan dalil shalat Tarawih. Apabila hadis Aisyah di atas sebagai dalil shalat Tarawih, Maka kita pantas mempertanyakan adakah shalat Tarawih selain di bulan Ramadhan? dan mengapa Sayidina Umar Ibn Khatthab dan para sahabat mengerjakan shalat Tarawih dengan 20 rakaat?
Dari perkataan Siti Aisyah : (فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ ) ”(Pada bulan Ramadhan dan di selain Ramadhan), jelas sekali kita dapat memahami bahwa shalat yang Siti Aisyah lihat adalah shalat malam Rasulullah yang beliau kerjakan sepanjang tahun baik pada bulan Ramadhan dan di bulan lainnya. Oleh karenanya, sangat tepat 11 rakaat dalam hadis tersebut adalah dalil shalat Witir, bukan sebagai dalil shalat Tarawih. Karena shalat Witir ada di bulan Ramadhan dan di bulan lainnya. Sedangkan shalat Tarawih hanya khusus pada bulan Ramadhan dikerjakan dengan 2-2 (tiap 2 rakaat salam). Berbeda dengan pelaksanaan shalat Witir yang boleh dikerjakan lebih dari 2 rakaat pada setiap salamnya.
Namun demikian, menurut para ulama maksud dari 4 rakaat dalam hadis Siti A’isyah di atas, masih memiliki ihtimal (kemungkinan) bahwa Rasulullah melakukannya 4 rakaat dengan 1 salam, bisa juga dipahami 4 rakaat beliau kerjakan dengan 2 salam yakni 2 rakaat- 2 rakaat. Tetapi bila 4 rakaat dilakukan dengan cara 2 rakat- 2 rakaat, pendapat inilah yang lebih selamat dan bisa dipertanggungjawabkan. Sebagaimana ada keterangan hadis shahih yang mengatakan shalat malam itu dilakukan dengan cara 2 rakaat- 2 rakaat.
Ada kaidah mengatakan:” [1]( اِذَا ظَهَرَ اْلاِحْتِمَالُ سَقَطَ اْلاِسْتِدْلاَلُ ) artinya: “Apabila terjadi kemungkinan-kemungkinan maka hal itu menyebabkan gugurnya Istidlal (menjadikan dalil)”. Maksudnya adalah Pendapat yang memahami 4 rakaat dikerjakan dengan sekali salam itu tidak bisa dijadikan dalil, karena pendapat itu hanya sebuah kemungkinan. Sesuatu yang mengandung kemungkinan dinyatakan gugur manakala ada dalil yang lebih jelas. Hadis Nabi yang menyatakan shalat malam dilakukan dengan 2 rakaat- 2 rakaat sangat cocok untuk mengkompromikan dan memahami hadis Siti A’isyah tersebut”.
Saya berharap agar kaum muslimin dapat membaca risalah ini secara tuntas. Di samping itu juga harus banyak mengkaji serta bertanya kepada para ulama yang memiliki ilmu yang syamil (menyeluruh). Sehingga tidak gampang terkecoh dan terprovokasi (terhasut) oleh tulisan-tulisan atau pendapat sekelompok orang yang menyalahkan praktek/amaliah yang selama ini dilakukan oleh masyarakat berdasarkan tuntunan ulama. Shalat Tarawih 20 rakaat dengan 10 salam memiliki dalil yang kuat dan jelas. Jangan terkecoh dengan pendapat orang yang mengatakan shalat Tarawih hanya 8 rakaat dikerjakan dengan 4 rakaat-4 rakaat sekali salam dengan berdalil hadis riwayat Siti Aisyah.
Menurut para ulama, hadis tersebut berbicara tentang dalil shalat Witir Rasulullah, bukan dalil shalat Tarawih. 11 rakaat adalah jumlah maksimal shalat Witir. Sedangkan minimal shalat Witir adalah satu rakaat. Betapa batilnya tuduhan-tuduhan orang yang tidak menyetujui shalat Tarawih 20 rakaat dengan menggunakan dalil, satu hadis Siti Aisyah yang menerangkan satu paket shalat Witir, mereka pecah menjadi dua dalil sekaligus, 8 rakaat untuk shalat Tarawih dan 3 rakaat untuk shalat Witir. Semoga kelompok yang tidak suka dengan shalat Tarawih 20 rakaat dapat merenungkan hal ini.
Saya sangat menyambut baik dan gembira atas terbitnya risalah ini yang disusun oleh orang yang memiliki ilmu dan menimba ilmu dengan bertemu langsung kepada para Masyaikh (guru) serta mempunyai kerajinan yang luar biasa dalam mengumpulkan literatur pembahasan yang ia tekuni. Kajian di dalamnya sangat dibutuhkan umat yang selalu ingin berjalan di jalan yang benar dalam memahami shalat Tarawih. Semoga penulis diberikan balasan yang berlanjut atas jerih payahnya mengukir karya berharga ini, dan mudah-mudahan banyak manfaat fiddunya Wal akhirah. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.