Senin, 20 Agustus 2012

Benarkah tauhid terbagi menjadi tiga (Ala Wahabi)?


Tauhid secara bahasa berarti mengesakan Allah. Konsep tauhid ini adalah satu-satunya konsep ketuhanan yang masuk akal karena akal sehat memang tidak mungkin menerima bila Tuhan ada lebih dari satu. Tauhid adalah fondasi keimanan seorang muslim. Di atasnya semua bangunan agama Islam dibangun. Beberapa orang getol menyerukan bahwa tauhid itu terbagi menjadi tiga level, yakni Tauhid Rubūbiyah, Tauhid Ulūhiyah dan Tauhid Asmā’ wa al-Shifāt. Pembagian ini mengikuti konsep yang digagas oleh Ibnu Taymiyah al-Harrani dalam kitabnya semisal Jāmi’ al-Rasā’il.
Menurut mereka, yang dimaksud dengan Tauhid Rubūbiyah adalah seperti tauhidnya kaum musyrik Arab; mengakui bahwa Allah adalah Tuhan alam semesta, tetapi juga melakukan penyembahan terhadap oknum lain. Menurut ide ini, orang musyrik Arab dahulu telah bertauhid, tapi masih dalam level Rubūbiyah. Begitu juga orang muslim yang telah beriman pada Allah tetapi masih melakukan tawasul dan istighatsah (minta tolong) pada wali yang telah wafat, maka tauhidnya dianggap masih dalam level ini karena menurut mereka kedua hal itu adalah perbuatan syirik (menyekutukan Allah).
Sedangkan Tauhid Ulūhiyah menurut mereka adalah tauhid yang sebenarnya di mana seorang mukmin mengakui ketuhanan Allah dan menyatukan ibadah hanya pada-Nya. Adapun Tauhid Asmā’ wa al-Shifāt dimaksudkan untuk menegaskan bahwa seorang mukmin harus beriman penuh pada seluruh sifat Allah apa adanya tanpa adanya takwil (penyesuaian arti). Jadi menurut mereka, bila dalam al-Qur’an disebut kata “Tangan Allah”, “Allah bersemayam” dan sebagainya berarti harus dipahami secara harfiah bahwa Allah benar-benar punya tangan dan Dia bersemayam (duduk) di atas singgasana-Nya, bukan dalam arti Allah berkuasa.
Menurut para ulama Ahlus Sunnah, konsep tauhid seperti ini sebenarnya sangat tidak tepat karena banyak alasan; Dari sudut pandang sejarah, Allah dan Rasulullah tidak pernah membagi tauhid menjadi beberapa tingkat, tidak juga pernah menyebut orang musyrik yang bagaimanapun sebagai orang yang bertauhid atau sebaliknya menyebut orang muslim yang dalam hatinya hanya menyembah Allah sebagai orang yang musyrik, meskipun dia bertawasul dan beristighatsah. (Kebolehan tawasul dan istighatsah insya Allah akan dibahas secara khusus dalam edisi lain). Selain itu dari sudut pandang bahasa atau peristilahan al-Qur’an dan hadis, kata rabb dan ilāh adalah hal yang sama, keduanya bermakna Tuhan sehingga tidak benar bila keduanya dibedakan artinya.
Adapun dari sudut pandang dalil al-Qur’an, konsep tauhid terbagi tiga itu juga lemah karena dalam banyak ayat, Allah telah menegaskan bahwa kaum musyrik itu tidak bertauhid di antaranya dalam ayat-ayat berikut:
  1. Kaum musyrik mengangkat sekutu yang setara dengan Allah. Mereka berkata:
أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ  [ص: 5]
Apakah dia hendak menjadikan Tuhan sebagai Tuhan yang satu saja? Sungguh ini hal yang mengherankan. (QS. Shād: 5)
  1. Kaum musyrik menyamakan sekutu mereka dengan Allah. Mereka berkata:
تَاللَّهِ إِنْ كُنَّا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ  [الشعراء: 97-98]
Demi Allah kami benar-benar dalam kesesatan yang nyata karena kami menyamakan kalian (para berhala) dengan Tuhan alam semesta. (QS. al-Syu’arā’: 97-98)
  1. Kaum musyrik meyakini bahwa sekutu mereka itu dapat menjadi penolong di dunia dan akhirat nanti tanpa perlu restu dari Allah.
وَمَا نَرَى مَعَكُمْ شُفَعَاءَكُمُ الَّذِينَ زَعَمْتُمْ أَنَّهُمْ فِيكُمْ شُرَكَاءُ [الأنعام: 94]
Aku tiada melihat besertamu pembela yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. (QS. al-An’ām: 94)
  1. Kaum musyrik menyembah oknum-oknum yang dianggap sekutu Allah tersebut.
فَلَا تَكُ فِي مِرْيَةٍ مِمَّا يَعْبُدُ هَؤُلَاءِ مَا يَعْبُدُونَ إِلَّا كَمَا يَعْبُدُ آبَاؤُهُمْ مِنْ قَبْلُ [هود: 109]
Maka janganlah kamu berada dalam keragu-raguan tentang apa yang disembah oleh mereka (bahwa itu sesat). Mereka tidak menyembah melainkan sebagaimana nenek moyang mereka menyembah dahulu. (QS. Hud: 109)
  1. Kaum musyrik memberikan sesajen pada oknum yang mereka anggap sekutu Allah.
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا [الأنعام: 136]
Mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”. (QS. al-An’ām: 136)
Kelima hal ini menjadi bukti bahwa kaum musyrik sama sekali tidak bertauhid dalam level apapun karena memang tauhid itu tidak bertingkat-tingkat. Tauhid adalah lawan dari syirik (menyekutukan Allah) yang berarti bila seseorang telah bertauhid, maka dia bukan orang musyrik dan sebaliknya bila dia melakukan perbuatan syirik, maka dia tidak bertauhid.
Kelima hal tersebut sama sekali tidak terdapat dalam jiwa dan perbuatan orang mukmin yang paham akan ajaran agamanya. Tidak ada alasan untuk menyebut orang mukmin sebagai masih musyrik atau masih berada dalam level Tauhid Rubūbiyah saja hanya karena dia bertawasul atau meminta tolong agar didoakan pada Rasul atau para wali yang telah tiada.
Selain itu, yang mereka sebut dengan Tauhid Asmā’ wa al-Shifāt yang mengharamkan melakukan takwil (penyesuaian arti) terhadap sifat-sifat Allah yang disebut dalam al-Qur’an dan hadis adalah sesuatu yang terlalu dipaksakan karena memang ada sifat Allah yang tidak mungkin dipahami kecuali bila maknanya ditakwil (disesuaikan dengan arti yang lebih pas). Contohnya:
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ [القصص: 88]
Segala sesuatu akan sirna kecuali Dia.
Seandainya ayat itu tidak di takwil, maka artinya “segala sesuatu akan sirna kecuali wajah Allah” yang berarti tangan Allah dan anggota tubuh lainnya akan sirna dan yang tersisa hanya wajah-Nya saja. Sungguh ini makna yang tidak masuk akal karena Allah tidak mempunyai bentuk fisik seperti makhluk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.