Islam adalah agama yang dinamis. Dinamisme Islam makin tampak ketika ditilik melalui sistematika dakwahnya. Islam tidak pernah menspesifikasikan metode tertentu dalam upaya transformasi ideologis. Umat diberi kebebasan untuk memilih metode yang dinilai lebih efektif. Tentunya, selagi tidak berseberangan dengan prinsip ajaran Islam.
Contoh konkret dari opsi tersebut adalah makin banyak metode baru dalam berdakwah yang ditemui dewasa ini. Melalui media, baik cetak atau elektronik, visualisasi, sistem klasikal, dan lain sebagainya. Semuanya tidak ada di zaman Nabi Muhammad saw., namun kehadirannya tidak masalah.
Begitu juga dengan metodologi dakwah yang dipakai oleh Jamaah Tabligh: khurûj. Sah-sah saja jika mereka menggunakan metode ini. Apalagi mereka menilai bahwa dakwah dengan model ini akan lebih efektif dan maksimal.
Namun permasalahannya, masih ada hal yang lebih penting daripada sekadar metode dan upaya menarik simpati massa. Ranah aktualisasi dan arah dakwah juga harus diperhatikan. Jika ternyata ada hal ‘lain’ di dalam metode tersebut, maka itu juga akan menimbulkan dilema tersendiri yang perlu dikritisi.
Di sinilah perlunya kita mengkaji metode khurûj Jamaah Tabligh, tanpa ada maksud untuk mendiskreditkannya. Tulisan ini hanya sebuah uraian singkat atau boleh dibilang sebagai koreksi atas metode khurûj yang mereka pakai.
Cenderung Memaksakan
Semua menyadari akan pentingnya metode dalam berdakwah. Tapi metode tetaplah metode, kiranya tidak begitu perlu terhadap justifikasi teks-teks agama di sana. Juga tidak perlu memaksakan atau bahkan cenderung spekulatif dalam berargumentasi.
Dalam Jamaah Tabligh, khurûj menjadi metodologi yang dibangga-banggakan. Bahkan mereka cenderung berlebihan dalam membanggakan metode ini. Di samping mengklaim sebagai satu-satunya metode yang sesuai dengan dakwah Nabi Muhammad saw., mereka juga menganggap metode selain khurûj salah dan tidak akan membuahkan hasil.
Dari paradigma ini mereka tertuntut untuk melampirkan dalil-dalil agama dalam argumentasinya. Mereka menyebutkan bahwa khurûj merupakan manifestasi dari interpretasi ayat “Kuntum khaira ummatin ukhrijat lin-nâs”. Ayat tersebut menjelaskan tentang keberadaan dakwah yang tidak akan berhasil dengan tetap tinggal di satu tempat, bahkan harus keluar dan berkeliling dari satu tempat ke tempat lain berdasarkan ayat ‘ukhrijat’ tadi. (Malfûzhât Muhammad Ilyas, Muhammad Manzhûr Nu’mani, hal. 50)
Mereka memperkuat interpretasi ini dengan berbagai narasi-narasi spekulatif. Mereka menampilkan fakta mengenai kuburan para Sahabat yang banyak ditemukan di luar Mekah-Madinah sebagai argumentasi, pertanda bahwa para Sahabat telah melakukan khurûj. Mereka juga menggambarkan kepedulian Nabi Muhammad saw. terhadap khurûj dengan andaian yang berlebihan, “Jika telapak kaki Nabi Muhammad saw. dilumuri tinta merah, niscaya seisi tanah Haramain akan merah karena banyaknya Nabi berkeliling untuk berdakwah”. Sungguh ini iftirâ’un ‘adzîm. Tidak pernah ditemukan pada salafunâsh-shâlih pernyataan seperti ini.
Berlebih-lebihan mereka makin kentara ketika berbicara mengenai bilangan khurûj. Tiga hari, empat puluh, dan empat bulan adalah lama khurûj yang mereka maksudkan itu. Mereka memilih tiga hari karena bilangan tersebut merupakan paling sedikitnya masa qashr salat. Adapun empat puluh adalah waktu di mana Allah SWT melakukan perjanjian dengan Musa sebagaimana firman-Nya (artinya), “Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam.” (QS al-’A‘râf [07]: 142). Sedangkan empat bulan mereka peroleh melalui interpretasi ayat yang artinya, “Kepada orang-orang yang meng-îlâ’ istrinya diberi tangguh empat bulan lamanya.” (QS al-Baqarah [02]: 226). (Washîlatul-Khurûj Tahta Dhâbitul-Qur’ân Was-Sunnah, hal. 5)
Lalu apa kaitannya dakwah dengan waktu qashr salat? Apa pula kaitannya dakwah dengan ayat îlâ’ di atas? Sama sekali ayat-ayat tersebut tidak memberikan legalisasi pada bilangan-bilangan dakwah mereka. Namun, mereka memaksakan ayat ini untuk dihadirkan sebagai justifikasi angka-angka ajaib itu. Ada juga yang mencoba menampilkan Hadis Nabi “Barang siapa mengorbankan 1/10 umurnya di jalan Allah maka kelak dia akan bahagia di hari kiamat.” Namun sayangnya mereka tidak mau menjelaskan, bahkan tidak tahu-menahu ketika ditanya tentang otentitas Hadis tersebut.
Berpotensi Menyebarluaskan Kebatilan
Misi Jamaah Tabligh adalah dakwah. Dakwah mereka adalah dengan memfokuskan diri pada penyampaian fadhâ’ilul-a’mâl (keutamaan-keutamaan amal) disertai berbagai Hadis yang berkenaan dengan topik pembicaraan sebagai perangsang. Misi ini terbilang mulia. Namun, sering kali Hadis-Hadis yang disampaikan oleh mereka—terutama yang di Indonesia—tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Salah satu contohnya adalah Hadis, “Ada tiga keliling (tawaf) yang dicintai Allah: 1) kelilingnya para Malaikat di Baitul Makmur; 2) kelilingnya orang yang tawaf di Kakbah; dan 3) keliling seperti yang dilakukan Jamaah Tabligh.” Ketika Hadis ini dibawa ke Nizhamuddin (pusat Jamaah Tabligh), ternyata pimpinan di sana mengatakan batil, dan mereka mengatakannya sebagai perbuatan oknum.
Kalau dianalisis, sebetulnya penyebaran Hadis batil ini merupakan implikasi dari tidak adanya filterasi maksimal dalam proses rekrutmen anggota. Sehingga, mayoritas anggota Jamaah Tabligh adalah orang-orang yang minim ilmu agama.
Syekh Muhammad Ilyas, pendiri Jamaah Tabligh, mengakui akan hal ini, “Seandainya para ahlul-ilmi dan ahludz-dzikri mau beragabung dalam mengemban tugas ini, pasti kekurangan ini (minim pengetahun agama) akan tertutupi. Namun mereka tidak mau bergabung kecuali hanya sedikit.” (Malfûzhât Muhammad Ilyas, Muhammad Manzhur Nu’mani, hal. 41).
Ironisnya, Jamaah Tabligh tidak hendak mencari solusi untuk menanggulangi tersebarnya Hadis-Hadis tersebut. Padahal, apa yang mereka sampaikan akan langsung menyebar ke semua anggota jamaah, bukan hanya dalam negeri, tapi juga luar negeri, kemudian disampaikan kepada orang-orang yang mereka datangi ketika melakukan khurûj. Kenyataan ini semakin lama akan semakin sulit untuk ditanggulangi.
Ketika mereka dikritisi tentang hal tersebut, dengan enteng mereka akan menjawab, “Makanya yang alim-alim ikut khurûj bersama kami, biar tidak seperti ini.” Sepertinya tidak ada beban di benak mereka tentang kebatilan yang telah mereka sebarkan.
Menelantarkan Keluarga
Fakta menyebutkan bahwa banyak dari anggota jamaah ini menelantarkan keluarganya—utamanya di Indonesia. Ketika dikonfirmasi, amir dan pimpinan Jamaah Tabligh setempat mengungkapkan bahwa keharusan memenuhi kebutuhan (nafaqah) keluarga selama khurûj harus sudah dipenuhi oleh setiap jamaah sebelum kemudian ber-khurûj. Namun realita berbicara lain, mereka tidak memenuhinya terlebih dahulu. “Sudah saya titipkan ke Allah,” kilah mayoritas anggota jamaah ini ketika ditanya tentang bagaimana keluarga mereka.
Mereka menyama-nyamakan apa yang mereka perbuat dengan Nabi Ibrahim yang meninggalkan istrinya Siti Hajar di Mekah yang menurut mereka untuk berdakwah. Apakah sama yang mereka perbuat dengan apa yang dilakukan Nabi Ibrahim? Entahlah....
Kalaupun mereka sudah memenuhi kebutuhan hidup keluarganya selama keluar berdakwah, maka perlu diingat keluarga—terutama istri—tidak hanya butuh makanan dan pakaian saja. Keluarga juga punya kebutuhan psikologis dan biologis yang harus dipenuhi oleh kepala rumah tangga. Tidak lupa pula pendidikan agama anak dan istri itu sendiri sebelum kemudian mereka mendakwahi orang lain. Wallâhu A’lam.[]
*) Penulis adalah murid kelas II Tarbiyah Madrasah Miftahul Ulum Tingkat Aliyah dan staf redaksi Majalah Ijtihad Organisasi Murid Intra Madrasah MMU Tingkat Aliyah Pondok Pesantren Sidogiri
Contoh konkret dari opsi tersebut adalah makin banyak metode baru dalam berdakwah yang ditemui dewasa ini. Melalui media, baik cetak atau elektronik, visualisasi, sistem klasikal, dan lain sebagainya. Semuanya tidak ada di zaman Nabi Muhammad saw., namun kehadirannya tidak masalah.
Begitu juga dengan metodologi dakwah yang dipakai oleh Jamaah Tabligh: khurûj. Sah-sah saja jika mereka menggunakan metode ini. Apalagi mereka menilai bahwa dakwah dengan model ini akan lebih efektif dan maksimal.
Namun permasalahannya, masih ada hal yang lebih penting daripada sekadar metode dan upaya menarik simpati massa. Ranah aktualisasi dan arah dakwah juga harus diperhatikan. Jika ternyata ada hal ‘lain’ di dalam metode tersebut, maka itu juga akan menimbulkan dilema tersendiri yang perlu dikritisi.
Di sinilah perlunya kita mengkaji metode khurûj Jamaah Tabligh, tanpa ada maksud untuk mendiskreditkannya. Tulisan ini hanya sebuah uraian singkat atau boleh dibilang sebagai koreksi atas metode khurûj yang mereka pakai.
Cenderung Memaksakan
Semua menyadari akan pentingnya metode dalam berdakwah. Tapi metode tetaplah metode, kiranya tidak begitu perlu terhadap justifikasi teks-teks agama di sana. Juga tidak perlu memaksakan atau bahkan cenderung spekulatif dalam berargumentasi.
Dalam Jamaah Tabligh, khurûj menjadi metodologi yang dibangga-banggakan. Bahkan mereka cenderung berlebihan dalam membanggakan metode ini. Di samping mengklaim sebagai satu-satunya metode yang sesuai dengan dakwah Nabi Muhammad saw., mereka juga menganggap metode selain khurûj salah dan tidak akan membuahkan hasil.
Dari paradigma ini mereka tertuntut untuk melampirkan dalil-dalil agama dalam argumentasinya. Mereka menyebutkan bahwa khurûj merupakan manifestasi dari interpretasi ayat “Kuntum khaira ummatin ukhrijat lin-nâs”. Ayat tersebut menjelaskan tentang keberadaan dakwah yang tidak akan berhasil dengan tetap tinggal di satu tempat, bahkan harus keluar dan berkeliling dari satu tempat ke tempat lain berdasarkan ayat ‘ukhrijat’ tadi. (Malfûzhât Muhammad Ilyas, Muhammad Manzhûr Nu’mani, hal. 50)
Mereka memperkuat interpretasi ini dengan berbagai narasi-narasi spekulatif. Mereka menampilkan fakta mengenai kuburan para Sahabat yang banyak ditemukan di luar Mekah-Madinah sebagai argumentasi, pertanda bahwa para Sahabat telah melakukan khurûj. Mereka juga menggambarkan kepedulian Nabi Muhammad saw. terhadap khurûj dengan andaian yang berlebihan, “Jika telapak kaki Nabi Muhammad saw. dilumuri tinta merah, niscaya seisi tanah Haramain akan merah karena banyaknya Nabi berkeliling untuk berdakwah”. Sungguh ini iftirâ’un ‘adzîm. Tidak pernah ditemukan pada salafunâsh-shâlih pernyataan seperti ini.
Berlebih-lebihan mereka makin kentara ketika berbicara mengenai bilangan khurûj. Tiga hari, empat puluh, dan empat bulan adalah lama khurûj yang mereka maksudkan itu. Mereka memilih tiga hari karena bilangan tersebut merupakan paling sedikitnya masa qashr salat. Adapun empat puluh adalah waktu di mana Allah SWT melakukan perjanjian dengan Musa sebagaimana firman-Nya (artinya), “Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam.” (QS al-’A‘râf [07]: 142). Sedangkan empat bulan mereka peroleh melalui interpretasi ayat yang artinya, “Kepada orang-orang yang meng-îlâ’ istrinya diberi tangguh empat bulan lamanya.” (QS al-Baqarah [02]: 226). (Washîlatul-Khurûj Tahta Dhâbitul-Qur’ân Was-Sunnah, hal. 5)
Lalu apa kaitannya dakwah dengan waktu qashr salat? Apa pula kaitannya dakwah dengan ayat îlâ’ di atas? Sama sekali ayat-ayat tersebut tidak memberikan legalisasi pada bilangan-bilangan dakwah mereka. Namun, mereka memaksakan ayat ini untuk dihadirkan sebagai justifikasi angka-angka ajaib itu. Ada juga yang mencoba menampilkan Hadis Nabi “Barang siapa mengorbankan 1/10 umurnya di jalan Allah maka kelak dia akan bahagia di hari kiamat.” Namun sayangnya mereka tidak mau menjelaskan, bahkan tidak tahu-menahu ketika ditanya tentang otentitas Hadis tersebut.
Berpotensi Menyebarluaskan Kebatilan
Misi Jamaah Tabligh adalah dakwah. Dakwah mereka adalah dengan memfokuskan diri pada penyampaian fadhâ’ilul-a’mâl (keutamaan-keutamaan amal) disertai berbagai Hadis yang berkenaan dengan topik pembicaraan sebagai perangsang. Misi ini terbilang mulia. Namun, sering kali Hadis-Hadis yang disampaikan oleh mereka—terutama yang di Indonesia—tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Salah satu contohnya adalah Hadis, “Ada tiga keliling (tawaf) yang dicintai Allah: 1) kelilingnya para Malaikat di Baitul Makmur; 2) kelilingnya orang yang tawaf di Kakbah; dan 3) keliling seperti yang dilakukan Jamaah Tabligh.” Ketika Hadis ini dibawa ke Nizhamuddin (pusat Jamaah Tabligh), ternyata pimpinan di sana mengatakan batil, dan mereka mengatakannya sebagai perbuatan oknum.
Kalau dianalisis, sebetulnya penyebaran Hadis batil ini merupakan implikasi dari tidak adanya filterasi maksimal dalam proses rekrutmen anggota. Sehingga, mayoritas anggota Jamaah Tabligh adalah orang-orang yang minim ilmu agama.
Syekh Muhammad Ilyas, pendiri Jamaah Tabligh, mengakui akan hal ini, “Seandainya para ahlul-ilmi dan ahludz-dzikri mau beragabung dalam mengemban tugas ini, pasti kekurangan ini (minim pengetahun agama) akan tertutupi. Namun mereka tidak mau bergabung kecuali hanya sedikit.” (Malfûzhât Muhammad Ilyas, Muhammad Manzhur Nu’mani, hal. 41).
Ironisnya, Jamaah Tabligh tidak hendak mencari solusi untuk menanggulangi tersebarnya Hadis-Hadis tersebut. Padahal, apa yang mereka sampaikan akan langsung menyebar ke semua anggota jamaah, bukan hanya dalam negeri, tapi juga luar negeri, kemudian disampaikan kepada orang-orang yang mereka datangi ketika melakukan khurûj. Kenyataan ini semakin lama akan semakin sulit untuk ditanggulangi.
Ketika mereka dikritisi tentang hal tersebut, dengan enteng mereka akan menjawab, “Makanya yang alim-alim ikut khurûj bersama kami, biar tidak seperti ini.” Sepertinya tidak ada beban di benak mereka tentang kebatilan yang telah mereka sebarkan.
Menelantarkan Keluarga
Fakta menyebutkan bahwa banyak dari anggota jamaah ini menelantarkan keluarganya—utamanya di Indonesia. Ketika dikonfirmasi, amir dan pimpinan Jamaah Tabligh setempat mengungkapkan bahwa keharusan memenuhi kebutuhan (nafaqah) keluarga selama khurûj harus sudah dipenuhi oleh setiap jamaah sebelum kemudian ber-khurûj. Namun realita berbicara lain, mereka tidak memenuhinya terlebih dahulu. “Sudah saya titipkan ke Allah,” kilah mayoritas anggota jamaah ini ketika ditanya tentang bagaimana keluarga mereka.
Mereka menyama-nyamakan apa yang mereka perbuat dengan Nabi Ibrahim yang meninggalkan istrinya Siti Hajar di Mekah yang menurut mereka untuk berdakwah. Apakah sama yang mereka perbuat dengan apa yang dilakukan Nabi Ibrahim? Entahlah....
Kalaupun mereka sudah memenuhi kebutuhan hidup keluarganya selama keluar berdakwah, maka perlu diingat keluarga—terutama istri—tidak hanya butuh makanan dan pakaian saja. Keluarga juga punya kebutuhan psikologis dan biologis yang harus dipenuhi oleh kepala rumah tangga. Tidak lupa pula pendidikan agama anak dan istri itu sendiri sebelum kemudian mereka mendakwahi orang lain. Wallâhu A’lam.[]
*) Penulis adalah murid kelas II Tarbiyah Madrasah Miftahul Ulum Tingkat Aliyah dan staf redaksi Majalah Ijtihad Organisasi Murid Intra Madrasah MMU Tingkat Aliyah Pondok Pesantren Sidogiri
www. sidogiri.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.