Tentang definisi Salafus Sholeh.
Yang pertama, kita lihat secara bahasa salaf berasal dari akar kata :
a- Salafa – Yaslufu – wa Salfan --- Al-Ardha : yang berarti ‘meratakan tanah’ .
b- Salafa – Yaslufu – wa Salafan --- ketika org arab mengatakan ‘salaffa asy-syai’a’ berarti ‘mendahulukan sesuatu’.
Berkata Imam Ibn Mandzur : "Salaf ialah sesiapa yang telah mendahului engkau yang terdiri dari ibu bapa atau kaum kerabat yang lebih tua pada umur dan kedudukan." Ia juga bisa berarti nenek moyang atau generasi terdahulu (Salafun ; Aslafun). Sehingga secara bahasa yang dimaksud dengan Madzhab As-Salaf adalah madzhab generasi terdahulu. Sehingga menurut bahasa Imam An-Nabhani, Imam Hasan Al-Banna, Imam Ad-Dahlawwi, Imam Al-Maududi, Imam Abul Hasan An-Nadwi dll adalah termasuk Salaf Ash-sholeh (yaitu generasi terdahulu yang sholeh), karena sejarah telah membuktikan mereka adalah para Ulama yang ikhlas yang memimpin umat untuk mengembalikan Izzul Islam wa Muslimun !!!??
Kemudian ada sebagian Ulama yang menggunakan istilah Salaf Ash-Sholeh untuk menyebut generasi para shahabat-, tabi'in-, dan tabi'ut tabi'in, terutama Ibn Taimiyah dlm karya2-nya seperti Al-Aqidah Al-Washitiyyah, Majmu’ul Fatawa dll. Tapi belum pernah ada satupun riwayat yang shohih, yang sampai kepada kita bahwa ada diantara para Imam Mujtahid seperti: Imam Syafi’I, Abu Hanifah, Ahmad Ibn Hambal, Malik dll yang menyebut diri mereka dan pengikutnya sebagai kelompok Salafi; ‘hatta’ para Imam ahli hadis seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi dll yang menyebut dirinya sebagai Salafi !!!!
Padahal merekalah yang sebenarnya paling layak untuk disebut sebagai Salafi (yaitu penerus madzhab shahabat-, tabi'in-, dan tabi'ut tabi'in), karena mereka mengambil ilmu dien ini langsung dari mereka. Seperti kasus Imam Malik yang Kitabnya yang berjudul Al-Muwatho (sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Imam Malik dalam muqadimah kitabnya) mendapat rekomendasi dari 70 ulama Madinah yang merupakan anak keturunan dan murid sahabat atau tabi’in dan tabiu’t tabi’in di Madinah, bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Abu Hanifah pernah bertemu dengan para Sahabat dll.
Seandainya penyebutan atau labelisasi seperti ini adalah ‘sangat penting’ (seperti klaim Salafi), maka harusnya merekalah yang paling layak untuk menggunakan sebutan sebagai kelompok Salaf, dan pastilah mereka yang pertama kali akan ‘mempopulerkan’ istilah ini, ‘hatta’ sampai Ibn Taimiyyah-pun tidak pernah mengunakan istilah salafi untuk menyebut dan mendefinisikan madzhabnya dan para pengikutnya !!!
Lalu dari mana munculnya istilah Salafi, untuk menyebut “org yang mengklaim dirinya sebagai satu2-nya penerus madzbab Salaf Ash-Sholeh yaitu Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in”. Yang jelas bukan dari para Ulama Mujtahid seperti Imam Syafi’I, Abu Hanifah, Ahmad Ibn Hambal, Malik dll yang menyebut diri mereka dan pengikutnya sebagai kelompok Salafi; hatta para imam ahli hadis seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi dll !!??! Tapi adalah Albani-lah yang pertama kali menggunakan istilah ini, sebagaimana terekam dalam sebuah dialognya antara Albani dengan (salah satu pengikutnya yaitu Abdul Halim Abu Syuqqah) (Lihat Majalah As-Sunnah 06\IV\1420; hal 20-25) !!!
Lalu Albani-lah yang memberi definisi Salafi sebagai ‘orang-orang yang mengikuti cara beragamanya para salaf dalam memahami islam’. Dan supaya terlihat ‘keren’ lalu dinukillah sejumlah ayat, hadis, atsar dan pendapat sebagian Ulama (nb: yang tentunya ditakwil sesuai dengan kepentingan kelompok Neo Salafi ini !!!), untuk menunjukkan bahwa seakan-akan yang menggunakan istilah itu adalah para Imam diatas, padahal klaim itu tidaklah benar (nb : silahkan tunjukkan satu riwayat saja, yang shohih dr para imam mujtahid dan Imam Ahli Hadis yang memperkuat klaim kelompok Salafi ini) !!!?
Walhasil, untuk menilai apakah Imam Taqiyyudin atau Hasan Al-Banna dll mengikuti manhaj para salafus shalih atau tidak, tidak ditentukan oleh penilaian Albani, Utsaimin, Ibn Baz dll ( kualitas keilmuannya jauh dibawah para Imam ini !!??). Tapi hujjah dan argumentasi yang mereka gunakan !!! Dan itu harus dikaji kasus per kasus, tidak bisa digeneralisasi (nb: tidak seperti cara Ikhwan dan kelompoknya yang sengaja mencari-cari kesalahan para Imam ini lalu digunakan untuk menyatakan bahwa seluruh pendapat mereka adalah salah dan menyimpang !!?). Sedang klaimnya bahwa Albani, Utsaimin, Ibn Baz min firqoh As-Salafiyah Al-Jadidah (Kelompok Neo Salafi) adalah termasuk ulama salafy, dan merekalah satu2-nya yang layak mengikuti cara beragamanya para salaf dalam memahami islam adalah sebatas klaim kelompok salafi dan orang2 yang sepakat dengan pemikirannya !
a- Salafa – Yaslufu – wa Salfan --- Al-Ardha : yang berarti ‘meratakan tanah’ .
b- Salafa – Yaslufu – wa Salafan --- ketika org arab mengatakan ‘salaffa asy-syai’a’ berarti ‘mendahulukan sesuatu’.
Berkata Imam Ibn Mandzur : "Salaf ialah sesiapa yang telah mendahului engkau yang terdiri dari ibu bapa atau kaum kerabat yang lebih tua pada umur dan kedudukan." Ia juga bisa berarti nenek moyang atau generasi terdahulu (Salafun ; Aslafun). Sehingga secara bahasa yang dimaksud dengan Madzhab As-Salaf adalah madzhab generasi terdahulu. Sehingga menurut bahasa Imam An-Nabhani, Imam Hasan Al-Banna, Imam Ad-Dahlawwi, Imam Al-Maududi, Imam Abul Hasan An-Nadwi dll adalah termasuk Salaf Ash-sholeh (yaitu generasi terdahulu yang sholeh), karena sejarah telah membuktikan mereka adalah para Ulama yang ikhlas yang memimpin umat untuk mengembalikan Izzul Islam wa Muslimun !!!??
Kemudian ada sebagian Ulama yang menggunakan istilah Salaf Ash-Sholeh untuk menyebut generasi para shahabat-, tabi'in-, dan tabi'ut tabi'in, terutama Ibn Taimiyah dlm karya2-nya seperti Al-Aqidah Al-Washitiyyah, Majmu’ul Fatawa dll. Tapi belum pernah ada satupun riwayat yang shohih, yang sampai kepada kita bahwa ada diantara para Imam Mujtahid seperti: Imam Syafi’I, Abu Hanifah, Ahmad Ibn Hambal, Malik dll yang menyebut diri mereka dan pengikutnya sebagai kelompok Salafi; ‘hatta’ para Imam ahli hadis seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi dll yang menyebut dirinya sebagai Salafi !!!!
Padahal merekalah yang sebenarnya paling layak untuk disebut sebagai Salafi (yaitu penerus madzhab shahabat-, tabi'in-, dan tabi'ut tabi'in), karena mereka mengambil ilmu dien ini langsung dari mereka. Seperti kasus Imam Malik yang Kitabnya yang berjudul Al-Muwatho (sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Imam Malik dalam muqadimah kitabnya) mendapat rekomendasi dari 70 ulama Madinah yang merupakan anak keturunan dan murid sahabat atau tabi’in dan tabiu’t tabi’in di Madinah, bahkan ada riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Abu Hanifah pernah bertemu dengan para Sahabat dll.
Seandainya penyebutan atau labelisasi seperti ini adalah ‘sangat penting’ (seperti klaim Salafi), maka harusnya merekalah yang paling layak untuk menggunakan sebutan sebagai kelompok Salaf, dan pastilah mereka yang pertama kali akan ‘mempopulerkan’ istilah ini, ‘hatta’ sampai Ibn Taimiyyah-pun tidak pernah mengunakan istilah salafi untuk menyebut dan mendefinisikan madzhabnya dan para pengikutnya !!!
Lalu dari mana munculnya istilah Salafi, untuk menyebut “org yang mengklaim dirinya sebagai satu2-nya penerus madzbab Salaf Ash-Sholeh yaitu Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in”. Yang jelas bukan dari para Ulama Mujtahid seperti Imam Syafi’I, Abu Hanifah, Ahmad Ibn Hambal, Malik dll yang menyebut diri mereka dan pengikutnya sebagai kelompok Salafi; hatta para imam ahli hadis seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi dll !!??! Tapi adalah Albani-lah yang pertama kali menggunakan istilah ini, sebagaimana terekam dalam sebuah dialognya antara Albani dengan (salah satu pengikutnya yaitu Abdul Halim Abu Syuqqah) (Lihat Majalah As-Sunnah 06\IV\1420; hal 20-25) !!!
Lalu Albani-lah yang memberi definisi Salafi sebagai ‘orang-orang yang mengikuti cara beragamanya para salaf dalam memahami islam’. Dan supaya terlihat ‘keren’ lalu dinukillah sejumlah ayat, hadis, atsar dan pendapat sebagian Ulama (nb: yang tentunya ditakwil sesuai dengan kepentingan kelompok Neo Salafi ini !!!), untuk menunjukkan bahwa seakan-akan yang menggunakan istilah itu adalah para Imam diatas, padahal klaim itu tidaklah benar (nb : silahkan tunjukkan satu riwayat saja, yang shohih dr para imam mujtahid dan Imam Ahli Hadis yang memperkuat klaim kelompok Salafi ini) !!!?
Walhasil, untuk menilai apakah Imam Taqiyyudin atau Hasan Al-Banna dll mengikuti manhaj para salafus shalih atau tidak, tidak ditentukan oleh penilaian Albani, Utsaimin, Ibn Baz dll ( kualitas keilmuannya jauh dibawah para Imam ini !!??). Tapi hujjah dan argumentasi yang mereka gunakan !!! Dan itu harus dikaji kasus per kasus, tidak bisa digeneralisasi (nb: tidak seperti cara Ikhwan dan kelompoknya yang sengaja mencari-cari kesalahan para Imam ini lalu digunakan untuk menyatakan bahwa seluruh pendapat mereka adalah salah dan menyimpang !!?). Sedang klaimnya bahwa Albani, Utsaimin, Ibn Baz min firqoh As-Salafiyah Al-Jadidah (Kelompok Neo Salafi) adalah termasuk ulama salafy, dan merekalah satu2-nya yang layak mengikuti cara beragamanya para salaf dalam memahami islam adalah sebatas klaim kelompok salafi dan orang2 yang sepakat dengan pemikirannya !
Kritik Atas Sebagian Doktrin Aqidah Salafy
Wahabi atau mereka lebih senang disebut “Salafy”, menurut versi mereka adalah sebuah gerakan yang meneruskan jejak dakwah Rasulullah, para sahabat, murid-muridnya terus berlanjut hingga masa Ibn Taimiyah sampai ke Abdul Wahab dan ulama mereka masa sekarang seperti Syaikh al-Bany, bin Baz, Utsaimin, Muqbil dsb dengan penyucian akidah dan ibadah (tafsiyah dan tarbiyah) yang sebagian besar menurut pendapat madzhab mereka (Majalah as-Sunnah 8 Zahrah : 52-63). Yang perlu dipertanyakan lalu dimana letak jutaan ulama kaum muslimin yang tidak meyakini bahkan berbeda pendapat dengan apa yang mereka bawa karena mereka meyakini manhaj (metode) dakwah merekalah yang paling sesuai sunah dan yang lain…?. Berikut kami petikkan beberapa perbedaan pendapat mereka dengan ulama lain.
Al-Hafidz Ibnul jauzi, seorang ulama besar Hanabilah, sebagaimana dikutip dalam Tarikh al-Madzahib dan Al-Aqidah Al-Islamiyah Kamajj’a Bihaa Al-Qur’an Al-Karim (Zahrah : 52-63) mengomentari konsepsi akidah Ibnu Taimiyah (Al-Aqidatul Muhammadiyyatul Kubra, hal. 249) yang banyak diambil oleh kaum Wahabi: “ Saya melihat diantara sahabat-sahabat kami ada yang berbicara tentang masalah ushul dengan cara yang tidak patut. Aku lihat mereka telah turun ke tingkat awam. Mereka mengartikan sifat-sifat Allah menurut jangkauan indera. Mereka mendengar bahwa Allah ta’ala menciptakan Adam sesuai bentuk-Nya, lalu mereka tetapkan bagi-Nya bentuk dan wajah disamping zat, kedua mata, mulut, gigi, sinar wajah, kedua tangan, jari jemari, telapak tangan, jari kelingking, ibu jari, dada, paha, dan kedua betis. Mereka berkata: “Kami tidak mendengar sebutan kepala. Begitulah mereka mendengar makna dhahirnya dalam mengartikan nama-nama dan sifat-sifat, padahal tiada dalil bagi mereka, baik naqli maupun akal. Juga mereka tidak memperhatikan nash-nash yang telah dialihkan dari dhahirnya kepada makna-makna yang wajib bagi Allah Ta’ala dan penghapusan tanda-tanda ciptaan (hadis) yang ditimbulkan oleh pengertian dhahir tersebut. Mereka tidak merasa puas dengan hanya mengatakan: “ sifat perbuatan, “ hingga mereka katakan: “ Ia adalah sifat zat." (Zahrah : 56)
Ringkasnya beliau tidak menyetujui hal-hal berikut:
a). Ia tidak menyetujui bahwa madzhab salaf adalah yang menafsirkan lafadz-lafadz yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadits yang dhahirnya menunjukkan anggota-anggota tubuh seperti tangan, wajah, dan kaki menurut makna-maknanya yang dhahir, tapi mengalihkannya kepada makna-makna majaz. “ tangan” (yad) diartikan kenikmatan dan kekuasaan, “wajah” diartikan Zat yang Maha Tinggi. Hal ini dianggapnya sudah masyhur (dikalangan orang arab) dan sudah logis, disamping itu mustahil zat yang Maha Tinggi mempunyai tangan dan lainnya.
b). Beliau tidak menyetujui bahwa penafsiran lafadh-lafadh ini menurut dhahirnya sebagai madzhab Hambali (salaf)
c). Dengan aksioma ia berpendapat bahwa mengalihkan lafadh-lafadh kepada dhahirnya menimbulkan, bahwa Allah adalah konkrit dan merupakan materi tubuh seperti tubuh-tubuh lainnya.
d). Imam Hambali tidak berpendapat bahwa penafsiran seperti itu adalah tafwidl (Penyerahan maksud kejelasannya kepada Allah) , sebab tafwidl adalah berhenti pada nash tanpa berusaha mengetahui maksudnya. Maka orang yang menafsirkannya secara konkrit (berdasar indra) tidaklah menyerahkan maksud makna lafadh itu kepada-Nya, tetapi ia menafsirkannya, walaupun tidak menakwilkannya.
e). Imam Hambali berpendapat bahwa dengan mendakwakan bahwa Allah mempunyai tangan tetapi tidak seperti tangan kita, mata tidak seperti mata kita, dst sesungguhnya berarti mengeluarkan lafadh dari dhahirnya, karena dhahirnya lafadh menunjukkan tangan dan mata yang konkrit. Maka pemalingannya dari yang konkrit (berdasar indra) kepada makna lainnya adalah merupakan penakwilan dan penafsiran
Muhammad bin Abdul Wahhab berpendapat bahwa barang siapa berziarah kemakam Rasulullah, mereka tidak boleh mengqashar shalatnya saat diperjalanan karena tujuannya perjalanannya adalah berbuat dosa berdasarkan: La tusyaddul rihaalu illa tsalatsati masaajida : masjidiy hadzaa, walmasjidil haram walmasjidil aqsha (HR. Bukhari & Muslim). Sedang madzhab lain tidak berpendapat demikian berdasarkan: Kuntu nahaytukum ‘ an ziyaarotil qubuuri alaa fazuruhaa (HR. Muslim, Ahmad, Turmudzi, & Ibnu Majah). Dengan demikian berziarah kemakam Rasulullah lebih utama dibanding lainnya. Dan hadits Abdul Wahhab diatas dikhususkan untuk ziarah kemasjid-masjid saja, karena sifatnya tidak umum “ Janganlah bersusah payah melakukan perjalanan kecuali ketiga masjid”, jadi berziarah pada masjid hanya untuk tiga masjid diatas saja.
Pada tahun 1344 H, mereka menghancurkan pemakaman Baqi’ dan peninggalan-peninggalan keluarga Rasul dan sahabatnya. Untuk mendapatkan fatwa ulama Madinah mereka mengutus Hakim Agung Nejd, Sulaiman bin Bulaihad, guna menanyakan fatwa ulama disana dengan menyelipkan pendapat Wahabi tentang masalah yang ditanyakan. Maksudnya agar para ulama disana menjawab dengannya atau dianggap kafir dan jika tidak bertaubat maka akan dibunuh.
Soal jawab ini dimuat dimajalah Ummul Qura, terbitan Makkah, bulan Syawal tahun 1344 H. Maka terjadilah keributan dikalangan muslim syi’ah maupun ahlus-sunnah karena mereka tahu dengan fatwa dari 15 ulama Madinah itu penghancuran bekas-bekas ahlul bait dan sahabat Rasulullah akan segera dilaksanakan. Dan pada 8 Syawal tahun itu juga mereka menghancurkannya. Berikut cuplikannya: Sulaiman bin Bulaihad dalam pertanyaannya mengatakan: Bagaimanakah pendapat ulama Madinah (semoga Allah menambah kefahaman dan ilmu mereka) mengenai membangun kuburan dan menjadikannya sebagai masjid, apakah boleh atau tidak? Jika ditanah waqaf seperti Baqi’ yang bangunannya mencegah untuk menggunakan bagian yang dibangun, apakah ini termasuk qashab yang harus segera dihilangkan, karena hal itu merupakan aniaya terhadap orang-orang yang berhak, dan menghalangi mereka dari haknya atau tidak?
Ulama Madinah dengan wajah ketakutan menjawab : Mendirikan bangunan menurut ijma’ hukumnya adalah terlarang bersandar pada hadits Ali dari Abul Hayyaj, Ali berkata: Aku menyeru engkau kepada suatu perbuatan dimana Rasulullah telah menyeru aku dengannya, yaitu tidaklah engkau melihat patung kecuali engkau musnahkan, dan kuburan yang menonjol kecuali hendaknya engkau ratakan (HR. Muslim, Tirmidzi, an-Nasa’I).
Ada perbedaan pendapat mengenai hal ini, berdasarkan al-Qur’an surat al-Hajj 32: ..Dan barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. Dalam Majma’ Al-Bayan disebutkan sya’ir disini adalah tanda-tanda agama Allah, seperti halnya Shafa dan Marwah. Selain itu hadits ini dalalahnya (maknanya) juga tidak seperti yang difahami kaum wahabi saja. “Wa laa qabran musyrifan illa sawwaytahu”, as-Syarafu dalam al-Munjid diartikan sebagai ketinggian (seperti Punuk unta) sedang sawwaytahu berarti menyamakan / meratakan / meluruskan sesuatu yang miring. Jadi seperti penjelasan Imam Nawawi dalam syarah muslim “ Sunnahnya ialah, kuburan tidak terlalu ditinggikan dari atas tanah dan tidak dibentuk seperti punuk unta, akan tetapi ditinggikan satu jengkal. Jadi bukan dihancurkan sama sekali dan bukan merupakan dalil mengharamkan bangunan diatas kuburan ( Subhani, Ja’far, Wahabiyah fi Al-Mizan, Muassasah Al-Nasyr Al-Islamiy At-Tarbiyah Li Jama’ah).
Dimasa sekarang hubungan Wahabi dan keluarga Saud, yang kini menjadi antek Amerika, tetap berjalan seperti dulu kala. Sedangkan dakwah Wahabi masih juga berkutat pada TBC (Tauhid, Bid’ah, dan Khurafat). Dalam kajian-kajiannya mereka senantiasa menghidupkan permasalahan-permasalahan ‘masa lalu’ seperti kesalahan –kesalahan kelompok Mu’tazilah, Syi’ah, Murji’ah dan sebagainya. Permasalahan-permasalahan semisal politik, ekonomi, dan semacamnya jangan pernah berharap akan dibahas dengan komprehensif, “sekarang yang diperbaiki akidahnya dulu, bagaimana mau berpolitik wong akidahnya masih rusak” kutipan dari salah seorang ustadz mereka. Jelas pernyataan ini masih perlu dibahas dan didiskusikan lebih lanjut.
Dan yang paling penting mereka sangat getol mengkritisi (atau lebih tepatnya menghujat) gerakan-gerakan Islam pada umumnya. Hizbut Tahrir mereka katakan Mu’tazilah Gaya Baru, Ikhwan al-Muslimin dikatakan sufi maupun ahlul-hawa, Jama’ah Tabligh dikatakan sufi gaya baru. Dari sisi analisa politik kami melihat bahwa hal ini tidak lepas dari peran keluarga Saud yang jelas tidak ingin kekuasaannya digantikan oleh gerakan Islam yang ingin menegakkan Negara Islam dan memanfaatkan Wahabi sebagai corong untuk mereka atau lebih jauh mereka mendapat “pesan” dari bosnya, A.S untuk melakukan langkah-langkah konkrit melawan “Islam Fundamentalis”. Dari sisi ide kami menilai kritik mereka memang harus ditempatkan sebagaimana mestinya, dinilai dari kekuatan argumentasinya, dan sudah banyak kitab yang menjawab kritik-kritik yang dilontarkan mereka.
Mafahim Yujib an-Thushahah yang ditulis, Syaikh Alwi al-Maliki membantah tulisan mereka tentang isu-isu tawasul, istighasah, maulud dan sebagainya, Hadits Ahad dalam Masalah Akidah yang ditulis oleh Dr. Fathi M. Salim, Fiqh al-ikhtilaf Yusuf Qardhawi yang juga mengkritik jama’ah-jama’ah lain selain Wahabi, 'Abd al-Ghani an-Nabulusi, Al-Hadiqat an-nadiyya, h. 182, Istanbul, 1290. Ahmad Zaini Dahlan', Ad-durar as-saniyya fi 'r-raddi 'ala 'l-Wahhabiyya in Cairo in 1319 (1901 M) dan masih banyak lagi.
Al-Hafidz Ibnul jauzi, seorang ulama besar Hanabilah, sebagaimana dikutip dalam Tarikh al-Madzahib dan Al-Aqidah Al-Islamiyah Kamajj’a Bihaa Al-Qur’an Al-Karim (Zahrah : 52-63) mengomentari konsepsi akidah Ibnu Taimiyah (Al-Aqidatul Muhammadiyyatul Kubra, hal. 249) yang banyak diambil oleh kaum Wahabi: “ Saya melihat diantara sahabat-sahabat kami ada yang berbicara tentang masalah ushul dengan cara yang tidak patut. Aku lihat mereka telah turun ke tingkat awam. Mereka mengartikan sifat-sifat Allah menurut jangkauan indera. Mereka mendengar bahwa Allah ta’ala menciptakan Adam sesuai bentuk-Nya, lalu mereka tetapkan bagi-Nya bentuk dan wajah disamping zat, kedua mata, mulut, gigi, sinar wajah, kedua tangan, jari jemari, telapak tangan, jari kelingking, ibu jari, dada, paha, dan kedua betis. Mereka berkata: “Kami tidak mendengar sebutan kepala. Begitulah mereka mendengar makna dhahirnya dalam mengartikan nama-nama dan sifat-sifat, padahal tiada dalil bagi mereka, baik naqli maupun akal. Juga mereka tidak memperhatikan nash-nash yang telah dialihkan dari dhahirnya kepada makna-makna yang wajib bagi Allah Ta’ala dan penghapusan tanda-tanda ciptaan (hadis) yang ditimbulkan oleh pengertian dhahir tersebut. Mereka tidak merasa puas dengan hanya mengatakan: “ sifat perbuatan, “ hingga mereka katakan: “ Ia adalah sifat zat." (Zahrah : 56)
Ringkasnya beliau tidak menyetujui hal-hal berikut:
a). Ia tidak menyetujui bahwa madzhab salaf adalah yang menafsirkan lafadz-lafadz yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadits yang dhahirnya menunjukkan anggota-anggota tubuh seperti tangan, wajah, dan kaki menurut makna-maknanya yang dhahir, tapi mengalihkannya kepada makna-makna majaz. “ tangan” (yad) diartikan kenikmatan dan kekuasaan, “wajah” diartikan Zat yang Maha Tinggi. Hal ini dianggapnya sudah masyhur (dikalangan orang arab) dan sudah logis, disamping itu mustahil zat yang Maha Tinggi mempunyai tangan dan lainnya.
b). Beliau tidak menyetujui bahwa penafsiran lafadh-lafadh ini menurut dhahirnya sebagai madzhab Hambali (salaf)
c). Dengan aksioma ia berpendapat bahwa mengalihkan lafadh-lafadh kepada dhahirnya menimbulkan, bahwa Allah adalah konkrit dan merupakan materi tubuh seperti tubuh-tubuh lainnya.
d). Imam Hambali tidak berpendapat bahwa penafsiran seperti itu adalah tafwidl (Penyerahan maksud kejelasannya kepada Allah) , sebab tafwidl adalah berhenti pada nash tanpa berusaha mengetahui maksudnya. Maka orang yang menafsirkannya secara konkrit (berdasar indra) tidaklah menyerahkan maksud makna lafadh itu kepada-Nya, tetapi ia menafsirkannya, walaupun tidak menakwilkannya.
e). Imam Hambali berpendapat bahwa dengan mendakwakan bahwa Allah mempunyai tangan tetapi tidak seperti tangan kita, mata tidak seperti mata kita, dst sesungguhnya berarti mengeluarkan lafadh dari dhahirnya, karena dhahirnya lafadh menunjukkan tangan dan mata yang konkrit. Maka pemalingannya dari yang konkrit (berdasar indra) kepada makna lainnya adalah merupakan penakwilan dan penafsiran
Muhammad bin Abdul Wahhab berpendapat bahwa barang siapa berziarah kemakam Rasulullah, mereka tidak boleh mengqashar shalatnya saat diperjalanan karena tujuannya perjalanannya adalah berbuat dosa berdasarkan: La tusyaddul rihaalu illa tsalatsati masaajida : masjidiy hadzaa, walmasjidil haram walmasjidil aqsha (HR. Bukhari & Muslim). Sedang madzhab lain tidak berpendapat demikian berdasarkan: Kuntu nahaytukum ‘ an ziyaarotil qubuuri alaa fazuruhaa (HR. Muslim, Ahmad, Turmudzi, & Ibnu Majah). Dengan demikian berziarah kemakam Rasulullah lebih utama dibanding lainnya. Dan hadits Abdul Wahhab diatas dikhususkan untuk ziarah kemasjid-masjid saja, karena sifatnya tidak umum “ Janganlah bersusah payah melakukan perjalanan kecuali ketiga masjid”, jadi berziarah pada masjid hanya untuk tiga masjid diatas saja.
Pada tahun 1344 H, mereka menghancurkan pemakaman Baqi’ dan peninggalan-peninggalan keluarga Rasul dan sahabatnya. Untuk mendapatkan fatwa ulama Madinah mereka mengutus Hakim Agung Nejd, Sulaiman bin Bulaihad, guna menanyakan fatwa ulama disana dengan menyelipkan pendapat Wahabi tentang masalah yang ditanyakan. Maksudnya agar para ulama disana menjawab dengannya atau dianggap kafir dan jika tidak bertaubat maka akan dibunuh.
Soal jawab ini dimuat dimajalah Ummul Qura, terbitan Makkah, bulan Syawal tahun 1344 H. Maka terjadilah keributan dikalangan muslim syi’ah maupun ahlus-sunnah karena mereka tahu dengan fatwa dari 15 ulama Madinah itu penghancuran bekas-bekas ahlul bait dan sahabat Rasulullah akan segera dilaksanakan. Dan pada 8 Syawal tahun itu juga mereka menghancurkannya. Berikut cuplikannya: Sulaiman bin Bulaihad dalam pertanyaannya mengatakan: Bagaimanakah pendapat ulama Madinah (semoga Allah menambah kefahaman dan ilmu mereka) mengenai membangun kuburan dan menjadikannya sebagai masjid, apakah boleh atau tidak? Jika ditanah waqaf seperti Baqi’ yang bangunannya mencegah untuk menggunakan bagian yang dibangun, apakah ini termasuk qashab yang harus segera dihilangkan, karena hal itu merupakan aniaya terhadap orang-orang yang berhak, dan menghalangi mereka dari haknya atau tidak?
Ulama Madinah dengan wajah ketakutan menjawab : Mendirikan bangunan menurut ijma’ hukumnya adalah terlarang bersandar pada hadits Ali dari Abul Hayyaj, Ali berkata: Aku menyeru engkau kepada suatu perbuatan dimana Rasulullah telah menyeru aku dengannya, yaitu tidaklah engkau melihat patung kecuali engkau musnahkan, dan kuburan yang menonjol kecuali hendaknya engkau ratakan (HR. Muslim, Tirmidzi, an-Nasa’I).
Ada perbedaan pendapat mengenai hal ini, berdasarkan al-Qur’an surat al-Hajj 32: ..Dan barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. Dalam Majma’ Al-Bayan disebutkan sya’ir disini adalah tanda-tanda agama Allah, seperti halnya Shafa dan Marwah. Selain itu hadits ini dalalahnya (maknanya) juga tidak seperti yang difahami kaum wahabi saja. “Wa laa qabran musyrifan illa sawwaytahu”, as-Syarafu dalam al-Munjid diartikan sebagai ketinggian (seperti Punuk unta) sedang sawwaytahu berarti menyamakan / meratakan / meluruskan sesuatu yang miring. Jadi seperti penjelasan Imam Nawawi dalam syarah muslim “ Sunnahnya ialah, kuburan tidak terlalu ditinggikan dari atas tanah dan tidak dibentuk seperti punuk unta, akan tetapi ditinggikan satu jengkal. Jadi bukan dihancurkan sama sekali dan bukan merupakan dalil mengharamkan bangunan diatas kuburan ( Subhani, Ja’far, Wahabiyah fi Al-Mizan, Muassasah Al-Nasyr Al-Islamiy At-Tarbiyah Li Jama’ah).
Dimasa sekarang hubungan Wahabi dan keluarga Saud, yang kini menjadi antek Amerika, tetap berjalan seperti dulu kala. Sedangkan dakwah Wahabi masih juga berkutat pada TBC (Tauhid, Bid’ah, dan Khurafat). Dalam kajian-kajiannya mereka senantiasa menghidupkan permasalahan-permasalahan ‘masa lalu’ seperti kesalahan –kesalahan kelompok Mu’tazilah, Syi’ah, Murji’ah dan sebagainya. Permasalahan-permasalahan semisal politik, ekonomi, dan semacamnya jangan pernah berharap akan dibahas dengan komprehensif, “sekarang yang diperbaiki akidahnya dulu, bagaimana mau berpolitik wong akidahnya masih rusak” kutipan dari salah seorang ustadz mereka. Jelas pernyataan ini masih perlu dibahas dan didiskusikan lebih lanjut.
Dan yang paling penting mereka sangat getol mengkritisi (atau lebih tepatnya menghujat) gerakan-gerakan Islam pada umumnya. Hizbut Tahrir mereka katakan Mu’tazilah Gaya Baru, Ikhwan al-Muslimin dikatakan sufi maupun ahlul-hawa, Jama’ah Tabligh dikatakan sufi gaya baru. Dari sisi analisa politik kami melihat bahwa hal ini tidak lepas dari peran keluarga Saud yang jelas tidak ingin kekuasaannya digantikan oleh gerakan Islam yang ingin menegakkan Negara Islam dan memanfaatkan Wahabi sebagai corong untuk mereka atau lebih jauh mereka mendapat “pesan” dari bosnya, A.S untuk melakukan langkah-langkah konkrit melawan “Islam Fundamentalis”. Dari sisi ide kami menilai kritik mereka memang harus ditempatkan sebagaimana mestinya, dinilai dari kekuatan argumentasinya, dan sudah banyak kitab yang menjawab kritik-kritik yang dilontarkan mereka.
Mafahim Yujib an-Thushahah yang ditulis, Syaikh Alwi al-Maliki membantah tulisan mereka tentang isu-isu tawasul, istighasah, maulud dan sebagainya, Hadits Ahad dalam Masalah Akidah yang ditulis oleh Dr. Fathi M. Salim, Fiqh al-ikhtilaf Yusuf Qardhawi yang juga mengkritik jama’ah-jama’ah lain selain Wahabi, 'Abd al-Ghani an-Nabulusi, Al-Hadiqat an-nadiyya, h. 182, Istanbul, 1290. Ahmad Zaini Dahlan', Ad-durar as-saniyya fi 'r-raddi 'ala 'l-Wahhabiyya in Cairo in 1319 (1901 M) dan masih banyak lagi.
Hadits Dhoif Dalam Aqidah Salafy
Kelompok ‘Neo Salafi’ berpendapat bahwa seluruh khabar (hadis) dari rasul SAW yang terbukti shohih baik mutawatir atau ahad adalah dalil dalam masalah aqidah !!!? Tetapi apakah realitasnya sesuai dengan klaim diatas, kita dapat menyimaknya sebagai berikut : seperti yang termaktub dalam kitab Syarhu Lum’ah Al-I’tiqod Al-Hadi ila Sabil Ar-Rasyad lil Imam Ibn Qudamah Al-Maqdisi dengan syarah dari Ibn Utsaimin, dengan penelitian dan takhrij hadis oleh Asyiraf Ibn Abdul Maqsud Ibn Abdur Rahim – Penerbit Maktabah Thabariyah/cetakan pertama tahun 1992 M – 1412 H !.
Ibn Abdur Rahim yang meneliti hadis dan atsar dalam kitab ini, menyatakan sejumlah hadis dan atsar (baik yang terdapat dalam matan dari Ibn Qudamah atau syarh-nya oleh Ibn Utsaimin) adalah hadis atau atsar yang dhoif :
Hadis no. 24 pada bagian syarh oleh Ibn Utsimin (hal. 59) adalah hadis dhoif.
Hadis no. 27 pada bagian syarh oleh Ibn Utsimin (hal. 62) adalah hadis dhoif.
Hadis no. 30 pada bagian syarh oleh Ibn Utsimin (hal. 66) adalah hadis dhoif.
Hadis no. 32 pada bagian syarh oleh Ibn Utsimin (hal. 67) adalah hadis dhoif.
Hadis no. 41 pada bagian syarh oleh Ibn Utsimin (hal. 75) adalah hadis dhoif.
Hadis no. 44 pada bagian matan (poin 33) oleh Ibn Qudamah (hal. 81) adalah hadis dhoif.
Atsar no. 47 pada bagian matan (poin 36) oleh Ibn Qudamah (hal. 82) adalah hadis dhoif.
Hadis no. 55 pada bagian matan (poin 45) oleh Ibn Qudamah (hal. 90) adalah hadis dengan sanad yang dhoif.
Hadis no. 112 pada bagian syarh oleh Ibn Utsimin (hal. 129) adalah hadis dhoif.
Hadis no. 127 pada bagian matan (poin 78) oleh Ibn Qudamah (hal. 139) adalah hadis dengan sanad yang dhoif.
Hadis no. 140 pada bagian matan (poin 85) oleh Ibn Qudamah (hal. 148) adalah hadis dhoif.
Walhasil, bukan hanya hadis ahad yang shohih saja yang digunakan oleh kelompok Neo Salafi ini, sebagai dalil dalam masalah aqidah tapi hadis dhoif-pun jika cocok dengan pendapat dan hawa nafsunya akan dijadikan sebagai dalil untuk masalah aqidah !!!?
Bukankan Ibn Utsaimin dianggap sebagai ‘konseptor utama’ Salafi dalam masalah aqidah, bukankan kitab-kitabnya seperti Fathu rabbir barriyah bi talkhishil alhumuwiyah, Nubadz fi Al-Aqidah Al-Islamiyah, Al-Qawa’id Al-Mutsla fi sifatillah wa asmaihi a-Husna, Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Syarh Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Syarh Aqidah Al-Washitiyah li Ibn Taimiyah dll adalah referensi utama kelompok Neo Salafi dalam masalah aqidah (selain juga ada kitab-kitab yang lain) !!!? Sedang Syarh Lum’ah Al-I’tiqad adalah karangan Ibn Utsaimin, sehingga wajar ini dianggap ‘representasi umum’ dari aqidah kelompok Neo Salafi ini !!!? Lalu apa yang sebenarnya diinginkan oleh kelompok Neo Salafi ini dengan menyatakan : “Tidak cukup Al-Qur’an dan hadis mutawatir saja sebagai dalil dalam masalah aqidah, tapi pada saat yang bersamaan menerima hadis dhoif sebagai dalil dalam masalah aqidah” (baik itu yang tercantum dalam matan atau syarh-nya) !!!
Tidak cukup sampai disini, Ibn Utsaimin pun menyatakan ada pendapat dari Imam Ibn Qudamah yang bertentangan dengan pendapat Ahlus sunnah wal jama’ah !!! Seperti ketika Ibn Qudamah berkata : “Min Sifatillah Innahu Mutakalimun bi kalamil qadim” (Termasuk sifat Allah berbicara dengan kalam Al-Qadim) (pada pasal kalam Allah – poin 21), oleh Ibn Utsaimin pernyataan ini di komentari sbb : ‘….La Yaslahu ila hadzal ma’na ‘ala madzhabi ahlis sunnah wal jama’ah….’ (Tidak dianggap layak makna seperti ini untuk dinisbahkan kepada ahlus sunnah wal jama’ah) hal. 74 dalam Fasal Ta’liq ‘Ala kalam Al-Mualif fi fashlil kalam (Pasal komentar atas pendapat penulis (yaitu Ibn Qudamah) teatang masalah kalam) dalam kitab yang sama !!!?
Walhasil, menurut Ibn Utsaimin ada pendapat yang bertentangan dengan pendapat Ahlus sunnah wal jama’ah !!! Dimana Imam Ibn Qudamah (menurut Ibn Utsaimin) masih ‘sempat’ mengadopsi pendapat yang bertentangan Ahlus sunnah wal jama’ah !!! Jadi yang menentukan apakah pendapat Imam Ibn Qudamah ini cocok atau tidak dengan pendapat Ahlus sunnah wal jama’ah adalah Ibn Utsaimin !??!!
Sehingga terbukti mereka bukanlah penerus manhaj Salaf, tetapi ‘sebatas’ korektor pendapat dan karya para Ulama Salaf, artinya merekalah yang berhak (nb : menurutt klaim mereka yg salah) memberi ‘stempel’ seorang ulama salaf itu layak untuk dimasukkan jajaran Ulama Penerus Manhaj Salaf atau tidak, jika mereka (para Ulama itu) sudah ‘lulus sensor’ baik aqidah, manhaj atau pendapat2-nya agar sesuai dengan aqidah, manhaj dan fiqh kelompok “neo Salafi” ini maka absahlah status mereka sebagai Ulama Salaf dan pendapat2nya dan kemudian karya-karya para Ulama ini dapat dijadikan rujukan dan referensi !!! Waliyadzu billlah !!!??! Haihata haihata Ya Ghulat Al-Mudzabdzib As-Salafi !
Celaan Salafi Atas Aqidah Imam Ahlus Sunnah Abu Ja’far Ath-Thahawi.
Tentang pernyataan (yaitu pengikut Salafi bernama Ikhwan) : “namun karena terlalu mengutamakan masalah yang bukan masalah ushul untuk didakwahkan akhirnya mereka melupakan bahwasanya kaum muslimin saat ini juga telah jauh tidak hanya dari syari'at Allah tetapi juga dengan aqidah yang shahih” !!??.
Kami hendak bertanya: Aqidah shohih menurut siapa, wahai Ikhwan ??? Apakah aqidah shohih menurut Ibn Baz, Utsaimin, Albani dll !!? Kalau anta mengklaim bahwa aqidah yang anta dan kelompokmu perjuangkan adalah aqidahnya para Salaf, apa buktinya !!!?.
Al-Hafidz Ibn Abdil Bar Al-Andalusi (630 H) pernah menulis kitab Isti’ab fi Ma’rifatil Ashab yang berisi biografi dari 3500 orang sahabat, kemudian Al-hafidz Ibnul Atsir menulis kitab Usudul Gabah fi Ma’rifatil Amais Sahabah yang berisi biografi dari 7554 orang sahabat , bahkan Al-Hafidz Ibn hajar menulis kitab Al-Isabah fi Tamyiz Sahabah yang berisi 12.267 biografi sahabat (9.447 untuk sahabat laki2 yang dikenal dengan nama aslinya; 1.268 sahabat yang dikenal dengan nama kuniyah; 1.522 untuk nama asli dan kuniyah dari sahabat wanita) !!!
Sekarang kami menantang anta, wahai Ikhwan – Coba tunjukkan satu saja dari sekian sahabat diatas yang memberi rekomendasi terhadap salah satu dari kitab aqidah yang engkau klaim sbg satu2-nya kitab aqidah yang mewakili aqidah para Salaf ini !!??
Rekomendasi seperti itu harus ada, apalagi bagi kelompok yang mengklaim aqidah ‘versi’ kelompoknya adalah satu2-nya aqidah yang paling shahih, kemudian anta dan kelompokmu tidak dapat menunjukkan rekomendasi yang dimaksud, maka klaim anta dan kelompokmu adalah klaim semu dan berlebih2-an, kalau tidak bisa dikatakan dusta !!! Bahkan seorang Imam Abu Ja’far Ath-Thohhawi tidak berani mengklaim bahwa aqidah yang beliau tulis adalah satu2-nya yang mewakili aqidah para Salaf Ash-Sholeh (yaitu Sahabat, Tabi’in, Tabiut Tabi’in) !!!??.
Coba perhatikan bahwa Imam Abu Ja’far Ath-Thohawi hanya menyatakan bahwa kitab aqidah yang beliau tulis adalah aqidah yang mewakili madzhab aqidah menurut madzhab Imam Abu Hanifah dkk, teks lengkapnya spt berikut : “hadza dzikru bayan aqidah ahlis sunnah ‘ala madzhab fuqoha’ al-millah : Abu Hanifah Ibn Nu’man Ats-Tsabit, Abi Yusuf ibn Ibrahim Al-Anshori, Abi Abdilllah Muhammad Ibn Al-Hasan Asy-Syaibani ridhwanullahi a’laihim ajma’in “ (Ini adalah piagam yang berisi penjelasan tentang aqidah Ahlus - sunnah menurut madzhab Imam Fuqaha’ : ‘Abu Hanifah Ibn Nu’man Ats-Tsabit, Abi Yusuf ibn Ibrahim Al-Anshori, Abi Abdilllah Muhammad Ibn Al-Hasan Asy-Syaibani ra.’) (Lihat Kitab Matan Al-Aqidah Ath-Thohawiyah, Bagian Muqadimmah) !!?.
Lalu bagaimana dengan klaim Kelompok ‘neo salafi’ ini, bahwa aqidah mereka adalah satu2-nya aqidah yang mewakili para Salaf, tapi mereka tidak bisa menunjukkan seorang-pun dari para Sahabat ini yang memberi rekomendasi kpd aqidah ‘versi’ kelompok Salafi ini, tidak sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Ath-Thohhawi !!?.
Apalagi kalau dikatakan semua Salaf Ash-Sholeh sepakat dengan aqidah mereka, maka Kelompok ‘neo salafi’ ini harus bisa menyebut satu persatu nama dr para sahabat yang berjumlah 7554 orang sahabat (menurut Al-hafidz Ibnul Atsir) atau dari 12.267 orang sahabat (menurut Hafidz Ibn Hajar Al-Asqolani) yang memberi rekomendasikan atas kitab2 aqidah yang mereka klaimkan sbg satu2-nya kitab aqidah yang mewakili aqidah para Salaf Ash-Sholeh !!!
Lagipula Kitab Al-Aqidah Ath-Thohawiyah ini juga diklaim oleh para pengikut Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (nb: yang dikenal dengan Asy’ariyah) sebagai kitab referensi aqidah Asy’ariyyah, dimana kelompok Asy’ariyyah ini merupakan ‘musuh abadi’ Salafi !!.
Buktinya sbb : pada poin ke 5 dari kitab aqidahnya Imam Ath-Thohawiyah menyatakan “Qodimun bila ibtidain, daimun bila intihaun ( Ia Allah adalah Al-Qadim (Maha Awal) tanpa permulaan, Ad-Daim (Yang Maha Kekal) tanpa akhir)”. Lalu Ibn Baz mengkritiknya dengan mengatakan : hadza lafdzun lam yarud fi asmaaillah al-husnaa, kamaa nabbaha a’laihi Asy-syarih rahimahullah wa ghoiruhu. Innama dzakarahu katsirun min ‘ulamail kalam, liyutsbituu bihi wujudahu qabla kulli syaiin” (lafadz ini (Al-Qadim) tidak termasuk Asmaul Husna, sebagaimana banyak digunakan oleh para Ahlul Kalam untuk menetapkan wujud-Nya sebelum segala sesuatu) (Lihat Matan Al-Aqidah Ath-Thohawiyah ta’liq ibn baz, syarah poin ke – 5). Coba perhatikan bahwa Ibn Baz telah menuduh Imam Ath-Thohawiyah memasukkan dalam kitab Aqidah-nya filsafat dan ilmul kalam, padahal kitab aqidah ini adalah yang dklaim oleh kelompok Salafiyah dan Asy’ariiyah sbg kitab aqidah para Salaf.
Tidak cukup sampai disini penghinaan Ibn Baz thd Imam Abu Jafar Ath-Thohawi, ketika Imam Ath-Thohawi mengatakan bahwa : “Al-Iman wahidun wa ahluhu fi ashlihi sawaaun” (iman adalah satu, ahlul iman pada dasarnya adalah sama) – Ibn Baz berkata : “Hadza fiihi nadzirun, bal huwa bathilun” (Pendapat ini harus dikaji, bahkan ini termasuk ucapan yang bathil) (Lihat Lihat Matan Al-Aqidah Ath-Thohawiyah ta’liq ibn baz, syarah poin ke – 64) !!! Imam Abu Abdillah Jamal berkata : “Jika kamu lihat seseorang mencerca ulama As Sunnah dan manhaj Salafus Shalih di negeri ini dan lainnya maka ketahuilah bahwa ia adalah pengikut hawa.”
yang lebih mengherankan lagi, kalau Salafi telah menjadikan kitab Al-Aqidah Ath-Thohawi ini sebagai refensi utama dlm masalah aqidah, padahal tokohnya sendiri yaitu Ibn Baz menyatakan kitab aqidah Ath-Thohawiyah telah tercampur dengan filsafat , ilmu kalam dan perkara yang batil !!! Walhasil, akhirnya kelompok Salafi ini mengakui bahwa aqidah merekalah yang berlumur filsafat dan ilmu kalam -- Wal iyadzu billah !!!!
Apalagi ada pendapat yang mengatakan bahwa pandangan Imam Abu ja’far Ath-Thahawi (dalam masalah aqidah) mirip dengan Abul Manshur Al-Maturidi, karena keduanya sama-sama bermadzhab hanafi termasuk dalam masalah aqidah. Dimana kemudian ia berkembang dan lebih dikenal dengan madzhab Al-Maturidiyah yaitu sebuah kelompok yang dinisbatkan kepada pendirinya yaitu Abu Manshur Al-Maturidi, yang berasal dari samarkand. Secara umum, yang secara umum pandangan akidah dari madzhab ini sama dengan ahlus sunnah versi abu hanifah. Demikian juga dengan At-Thahawiyah, yang dinisbatkan kepada nama pendirinya, yaitu Imam Abu Ja’far Ath-Thahawii (asal mesir). Sebagaimana dinyatakan dalam bukunya, beliau menyatakan bahwa aqidahnya sama dengan aqidah Abu Hanifah (lihat kitab Al-Bayan As-Sunnah wa Al-Jama’ah oleh Imam Ath-Thahawii (ed. Muh. Muti’ Al-Hafidz) hal. 25; Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyyah – Syeikh Abu Zahrah). Padahal menurut Salafi, Al-Maturidi sama sesatnya dengan mu’tazilah dan jabariyah. Walhasil, tidak aneh kalau Salafi selain ‘mencatut’ pendapat Imam Ath-Thahawi, mereka juga mengkritk dengan keras dan menvonisnya dengan vonis yang tidak selayaknya kepada seorang ulama ‘sekaliber’ imam Ath-Thahawi (sebagaimana diatas) !!!
Bahkan ketika mereka (kelompok Salafi) kebingungan karena banyak Ulama yang pendapatnya berseberangan dengan mereka, maka dengan ‘beraninya” mereka (kelompok Salafi) menyalahkan mereka semua dan memperingatkan umat akan penyimpangan aqidah para Imam ini pada umat , buktinya adalah sbb : Adalah hal yang sangat aneh adalah kalau orang yang mencoba menukil pendapat Al-Hafidz Ibn Hajar sebenarnya adalah orang yang sangat keras mengkritik pendapat Ibn Hajar dalam masalah Aqidah, mereka menulis beberapa kitab yang isi mengkritik dan memperingatkan umat Islam akan penyimpangan Ibn Hajar dalam masalah Aqidah, diantara :
- Al-Tanbih ala Al-Mukholalifat Al-Aqidah fi Fath Al-Bari (Peringatan ttg penyimpangan Aqidah dlm ktb Fath Al-Bari ) oleh Syeikh Ibn Baz, Syeikh Sholeh Fauzan, Syeikh Abdullah ibn Mani’, Syeikh Abdullah Al-Naiman.
- Al-Akhtho’ Al-Asasiyah fi Al-Aqidah wa tauhid Al-Uluhiyah min kitab Fath Al-Bari bi Syarh Shohih Al-Bukhori (kesalahan mendasar dalam hal Aqidah dan tauhid Uluhiyyah kitab Fath Al-Bari yang mrpkn Syarh dr Shohih Al-Bukhori ) oleh Syeikh Abdullah ibn Sa’di Al-Ghomidi.
Akan tetapi yang aneh adalah Syeikh Salim I’ed Al-Hilali kembali menukil pendapat Ibn Hajar dalam kitabnya Al-Adilah wa Asy-Syawahid ala Wujub Al-Akhdzi bi khobar Al-Wahid fi Al-Ahkam wa Al-Aqoid. Baru kali ini terjadi ada sekelompok orang yang memperingatkan penyimpangan Aqidah dari seorang Imam Hadis kepada umat Islam, lalu tetap menukil dan menggunakan pendapatnya dalam masalah Aqidah untuk mempertahankan pendapatnya yang lemah dan dibumbui dengan berbagai dalil yang digunakan tidak pada tempatnya (asal comot saja). Tidak hanya itu Imam Nashir As-Sunnah (Imam Pembela Sunnah) Asy-Sya’tibi-pun tidak luput dari serangan mereka seperti yang dipaparkan oleh Nashir Ibn Hamd Al-Fahd dalam kitab I’lam bi mukholafat Al-Muwafaqot wa Al-I’thishom (Peringatan akan penyimpangan dlm kitab Al-Muwafaqot dan Al-I’thishom) !!
Imam Abu Hatim berkata : “Salah satu tanda ahli bid’ah adalah adanya cercaan mereka terhadap Ahli Atsar.” (Al Lalikai 1/179). Imam Abu Abdillah Jamal berkata : “Jika kamu lihat seseorang mencerca ulama As Sunnah dan manhaj Salafus Shalih di negeri ini dan lainnya maka ketahuilah bahwa ia adalah pengikut hawa.” Imam Ash Shabuni berkata : Dan tanda-tanda ahli bid’ah itu sangat jelas terlihat pada mereka dan salah satu tanda yang paling menonjol adalah kerasnya permusuhan mereka terhadap para pembawa berita dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, menghina, dan meremehkan mereka.” (Ibid 101 nomor 162) !!!?
Sungguh aneh padahal dua kitab ini yaitu Al-Muwafaqot dan Al-I’thishom, adalah referensi yang sering mereka rujuk untuk mendukung dan mengungatkan pendapatnya terutama untuk mebenarkan klaim mereka dan melegalisasi tuduhan mereka atas harakah Islam yang lain dengan tuduhan sesat atau menyimpang dari manhaj Salaf (nb: mnrt fahamnya albani, utsaimin, ibn baz dll) !!! Sehingga terbukti mereka bukanlah penerus manhaj Salaf, tetapi ‘sebatas’ korektor pendapat dan karya para Ulama Salaf, artinya merekallah yang berhak (nb : menurut klaim mereka yang salah) memberi ‘stempel’ seorang ulama salaf itu layak untuk dimasukkan jajaran Ulama Penerus Manhaj Salaf atau tidak, jika mereka (para Ulama itu) sudah ‘lulus sensor’ baik aqidah, manhaj atau pendapat2-nya agar sesuai dengan aqidah, manhaj dan fiqh kelompok “neo Salafi” ini maka absahlah status mereka sebagai Ulama Salaf dan pendapat2nya dapat dijadikan rujukan dan referensi !!! Waliyadzu billlah !!!??!
Kami hendak bertanya: Aqidah shohih menurut siapa, wahai Ikhwan ??? Apakah aqidah shohih menurut Ibn Baz, Utsaimin, Albani dll !!? Kalau anta mengklaim bahwa aqidah yang anta dan kelompokmu perjuangkan adalah aqidahnya para Salaf, apa buktinya !!!?.
Al-Hafidz Ibn Abdil Bar Al-Andalusi (630 H) pernah menulis kitab Isti’ab fi Ma’rifatil Ashab yang berisi biografi dari 3500 orang sahabat, kemudian Al-hafidz Ibnul Atsir menulis kitab Usudul Gabah fi Ma’rifatil Amais Sahabah yang berisi biografi dari 7554 orang sahabat , bahkan Al-Hafidz Ibn hajar menulis kitab Al-Isabah fi Tamyiz Sahabah yang berisi 12.267 biografi sahabat (9.447 untuk sahabat laki2 yang dikenal dengan nama aslinya; 1.268 sahabat yang dikenal dengan nama kuniyah; 1.522 untuk nama asli dan kuniyah dari sahabat wanita) !!!
Sekarang kami menantang anta, wahai Ikhwan – Coba tunjukkan satu saja dari sekian sahabat diatas yang memberi rekomendasi terhadap salah satu dari kitab aqidah yang engkau klaim sbg satu2-nya kitab aqidah yang mewakili aqidah para Salaf ini !!??
Rekomendasi seperti itu harus ada, apalagi bagi kelompok yang mengklaim aqidah ‘versi’ kelompoknya adalah satu2-nya aqidah yang paling shahih, kemudian anta dan kelompokmu tidak dapat menunjukkan rekomendasi yang dimaksud, maka klaim anta dan kelompokmu adalah klaim semu dan berlebih2-an, kalau tidak bisa dikatakan dusta !!! Bahkan seorang Imam Abu Ja’far Ath-Thohhawi tidak berani mengklaim bahwa aqidah yang beliau tulis adalah satu2-nya yang mewakili aqidah para Salaf Ash-Sholeh (yaitu Sahabat, Tabi’in, Tabiut Tabi’in) !!!??.
Coba perhatikan bahwa Imam Abu Ja’far Ath-Thohawi hanya menyatakan bahwa kitab aqidah yang beliau tulis adalah aqidah yang mewakili madzhab aqidah menurut madzhab Imam Abu Hanifah dkk, teks lengkapnya spt berikut : “hadza dzikru bayan aqidah ahlis sunnah ‘ala madzhab fuqoha’ al-millah : Abu Hanifah Ibn Nu’man Ats-Tsabit, Abi Yusuf ibn Ibrahim Al-Anshori, Abi Abdilllah Muhammad Ibn Al-Hasan Asy-Syaibani ridhwanullahi a’laihim ajma’in “ (Ini adalah piagam yang berisi penjelasan tentang aqidah Ahlus - sunnah menurut madzhab Imam Fuqaha’ : ‘Abu Hanifah Ibn Nu’man Ats-Tsabit, Abi Yusuf ibn Ibrahim Al-Anshori, Abi Abdilllah Muhammad Ibn Al-Hasan Asy-Syaibani ra.’) (Lihat Kitab Matan Al-Aqidah Ath-Thohawiyah, Bagian Muqadimmah) !!?.
Lalu bagaimana dengan klaim Kelompok ‘neo salafi’ ini, bahwa aqidah mereka adalah satu2-nya aqidah yang mewakili para Salaf, tapi mereka tidak bisa menunjukkan seorang-pun dari para Sahabat ini yang memberi rekomendasi kpd aqidah ‘versi’ kelompok Salafi ini, tidak sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Ath-Thohhawi !!?.
Apalagi kalau dikatakan semua Salaf Ash-Sholeh sepakat dengan aqidah mereka, maka Kelompok ‘neo salafi’ ini harus bisa menyebut satu persatu nama dr para sahabat yang berjumlah 7554 orang sahabat (menurut Al-hafidz Ibnul Atsir) atau dari 12.267 orang sahabat (menurut Hafidz Ibn Hajar Al-Asqolani) yang memberi rekomendasikan atas kitab2 aqidah yang mereka klaimkan sbg satu2-nya kitab aqidah yang mewakili aqidah para Salaf Ash-Sholeh !!!
Lagipula Kitab Al-Aqidah Ath-Thohawiyah ini juga diklaim oleh para pengikut Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (nb: yang dikenal dengan Asy’ariyah) sebagai kitab referensi aqidah Asy’ariyyah, dimana kelompok Asy’ariyyah ini merupakan ‘musuh abadi’ Salafi !!.
Buktinya sbb : pada poin ke 5 dari kitab aqidahnya Imam Ath-Thohawiyah menyatakan “Qodimun bila ibtidain, daimun bila intihaun ( Ia Allah adalah Al-Qadim (Maha Awal) tanpa permulaan, Ad-Daim (Yang Maha Kekal) tanpa akhir)”. Lalu Ibn Baz mengkritiknya dengan mengatakan : hadza lafdzun lam yarud fi asmaaillah al-husnaa, kamaa nabbaha a’laihi Asy-syarih rahimahullah wa ghoiruhu. Innama dzakarahu katsirun min ‘ulamail kalam, liyutsbituu bihi wujudahu qabla kulli syaiin” (lafadz ini (Al-Qadim) tidak termasuk Asmaul Husna, sebagaimana banyak digunakan oleh para Ahlul Kalam untuk menetapkan wujud-Nya sebelum segala sesuatu) (Lihat Matan Al-Aqidah Ath-Thohawiyah ta’liq ibn baz, syarah poin ke – 5). Coba perhatikan bahwa Ibn Baz telah menuduh Imam Ath-Thohawiyah memasukkan dalam kitab Aqidah-nya filsafat dan ilmul kalam, padahal kitab aqidah ini adalah yang dklaim oleh kelompok Salafiyah dan Asy’ariiyah sbg kitab aqidah para Salaf.
Tidak cukup sampai disini penghinaan Ibn Baz thd Imam Abu Jafar Ath-Thohawi, ketika Imam Ath-Thohawi mengatakan bahwa : “Al-Iman wahidun wa ahluhu fi ashlihi sawaaun” (iman adalah satu, ahlul iman pada dasarnya adalah sama) – Ibn Baz berkata : “Hadza fiihi nadzirun, bal huwa bathilun” (Pendapat ini harus dikaji, bahkan ini termasuk ucapan yang bathil) (Lihat Lihat Matan Al-Aqidah Ath-Thohawiyah ta’liq ibn baz, syarah poin ke – 64) !!! Imam Abu Abdillah Jamal berkata : “Jika kamu lihat seseorang mencerca ulama As Sunnah dan manhaj Salafus Shalih di negeri ini dan lainnya maka ketahuilah bahwa ia adalah pengikut hawa.”
yang lebih mengherankan lagi, kalau Salafi telah menjadikan kitab Al-Aqidah Ath-Thohawi ini sebagai refensi utama dlm masalah aqidah, padahal tokohnya sendiri yaitu Ibn Baz menyatakan kitab aqidah Ath-Thohawiyah telah tercampur dengan filsafat , ilmu kalam dan perkara yang batil !!! Walhasil, akhirnya kelompok Salafi ini mengakui bahwa aqidah merekalah yang berlumur filsafat dan ilmu kalam -- Wal iyadzu billah !!!!
Apalagi ada pendapat yang mengatakan bahwa pandangan Imam Abu ja’far Ath-Thahawi (dalam masalah aqidah) mirip dengan Abul Manshur Al-Maturidi, karena keduanya sama-sama bermadzhab hanafi termasuk dalam masalah aqidah. Dimana kemudian ia berkembang dan lebih dikenal dengan madzhab Al-Maturidiyah yaitu sebuah kelompok yang dinisbatkan kepada pendirinya yaitu Abu Manshur Al-Maturidi, yang berasal dari samarkand. Secara umum, yang secara umum pandangan akidah dari madzhab ini sama dengan ahlus sunnah versi abu hanifah. Demikian juga dengan At-Thahawiyah, yang dinisbatkan kepada nama pendirinya, yaitu Imam Abu Ja’far Ath-Thahawii (asal mesir). Sebagaimana dinyatakan dalam bukunya, beliau menyatakan bahwa aqidahnya sama dengan aqidah Abu Hanifah (lihat kitab Al-Bayan As-Sunnah wa Al-Jama’ah oleh Imam Ath-Thahawii (ed. Muh. Muti’ Al-Hafidz) hal. 25; Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyyah – Syeikh Abu Zahrah). Padahal menurut Salafi, Al-Maturidi sama sesatnya dengan mu’tazilah dan jabariyah. Walhasil, tidak aneh kalau Salafi selain ‘mencatut’ pendapat Imam Ath-Thahawi, mereka juga mengkritk dengan keras dan menvonisnya dengan vonis yang tidak selayaknya kepada seorang ulama ‘sekaliber’ imam Ath-Thahawi (sebagaimana diatas) !!!
Bahkan ketika mereka (kelompok Salafi) kebingungan karena banyak Ulama yang pendapatnya berseberangan dengan mereka, maka dengan ‘beraninya” mereka (kelompok Salafi) menyalahkan mereka semua dan memperingatkan umat akan penyimpangan aqidah para Imam ini pada umat , buktinya adalah sbb : Adalah hal yang sangat aneh adalah kalau orang yang mencoba menukil pendapat Al-Hafidz Ibn Hajar sebenarnya adalah orang yang sangat keras mengkritik pendapat Ibn Hajar dalam masalah Aqidah, mereka menulis beberapa kitab yang isi mengkritik dan memperingatkan umat Islam akan penyimpangan Ibn Hajar dalam masalah Aqidah, diantara :
- Al-Tanbih ala Al-Mukholalifat Al-Aqidah fi Fath Al-Bari (Peringatan ttg penyimpangan Aqidah dlm ktb Fath Al-Bari ) oleh Syeikh Ibn Baz, Syeikh Sholeh Fauzan, Syeikh Abdullah ibn Mani’, Syeikh Abdullah Al-Naiman.
- Al-Akhtho’ Al-Asasiyah fi Al-Aqidah wa tauhid Al-Uluhiyah min kitab Fath Al-Bari bi Syarh Shohih Al-Bukhori (kesalahan mendasar dalam hal Aqidah dan tauhid Uluhiyyah kitab Fath Al-Bari yang mrpkn Syarh dr Shohih Al-Bukhori ) oleh Syeikh Abdullah ibn Sa’di Al-Ghomidi.
Akan tetapi yang aneh adalah Syeikh Salim I’ed Al-Hilali kembali menukil pendapat Ibn Hajar dalam kitabnya Al-Adilah wa Asy-Syawahid ala Wujub Al-Akhdzi bi khobar Al-Wahid fi Al-Ahkam wa Al-Aqoid. Baru kali ini terjadi ada sekelompok orang yang memperingatkan penyimpangan Aqidah dari seorang Imam Hadis kepada umat Islam, lalu tetap menukil dan menggunakan pendapatnya dalam masalah Aqidah untuk mempertahankan pendapatnya yang lemah dan dibumbui dengan berbagai dalil yang digunakan tidak pada tempatnya (asal comot saja). Tidak hanya itu Imam Nashir As-Sunnah (Imam Pembela Sunnah) Asy-Sya’tibi-pun tidak luput dari serangan mereka seperti yang dipaparkan oleh Nashir Ibn Hamd Al-Fahd dalam kitab I’lam bi mukholafat Al-Muwafaqot wa Al-I’thishom (Peringatan akan penyimpangan dlm kitab Al-Muwafaqot dan Al-I’thishom) !!
Imam Abu Hatim berkata : “Salah satu tanda ahli bid’ah adalah adanya cercaan mereka terhadap Ahli Atsar.” (Al Lalikai 1/179). Imam Abu Abdillah Jamal berkata : “Jika kamu lihat seseorang mencerca ulama As Sunnah dan manhaj Salafus Shalih di negeri ini dan lainnya maka ketahuilah bahwa ia adalah pengikut hawa.” Imam Ash Shabuni berkata : Dan tanda-tanda ahli bid’ah itu sangat jelas terlihat pada mereka dan salah satu tanda yang paling menonjol adalah kerasnya permusuhan mereka terhadap para pembawa berita dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, menghina, dan meremehkan mereka.” (Ibid 101 nomor 162) !!!?
Sungguh aneh padahal dua kitab ini yaitu Al-Muwafaqot dan Al-I’thishom, adalah referensi yang sering mereka rujuk untuk mendukung dan mengungatkan pendapatnya terutama untuk mebenarkan klaim mereka dan melegalisasi tuduhan mereka atas harakah Islam yang lain dengan tuduhan sesat atau menyimpang dari manhaj Salaf (nb: mnrt fahamnya albani, utsaimin, ibn baz dll) !!! Sehingga terbukti mereka bukanlah penerus manhaj Salaf, tetapi ‘sebatas’ korektor pendapat dan karya para Ulama Salaf, artinya merekallah yang berhak (nb : menurut klaim mereka yang salah) memberi ‘stempel’ seorang ulama salaf itu layak untuk dimasukkan jajaran Ulama Penerus Manhaj Salaf atau tidak, jika mereka (para Ulama itu) sudah ‘lulus sensor’ baik aqidah, manhaj atau pendapat2-nya agar sesuai dengan aqidah, manhaj dan fiqh kelompok “neo Salafi” ini maka absahlah status mereka sebagai Ulama Salaf dan pendapat2nya dapat dijadikan rujukan dan referensi !!! Waliyadzu billlah !!!??!
Meluruskan Paham Tentang Ilmu Kalam
- Ilmu Kalam secara Etimologis (Bahasa)
Ilmu kalam secara bahasa berasal dari bahasa arab yakni ‘ilm al-kalam. Lafadz tersebut berbentuk tarkib idhafi, atau susunan mudhaf dan mudhaf ilaih, yaitu ilmu (pengetahuan) dan al-kalam (perdebatan). Lafadz ilmdalam bahasa arab adalah ma’rifah (pengetahuan) dan fahm (pemahaman) (Lihat Istidhal bi dzon fil aqidah – Syeikh Fathi Salim hal. 36). Lembaga bahasa arab Mesir, mengartikan lafadz ilmu sebagai akumulasi permasalahan dan dasar yang menyeluruh tentang suatu pemabahsan, yang dibahas dengan metode kajian tertentu dan berakhir dengan lahirnya teori dan hukum (Lihat Majma’ Lughah Al-Arabiyah, Al-Mu’jam Al-Arabiyah, hal. 432). Al-Juwaini (w. 478 H\1086 M) menjelaskan makna ‘ilm dengan : ma’rifah al-ma’lum ‘ala ma huwa bihi (pengetahuan mengenai obyek yang diketahui (al-ma’lum) melalui pengetahuan tadi seperti apa adanya) (Mukhtar Ash-Shihah - Imam Ar-Razi, hal. 577). Sedangkan lafadz al-kalam yang digunakan dalam pembahasan ini menururt Abu Bakar Ar-Razi (w. 240 H\855 M) diambil dari lafadz al-kalam yang berarti al-jurh (cacat atau kelemahan) (Al-Juwaini lihat kitab Al – Irsyad ila qawati’I al-adilati fi ushul al-I’tiqad, hal. 10). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh At-Taftazani (w. 783 H/1391 M) (Lihat kitab Syarh Aqoid An-Nasafiyah – Imam At-Taftazani, hal. 6). dari analisis dapat disimpulkan bahwa lafadz al-kalam dapat diingriskan dengan kata dialektik yang berarti diskusi atau perdebatan. Kata dialektik sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dialektika, yang berarti perdebatan dengan tujuan unutk membantahargumentasi lawan atau mengarahkan lawan pada kontradiksi, dilema dan paradoks (Lihat kamus filsafat – Tim Penulis Rosda, hal. 78).
- Ilmu Kalam secara Terminologis (Istilah)
Ilmu kalam banyak didefinisikan. Jahm ibn sufyan, washil ibn atha’, Al-juwaini, al-iji al-jurjani dll, misalnya menganggap ilmu kalam sebagai disiplin ilmu yang membahasas akidah islam (Lihat Al-Aqoid wa al-ilmul kalam – DR. Mahmud Al-Khalidi, hal. 20).
Al-Farabi (w. 325 H\956 H) misalnya mendefinisikan ilmu kalam dengan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mempertahankanpandangan dan sikap terpuji, yang mamapu memperjelas kedudukan agama serta menganggap palsu papa saja yang bertentangan dengan pendapat-pendapat (Aqaawil) (Lihat Ihsa’ Al-Ulum – Ibn Arabi, hal. 131).
Al-Iji mendefinisikan ilmu kalam sebagai ilmu yang mamapu menguatkan teologi keagamaan (al-aqa’id al-dinniyah) dengan menyatakan berbagai argumentasi dan menolak keraguan (Lihat kitab Al-Mawaqif ma’a Syarh Al-Sayid Al-Sindi – Imam Al-Iji, hal. 7). Sementara Ibn Khaldun (w. 785 H\1390 M) mendefinisikan ilmu kalam sebagai ilmu yang berisi berbagai argumentasi teologis dan dalil rasional (aqliyah) serta kritik terhadap ahlul bid’ah yang melakukan penyimpangan teologis terhadap dari madzhab salaf dan ahlus sunnah (Lihat kitab Al-Muqadimah – Ibn Khaldun, hal. 507). Definisi yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun sebenarnya juga telah dikemukakan oleh Al-Ghazali (w. 5050 H\ 1111 M) (Lihat Kitab Al-Munqidh min adh-dhallal – Imam Al-Ghazali, hal. 59-60).
- Obyek Pembahasan Ilmu Kalam
Sebagai pengetahuan, ilmu kalam mempunyai obyek pembahasan yang spesifik. Sehingga layak disebut sebagai pengetahuan. Berdasarkan definisi bahwa ilmu kalam adalah pengetahuahn yang membahas berbagai argumentasi akidah keimanan dengan dalil-dalil rasional, serta krtitik terhadap penyimpangan akidah ahlul bid’ah dari madzhab salaf dan ahus sunnah, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi obyek pembahasan ilmu kalam adalah polemik pemikiran dikalangan para filosuf, seperti freewill epikuarenisme, dengan fatalisme stoisisme, antara filosuf dengan mutakalimin, serta polemik teologi antara subtansi dan aksiden antara Kristen dengan mu’tazilah – Abu Hudhayl, serta antara mutakalimin sendiri antara mu’tazilah dengan jabariyah, antara jabariyah dengan ahlus sunnah yakni asyariyah dan maturidiyah. Juga antara Ahlussunnah dengan ibn taimiyah dan pengikutnya.
Obyek pembahasan yang diperdebatkan oleh sesama mutakalimin :
1-Masalah pengetahuan (al-ma’rifah) dan cara memperolehnya. Pembahasan ini bertujuan untuk mengukuhkan keyakinan mengenai keyakinan informative (Al-ma’rifah al-khabariyah) khususnya yang dibawa dari Rasul SAW. Tujuannya adalah membantah pandangan thummamiyah dan safsata’iyyah yang menolak pengetahuan informative.
2- Masalah kebaharuan alam (huduts al-alam), yang bertujuan untuk membuktikan wujud Zat Yang Maha Pencipta. Ini merupakan bantahan akan pandangan materialis, yang berpendapat tentang kedahuluan alam (qudum al-alam).
3- Masalah keesaaan Allah sebagai bantahan terhadap pandangan tsanawiyah yang meyakini eksitensi Tuhan cahaya (An-Nur) dan Tuhan Kegelapan (Adz-Dzulmah).
4- Masalah tanzih (penyucian Allah) dan penolakan tasybih (penyerupaan Allah atas makhluk). Tujuannya adalah untuk membantah Yahudi yang menambahkan pada Allah dengan ciri-ciri manusia.
5- Masalah sifat Allah dan hubungannya dengan zat-Nya, apakah zat-Nya sama dengan sifat-Nya, ataupun berbeda. Ini merupakan bantahan terhadap mu’tazilah, yang terpengaruh dengan perdebatan seputar sifat-sifat Allah sebagai akibat dari pengaruh filsafat yunani. Ketika konsep jauhar (subtansi) dan aradh (aksiden) 173 (Lihat kitab Al-Anshaf - Imam Al-Baqilani \ hal. 16), serta aqnumiyyah (oknum dalam teologi Kristen) yang digunakan untuk memberi justifikasi atas konsepsi teologi mereka, dimana Tuham merupakan akumulasi dari 3 oknum, yaitu oknum bapak, anak dan ruh kudus 174 (Lihat kitab Al-Irsyad – Imam Al –Juwaini \ hal. 24-26).
6-Masalah kalam Allah, baik qadim maupun huduts. Ini terpengaruh pandangan Kristen yang menganggap Al-Masih sebagai kalimatullah. Menurut teologi Kristen al-masih adalah Tuhan, sedang dalam pandangan Islam, Al-Masih adalah kalimatullah. Dari sinilah, Yuhana Ad-Dimsyaqi berusaha membuat sintesis dari pandangan Islam dan Kristen yang bertujuan untuk menjustifikasi konsep teologisnya. Jika Al-Masih adalah Kalimatullah, dan kalimatullah adalah qadim, maka Al-Masih adalah qadim. Jika Al-Masih adalah qadim, maka Al-Masih adalah Tuhan. Dalam konteks ini muncullah bantahan dari para Ulama, Seperti ja’d ibn dirham, Jahm ibn Safwan, dan washil ibn atha’ yang menyatakan, bahaka kalam Allah adalah makhluk dan baru (Lihat Tarikh Al-Madzahib – Syeikh Abu Zahrah \ hal. 297; Buhuts fi Al-Milal wa An-Nihal – Syeikh Jafar Al-Subhani jilid 2\hal. 254).
7- Masalah kenabian yang bertujuan untuk mengukuhkan keyakinana pada kenabian Nabi SAW, dengan mengmbantah sekte sabi’ah dan brahmana (hindu) yang menolak kebutuhan manusia pada nabi. Juga membanatah orang yahudi dan nashrani yang menolak kenabian Nabi Muhammad SAW.
8- Masalah kemaksuman para Nabi yang bertujuan untuk membantah pandangan Yahudi, bahwa nabi SAW mempunyai kelemahan, dosa dan tidak maksum.
9- Masalah tempat kembali (Al-Mi’ad) yang membantah pandangan reinkarnasi (penjelmaan kembali) agama budha dan lainnya.
10- Masalah al-jabr wal ikhtiyar (keterpaksaan dan kebebasan berkehendak), yang terpengaruh dengan pandangan freewill dan fatalisme filsafat yunani.
Dengan demikian secara ringkas dapat disimpulkan, bahawa obyek pemabhasan ilmu kalam adalah argumerntasi dan bantahan dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan wujud, zat, sifat dan perbuatan Allah, kebutuhan kepada rasul, hari kiamat, serta pahala dan siksa (Lihat kitab Al-Firaq – Syeikh Abdul Fattah hal. 13 – 14). Adapun sifat obyek berkenaan dapat diklasifikasikan menjadi mahsus (terindra) dan ghair al-mahsus (tidak terindera).
Hal ini menegaskan bahwa apa yang sebenarnya menjadi ‘pokok’ kajian aqidah yang selalu diperdebatkan oleh Salafi, pada hakekatnya adalah hal-hal yang juga diperdebatkan oleh para filosof dan para ahli kalam (seperti penjelasan diatas). Walhasil, apa yang dilakukan oleh salafi pasti akan berakhir, seperti apa yang lakukan oleh para filosof dan para ahli kalam, yaitu ‘’perdebatan yang tiada berakhir dan berujung pangkal’’ !!?.
Dan hal inilah yang dijauhi oleh para Ulama Salaf seperti Imam Malik ibn Anas ketika menjelaskan tentang ayat yang menjelaskan bahwa ‘’Allah SWT bersemanyam di Arsy’’ : ‘Bersemanyam itu adalah sebuah perkara yang sudah dimengerti, sedangkan caranya adalah hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia. Menanyakan masalah itu adalah bid’ah dan mengimaninya dalah wajib’ . Dan seperti inilah sikap para salaf dalam masalah asma dan sifat, mereka tidak menulis penjelasan yang memerlukan puluhan halaman dalam kitab mereka, karena ini adalah masalah gha’ib dan hakekatnya tidak dapat dijangkau oleh panca indera, sehingga tidak masuk dalam pembahasan akal manusia. Dan cukup kita mengimani dijelaskan dengan dalil qath’I (yaitu Al-Qur’an dan hadis yang mutawatir) tanpa menambahi atau menguranginya, atau menjadikannya sebagi obyek perdebatan, apalagi menjadikannya sebagai ‘isu’ untuk menyesatkan kaum muslimin yang lain – waliyadzu billah !!!?
- Mengkritisi sikap Ibn Taimiyah dalam masalah Asma wa Sifat
Ketika Ibn Taimiyah menetapkan madzhab salaf (yang dlm pandangannya) adalah itsbat, yaitu menetapkan secara dhahir nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang dengan kaidah ini ia menetapkan bahwa Allah mempunyai tangan, mata, kaki dlll. Dan untuk menghindari jatuh pada faham Al-Mutajasimah, Ibn Taimiyah menambahkan 4 syarat yakni menetapkan sifat dan perbuatan Allah dengan menafikan tasybih (yakni tidak menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), menolak ta’thil (tidak menolak sifat dan perbuatan Allah yang nampak secara dhahir pada nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah), tidak melakukan ta’wil (mengalihkan makna lafadz dari makna lahir kepada makna yang dikendaki – (lihat kitab At-Ta’rifat hal. 72 – oleh Imam Al-Jurjani)), dan menghindari takyif (mempertanyakan tentang kaifiyah\tata cara sifat dan perbuatan Allah). Untuk syarat yang terakhir yaitu’’ menghindari takyif’’, seperti tidak mempertanyakan tentang bagaimana kaifiyah\cara Allah bersemayam di Arsy, turun di setiap 1\3 malam terakhir dll.
Kalau dalam kasus madzhab itsbat, (yaitu menetapkan secara dhahir nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah), dimana salah satu syaratnya harus menghindari takyif (mempertanyakan tentang kaifiyah\tata cara sifat dan perbuatan Allah) seperti contoh diatas, maka berarti ‘pengetahuan yang sebenarnya’ tentang kaifiyah\cara Allah bersemayam di Arsy, turun di setiap 1\3 malam terakhir diserahkan kepada Allah. Bukankan ini termasuk madzhab tafwidh yaitu menyerahkan pemahaman tentang nama, sifat dan perbuatan Allah yang terdapat dalam nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah kepada Allah !!!?
Sehingga ada sebagian peneliti yang menyimpulkan madzhab Ibn Taimiyah dalam masalah nama, sifat dan perbuatan Allah, adalah tidak murni madzhab Itsbat yang mengikuti sebagian Ulama Hambali seperti Qadhi Abu Ya’la Al-Fara’, Abu Utsman Ash-Shabuni dll; tapi lebih merupakan kombinasi antara madzhab itsbat dan tafwidh seperti telah diuraikan diatas.
Hal ini ia lakukan supaya tidak terjatuh dalam faham tajsim atau juga dikenal dengan istilah Al Hasyawiyah. Hasyawiyah digunakan untuk menyebut kelompok yang menyatakan bahwa Allah mempunyai jism, tapi jism-Nya berbeda dengan jism manusia, seperti yang dikemukakan oleh Hasm Ibn Al-Hasan (w. 149 H\763 M) dll. (Lihat kitab Nasya’ah al-fikr al-falsafi fil islam – DR. Ali Sami’ AN-Nasyar, jilid 1-hal. 687 – 688, bandingkan dengan catatan kaki al-mutajasimah, hal 308). Apalagi hasil penelitian seorang pakar Filsafat dan ilmu kalam yaitu DR. Ali Samii An-Nasyar (Guru besar Filsafat Islam di Universitas iskandariyah-Fakultas Adab) dalam kitabnya Manahij Al-Bahts inda Mufakir Al- Islamii wa Kasyaf fi manhaj Al-Ilmii fi Al-Alam Al-Islamii (hal 179-290) bahwa Ibn Taimiyah ketika mengkritik filsafat dan ilmu kalam juga terpengaruh dengan penggunaan filsafat dan ilmu kalam itu sendiri. Dan pemikiran beliau banyak diadopsi oleh kelompok Salafi pada masa ini
Ilmu kalam secara bahasa berasal dari bahasa arab yakni ‘ilm al-kalam. Lafadz tersebut berbentuk tarkib idhafi, atau susunan mudhaf dan mudhaf ilaih, yaitu ilmu (pengetahuan) dan al-kalam (perdebatan). Lafadz ilmdalam bahasa arab adalah ma’rifah (pengetahuan) dan fahm (pemahaman) (Lihat Istidhal bi dzon fil aqidah – Syeikh Fathi Salim hal. 36). Lembaga bahasa arab Mesir, mengartikan lafadz ilmu sebagai akumulasi permasalahan dan dasar yang menyeluruh tentang suatu pemabahsan, yang dibahas dengan metode kajian tertentu dan berakhir dengan lahirnya teori dan hukum (Lihat Majma’ Lughah Al-Arabiyah, Al-Mu’jam Al-Arabiyah, hal. 432). Al-Juwaini (w. 478 H\1086 M) menjelaskan makna ‘ilm dengan : ma’rifah al-ma’lum ‘ala ma huwa bihi (pengetahuan mengenai obyek yang diketahui (al-ma’lum) melalui pengetahuan tadi seperti apa adanya) (Mukhtar Ash-Shihah - Imam Ar-Razi, hal. 577). Sedangkan lafadz al-kalam yang digunakan dalam pembahasan ini menururt Abu Bakar Ar-Razi (w. 240 H\855 M) diambil dari lafadz al-kalam yang berarti al-jurh (cacat atau kelemahan) (Al-Juwaini lihat kitab Al – Irsyad ila qawati’I al-adilati fi ushul al-I’tiqad, hal. 10). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh At-Taftazani (w. 783 H/1391 M) (Lihat kitab Syarh Aqoid An-Nasafiyah – Imam At-Taftazani, hal. 6). dari analisis dapat disimpulkan bahwa lafadz al-kalam dapat diingriskan dengan kata dialektik yang berarti diskusi atau perdebatan. Kata dialektik sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dialektika, yang berarti perdebatan dengan tujuan unutk membantahargumentasi lawan atau mengarahkan lawan pada kontradiksi, dilema dan paradoks (Lihat kamus filsafat – Tim Penulis Rosda, hal. 78).
- Ilmu Kalam secara Terminologis (Istilah)
Ilmu kalam banyak didefinisikan. Jahm ibn sufyan, washil ibn atha’, Al-juwaini, al-iji al-jurjani dll, misalnya menganggap ilmu kalam sebagai disiplin ilmu yang membahasas akidah islam (Lihat Al-Aqoid wa al-ilmul kalam – DR. Mahmud Al-Khalidi, hal. 20).
Al-Farabi (w. 325 H\956 H) misalnya mendefinisikan ilmu kalam dengan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mempertahankanpandangan dan sikap terpuji, yang mamapu memperjelas kedudukan agama serta menganggap palsu papa saja yang bertentangan dengan pendapat-pendapat (Aqaawil) (Lihat Ihsa’ Al-Ulum – Ibn Arabi, hal. 131).
Al-Iji mendefinisikan ilmu kalam sebagai ilmu yang mamapu menguatkan teologi keagamaan (al-aqa’id al-dinniyah) dengan menyatakan berbagai argumentasi dan menolak keraguan (Lihat kitab Al-Mawaqif ma’a Syarh Al-Sayid Al-Sindi – Imam Al-Iji, hal. 7). Sementara Ibn Khaldun (w. 785 H\1390 M) mendefinisikan ilmu kalam sebagai ilmu yang berisi berbagai argumentasi teologis dan dalil rasional (aqliyah) serta kritik terhadap ahlul bid’ah yang melakukan penyimpangan teologis terhadap dari madzhab salaf dan ahlus sunnah (Lihat kitab Al-Muqadimah – Ibn Khaldun, hal. 507). Definisi yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun sebenarnya juga telah dikemukakan oleh Al-Ghazali (w. 5050 H\ 1111 M) (Lihat Kitab Al-Munqidh min adh-dhallal – Imam Al-Ghazali, hal. 59-60).
- Obyek Pembahasan Ilmu Kalam
Sebagai pengetahuan, ilmu kalam mempunyai obyek pembahasan yang spesifik. Sehingga layak disebut sebagai pengetahuan. Berdasarkan definisi bahwa ilmu kalam adalah pengetahuahn yang membahas berbagai argumentasi akidah keimanan dengan dalil-dalil rasional, serta krtitik terhadap penyimpangan akidah ahlul bid’ah dari madzhab salaf dan ahus sunnah, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi obyek pembahasan ilmu kalam adalah polemik pemikiran dikalangan para filosuf, seperti freewill epikuarenisme, dengan fatalisme stoisisme, antara filosuf dengan mutakalimin, serta polemik teologi antara subtansi dan aksiden antara Kristen dengan mu’tazilah – Abu Hudhayl, serta antara mutakalimin sendiri antara mu’tazilah dengan jabariyah, antara jabariyah dengan ahlus sunnah yakni asyariyah dan maturidiyah. Juga antara Ahlussunnah dengan ibn taimiyah dan pengikutnya.
Obyek pembahasan yang diperdebatkan oleh sesama mutakalimin :
1-Masalah pengetahuan (al-ma’rifah) dan cara memperolehnya. Pembahasan ini bertujuan untuk mengukuhkan keyakinan mengenai keyakinan informative (Al-ma’rifah al-khabariyah) khususnya yang dibawa dari Rasul SAW. Tujuannya adalah membantah pandangan thummamiyah dan safsata’iyyah yang menolak pengetahuan informative.
2- Masalah kebaharuan alam (huduts al-alam), yang bertujuan untuk membuktikan wujud Zat Yang Maha Pencipta. Ini merupakan bantahan akan pandangan materialis, yang berpendapat tentang kedahuluan alam (qudum al-alam).
3- Masalah keesaaan Allah sebagai bantahan terhadap pandangan tsanawiyah yang meyakini eksitensi Tuhan cahaya (An-Nur) dan Tuhan Kegelapan (Adz-Dzulmah).
4- Masalah tanzih (penyucian Allah) dan penolakan tasybih (penyerupaan Allah atas makhluk). Tujuannya adalah untuk membantah Yahudi yang menambahkan pada Allah dengan ciri-ciri manusia.
5- Masalah sifat Allah dan hubungannya dengan zat-Nya, apakah zat-Nya sama dengan sifat-Nya, ataupun berbeda. Ini merupakan bantahan terhadap mu’tazilah, yang terpengaruh dengan perdebatan seputar sifat-sifat Allah sebagai akibat dari pengaruh filsafat yunani. Ketika konsep jauhar (subtansi) dan aradh (aksiden) 173 (Lihat kitab Al-Anshaf - Imam Al-Baqilani \ hal. 16), serta aqnumiyyah (oknum dalam teologi Kristen) yang digunakan untuk memberi justifikasi atas konsepsi teologi mereka, dimana Tuham merupakan akumulasi dari 3 oknum, yaitu oknum bapak, anak dan ruh kudus 174 (Lihat kitab Al-Irsyad – Imam Al –Juwaini \ hal. 24-26).
6-Masalah kalam Allah, baik qadim maupun huduts. Ini terpengaruh pandangan Kristen yang menganggap Al-Masih sebagai kalimatullah. Menurut teologi Kristen al-masih adalah Tuhan, sedang dalam pandangan Islam, Al-Masih adalah kalimatullah. Dari sinilah, Yuhana Ad-Dimsyaqi berusaha membuat sintesis dari pandangan Islam dan Kristen yang bertujuan untuk menjustifikasi konsep teologisnya. Jika Al-Masih adalah Kalimatullah, dan kalimatullah adalah qadim, maka Al-Masih adalah qadim. Jika Al-Masih adalah qadim, maka Al-Masih adalah Tuhan. Dalam konteks ini muncullah bantahan dari para Ulama, Seperti ja’d ibn dirham, Jahm ibn Safwan, dan washil ibn atha’ yang menyatakan, bahaka kalam Allah adalah makhluk dan baru (Lihat Tarikh Al-Madzahib – Syeikh Abu Zahrah \ hal. 297; Buhuts fi Al-Milal wa An-Nihal – Syeikh Jafar Al-Subhani jilid 2\hal. 254).
7- Masalah kenabian yang bertujuan untuk mengukuhkan keyakinana pada kenabian Nabi SAW, dengan mengmbantah sekte sabi’ah dan brahmana (hindu) yang menolak kebutuhan manusia pada nabi. Juga membanatah orang yahudi dan nashrani yang menolak kenabian Nabi Muhammad SAW.
8- Masalah kemaksuman para Nabi yang bertujuan untuk membantah pandangan Yahudi, bahwa nabi SAW mempunyai kelemahan, dosa dan tidak maksum.
9- Masalah tempat kembali (Al-Mi’ad) yang membantah pandangan reinkarnasi (penjelmaan kembali) agama budha dan lainnya.
10- Masalah al-jabr wal ikhtiyar (keterpaksaan dan kebebasan berkehendak), yang terpengaruh dengan pandangan freewill dan fatalisme filsafat yunani.
Dengan demikian secara ringkas dapat disimpulkan, bahawa obyek pemabhasan ilmu kalam adalah argumerntasi dan bantahan dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan wujud, zat, sifat dan perbuatan Allah, kebutuhan kepada rasul, hari kiamat, serta pahala dan siksa (Lihat kitab Al-Firaq – Syeikh Abdul Fattah hal. 13 – 14). Adapun sifat obyek berkenaan dapat diklasifikasikan menjadi mahsus (terindra) dan ghair al-mahsus (tidak terindera).
Hal ini menegaskan bahwa apa yang sebenarnya menjadi ‘pokok’ kajian aqidah yang selalu diperdebatkan oleh Salafi, pada hakekatnya adalah hal-hal yang juga diperdebatkan oleh para filosof dan para ahli kalam (seperti penjelasan diatas). Walhasil, apa yang dilakukan oleh salafi pasti akan berakhir, seperti apa yang lakukan oleh para filosof dan para ahli kalam, yaitu ‘’perdebatan yang tiada berakhir dan berujung pangkal’’ !!?.
Dan hal inilah yang dijauhi oleh para Ulama Salaf seperti Imam Malik ibn Anas ketika menjelaskan tentang ayat yang menjelaskan bahwa ‘’Allah SWT bersemanyam di Arsy’’ : ‘Bersemanyam itu adalah sebuah perkara yang sudah dimengerti, sedangkan caranya adalah hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia. Menanyakan masalah itu adalah bid’ah dan mengimaninya dalah wajib’ . Dan seperti inilah sikap para salaf dalam masalah asma dan sifat, mereka tidak menulis penjelasan yang memerlukan puluhan halaman dalam kitab mereka, karena ini adalah masalah gha’ib dan hakekatnya tidak dapat dijangkau oleh panca indera, sehingga tidak masuk dalam pembahasan akal manusia. Dan cukup kita mengimani dijelaskan dengan dalil qath’I (yaitu Al-Qur’an dan hadis yang mutawatir) tanpa menambahi atau menguranginya, atau menjadikannya sebagi obyek perdebatan, apalagi menjadikannya sebagai ‘isu’ untuk menyesatkan kaum muslimin yang lain – waliyadzu billah !!!?
- Mengkritisi sikap Ibn Taimiyah dalam masalah Asma wa Sifat
Ketika Ibn Taimiyah menetapkan madzhab salaf (yang dlm pandangannya) adalah itsbat, yaitu menetapkan secara dhahir nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang dengan kaidah ini ia menetapkan bahwa Allah mempunyai tangan, mata, kaki dlll. Dan untuk menghindari jatuh pada faham Al-Mutajasimah, Ibn Taimiyah menambahkan 4 syarat yakni menetapkan sifat dan perbuatan Allah dengan menafikan tasybih (yakni tidak menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), menolak ta’thil (tidak menolak sifat dan perbuatan Allah yang nampak secara dhahir pada nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah), tidak melakukan ta’wil (mengalihkan makna lafadz dari makna lahir kepada makna yang dikendaki – (lihat kitab At-Ta’rifat hal. 72 – oleh Imam Al-Jurjani)), dan menghindari takyif (mempertanyakan tentang kaifiyah\tata cara sifat dan perbuatan Allah). Untuk syarat yang terakhir yaitu’’ menghindari takyif’’, seperti tidak mempertanyakan tentang bagaimana kaifiyah\cara Allah bersemayam di Arsy, turun di setiap 1\3 malam terakhir dll.
Kalau dalam kasus madzhab itsbat, (yaitu menetapkan secara dhahir nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah), dimana salah satu syaratnya harus menghindari takyif (mempertanyakan tentang kaifiyah\tata cara sifat dan perbuatan Allah) seperti contoh diatas, maka berarti ‘pengetahuan yang sebenarnya’ tentang kaifiyah\cara Allah bersemayam di Arsy, turun di setiap 1\3 malam terakhir diserahkan kepada Allah. Bukankan ini termasuk madzhab tafwidh yaitu menyerahkan pemahaman tentang nama, sifat dan perbuatan Allah yang terdapat dalam nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah kepada Allah !!!?
Sehingga ada sebagian peneliti yang menyimpulkan madzhab Ibn Taimiyah dalam masalah nama, sifat dan perbuatan Allah, adalah tidak murni madzhab Itsbat yang mengikuti sebagian Ulama Hambali seperti Qadhi Abu Ya’la Al-Fara’, Abu Utsman Ash-Shabuni dll; tapi lebih merupakan kombinasi antara madzhab itsbat dan tafwidh seperti telah diuraikan diatas.
Hal ini ia lakukan supaya tidak terjatuh dalam faham tajsim atau juga dikenal dengan istilah Al Hasyawiyah. Hasyawiyah digunakan untuk menyebut kelompok yang menyatakan bahwa Allah mempunyai jism, tapi jism-Nya berbeda dengan jism manusia, seperti yang dikemukakan oleh Hasm Ibn Al-Hasan (w. 149 H\763 M) dll. (Lihat kitab Nasya’ah al-fikr al-falsafi fil islam – DR. Ali Sami’ AN-Nasyar, jilid 1-hal. 687 – 688, bandingkan dengan catatan kaki al-mutajasimah, hal 308). Apalagi hasil penelitian seorang pakar Filsafat dan ilmu kalam yaitu DR. Ali Samii An-Nasyar (Guru besar Filsafat Islam di Universitas iskandariyah-Fakultas Adab) dalam kitabnya Manahij Al-Bahts inda Mufakir Al- Islamii wa Kasyaf fi manhaj Al-Ilmii fi Al-Alam Al-Islamii (hal 179-290) bahwa Ibn Taimiyah ketika mengkritik filsafat dan ilmu kalam juga terpengaruh dengan penggunaan filsafat dan ilmu kalam itu sendiri. Dan pemikiran beliau banyak diadopsi oleh kelompok Salafi pada masa ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.