Senin, 29 Agustus 2011

Islam Atau Nasionalisme? (Kritik Terhadap Hizbut Tahrir)

Oleh Ahmad Hadidul Fahmi (Koordinator Lakpesdam Mesir)
Hizbut Tahrir secara sosio-historis merupakan aksi yang timbul dari nasionalisme Palestina yang terus menerus ‘dibombardir’ oleh Israel. Inklinasi nasionalisme al-Nabhani terlihat jelas dalam buku pertamanya yang bertajuk Risalat al-Arab. Akan tetapi aksi mereka kemudian beralih ke level yang lebih tinggi; mendirikan Negara Islam. Runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani (1924), juga salah satu faktor yang tidak bisa diabaikan yang mengilhami ambisi HT untuk mempersatukan umat dalam satu kesadaran; kesadaran Islam. Pada hakikatnya, ‘satu kesadaran’ merupakan orientasi semua sekte yang ada dalam Islam sekarang. Akan tetapi piranti yang digunakan berbeda-beda, tergantung dari paradigma apa suatu sekte berpijak. Selain itu, eksistensi adanya ‘negara-negara kecil’ (duwailat) sekarang, tampaknya juga harus dijadikan pertimbangan tersendiri.
Pemerintah Islam pada masa Nabi dan shahabat adalah pemerintahan yang tidak mungkin terulang kembali. Islam adalah agama yang diimani oleh orang Arab dan membawa ajaran-ajaran yang tidak pernah mereka jumpai sebelumnya. Dengan kualitas orang yang juga berbeda dengan masa sekarang, mereka mampu ‘mendongkrak’ ke atas dan melakukan ekspansi ke daerah-daerah lain atas nama Islam. Akan tetapi, kenapa Islam sekarang tidak mampu mempersatukan umat Islam dalam satu kesadaran sebagaimana yang terjadi pada zaman Rasul dan Shahabat? Bahkan antara Negara yang mayoritas umat Islam terjadi peperangan yang tak kunjung reda sampai sekarang.
Hal paling fundamental yang bisa diungkapkan di sini adalah Islam dengan aplikasi yang maksimal pada masa Nabi masih menyisakan celah-celah fanatisme kabilah yang potensial menimbulkan perseteruan dan perpecahan. Fungsi kabilah pada saat itu tidak kompleks sebagaimana fungsi Negara pada saat ini. Bahkan sangat sederhana. Selain itu, ketika menjadikan Islam sebagai pemersatu umat, kecenderungan ikatan atas dasar Islam sendiri bertingkat; kita mengetahui bersama bahwa rasa kebersamaan Muhajirin lebih kuat dibanding Anshar karena Muhajirin secara langsung berhadapan dan bahkan mendapat siksaan bertubi-tubi dari kaum Musyrik Mekah.
Berlanjutnya fanatisme kabilah dalam Islam jelas terlihat ketika Khazraj perannya lebih besar di perang Badar dari pada Aus, sebab Khazraj memandang paman ayah Nabi berasal dari Bani Najjar. Dan Bani Najjar adalah salah satu kelompok Khazraj. Dalam Tarikh Thabari disebutkan, pada saat peristiwa Musailamah yang mengaku Nabi, Thalhah al-Numairi mengatakan pada Musailamah, “Saya bersaksi bahwa kamu bohong. Akan tetapi bohongnya Rabi’ah (nama kabilah), lebih saya suka dari pada jujurnya Mudlar”. Artinya, Thalhah mengetahui bahwa Islam adalah agama yang benar, akan tetapi ia merasa tak rela ketika harus bersama Quraisy dan orang Islam yang lain memerangi Musailamah yang berasal kabilahnya.
Fanatisme yang tidak berpayung Islam juga berlanjut ke masa Dinasti Umawiyyah. Sejarah mencatat bahwa pemerintahan Umawi memperlihatkan rasa bangga yang berlebihan dengan ras Arab dan terlalu membedakan Arab dengan yang lain. Fanatisme kabilah juga masih cukup kental di sini. Kita melihat perseteruan antara Mudlar dan Yaman yang mengakibatkan revolusi pada masa al-Walid bin Zaid bin Abd al-Malik.
Arti ini semua adalah, ikatan Islam memperlihatkan hasil maksimal hanya pada masa Nabi. Oleh karena itu, apabila Hizbut Tahrir hendak menyatukan umat Islam dalam satu payung agama, mereka harus mengetengahkan konsep yang matang serta realistis. Kemustahilan tersebut lagi-lagi datang dari sikap aktivis Hizbut Tahrir sendiri yang sangat mudah sekali menyumpah golongan lain dengan kafir. Tentu saja agenda mereka lebih akan jadi ilusi semata. Pluralitas fikih, pendapat, paradigma, sama sekali tak mendapat tempat dalam Partai ini. Selain itu, kita bahkan sampai sekarang tak mendapat informasi lebih perihal kelompok reformis Hizbut Tahrir dari sumber-sumber primer mereka. Ataukah karena Hizbut Tahrir sendiri enggan disebut gagal dengan agendanya tersebut?
Kritik Teori Hakimiyyah
Khalil Abdul Karim menegaskan dalam bukunya li Thatbiq al-Syari’ah, la li al-Hukm, bahwasanya maraknya radikalisme, asumsi kafirnya pemerintah serta tuduhan terhadap umat Islam sebagai masyarakat Jahiliyyah, setidaknya kembali pada dua sebab; teori ‘hakimiyyah’ yang dipopulerkan oleh Sayyid Quthb yang diadopsi dari Abu al-A’la al-Mawdudi, seterusnya menjadi parameter dalam menilai kepemimpinan yang tidak berasal dari Islam; kedua, siksaan yang ditujukan pada kelompok radikalis yang berakhir dengan hukuman mati Sayyid Quthb.
Bertolak dari premis ini, aktivis Hizbut Tahrir menjadikan teori tersebut sebagai legitimasi menuduh praktek kepemimpinan saat ini atau yang tidak bersumber dari Nabi dengan predikat kafir. Predikat tersebut sekaligus dijadikan dalih untuk menggusur mereka dari tampuk kekuasaan karena tidak sesuai dengan Islam. Imbasnya juga, Hizbut Tahrir mengatakan bahwa demokrasi merupakan sistem kufur karena penganut demokrasi mengingkari kedaulatan Tuhan (al-hukm lillah). Demokrasi—sebagaimana dituliskan oleh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya al-Dimuqrathiyyah Nidzam Kufr—adalah produk Barat yang sumber hukumnya bersandar pada rakyat dan didasarkan pada suara mayoritas.
Pada hakekatnya, perkataan kedaulatan ada di tangan Tuhan—sebagaimana disebutkan oleh Yusuf Qardlawi dalam bukunya al-Din wa al-Siyasah–tidak bertentangan sama sekali dengan demokrasi. Sebab, adanya ungkapan kedaulatan rakyat bukan hendak menegasi kedaulatan Tuhan. Akan tetapi sebuah sikap oposisi terhadap pemerintahan diktator. Implikasi yang tepat dari teori Hakimiyyah milik Al-Mawdudi ini, hendak menyerabut legalitas ijtihad di semua masa. Penempatan yang tidak tepat dari teori Hakimiyyah sangat mirip dengan sikap Khawarij; kalimat tersebut pada hakikatnya benar, akan tetapi aplikasinya tidak tepat. Untuk melihat pluralitas interpretasi makna ‘Hakimiyyah’ ini, mari kita simak penjelasan Syaikh Ali Jum’ah, Mufti Agung Mesir, dalam bukunya Hurmat al-Takfir.
Ayat yang biasa dijadikan landasan teori Hakimiyyah adalah ayat “wa man lam yahkum bi ma anzalaLLah, fa ulaika hum al-fasiqun/al-dzalimun/al-kafirun”. Setelah Syaikh Ali Jum’ah membeberkan varian penafsiran dari ulama klasik terhadap ketiga ayat tersebut, ia pada akhirnya berkesimpulan—dengan mendasarkan pendapatnya dari pendapat yang terkuat dan realistis serta sesuai dengan misi toleransi Islam–bahwa ayat tersebut turun untuk orang-orang yang membuat hukum yang berbeda dari apa yang sudah diturunkan oleh Allah. Sebagai misal, mengatakan bahwa puasa Ramadlan tidak wajib, atau tidak perlu. Oleh karena itu, yang dimaksud berhukum dengan selain hukum Allah dalam ayat adalah; pertama, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal; kedua, mengingkari disyariatkannya suatu hukum tertentu; ketiga, memperingan hukum, keempat, jika mengaplikasikan ayat ini orang kafir, maka yang dimaksud kafir di sini berfungsi sebagai tawkid (penguat kekafirannya), sedang jika ayat diaplikasikan untuk orang mukmin, maka yang dimaksud adalah tawkid untuk dzalim dan fasik.
Muhammad Imarat menambahkan dalam bukunya yang bertajuk al-Dawlah al-Islamiyyah baina al-Ilmaniyyah wa al-Shulthat al-Diniyyah, bahwasanya makna kata “al-hukm” dalam mayoritas ayat al-Qur’an bukan mengarah pada penetapan aturan-aturan dalam ranah politik. Akan tetapi bermakna putusan (al-Qadla’) dan memutus konflik (fashl al-munaza’at). Tidak ada kaitan sama sekali dengan Khilafah, politik, atau aturan-aturan dalam sistem politik tertentu.
Secara historis, teori kedaulatan rakyat juga tak bisa dipisahkan dari John Locke, filosof Inggris. Ia hendak menjadikan rakyat sebagai sentral; penentu hukum guna melawan pemerintahan diktator. Begitu pula filosof Perancis, Jean Jacques Rousseau, yang berbicara mengenai ‘kedaulatan rakyat’ sebagai kekuatan oposisi penguasa elit despotik. Sejarah jelas berbicara, bahwa teori kedaulatan rakyat berdiri guna menentang despotisme penguasa.
Bahkan, sebagaimana Fahmi Huwaidi utarakan dalam bukunya yang berjudul al-Dimuqrhutiyyah wa al-Islam, pemerintahan dengan praktek Khilafah juga sebenarnya tak lepas dari kerelaan rakyat (ridla al-ummat). Kedaulatan yang ada dalam praktek Khilafah tidak merepresentasikan kedaulatan Tuhan. Ekses dari kedaulatan (dalam ranah politik) di tangan Tuhan sangat berbahaya sekali, karena bisa menjadi legitimasi seorang Khalifah untuk berbicara atas nama Tuhan, dan yang membangkang seolah membangkang pada Tuhan. Tentu saja ini pandangan yang keliru. Dan sangat potensial melahirkan pemimpin despotik. Muhammad Imarah merasionalisasikan gagasan ini pada logika yang paling dekat; jika kedaulatan ada di tangan rakyat, maka Khalifah adalah wakil dari rakyat dan mengatur urusan rakyat. Sedang jika mengatakan kedaulatan Tuhan, maka Khalifah adalah wakil Tuhan dan merepresentasikan maksud Tuhan. Lalu, apa perbedaan pemerintahan Khilafah dengan dominasi Gereja pada masa kegelapan Eropa?
Jika berpijak pada fikih klasik, maka pemerintah yang dipilih oleh rakyat dan terdapat wakil rakyat yang menduduki parlemen sudah sah secara syar’i. Oleh karena itu, ketika melihat konteks Indonesia, pemerintah Indonesia sudah sesuai dengan tata cara pemilihan pemimpin yang disebutkan dalam fikih klasik, karena presiden dilantik oleh MPR. Dan MPR adalah wakil rakyat yang statusnya tak berbeda dengan Ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi.
Dalam perkara dunia, umat Islam diberi kebebasan untuk menetapkan aturan yang selaras dengan kemaslahatan mereka. Sebagaimana dianjurkan untuk mengambil manfaat dari peradaban yang bermacam yang dihasilkan dari nalar manusia tanpa melihat bagaimana serta apa ideologi dari peradaban tersebut. Mengutip Muhammad Abduh, jika mengasumsikan bahwa wahyu sudah mengatur semua kehidupan manusia, diakui atau tidak, hal ini akan menghambat optimalisasi nalar dan kreasi umat. Banyak hal-hal yang baru bentukan peradaban modern tidak terdapat di dalam wahyu. Di sinilah peran manusia untuk berijtihad.
Bagi penulis, demokrasi adalah sistem ideal yang bisa diaplikasikan oleh semua Negara. Sistem ini sama sekali tidak bertentangan dengan Islam karena di dalamnya terdapat prinsip-prinsip Islami yang jelas termaktub dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Yusuf Qardlawi bahkan menyebut demokrasi dengan Islam itu sendiri (Jawhar al-Islam). Pada demokrasi sudah mencerminkan praktek syura’ (QS. Ali Imran: 159), Ahl Al-Halli wa Aqdi (QS. Al-Nisa’: 59), menolak penguasa despotik (QS. Al-Baqarah: 258, QS. Al-Syu’ara: 150-152), mengikuti suara mayoritas (QS. Al-Tawbah: 105, QS. Al-Ghafir: 35) . (bersambung) /diambil dari nu.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.