Ciri khas ilmu fiqih adalah perbedaan pandangan. Siapa yang tidak bisa menerima perbedaan pandangan, maka tidak bisa menjadi ahli fiqih. Demikian juga dalam ilmu kritik hadits, berbeda pandangan dalam menilai derajat suatu hadits justru telah menjadi 'menu' sehari-hari.
Sikap tidak bisa menerima pandangan orang lain yang tidak sama dengan diri sendiri sebenarnya justru ciri khas orang awam. Mungkin sejak kecil belajar fiqihnya satu versi saja. Kemudian 'dicekoki' bahwa hanya yang versi itu saja yang benar. Sedangkan yang tidak seperti itu, semua salah, haram, bid'ah dan kalau berbeda akan menjadi calon penghuni neraka. Naudzu billahi min zalik.
Padahal kalau kita mau telusuri ke puncak keilmuwan disiplin ilmu fiqih, justru para peletak dasar mazhab-madzhab fiqih sangat santun, sopan, serta saling menghormati satu sama lain. Gaya bicara model imam shalat di masjid anda, yang menuduh bahwa Ibnu Taimiyah adalah orang stres tentu tidak pernah terlontar di kalangan para ulama betulan. Gaya berargumen seperti itu jelas bukan metode para ulama, melainkan gaya preman tukang pukul yang tidak tahu duduk masalah.
Dan sebenarnya perbedaan jumlah rakaat tarawih antara 11 dan 23 bukan terjadi hanya di masa Ibnu Taimiyah, melainkan sudah ada sejak awal masa risalah Islam. Lagi pula bukan pada tempatnya untuk diperselisihkan hingga sampai mencela dan mencaci orang yang pendapat fiqihnya berseberangan.
Titik Pangkal Perbedaan
Ada banyak penyebab mengapa umat Islam berbeda pendapat tentang jumlah rakaat tarawih, teapi yang pasti karena tidak adanya satu pun dalil yang shahih dan sharih yang menyebutkan shalat tarawih.
Seandainya ada satu hadits yang shahih (valid) dan sharih (eksplisit) yang menyebutkan jumlah bilangan rakaat tawarih langsung dari mulut Rasulullah SAW, pasti tidak akan ada perbedaan pendapat.Seperti sepakatnya para ulama dalam menetapkan bilangan rakaat shalat 5 waktu.
Sayangnya, semua dalil yang digunakan oleh para ulama tentang jumlah bilangan rakaat shalat tarawih, nyaris semuanya menyimpan potensi multi tafsir dan bias. Kalau pun valid, tapi bisa ditafsirkan bukan dalil yang menunjukkan shalat tarawih. Kalau pun hadits itu bicara shalat tarawih secara eksplisit, tidak ada informasi jumlah bilangan rakaatnya.
Karena itu terjadi confuse di kalangan ulama untuk menetapkan bilangan rakaat tarawih. Tetapi wajar juga bila melahirkan perbedaan hasil akhir dalam menarik kesimpulan.
Sebagian ulama ada yang menyamakan dalil shalat tahajjud (witir) dengan dalil shalat tarawih. Hadits-hadits tentang shalat tahajjud (witir) memang menyebutkan bahwa beliau SAW tidak pernah shalat malam lebih dari 11 rakaat. Baik di dalam Ramadhan maupun di luar Ramadhan.
Bagi mereka, tarawih itu hanya nama atau sebutan saja. Intinya adalah shalat malam, kalau di luar bulan Ramadhan disebut tahajjud. Sedangkan kalau di luar Ramadhan disebut dengan tarawih. Maka mereka mengatakan bahwa jumlah bilangan rakaat shalat tarawih adalah 11 rakaat.
Di sisi lain, ada lagi sebagian dari ulama yang mengatakan dalil shalat tahajjud (witir) berbeda dengan shalat tarawih. Buat mereka, tarawih adalah jenis shalat khusus di luar shalat tahajjud. Mereka menerima hadits-hadits tentang shalat malamnya Rasulullah saw yang tidak pernah lebih dari 11 rakaat. Tetapi buat mereka, bukan dalil untuk shalat tarawih, melainkan shalat witir atau sering juga dikatakan dengan shalat tahajjud. Sehingga jumlah bilangan rakaat tawarih bukan 11 rakaat.
Untuk shalat tarawih secara khusus yang memang hanya ada di bulan Ramadhan, mereka menggunakan dalil dari apa yang dikerjakan oleh seluruh shahabat nabi SAW di masa Umar bin Khattab, yaitu shalat tarawih seusai shalat Isya' sebanyak 20 rakaat.
Saat itu Umar ra. melihat bahwa umat Islam shalat tarawih sendiri-sendiri, lalu beliau mengatakan bahwa alangkah baiknya bila mereka tidak shalat tarawih sendiri-sendiri, tapi di belakang satu imam yaitu Ubay bin Ka'ab. Dan riwayat yang mereka tetapkan adalah bahwa jumlah rakaat shalat tarawihnya para shahabat saat itu adalah 20 rakaat.
Sedangkan jumlah shalat tarawih yang dilakukan oleh nabi SAW yang hanya 2 malam saja, lalu setelah itu tidak dikerjaan lagi, ternyata semua riwayatnya tidak menyebutkan jumlah rakaatnya. Kalau pun ada, para hali hadits mengatakan bahwa semua hadits yang menyebutkan beliau shalawat tarawih (bukan shalat tahajjud/witir) 11 rakaat semuanya hadits palsu. Termasuk juga yang menyebutkan bahwa beliau shalat tarawih 20 rakaat.
Karena itu kita tidak bisa mengambil kesimpulan dari hadits tentan shalat tarawihnya beliau SAW, karena yang shahih tidak menyebutkan jumlah rakaat. Sedangkan yang menyebutkan jumlah rakaat ternyata hadits yang parah dan tidak bisa diterima.
Satu-satunya yang bisa dijadikan rujukan adalah jumlah rakaat para shahabat ketika shalat tarawih di zaman Umar bin Al-Khattab ra. Dan ternyata jumlahnya 20 rakaat. Logikanya, mana mungkin seluruh shahabat mengarang sendiri untuk shalat dengan 20 rakaat? Pastilah mereka melakukannya karena dahulu sempat shalat tarawih 20 rakaat bersama nabi SAW. Sayangnya, hadits tentang shalat tarawihnya nabi SAW dulu sama sekali tidak menyebutkan jumlah rakaat. Sumber: http://www.fiqhislam.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.