Rabu, 10 Agustus 2011

Disinterpretasi Sakralitas Barakah

Barakah sering kali disematkan terhadap sebuah hasil kesuksesan, atau lebih riilnya kepada orang yang telah mencapai kesuksesan, khususnya kesuksekan yang sifatnya duniawi, seperti harta, kedudukan, pangkat, dan hal-hal yang bisa dibanggakan.
Bagi orang-orang pesantren, idiom barakah sudah tidak asing lagi. Setiap hal-ihwal yang dikerjakan selalu disertai dengan doa ’semoga diberkahi’. Barakah dengan sendirinya menjadi sesuatu yang terasa suci, agung, dan bahkan sakral. Pun begitu dengan orang yang mendapatkan barakah. Namun, hingga sejauh ini, masih belum ada referensi detail yang dapat merumuskan seperti apa orang yang mendapat barakah. Kegamangan definisi semacam ini yang akhirnya membuat kabur identitas barakah.
Kesucian barakah bagi kaum bersarung (baca: santri) tidak sekadar dijadikannya sebagai sebuah sublimasi positif dalam beraktivitas. Malah jangan heran jika cukup dengan ungkapan, “awas tidak barakah...!”, spontan kaum bersarung itu merasa minder bahkan enggan untuk melakukan sesuatu yang dianggap dapat menyebabkan tidak barakah, walaupun terkadang ancaman yang sedemikian hanyalah bualan yang sama sekali tidak bertentangan dengan agama.
Tidak hanya bagi kalangan bersarung saja, bagi orang yang sedikit saja mengerti agama, barakah juga menjadi harapan bahkan tujuan utama. Demikian sakralnya barakah hingga kadang menjadi irasional, tidak logis, dan bahkan berlebihan. Barakah yang seharusnya menjadi objek pasif, seolah menukik balik menjadi subjek aktif. Memutarbalikkan rasinonalitas menjadi irasional! Ironis memang.
Tapi sebenarnya yang sangat perlu disayangkan adalah, dewasa ini barakah hanya diidentikkan dengan harta dan kedudukan, sehingga gerak-gerik seseorang seolah terus dikamuflase menjadi sesuatu yang bisa dianggap barakah oleh orang-orang sekitarnya. Karena orang baru bisa mendapat gelar barakah, jika kedudukan atau hartanya telah dianggap mapan. Dan tidak barakah hidupnya bila dia masih tergolong dalam kategori miskin harta dan atau fakir tahta, walaupun kadang di balik kemiskinannya ia kaya hati dan kaya jiwa. Padahal, Allah I telah berfirman (artinya): Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam liang kubur. (QS at-Takâtsur [102]:1-2)
Nah, benarkah identitas barakah hanya terumuskan pada kekayaan dunia dan tingginya pangkat? Demikian rendahkah eksistensi barakah? Seperti apa dan bagaimana barakah itu sendiri? Dan mungkinkah sesuatu yang menurut masyarakat dianggap barakah menjadi hal yang tidak berkah di mata agama? Baik, mari kita bersama membedah eksistensi barakah dari sudut pandang agama. Perlukah barakah diapresiasi, atau malah dikritisi?
Definisi Barakah
Barakah, seperti yang diungkapkan oleh seorang cendikiawan muslim, Imam al-Ashfahani, bahwa definisi barakah adalah menetapnya nilai positif yang ‘sifatnya dari Tuhan’ terhadap sesuatu yang menjadi objek dari barakah itu sendiri. Menurut beliau, barakah murni urusan Tuhan (amrun ilâhiyun), dan tidak bisa disemena-menakan dengan urusan dunia yang jîfah. Nah, jika barakah sifatnya ilahiyah, maka salah jika barakah hanya diidentikkan dengan kaya harta dan tahta.
Seperti juga yang tertulis dalam sebuah kitab kompilasi fikih terbitan Kuwait, bahwa sesuatu yang menjadi sebab munculnya barakah adalah “ketaatan”. Dengan taat sesuatu menjadi manfaat. Berguna demi terwujudnya ‘izzul-Islâm wal-Muslimîn.
Memang, terlalu berani mungkin untuk mendefinisikan barakah dalam bentuk nyata, sebuah definisi yang dapat dijadikan tolok ukur antara ada dan tidak adanya barakah. Karena, ketika semisal kita menganugerahkan barakah terhadap orang yang kaya harta, akan muncul sebuah pertanyaan: apakah semua orang kaya yang hidupnya mapan namun pekerjaannya tidak karuan masuk dalam kategori hidup yang berbarakah? Atau orang berpangkat dengan jabatan tinggi namun di balik pangkatnya dia menjabat pula sebagai koruptor. Apakah yang sedemikian bisa kita definisikan sebagai orang yang telah mendapatkan barakah? Terlalu sulit bagi kita untuk mengkategorikan seseorang telah mencapai kedudukan agung barakah.
Rasulullah r pernah bersabda: “Jika kalian memakan sesuatu, maka jangan kalian basuh tangan kalian sebelum kalian menjilati makanan yang tersisa di tangan kalian, karena sebenarnya kalian tidak tahu, di manakah barakah itu berada dalam makanan yang kalian makan.” (HR Bukhari Muslim).
Mungkin orang akan merasa risih mendengar Hadis Rasulullah r barusan. Perasaan jorok atau tidak sopan mungkin sudah terimajinasi dalam benak masing-masing. Namun begitulah orang termulia menganjurkan kita untuk bertatakrama. Dari petikan ucapan Rasul tadi, menjadikan keagungan barakah kian absolut, tidak bisa diganggu gugat. Titik!
Barakah Sebagai Nilai Lebih
Bagi orang-orang Wahabi, tabarruk (mengharap barakah) divonis bidah yang sesat (dhâlâlah). Menurut mereka, tabarruk dapatmenjadikan sang subjek menjadi musyrik atau lebih tepatnya, penyekutu Tuhan. Tidak hanya vonis sambal belaka, di Mekah—negara dengan mayoritas penduduknya pengikut Wahabi—ada larangan untuk membaca salawat dalâ’il, larangan membaca Maulid Diba’ dan berziarah ke makam Rasulullah r. Di depan makam Rasul, dengan mudahnya kita menemukan para serdadu dengan persenjataan lengkap menjaga makam termulia. Tidak sekadar menjaga dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab, tapi juga dari orang-orang yang sedang ingin mengenang beliau dengan membaca dalâ’il (kumpulan salawat yang mengagungkan Nabi Muhammad r) maupun Tahlil (kumpulan bacaan yang berisi ayat-ayat suci al-Qur’an, istighfar, salawat, dls). Sungguh ironis!
Namun patut disyukuri, keyakinan orang-orang Wahabi ini ditentang keras oleh Sayid Alwi al-Maliki al-Makki al-Hasani—seorang ulama Sunni yang disegani oleh kaum Wahabi di Mekah—dalam kitab Mafâhîm yajibu an tushahhah-nya. Menurut Beliau, tabarruk terhadap suatu benda atau pada tempat mulia hukumnya boleh (mubâh), sebatas digunakan sebagai media tawashshul (media untuk sampai) pada Allah I.
Dalam surah al-Baqarah ayat 248 Allah I berfirman yang artinya:
Dan nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tâbût kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tâbût itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.”
Dijelaskan—masih pendapat Sayid Maliki—bahwa Allah juga meletakkan barakah pada benda-benda, yakni seperti tâbût dalam petikan ayat tadi. Tâbût yang berarti peti tempat penyimpanan Taurat yang selalu dibawa oleh Malaikat. Tâbût ini adalah peninggalannya keluarga Musa dan Harun.
Dalam kitab Shahîh Buhkârî juga terdapat Hadis yang diceritakan oleh Sahabat Umar al-Khattab, bahwa di setiap Sabtu Rasulullah selalu mengunjungi masjid Quba’. Oleh karenanya, Umar lebih senang salat dua rakaat di masjid Quba’ daripada salat dengan rakaat yang sama di al-Aqsha, Jerussalem. Umar berkata, “Andaikan kalian tahu apa yang ada di masjid Quba’, maka kalian akan dengan senang hati menyerahkan unta terbaik kalian untuknya.”
Dan demikian, sejatinya kita bisa mengharap barakah terhadap apapun selama kita gunakan sebagai sarana untuk tawasul dan taqarrub kepada Allah, bukan digunakan untuk kejayaan, kemakmuraan atau malah pesugihan. Hal yang semacam inilah yang dapat membuat orang menjadi syirik. Na’ûdzubillâh.[]
*)Santri Sidogiri asal Blega Bangkalan
Referensi:
· al-Qur’an dan terjemahannya
· Mausû’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah,
· Imam Nawawi, Riyâdhush-Shâlihîn, Darr ilmi.
· Imam al-Bukhari, Shahîh Bukhârî, Bairut Libanon, 2004,
· KH. Muhyiddin Abdusshomad, Fiqh Tradisional, Pusataka Bayan, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.