Hadits dho'if tidaklah sama dengan hadits maudhu'. Hadits dho'if adalah hadits yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, bukan hadits yang dikarang-karang atau yang dibuat-buat oleh sembarang manusia. Hanya saja salah satu pemangkunya (sanadnya) ada yang terputus sehingga hadits itu menjadi dhoif, tapi tetap saja hadits dhoif bukan hadits palsu!
Zaman awal Islam mulai berkembang, hadits tidaklah dituliskan oleh para sahabat Nabi. Hal ini terjadi karena nabi melarang menuliskan hadits-hadits baginda yang mulia. Rasul bersabda: “La taktubul hadits!” Janganlah kamu menuliskan hadits, Uktubul Qur'an! Tuliskanlah al Qur'an. (HR Muslim).
Dengan demikian, maka hadits hanya beredar di kalangan sahabat melalui hafalan dari satu orang ke orang lain. Hal ini berlangsung sampai tahun ke-100 Hijriyah. Saat itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mulai khawatir akan perkembangan hadits. Ada jutaan orang yang sudah memeluk agama islam, dan generasi pun telah berubah, tidak lagi terdiri dari sahabat-sahabat Nabi yang terkenal sangat jujur, tapi juga telah muncul orang-orang di luar komunitas Arab yang sama sekali tidak jumpa Nabi. Dan, di antara mereka ada yang kurang mujahadah dalam agama. Saat itu, mulailah muncul tukang-tukang penjual cerita yang di antara mereka bahkan berani mengarang-ngarang hadits, dan mengatakan bahwa hadits karangannya itu berasal dari Nabi. Hal ini ini membuat para Ulama mulai khawatir.
Akhirnya dibuatlah sebuah tindakan bid'ah hasanah oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan memerintahkan ditulisnya hadits-hadits Nabi, sesuatu yang sebelumnya merupakan hal yang sangat dilarang oleh Baginda Nabi. (Ini membuktikan bahwa para Ulama zaman Ta'biin, yakni orang yang sempat bertemu dengan Sahabat Nabi, telah sepakat bahwa ada bid'ah yang hasanah alias bid'ah yang baik dan akan diberi pahala oleh Allah orang yang melakukannya. Salah satunya adalah dilakukannya penulisan dan pengumpulan hadits. Hal ini sangat bertentangan dengan faham sekelompok kecil umat Islam yang mengatakan bahwa semua bid'ah itu adalah sesat dan semua para pelakunya kelak akan dicampakkan ke dalam neraka).
Alhamdulillah muncullah ilmu baru dalam dunia Islam yakni ilmu Musthalah Hadits. Di antaranya adalah ilmu sanad hadits, yakni memeriksa suatu hadits itu dari orang-orang yang menghafal dan menyampaikannya terus diurut ke atas sampai kepada shahabat dan bersumber kepada Nabi. Jika para pemangkunya (sanadnya) tidak terputus, terus bersambung kepada Nabi, dan secara matan juga bagus maka hadits itu dinyatakan sebagai hadits shohih. Namun, jika ada sanad yang terputus maka hadits tersebut disebut hadits dhoif.
Saat itu jenis hadits hanya ada tiga saja, pertama hadits shohih, kedua hadits dhoif, dan ketiga disebut hadits maudhu', yang pada hakekatnya hadits palsu.
Kelak Ilmu Hadits makin maju dan berkembang dan istilah derajat hadits pun bertambah pula. Ada hadits shohih, hadits hasan lidzatihi, hadits hasan lighoirihi, hadits mutawatir lafdzi, mutawatir ma'nawi, hadits dhoif, munkar, dan maudhu' dll.
Kedudukan hadits Dhoif
Semua madzhab Imam yang Empat yakni Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Hambali sepakat bahwa hadits dhoif tidak boleh dibuang semuanya, karena hadits dhoif adalah hadits Rasulullah yang berderajat dhoif, bukan hadits maudhu'. Imam Hambali, madzhab beliau dipakai di Saudi Arabia dalam Mahkamah Syari'ah di sana, memutuskan bisa mengambil hukum dengan bersandar pada hadits dhoif sekalipun, jika saja tidak didapati ada hadits yang shohih dalam perkara tersebut. Imam Syafi'i memakai hadits dhoif sebagai penyemangat dalam beramal (fadhoilul a'mal). Demikian juga halnya Imam Hanafi dan Imam Maliki.
Sebagai contoh: Imam Hambali mengambil hukum bersentuhnya kulit antara pria dan wanita dewasa yang bukan mahrom membatalkan wudhu’. Padahal hadits ini kedudukannya dhaif, diriwayatkan dari Aisyah ra. Meskipun demikian ulama empat mazhab tidak pernah menyesatkan Imam Hambali atas tindakan beliau yang mengutip hadits dhaif sebagai dalil untuk menegakkan hukum (hujjah).
Kenapa hadits dhoif tidak serta merta dibuang? Logikanya begini!
Imam Hambali umpamanya. Beliau menghafal sejuta hadits lengkap dengan sanad-sanadnya. Namun kenyataannya, hadits yang beliau hafal itu hanya sempat dituliskan sebanyak 27.688 buah hadits. Nah, kemana perginya yang 970 ribuan hadits lagi? Semua yang tersisa itu Tentu karena TIDAK DAPAT DITULISKAN, BUKAN KARENA DIBUANG begitu saja! Hal ini disebabkan karena kesibukan sang Imam dalam mengajar sehari-hari, menjawab pertanyaan masyarakat, memberi fatwa dan juga beribadah untuk dirinya sendiri. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Imam Hambali setiap malam melakukan sholat sekitar 300 rakaat banyaknya. Belum lagi karena keterbatasan peralatan saat itu. Kertas belum banyak, juga tinta dan pena masih sangat sederhana. Sementara mesin ketik, alat cetak, apalagi computer sama sekali belum ada. Sebab itulah sedikit sekali hadits yang beliau hafal itu yang sempat ditulis dan sampai kepada kita.
Namun demikian, tidaklah serta merta hadits-hadits yang tidak sempat ditulis itu terbusng dan hilang begitu saja. Para murid yang setiap hari bergaul dengan sang guru pasti sempat memperhatikan dan menghafal setiap gerak langkah sang guru. Dan, gerak langkah sang guru ini pastilah sesuai dengan tuntunan sejuta hadits yang beliau hafal di dadanya. Sehingga kelak setelah sang guru wafat para muridnya mulai menulis dalam berbagai masalah dengan rujukan perilaku atau fiil sang guru tersebut. Prilaku sang guru tersebut kemudian hari dituliskan juga sebagai hadits yang terwarisi oleh kita sehingga kini.
Dalam rangka memilah dan memilih hadits dhaif para ulama hadits empat mazhab membagi-baginya dalam berbagai bagian. Ada yang membaginya ke dalam 42 bagian, ada yang membaginya menjadi 49 bagian dan ada yang membaginya ke dalam 89 bagian. Hadits-hadits inilah yang dipilah dan dipilih dan sebagiannya dapat diamalkan juga karena dhaifnya tidak keterlaluan.
Ulama hadits bukanlah sembarangan orang. Mereka memiliki ukuran tersendiri agar masuk ke dalam golongan ulama hadits. Ada ulama hadits yang sampai derajat hafizh, yakni mereka yang telah menghafal 100 ribu hadits lengkap dengan sanad-sanadnya. Di atas derajat hafizh ada yang disebut ulama hujjah, yakni mereka yang menghafal 300 ribu hadits beserta sanad-sanadnya. Di atas kedua derajat ini ada lagi yang dinamai hakim, yakni yang kemampuannya diatas hafizh dan hujjah. Dahsyat bukan?
Sayangnya, ada segelintir manusia akhir zaman, yang mana dia bukan seorang hafizh, bukan pula seorang hujjah apalagi seorang hakim, tetapi anehnya mereka berani bersuara lantang mengkritik dan menuduh sesat amal serta keputusan ulama-ulama hadits terdahulu. Kata mereka hadits ini dhoif, hadits itu mauhdu’, hadits ini munkar menyalahi pendapat ahli hadits tempo dulu, padahal mereka tidak pernah sekalipun bertemu dengan salah seorang pemangku (sanad) dari hadits yang mereka kritik itu. Sementara yang mereka caci itu justru orang-orang yang pernah kenal, bertemu dan bergaul langsung dengan para sanad tersebut. Lantas, ketika mereka sudah mengatakan sanad ini dan sanad itu terpercaya, tiba-tiba muncul manusia yang lahir entah zaman kapan dan hanya bermodal membaca buku di perpustakaan, seenaknya saja menyalahkan ulama-ulama hadits tempo dulu, dan merasa paling benar. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un! . Lalu mereka yang manakah yang patut kita percaya?
Sebagai contoh sebuah persoalan adalah masalah qunut shubuh. Imam Syafi’I, Imam Hakim, Imam Daruquthni, dan Imam Baihaqi sepakat mengatakan bahwa hadits qunut shubuh adalah shahih, sanadnya bagus, dan mengamalkannya adalah sunat. Tiba-tiba muncul manusia zaman sekarang dengan modal nekat berani mengatakan qunut shubuh itu bid’ah, dan seluruh pelakunya akan dicampakkan ke dalam neraka. Padahal, seluruh ulama Imam Empat Madzhab tidak pernah mengatakan qunut shubuh itu bid’ah meskipun mereka tidak mengamalkannya.
Sekarang terserah anda mau percaya ulama hadits yang telah teruji tempo dulu, atau orang-orang nekat akhir zaman yang rusak ini! Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.