Kompleksnya problem yang dihadapi oleh Nelayan mulai dari ketidakstabilan harga hasil tangkapan (ikan), maraknya praktik-praktik kelautan yang merugikan nelayan (Industrialisasi wilayah pesisir dan penambangan pasir), konflik antar nelayan karena penggunaan alat tangkap modern (trawl/cothok/arad), mendorong Lakpesdam NU Jepara untuk melakukan pendampingan terhadap Nelayan.
Pendampingan Nelayan khususnya nelayan Jepara utara yang tergabung dalam wadah Fornel (Forum Nelayan). Fornel Merupakan gabunagan dari 20 kelompok nelayan di wilayah Jepara utara (Kecamatan Mlonggo, Kecamatan Bangsri, Kecamatan Kembang, Kecamatan Keling dan Kecamatan Donorojo). Jika di lihat dari panjang pantai Jepara kurang lebih 80 Kilo Meter, Fornel ada di separo panjang pantai Jepara dan merupakan daerah rawan konflik baik dengan nelayan lokal sendiri maupun nelayan dari luar Jepara.
Sementara itu advokasi Lakpesdam NU Jepara pada Fornel dilakukan sejak Tahun 2007, di awali oleh kasus kerusakan jaring nelayan karena tertabrak kapal pengangkut batu bara yang menyuplai PLTU Tanjung Jati B, Lakpesdam NU melakukan advokasi secara intens sampai didapatkanya ganti rugi dari pihak PLTU TJB.
Proses pergumulan dan advokasi ini terus dilakukan seolah tanpa mengenal lelah, dalam perkembangannya ranah advokasi Lakpesdam NU terhadap nelayan tidak hanya konflik nelayan dengan PLTU TJB tetapi Lakpesdam NU juga melakukan advokasi dalam hal kebijakan anggaran, proses penyusunan regulasi yang mengatur pengelolaan kelauatan, perikanan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dan akses jaminan kesehatan masyarakat maupun jaminan kesehatan daerah, serta akses pemenuhan hak dasar lainya.
Dalam melakukan advokasi ini Lakpesdam melakukan jejaring dengan lembaga-lembaga yang konsen terhadap nelayan diantaranya YAPHI Solo, LBH-Semarang, Layar Nusantara, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan termasuk dengan Pemerintah Daerah dan DPRD.
Proses mendinamisir masyarakat Nelayan berjalan secara baik, namun disekitar Tahun 2010 berawal dari tingginya kasus kerusakan jarring nelayan oleh kapal pengangkut batu bara yang mencapai 25 kasus lebih dalam kurun waktu tidak kurang dua bulan mendorong FORNEL bersama dengan Lakpesdam NU, YAPHI dan LBH-Semarang melakukan negosiasi dengan pihak PLTU TJB secara lebih intens.
Beberapa upaya dilakukan diataranya meminta Pemerintah Kabupaten dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk memfasilitasi dan memediasi namun berakhir dengan kekecewaan, sehingga upaya melakukan negosiasi secara langsung dilakukan, pada saat itulah derasnya gelombang pemberitaan media tentang kasus ini, mendorong juga PLTU TJB melakukan langkah-langkah persuasif diantaranya meminta bantuan Perhimpunan Petani Nelayan Sejahtera Indonesia (PPNSI) yang merupakan organ taktis dari sebuah partai Islam yang dekat dengan gerakan Wahabi untuk melakukan lobi-lobi dengan nelayan.
Negosiasi berjalan alot dan panjang, nelayan bersama Lakpesdam NU dan jaringan berbenturan dengan PLTU TJB, PT. PLN Persero dan PPNSI, hasil pertemuan atau negosiasi itu menghasilkan beberapa kesepakatan, beberapa kesepakatan itu diataranya; 1). Kesanggupan pihak PLTU TJB memberikan ganti rugi, 2). Adanya nota kesepahaman dan mekanisme penyelesaian jangka panjang jika terjadi kerugian nelayan dikemudian hari sebagai akibat dari aktivitas PLTU TJB secara umum.
Bertitik dari situlah kemudian advokasi Lakpesdam NU tidak hanya sebatas menuntut hak nelayan secara matriil, tapi advokasi ideolagi Ke-NU-an nelayan menjadi pekerjaan tambahan yang harus digarap secara serius, karena mayoritas nelayan yang tergabung dalam Fornel merupakan Jamaah NU. Semangat ini yang terus dikobarkan dalam diri person-person Lakpesdam NU Jepara
Sementara itu advokasi Lakpesdam NU Jepara pada Fornel dilakukan sejak Tahun 2007, di awali oleh kasus kerusakan jaring nelayan karena tertabrak kapal pengangkut batu bara yang menyuplai PLTU Tanjung Jati B, Lakpesdam NU melakukan advokasi secara intens sampai didapatkanya ganti rugi dari pihak PLTU TJB.
Proses pergumulan dan advokasi ini terus dilakukan seolah tanpa mengenal lelah, dalam perkembangannya ranah advokasi Lakpesdam NU terhadap nelayan tidak hanya konflik nelayan dengan PLTU TJB tetapi Lakpesdam NU juga melakukan advokasi dalam hal kebijakan anggaran, proses penyusunan regulasi yang mengatur pengelolaan kelauatan, perikanan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dan akses jaminan kesehatan masyarakat maupun jaminan kesehatan daerah, serta akses pemenuhan hak dasar lainya.
Dalam melakukan advokasi ini Lakpesdam melakukan jejaring dengan lembaga-lembaga yang konsen terhadap nelayan diantaranya YAPHI Solo, LBH-Semarang, Layar Nusantara, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan termasuk dengan Pemerintah Daerah dan DPRD.
Proses mendinamisir masyarakat Nelayan berjalan secara baik, namun disekitar Tahun 2010 berawal dari tingginya kasus kerusakan jarring nelayan oleh kapal pengangkut batu bara yang mencapai 25 kasus lebih dalam kurun waktu tidak kurang dua bulan mendorong FORNEL bersama dengan Lakpesdam NU, YAPHI dan LBH-Semarang melakukan negosiasi dengan pihak PLTU TJB secara lebih intens.
Beberapa upaya dilakukan diataranya meminta Pemerintah Kabupaten dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk memfasilitasi dan memediasi namun berakhir dengan kekecewaan, sehingga upaya melakukan negosiasi secara langsung dilakukan, pada saat itulah derasnya gelombang pemberitaan media tentang kasus ini, mendorong juga PLTU TJB melakukan langkah-langkah persuasif diantaranya meminta bantuan Perhimpunan Petani Nelayan Sejahtera Indonesia (PPNSI) yang merupakan organ taktis dari sebuah partai Islam yang dekat dengan gerakan Wahabi untuk melakukan lobi-lobi dengan nelayan.
Negosiasi berjalan alot dan panjang, nelayan bersama Lakpesdam NU dan jaringan berbenturan dengan PLTU TJB, PT. PLN Persero dan PPNSI, hasil pertemuan atau negosiasi itu menghasilkan beberapa kesepakatan, beberapa kesepakatan itu diataranya; 1). Kesanggupan pihak PLTU TJB memberikan ganti rugi, 2). Adanya nota kesepahaman dan mekanisme penyelesaian jangka panjang jika terjadi kerugian nelayan dikemudian hari sebagai akibat dari aktivitas PLTU TJB secara umum.
Bertitik dari situlah kemudian advokasi Lakpesdam NU tidak hanya sebatas menuntut hak nelayan secara matriil, tapi advokasi ideolagi Ke-NU-an nelayan menjadi pekerjaan tambahan yang harus digarap secara serius, karena mayoritas nelayan yang tergabung dalam Fornel merupakan Jamaah NU. Semangat ini yang terus dikobarkan dalam diri person-person Lakpesdam NU Jepara
Perkembangan dinamika sosial-ekonomi dan politik lokal memiliki dampak yang signifikan terhadap perjuangan Lakpesdam NU dalam menyelamatkan idiologi ke-NU-an nelayan, sehingga perjuangan ini juga mengalami fase pasang surut, sementara itu gerakan massive terus dilakukan oleh wahabi bersama organ-organ politik maupun taktisnya.
Menyikapi kondisi ini, konsolidasi dan koordinasi terus dibangun oleh Lakpesdam NU dalam rangkan membendung gerakan wahabi. Titik kritisnya adalah ketika tanggal 29 Mei 2011 dimana PPNSI sebagai bagian dari organ taktis wahabi secara terang-terangan menyampaikan maksudnya untuk menggabungkan Fornel ke dalam organisasi mereka.
Untuk membendung ini berbagai upaya dilakukan Lakpesdam NU diantaranya melakukan pendekatan dengan kelompok Nelayan di Desa Bandungharjo Kecamatan Donorojo yang merupakan salah satu kelompok nelayan yang tergabung dalam Fornel, desa ini merupakan daerah nelayan basis NU paling kuat, asumsi ini berdasarkan pada kondisi sosial dan kultur masyarakatnya yang cenderung pada kultur dan struktural NU. Selain itu Lakpesdam NU Jepara juga melakukan komunikasi dengan beberapa partai politik yang memiliki masa Nelayan yang tergabung di Fornel.
Bukan hal yang sia-sia konsolidasi yang dilakukan oleh Lakpesdam NU, ketidak sia-sian ini didapatkan ketika puncak acara deklarasi yang direncanakan oleh PPNSI di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Mlonggo tepatnya di Desa Jambu tanggal 29 Mei 2011 lalu.
Kemasan acara deklarasi yang cukup elegan di buat oleh PPNSI, yaitu acara sarasehan PPNSI dan Fornel bertajuk “Bersama Membangun Kemandirian dan Kesejahteraan Nelayan” dengan pembicara dari DPP PPNSI dan Lakpesdam NU serta mendatangkan jajaran pengurus DPP, DPW dan DPD PPNSI serta anggota DPR RI komisi X dari PKS Martri Agoeng dan dua anggota DPRD Jepara dari PKS.
Puncak acara deklarasi adalah dengan dibacakanya naskah oleh ketua Fornel, dimana dalam naskah tersebut menyatakan bahwa Fornel bergabung Bersama PPNSI, mungkin bagi PPNSI Nelayan adalah masyarakat marjinal dan mudah dibodohi. Fakta berbicara lain, ketika proses penandatanganan naskah akan dilakukan seorang anggota kelompok Nelayan dari Desa Bandungharjo bernama Sugeng menangkap kejanggalan dengan subtansi naskah deklarasi, dia meminta agar ada perubahan redaksi kalimat Bergabung Bersama diubah menjadi Bersama-sama, dia beralasan bahwa Fornel itu sejajar dengan PPNSI maupun organisasi masyarakat yang lainya. Fornel merupakan gabungan kelompok-kelompok nelayan yang anggotanya terdiri dari lintas partai, agama dan etnis.
Kondisi ini sontak membuat forum berubah terlebih ini seolah menjadi pukulan telak bagi jajaran PPNSI dan anggota DPR RI maupun DPRD PKS. Mereka tidak menduga kalau hal ini terjadi sehingga penyematan secara simbolis kartu anggotapun hampir saja terlupakan, meskipun akhirnya dilakukan. Ini adalah gambaran titik awal penyelamatan jaamah NU dari gerakan wahabi di wilayah pesisir yang dilakukan oleh Lakpesdam NU Jepara, tentu saja tidak hanya berhenti disini.
Agenda NU Jepara hanya contoh kecil dari gelombang dan arus gerakan wahabi di wilayah pesisir, namun melihat fakta lapangan di Jepara bukan tidak mungkin masih banyak lagi daerah-daerah pesisir yang menjadi incaran gerakan wahabi dalam rangka merongrong ideologi warga Nahdiyin. Maka NU perlu Pertama, memikirkan dan bertindak secara seksama, bijak serta melakukan kajian mendalam, jangan sampai masyarakat Nelayan yang notabene hampir sebagian besar adalah warga Nahdliyin ini hilang ideologi ke-NU-annya, Kedua, NU harus melakukan koordinasi dan konsolidasi di kawasan pesisir (baca; Nelayan) baik secara struktural maupun kultural.
Ketiga, NU kiranya perlu membentuk Lembaga yang khusus dan konsen terhadap Nelayan (Kelautan dan Perikanan), semangat pemisahan sektor kelautan dan perikanan dari pertanian yang dilakukan ketika masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid belum diejawantahkan kedalam NU. Disisi lain, lembaga-lembaga yang dimiliki oleh NU belum ada yang secara khusus menangani Nelayan, selama ini yang ada Lembaga Pertanian (LP) NU, LP NU secara kelembagaan tentu saja tidak bisa mencakup Nelayan.
Menyikapi kondisi ini, konsolidasi dan koordinasi terus dibangun oleh Lakpesdam NU dalam rangkan membendung gerakan wahabi. Titik kritisnya adalah ketika tanggal 29 Mei 2011 dimana PPNSI sebagai bagian dari organ taktis wahabi secara terang-terangan menyampaikan maksudnya untuk menggabungkan Fornel ke dalam organisasi mereka.
Untuk membendung ini berbagai upaya dilakukan Lakpesdam NU diantaranya melakukan pendekatan dengan kelompok Nelayan di Desa Bandungharjo Kecamatan Donorojo yang merupakan salah satu kelompok nelayan yang tergabung dalam Fornel, desa ini merupakan daerah nelayan basis NU paling kuat, asumsi ini berdasarkan pada kondisi sosial dan kultur masyarakatnya yang cenderung pada kultur dan struktural NU. Selain itu Lakpesdam NU Jepara juga melakukan komunikasi dengan beberapa partai politik yang memiliki masa Nelayan yang tergabung di Fornel.
Bukan hal yang sia-sia konsolidasi yang dilakukan oleh Lakpesdam NU, ketidak sia-sian ini didapatkan ketika puncak acara deklarasi yang direncanakan oleh PPNSI di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Mlonggo tepatnya di Desa Jambu tanggal 29 Mei 2011 lalu.
Kemasan acara deklarasi yang cukup elegan di buat oleh PPNSI, yaitu acara sarasehan PPNSI dan Fornel bertajuk “Bersama Membangun Kemandirian dan Kesejahteraan Nelayan” dengan pembicara dari DPP PPNSI dan Lakpesdam NU serta mendatangkan jajaran pengurus DPP, DPW dan DPD PPNSI serta anggota DPR RI komisi X dari PKS Martri Agoeng dan dua anggota DPRD Jepara dari PKS.
Puncak acara deklarasi adalah dengan dibacakanya naskah oleh ketua Fornel, dimana dalam naskah tersebut menyatakan bahwa Fornel bergabung Bersama PPNSI, mungkin bagi PPNSI Nelayan adalah masyarakat marjinal dan mudah dibodohi. Fakta berbicara lain, ketika proses penandatanganan naskah akan dilakukan seorang anggota kelompok Nelayan dari Desa Bandungharjo bernama Sugeng menangkap kejanggalan dengan subtansi naskah deklarasi, dia meminta agar ada perubahan redaksi kalimat Bergabung Bersama diubah menjadi Bersama-sama, dia beralasan bahwa Fornel itu sejajar dengan PPNSI maupun organisasi masyarakat yang lainya. Fornel merupakan gabungan kelompok-kelompok nelayan yang anggotanya terdiri dari lintas partai, agama dan etnis.
Kondisi ini sontak membuat forum berubah terlebih ini seolah menjadi pukulan telak bagi jajaran PPNSI dan anggota DPR RI maupun DPRD PKS. Mereka tidak menduga kalau hal ini terjadi sehingga penyematan secara simbolis kartu anggotapun hampir saja terlupakan, meskipun akhirnya dilakukan. Ini adalah gambaran titik awal penyelamatan jaamah NU dari gerakan wahabi di wilayah pesisir yang dilakukan oleh Lakpesdam NU Jepara, tentu saja tidak hanya berhenti disini.
Agenda NU Jepara hanya contoh kecil dari gelombang dan arus gerakan wahabi di wilayah pesisir, namun melihat fakta lapangan di Jepara bukan tidak mungkin masih banyak lagi daerah-daerah pesisir yang menjadi incaran gerakan wahabi dalam rangka merongrong ideologi warga Nahdiyin. Maka NU perlu Pertama, memikirkan dan bertindak secara seksama, bijak serta melakukan kajian mendalam, jangan sampai masyarakat Nelayan yang notabene hampir sebagian besar adalah warga Nahdliyin ini hilang ideologi ke-NU-annya, Kedua, NU harus melakukan koordinasi dan konsolidasi di kawasan pesisir (baca; Nelayan) baik secara struktural maupun kultural.
Ketiga, NU kiranya perlu membentuk Lembaga yang khusus dan konsen terhadap Nelayan (Kelautan dan Perikanan), semangat pemisahan sektor kelautan dan perikanan dari pertanian yang dilakukan ketika masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid belum diejawantahkan kedalam NU. Disisi lain, lembaga-lembaga yang dimiliki oleh NU belum ada yang secara khusus menangani Nelayan, selama ini yang ada Lembaga Pertanian (LP) NU, LP NU secara kelembagaan tentu saja tidak bisa mencakup Nelayan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.