Belakangan ini kata ’salaf’ semakin populer. Bermunculan pula kelompok yang mengusung nama salaf, salafi, salafuna, salaf shaleh dan derivatnya. Beberapa kelompok yang sebenarnya berbeda prinsip saling mengklaim bahwa dialah yang paling sempurna mengikuti jalan salaf. Runyamnya jika ternyata kelompok tersebut berbeda dengan generasi pendahulunya dalam banyak hal. Kenyataan ini tak jarang membuat ummat Islam bingung, terutama mereka yang hanya mengandalkan buku-buku terjemahan untuk memperluas wawasan keislamannya. Lalu siapa pengikut salaf sebenarnya? Apakah kelompok yang konsisten menapak jejak salaf ataukah kelompok yang hanya menggunakan nama salafi? Tulisan ini mencoba menjawab kebingungan di atas dan menguak siapa pengikut salaf sebenarnya.
Istilah salafi berasal dari kata salaf yang berarti terdahulu. Menurut ahlussunnah yang dimaksud salaf adalah para ulama’ empat madzhab dan ulama sebelumnya yang kapasitas ilmu dan amalnya tidak diragukan lagi dan mempunyai sanad (mata rantai keilmuan) sampai pada Nabi SAW.
Namun belakangan muncul sekelompok orang yang melabelkan diri dengan nama salafi dan aktif memakai nama tersebut pada buku-bukunya. Kelompok yang berslogan “kembali” pada Alqur’an dan Sunnah tersebut mengaku merujuk langsung kepada para sahabat yang hidup pada masa Nabi SAW, tanpa harus melewati para ulama empat madzhab.
Bahkan menurut sebagian mereka, diharamkan mengikuti madzhab tertentu. Sebagaimana diungkapkan oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz dalam salah satu majalah di Arab Saudi, dia juga menyatakan tidak mengikuti madzhab Imam Ahmad bin Hanbal.
Pernyataan di atas menimbulkan pertanyaan besar di kalangan ummat Islam yang berpikir obyektif. Sebab dalam catatan sejarah, ulama-ulama besar pendahulu mereka adalah penganut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. Sebut saja Syekh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Rajab, Ibnu Abdil Hadi, Ibnu Qatadah, kemudian juga menyusul setelahnya Al Zarkasyi, Mura’i, Ibnu Yusuf, Ibnu Habirah, Al Hajjawiy, Al Mardaway, Al Ba’ly, Al Buthi dan Ibnu Muflih. Serta yang terakhir Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab beserta anak-anaknya, juga mufti Muhammad bin Ibrahim, dan Ibnu Hamid, semoga rahmat Allah atas mereka semua.
Ironis sekali memang, apakah berarti Imam Ahmad bin Hanbal dan para Imam lainnya tidak berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah? Sehingga kelompok ini tidak perlu mengikuti para pendahulunya dalam bermadzhab? Apabila mereka sudah mengesampingkan kewajiban bermadzhab dan tidak mengikuti para salafnya, layakkah mereka menyatakan dirinya sebagai salafy?
Belum lagi aksi manipulasi mereka terhadap ilmu pengetahuan. Mereka memalsukan sebagian dari kitab kitab karya ulama salaf. Sebagai contoh, kitab Al Adzkar karya Imam Nawawi cetakan Darul Huda, Riyadh , 1409 H, yang ditahqiq oleh Abdul Qadir asy Syami. Pada halaman 295, pasal tentang ziarah ke makam Nabi SAW, dirubah judulnya menjadi pasal tentang ziarah ke masjid Nabi SAW. Beberapa baris di awal dan akhir pasal itu juga dihapus. Mereka juga dengan sengaja menghilangkan kisah tentang al Utbiy yang diceritakan Imam Nawawi dalam kitab tersebut.
Untuk diketahui, al Utbiy (guru dari Imam Syafi’i) pernah menyaksikan seorang Arab pedalaman berziarah dan bertawassul kepada Nabi SAW. Kemudian Al Utbiy bermimpi bertemu Nabi SAW, lalu Nabi menyuruhnya memberitahukan pada orang dusun tersebut bahwa ia diampuni Allah berkat ziarah dan tawassul-Nya. Imam Nawawi juga menceritakan kisah ini dalam kitab Majmu’ dan Mughni.
Pemalsuan juga mereka lakukan terhadap kitab Hasyiah Shawi atas Tafsir Jalalain dengan membuang bagian-bagian yang tidak cocok dengan pandangannya. Hal itu mereka lakukan pula terhadap kitab Hasyiah Ibnu Abidin dalam madzhab Hanafi dengan menghilangkan pasal khusus yang menceritakan para wali, abdal dan orang-orang sholeh.
Parahnya, kitab karya Ibnu Taimiyah yang dianggap sakral juga tak luput dari aksi mereka. Pada penerbitan terakhir kumpulan fatwa Syekh Ibnu Taimiyah, mereka membuang juz 10 yang berisi tentang ilmu suluk dan tasawwuf.
Bukankah ini semua perbuatan dzalim? Mereka jelas-jelas melanggar hak cipta karya intelektual para pengarang dan melecehkan karya-karya monumental yang sangat bernilai dalam dunia Islam. Lebih dari itu, tindakan ini juga merupakan pengaburan fakta dan ketidakjujuran terhadap dunia ilmu pengetahuan yang menjunjung tinggi sikap transparansi dan obyektivitas.
(Diambil dari rubrik Ibrah, Majalah Dakwah Cahaya Nabawiy Edisi 60 Th. IV Rabi’ul awwal 1429 H / April 2008 M)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.