Sabtu, 13 Agustus 2011

Mengompromikan Ikhtiar dengan Takdir Tuhan


Oleh: Chumaidi Waluyo *)
مِنْ عَلاَماَتِ اْلإِعْتِمَادِ عَلىَ الْعَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلَلِ
“Salah satu tanda bergantung dengan amal perbuatan adalah berkurangnya harapan ketika gagal ”
(Ibn ‘Athaillah)
Setiap manusia dalam kehidupannya memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi. Kebutuhan ini muncul karena adanya ketidakseimbangan dalam dirinya. Jiwa yang tidak seimbang pada umumnya akan mengalami masalah. Agar jiwa kembali seimbang maka manusia harus memenuhi kebutuhannya. Misalnya, manusia hidup butuh air. Oleh karenanya dia setiap hari harus mencari dan mengkonsumsi sesuatu yang mengandung zat cair. Apabila dia tidak mengkonsumsinya maka jiwanya akan mengalami ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan jiwa ini dapat dilihat dari kondisi fisik dan psikisnya. Secara fisik, kulitnya kasar, badannya lemas, tenggorokannya kering, dan bahkan bisa jadi akan mengalami dehidrasi. Sedangkan secara psikologis dia tidak akan dapat beraktivitas secara optimal, karena dengan tubuh yang lemas maka dia secara pasti akan memiliki keterbatasan, misalnya kurang konsentrasi, semangat menurun, optimisme menurun, dan gelisah.
Untuk memenuhi kebutuhannya, kemudian manusia melakukan berbagai tindakan. Setiap orang dalam usaha memenuhi kebutuhannya itu berbeda-beda caranya, walaupun mungkin kebutuhannya sama. Si A mungkin harus terlebih dahulu menyusun strategi, pendekatan, metode, teknik, dan taktik. Namun, mungkin si B langsung pada target dan tidak bertele-tele. Perbedaan cara dari keduanya ini bisa jadi dikarenakan perbedaan perspektif dan tentunya kepribadian. Tingkat keberhasilan dengan dua cara yang berbeda ini semestinya menghadirkan tiga kemungkinan. Pertama, kemungkinan keberhasilan si A lebih besar daripada si B. Kedua, kemungkinan justru si B yang hasilnya lebih besar. Ketiga, kemungkinan keduanya mendapatkan hasil yang sama.
Cara hanyalah media yang dapat digunakan oleh setiap orang untuk mencapai tujuannya. Usaha dengan cara-cara tertentu merupakan bukti ikhitiar yang sudah semestinya dilakukan oleh setiap manusia untuk mencapai apa yang diinginkannya. Keinginan atau tujuan sangat sulit terwujud jika hanya diangan-angan atau pasrah saja. Hal ini karena, keimanan saja yang notabenenya lumayan abstrak tidak dapat terealisasi dengan baik apabila hanya diangan-angan. Rasulullah SAW bersabda:
لَيْسَ اْلإِيْمَانُ بِالتَّمَنىِّ وَلَكِنْ مَا وَرَقَ فِى اْلقَلْبِ وَصَدَّقَةُ اْلعَمَلَ, وَإِنَّ قَوْمًا قَدْ غَرَّتْهُمُ اْلأَمَانِيُّ وَقَعَدُوْا عَنِ اْلعَمَلِ, وَقَلُوْا: نَحْنُ نُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ, وَكَذَبُوْا, لَوْ اَحْسَنُوْا الظَّنَّ َلأُحْسِنُ اْلعَمَلَ.
(روى اصل الحديث الديلمى فى مسند الفردوس)
“Tidaklah iman itu (sempurna) dengan tamanni (mengharap sesuatu yang tidak mungkin terjadi), tetapi iman yang sempurna adalah yang mencakup kuat dalam hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan. Sesungguhnya suatu kaum telah tertipu oleh lamunan-lamunan, mereka tidak berbuat apapun akan tetapi mengatakan: kami bersangka baik kepada Allah. Mereka sesungguhnya telah berbohong. Jika memang berbaik sangka kepada Allah niscaya mereka akan melakukan amal perbuatan dengan sebaik-baiknya.”
Hadits tersebut jelas menegaskan bahwa untuk menggapai segala sesuatu itu mesti perlu suatu tindakan yang kongkrit. Hanya saja tindakan atau usaha itu jangan terus kemudian ditunggalkan dan dijadikan sebagai sandaran penentu keberhasilan. Misalnya, seseorang yang kehausan maka dia akan mencari sumber air, mungkin air itu sendiri atau sesuatu yang mengandung zat cair yang dapat menghilangkan rasa hausnya itu. Setelah itu dia bersandar atau berkeyakinan bahwa apa yang dikerjakannya itulah yang akan menghilangkan rasa hausnya. Jika dia dengan usahanya itu kemudian mendapatkannya dan dapat meminumnya maka rasa haus itu akan hilang dan jiwa akan kembali stabil, namun jika dia hanya mendapatkan dan tidak dapat meminumnya, atau sama sekali tidak mendapatkannya maka apa yang akan terjadi. Yang ekstrem tentu saja dia akan meninggal dunia, tapi apabila Allah menghendaki dia masih hidup maka dia akan mengalami tiga masalah sekaligus, yaitu masalah fisik, masalah psikis, dan tauhid.
Secara fisik dia akan tetap mengalami kehausan, tenggorokannya kering, kulitnya kasar, wajah pucat, badan lemas, lesu, dan bahkan dehidrasi. Kondisi seperti ini juga nantinya dapat menyulut munculnya berbagai macam penyakit, baik dalam skala ringan maupun berat. Hal ini tentu saja karena tubuh manusia ± 70 % terdiri dari zat cair.
Seseorang yang memiliki keinginan kemudian dia melakukan sesuatu untuk mencapainya dan bergantung pada apa yang telah dilakukannya itu, jika ternyata apa yang diinginkannya itu tidak terwujud maka kesehatan jiwanya akan terganggu. Dia akan mudah sekali kehilangan harapan, stress, emosi tidak stabil, egois, dan lain sebagainya. Hal ini terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara idealisme dengan realita.
Ditinjau dari ranah ketauhidan, orang yang bersandar dan bergantung dengan amal perbuatan sejatinya telah terkoyak ketahauhidannya. Hal itu, karena dia telah menganggap bahwa amal perbuatannya itulah yang akan atau telah mengantarkannya kepada tercapainya tujuan. Jika seperti itu, berarti dia telah menempatkan daya upayanya di atas kehendak Allah SWT. Kita sebagai manusia yang notabenenya hanyalah mahluk yang syarat dengan berbagai kelemahan dan ketergantungan kepada-Nya, seharusnya menyadari bahwa tanpa-Nya tidaklah mungkin dapat berbuat sesuatu. Sekuat dan sebaik apapun amal perbuatan manusia itu tidak akan dapat menyetir ketetapan (takdir) Allah terhadapnya. Apakah mungkin kita harus mengagungkan sesuatu dengan menafikan Allah SWT yang menciptakan sesuatu itu?
Adalah suatu kewajaran manusia hidup memiliki berbagai keinginan atau kebutuhan. Keinginan atau kebutuhan ini memang secara pasti jika tidak terpenuhi akan menimbulkan ketidakseimbangan jiwa. Oleh karenanya, manusia kemudian memiliki motivasi untuk memenuhinya agar kondisi jiwanya kembali stabil. Motivasi inilah yang kemudian menggerakkan manusia untuk melakukan suatu tindakan.
Tindakan untuk mencapai suatu tujuan merupakan bentuk ikhtiar. Namun, dalam ikhtiar itu tentulah belum ada suatu jaminan bahwa apa yang menjadi tujuannya akan tercapai. Itu artinya, ikhtiar bukanlah faktor penentu keberhasilan. Maka dari itu, kita tidak boleh menggantungkan harapan kepada ikhtiar yang sudah dilakukan. Karena ada faktor lain yang justru menjadi penentu, yakni Allah SWT. Karena Allah lah seseorang dapat berikhtiar dan Allah lah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu serta yang menentukan kadar, ukuran, dan batasan yang tepat bagi setiap mahluk-Nya.
Dengan berbekal kesadaran dan keyakinan bahwa Allah SWT lah yang berada di balik segala usaha dan yang menentukan segala sesuatu itu bagi mahluknya maka nanti ketika seseorang mengalami kegagalan dalam mencapai tujuannya dia tidak akan kehilangan harapan atau stres. Selain itu, ketauhidannya juga terselamatkan.
Untuk itu, ketika kita memiliki suatu keinginan maka pertama yang harus dilakukan adalah menetapkan niat dengan membaca bismillah yang disertai ingat kepada Allah SWT, karena ketika kita memulai segala sesuatu dengan bismillah dan ingat kepada-Nya maka berarti kita menyandarkan pekerjaan itu karena Allah SWT. Seseorang yang menyandarkan suatu pekerjaan karena Allah, maka pekerjaan itu tidak akan mengakibatkan kerugian bagi pihak lain. Selain itu, dia juga telah berhasil menyadari bahwa dalam dirinya terdapat berbagai kelemahan dan kesempurnaan hanyalah milik Allah. Kesadaran tersebut kemudian mendorong dirinya untuk memohon bantuan dari Yang Maha Sempurna agar pekerjaannya dapat selesai dengan baik dan sempurna. Di sisi yang lain, sikap dan perilaku tersebut menumbuhkan kekuatan, rasa percaya diri, dan rasa optimisme karena dia merasa mendapat bantuan dari Allah Yang Maha Kuat. Suatu pekerjaan yang dilakukan atas bantuan Allah maka hasilnya akan sempurna, baik, dan benar.
Kedua, berusahalah dengan tekun, keras, semangat, fokus, tidak mudah putus asa, dan khusu’ untuk mewujudkannya. Karena, hanya dengan begitu suatu tujuan akan dihasilkan secara maksimal. Ketiga, tawakkal. Apa yang sudah dilakukannya kemudian diserahkan sepenuhnya kepada Allah. Karena Allah lah yang Maha Mengetahui apa yang tepat bagi setiap mahluknya.
*) Penulis adalah Staf Pengajar pada MTs Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yayasan Ali Maksum Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.