Sejarah Munculnya Faham Ahlussunah Asy’ariyah
Faham ini dinisbatkan kepada pendirinya yaitu Imam Abu Hasan al-Asy’ari, beliau masih keturunan dari sahabat besar Abu Musa Al-Asy’ari, seorang pelaku tahkim dalam peristiwa perang shiffin dari pihak syaidina Ali bin Abi Tholib.[1] Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Ali Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asy’ari. Nama al-Asy’ari merupakan nisbat terhadap Asy’ar, nama seorang laki-laki dari suku Qahthan yang kemudian menjadi nama suku dan tinggal di Yaman.[2]
Sejarah Hidup Al-Asy’ari
Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari lahir di kota Basrah pada tahun 260 H/873 M. Dia lahir dan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mengikuti faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Ayahnya, Ismail seorang ulama ahli hadits yang menganut faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Hal ini terbukti, bahwa ketika Ismail menjelang wafat, dia berwasiat agar al-Asy’ari diasuh oleh al-Imam al-Hafizh Zakariya al-Saji, pakar hadits dan fiqih madzhab al-Syafi’i yang sangat populer di kota Basrah.[3]
Pada masa kecilnya, al-Asy’ari selain berguru kepada al-Saji, dia juga menimba ilmu dari ulama-ulama ahli hadits yang lain, seperti Abdurrahman bin Khalaf al-Dhabbi, Sahal bin Nuh al-Bashri, Muhammad bin Ya’kub al-Maqburi dan lain-lain. Sehingga hal tersebut mengantar al-Asy’ari menjadi ulama yang menguasai hadits, tafsir, fiqih, ushul fiqih dan lain-lain.[4]
Hanya saja, setelah dia berusia sepuluh tahun, ada unsur asing yang sangat berpengaruh dan bahkan mengubah jalan hidupnya, yaitu kehadiran Abu Ali al-Jubba’i – tokoh Mu’tazilah terkemuka di kota Basrah dalam keluarganya, yang menjadi ayah tirinya dengan menikahi ibunya, dan kemudian mengarahkan al-Asy’ari menjadi penganut Mu’tazilah hingga berusia 40 tahun.[5]
Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahhab bin Salam al-Jubba’i (235-303 H/849-916 M) adalah tokoh Mu’tazilah terkemuka. Hubungan yang sangat dekat antara guru dan murid ini, menjadikan al-Asy’ari menjadi kader Mu’tazilah dan pada akhirnya mengantarnya menjadi salah satu tokoh Mu’tazilah yang populer. al-Asy’ari memiliki kecerdasan yang luar biasa, dan kemampuan yang hebat dalam membungkam lawan debatnya, sehingga tidak jarang al-Asy’ari mewakili Abu Ali al-Jubba’i dalam forum perdebatan dengan kelompok luar Mu’tazilah.[6]
Sebab-Sebab keluarnya dari Mu’tazilah
Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari mengikuti aliran Mu’tazilah hingga berusia 40 tahun. Namun kemudian setelah sekian lama menjadi tokoh Mu’tazilah, akhirnya al-Asy’ari keluar dari aliran Mu’tazilah dan kembali kepada faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Ada dua sebab keluarnya al-Asy’ari dari Mu’tazilah.[7]
Sebab Pertama, ketidakpuasan al-Asy’ari terhadap ideologi Mu’tazilah
yang selalu mendahulukan akal tetapi tidak jarang menemukan jalan buntu dan mudah dipatahkan dengan argumentasi akal yang sama. Ketidakpuasan al-Asy’ari tersebut dapat dilihat dengan memperhatikan beberapa hal, antara lain riwayat yang menyatakan bahwa, sebelum al-Asy’ari keluar dari aliran Mu’tazilah, dia tidak keluar rumah selama lima belas hari. Kemudian pada hari jum’at setelahnya, dia keluar ke Masjid Jami’ dan menaiki mimbar dengan berpidato:”Sebenarnya saya telah menghilangkan dari kalian selama lima belas hari ini. Selama itu saya meneliti dalil-dalil semua ajaran yang ada. Ternyata saya tidak menemukan jalan keluar. dalil yang satu tidak lebih kuat daripada dalil yang lain. Lalu saya mohon petunjuk kepada Allah SWT, Dan ternyata Allah memberikan petunjuk-Nya kepada saya untuk meyakini apa yang saya tulis dalam beberapa kitab ini. Mulai saat ini, saya mencabut semua ajaran yang selama ini saya yakini”. Kemudian al-Ay’ari menyerahkan beberapa kitab yang ditulisnya sesuai dengan faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah kepada orang-orang disana. Diantaranya adalah kitab al-Luma’ fi al-Radd’ala Ahl al-Zaygh wa al-Bid’ah, kitab yang memaparkan kehancuran Mu’tazilah yang berjudul Kasyf al-Astar wa Hatk al-Asrar, dan kitab-kitab lain.[8]
Dalam perenungan tersebut sampailah beliau pada kesimpulan bahwa sudah saatnya untuk kembali pada ajaran Islam yang murni, yakni ajaran yang telah digariskan oleh oleh Rasullah SAW dan para sahabat, serta dilanjutkan oleh para ulama salaf al-shalih. Imam Al-Asy’ari beranggapan apabila beliau tetap mengamalkan ajaran Mu’tazilah yang sangat mengandalakan akal pikirannya, berarti telah melakukan dosa sosial karena mengajak orang lain berbuat kemunafikan.[9]Maka karena itu beliau keluar dari Mu’tazilah dan bertaubat kepada Allah atas kesalahan-kesalahannya dimasa lalu, kemudian beliau tampil digaris depan melawan dan mengalahkan kaum Mu’tazilah.[10] Beliau berjuang melawan Mu’tazilah dengan lisan dan tulisan, berdebat dan menulis rumusan i’tiqot ahlussunnah wal jama’ah.[11]
Setelah peristiwa ini, banyak kalangan memuji keberanian al-Asy’ari
Ia dijuluki orang yang telah menyelamatkan aqidah umat Islam dari gangguan aliran-aliran yang akan merusak kemurniaan agama Islam.[12]
Ketidakpuasan al-Asy’ari dengan faham Mu’tazilah tersebut dapat pula dilihat dengan memperhatikan riwayat yang yang disebutkan oleh Al-Subki dalam kitab Thabaqat al Syafi’iyah al Kubro mengisahkan perdebatannya dengan Abu Ali al Jubba’i, gurunya. Suatu ketika al-Asy’ari berdialog dengan al-Jubba’i,
Al-Asy’ari, ”Bagaimana pendapat anda tentang nasib tiga orang yang meninggal dunia, satunya orang mukmin, satunya orang kafir dan yang satunya lagi anak kecil?”
A-Jubba’i,”Orang mukmin akan memperoleh derajat yang tinggi, orang kafir akan celaka dan anak kecil akan selamat.”
Al-Asy’ari,” Mungkinkah anak tersebut minta derajat yang tinggi kepada Allah ?”
A-Jubba’i, Oh, tidak mungkin, karena Allah akan berkata kepada anak itu, ”Orang mukmin itu akan memperoleh derajat yang tinggi kerana amalnya, sedangkan kamu belum sempat beramal. Jadi kamu tidak bisa memperoleh derajat itu.”
Al-Asy’ari, ”Bagaimana kalau anak kecil itu menggugat kepada Allah dengan berkata,” Tuhan, demikian itu bukan salah saya. Andaikan Engkau memberiku umur panjang, tentu saya akan beramal seperti oarang mukmin itu.”
A-Jubba’i, Oh, tidak bisa, Allah akan menjawab,” Oh, bukan begitu, justru Aku telah mengetahui, bahwa apabila kamu diberikan umur panjang, maka kamu akan durhaka, sehingga nantinya kamu akan disiksa. Oleh karena itu, demi menjaga masa depanmu, Aku matikan kamu sewaktu mash kecil, sebelum kamu menginjak usia taklif.”
Al-Asy’ari, ” Bagaimana seandainya orang kafir itu menggugat kepada Allh dengan berkata,” Tuhan, Engkau telah mengetahui maa depan anak kecil itu dan juga masa depan saya. Tetapi mengapa Engkau tidak memperhatikan masa depan saya, dengan mematikan saya sewaktu masih kecil dulu, sehingga saya tergolong orang yang selamat seperti anak kecil itu, dan mengapa Engkau biarkan saya hidup hingga dewasa sehingga saya menjadi orang kafir dan akhirnya saya disiksa seperti sekarang ini ?”
Mendengar pertanyaan al-Asy’ari, al-Jubba’i menghadapi jalan buntu dan tidak mampu memberikan jawaban.
A-Jubba’i hanya berkata:” Kamu hanya bermaksud merusak keyakinan yang telah ada,”
Al-Asy’ari, Saya tidak bermaksud merusak keyakinan yang selama ini Anda yakini. Akan tetapi, Guru tidak mampu menjawab pertanyaan saya.”[13]
Sebab Kedua, Mimpi bertemu Nabi SAW seperti yang disebutkan oleh Ibnu Asakir dalam kitab Tabyin Kidzb al-Muftari sebagai berikut :
Al-Asy’ari bermimpi bertemu Nabi SAW. Suatu ketika, pada permulaan bulan Ramadhan, al-Asy’ari tidur dan bermimpi bertemu Nabi SAW. Beliau berkata:” Wahai ali, tolonglah pendapat-pendapat yang diriwayatkan dariku, karena itu yang benar.” Setelah terbangun, al-Asy’ari merasakan mimpi itu sangat berat dalam pikirannya. Dia terus memikirkan apa yang dialaminya dalam mimpi. Pada pertengahan bulan Ramadhan, dia bermimpi lagi bertemu Nabi SAW, dan beliau berkata:’ Apa yang kamu lakukan dengan perintahku dulu?” al-Asy’ari menjawab:” Saya telah memberikan pengertian yang benar terhadap pendapat-pandapat yang diriwayatkan darimu.” Nabi SAW berkata:” Tolonglah pendapat-pendapat yang diriwayatkan dariku, karena itu yang benar.” Setelah terbangun dari tidurnya, al-Asy’ari merasa sangat terbebani dengan mimpi itu. Sehingga dia bermaksud meninggalkan ilmu kalam. Dia akan mengikuti hadits dan terus membaca al-Qur’an. Tetapi, pada malam 27 Ramadhan, tidak seperti biasanya, rasa kantuk yang begitu hebat menyerangnya, sehingga diapun tertidur dengan rasa kesal dalam hatinya, karena telah meninggalkan kebiasaan tidak tidur malam untuk beribadah kepada Allah. Dalam tidur itu ia bermimpi bertemu Nabi SAW untuk ketiga kalinya. Nabi SAW berkata:” Apa yang kamu lakukan dengan perintahku dulu?’Ia menjawab:” Aku telah meninggalkan ilmu kalam, dan saya konsentrasi menekuni al-Qur’an dan hadits.” Nabi SAW berkata:” Aku tidak menyuruhmu meninggalkan ilmu kalam. Tetapi aku hanya memerintahmu menolong pendapat-pendapat yang diriwayatkan dariku, karena itu yang benar.” Ia menjawab:” Wahai Rasulullah, bagaimana aku mampu meninggalkan madzhab yang telah aku ketahui masalah-masalah dan dalil-dalilnya sejak tiga puluh tahun yang lalu hanya karena mimpi? Nabi SAW berkata :”Andaikan aku tidak tahu bahwa Allah akan menolongmu dengan pertolongan-Nya, tentu aku menjelaskan kepadamu semua jawaban masalah-masalah (ajaran Mu’tazilah) itu. Bersungguh-sungguh kamu dalam masalah ini, Allah akan menolongmu dengan pertolongan-Nya.” Setelah bangun dari tidurnya, al-Asy’ari berkata :”Selain kebenaran pasti hanya kesesatan.”Lalu dia mulai membela hadits-hadits yang berkaitan dengan ru’yah (melihat Allah di akhirat) dan Syafa’at. Ternyata setelah itu, al-Asy’ari mampu memaparkan kajian-kajian dan dalil-dalil yang belum pernah dipelajarinya dari seorang guru, tidak dapat dibantah oleh lawan dan belum pernah dibacanya dalam suatu kitab.[14]
Disamping alasan diatas ada beberapa argumentasi yang membuat al-Asy’ari ragu sehingga meninggalkan Faham Mu’tazilah. Menurut Ahmad Mahmud Subhi sebagaimana dikutib Harun Nasution bahwa perasaan ragu itu timbul karena Asy’ari menganut madzhab Syafi’i. Al-Syafi’i mempunyai pendapat teologi yang berlainan dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah.[15]Selain itu Mu’tazilah pada waktu itu berada pada fase kemunduran setelah al-Muwakkil tidak lagi menerima Mu’tazilah sebagai madzhab teologi negaranya. Pada waktu itu tidak ada lagi aliran teologi yang teratur sebagai ganti Mu’tazilah untuk menjadi pegangan masyarakat. al-Asy’ari menilai sangat berbahaya bagi umat Islam kalau mereka ditinggalkan dengan tidak mempunyai teologi yang teratur.[16]
[1] Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam. (Jakarta: Rajawali Press, 1991),, 154
[2] Muhammad Idrus Ramli, Madzhab Al-Asy’ari Benarkah Ahlussunnah Wal-Jamaah Jawaban Terhadap Aliran Salafi (Surabaya: Khalista, 2009), 12
[3] Ibid., 15
[4] Ibid., 16
[5] Ibid.
[6] Ibid .,18-19
[7] Ibid.,19- 20
[8] Ibid.
[9] Muhyiddin Abdushomad, Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah terjemah syarh ‘Aqidah al-‘awam (Surabaya : Khalista, 2009), 17
[10] Siradjuddin Abbas, I'tiqad Ahlussunnah wal Jama'ah (Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 2001), 31
[11] Ibid., 32
[12] Abdusshomad, Fiqh Tradisional, 17
[13] Ramli, Madzhab Al-Asy’ari, 21-22
[14] Ibid., 22-23
[15] Nasution, Harun, 1978, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press, 67
[16] Ibid., 68
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.