Rabu, 10 Agustus 2011

Arti Tabarruk Kita


Berkaitan dengan peribadatan dalam Islam, kita telah sepakat bahwa segala bentuk ibadah hanya boleh dilakukan kepada Allah Subhânahu wata'âlâ. Bahkan, hal ini termasuk asas Islam yang harus dipegang teguh, sehingga segala bentuk peribadatan yang dilakukan kepada selain Allah Subhânahu wata'âlâ sangat dilarang. Untuk itu, Islam tidak pernah mengizinkan segala penyembahan terhadap malaikat, nabi ataupun rasul, apalagi berhala. Vonis bagi pelakunya adalah kafir dan musyrik; satu-satunya dosa yang tak pernah ada ampunan. Ajaran pengkhususan peribadatan kepada Allah Subhânahu wata'âlâ tertuang dengan jelas dalam surah al-Fatihah yang artinya: “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (Q.S. al-Fatihah [1]: 4).
Semua nabi Allah Subhânahu wata'âlâ menyerukan umat manusia kepada ajaran tauhid; penyembahan terhadap satu Tuhan, yaitu Allah Subhânahu wata'âlâ. Penyembahan kepada Allah Subhânahu wata'âlâ ini harus totalitas, sehingga praktik-praktik yang sifatnya penyembahan terhadap selain Allah Subhânahu wata'âlâ sangat dilarang. Kepercayaan terhadap satu Tuhan ini kemudian menarik pada sebuah keyakinan; hanya Allah Subhânahu wata'âlâ yang dapat memberikan manfaat dan mudharrat. Atas keyakinan seperti inilah segala bentuk permintaan harus ditujukan kepada Allah Subhânahu wata'âlâ, tidak pada yang lain.
Masalah yang timbul kemudian, bagaimana jika permintaan atas datangnya manfaat dan hilangnya mudharrat tersebut tetap ditujukan kepada Allah Subhânahu wata'âlâ, tetapi melalui perantara yang tentunya disertai keyakinan hanya Allah Subhânahu wata'âlâ yang mendatangkan apa yang dimaksud? Ini mungkin karena orang yang dijadikan perantara memiliki ikatan yang kuat dengan Allah Subhânahu wata'âlâ seperti Nabi dan para auliya’-Nya. Ibaratnya, meminta kepada seorang Presiden dengan atas nama para menterinya. Juga hal-hal yang berkaitan dengan mereka, seperti bekas ibadah dan lain sebagainya. Inilah yang dimaksud dengan tabarruk yang telah mentradisi di kalangan kita. Maka yang harus dijelaskan dalam istilah-istilah tersebut.
Antara ta’abbud dan tabarruk tentunya dapat dibedakan meskipun perbedaan tersebut sangatlah tipis. Orang yang ber-tabarruk tidak bisa kita katakan telah menyembah (ta’abbud) kepada orang yang dijadikan wasilah dan diambil barakahnya. Sebab, hakikat dari pada tawassul dan tabarruk sendiri sebatas perantara, bukan sebagai bentuk penyembahan, sehingga tidak bisa disamakan dengan orang yang menyembah berhala, karena tujuan dan niatnya berbeda. Hakikat penyembahan pun tidak sama dengan tabarruk, karena di sana ada tujuan kultus secara totol yang tidak bisa ditolelir oleh agama untuk dilakukan kepada selain kepada yang Hak, karena entitas penyembahan hanya kepada Allah Subhânahu wata'âlâ semata.
Dengan demikian, letak perbedaan yang paling mendasar ada pada tujuan atau niatnya. Sebagaimana diketahui, setiap prilaku pertama kali dinilai oleh Islam dilihat dari niat dan tujuannya. Niat adalah primer dalam menentukan esensi baik-buruk sebuah perbuatan. Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam  menyatakan: “Setiap perbuatan kembali kepada niatnya..” (Hadis Muttafaq Alaihi). Niat seorang yang menyukutukan Allah Subhânahu wata'âlâ dengan menyembah makhlukNya, tentu berbeda dengan niatan mendekatkan diri melalui hal-hal yang dicintai Allah Subhânahu wata'âlâ. Ini sangat berbeda dengan musyrikin jahiliyah dalam penyembahannya pada patung-patung, karena mereka meyakini sifat ketuhanan pada objek sesembahan mereka, bukan sekedar mendekatkan diri. Inilah dasarnya dalam al-Qur’an diredaksikan dengan ungkapan “Na’buduha” dalam surah az-Zumar [49] ayat 3 sebagai gambaran dari ungkapan mereka. Sebab, esensi penyembahan adalah meyakini ‘sifat ketuhanan’ yang disembahnya, karena tanpa keyakinan itu mustahil mereka disebut telah menyembah.
Dari perbedaan itulah mengapa para sahabat Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wasallam  mengamalkan yang namanya tabarruk. Ini dibuktikan dari beberapa catatan sejarah, di mana dalam hal tabarruk misalnya para sahabat mencari, atau bahkan hampir terjadi perkelahian untuk memperebutkannya. Pada kenyataannya tidak ada larangan dari Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam .
Tabarruk sendiri jika dilihat dari segi kebahasaan berartikan, mencari berkah. Berkah adalah bertambah dan berkembang dalam hal kebaikan. Dengan demikian, arti tabarruk adalah mencari tambahan dalam kebaikan. Ketika orang mengatakan “mencari berkah terhadap sesuatu” berarti ingin mengambil nilai kebaikan dari sesuatu itu tadi. Atas dasar itulah maka definisi tabarruk dari sisi istilah adalah, mengharap berkah dari sesuatu ataupun hal-hal lain yang Allah Subhânahu wata'âlâ telah memberikan keistimewaan dan kedudukan khusus kepadanya.
Sudah menjadi sunnatullah jika terjadinya musabbab terlahir dari adanya sabab. Rasa kenyang yang dirasakan setelah makan nasi, misalnya, karena makan nasi menjadi sabab dari rasa kenyang tersebut. Dalam hal ini, terkadang Allah Subhânahu wata'âlâ menjadikan beberapa benda menjadi sumber berkah agar menjadi sabab dari sebuah tujuan yang dikehendakiNya. Allah Subhânahu wata'âlâ menginginkan agar manusia mengetahui bahwa terdapat benda-benda, tempat-tempat, waktu-waktu dan pribadi-pribadi yang memiliki kesakralan karena mempunyai kedudukan khusus di sisiNya. Akhirnya, ia menjadi sarana Allah Subhânahu wata'âlâ untuk memberkati orang yang ingin mencapai kesembuhan dari penyakit, pengkabulan doa, pensyafaatan dalam pengampunan dosa dan lain sebagainya.
Dalam catatan sejarah Islam, tabarruk pernah juga dilakukan oleh sahabah Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam . Diceritakan dari Jakfar bin ‘Abdillah bin al-Hakam, suatu ketika Khalid bin Walid Radhiyallâhu ‘anhu, seorang panglima perang tentara Islam kehilangan songkoknya di perang Yarmuk. Saat itu, Khalid minta tolong kepada orang-orang untuk mencarinya. Setelah dicari ternyata tidak ditemukan. Khalid memaksa untuk mencarinya kembali. Setelah ditemukan, ternyata songkok sudah kusam. Khalid Radhiyallâhu ‘anhu saat itu berkata, ketika Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam  berumrah, beliau mencukur rambutnya saat Tahallul. Orang-orang berebut mendapat rambut beliau, lalu aku bergegas mengambil rambut beliau pada bagian ubun-ubun. Kemudian, aku letakkan rambut Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam  tersebut di dalam songkok ini. Belum pernah aku berperang sambil memakai songkok kecuali kemenangan selalu diberi kemenangan (H.R. Thabrani dan Abu Ya’la).
Dalam riwayat Imam Muslim juga diceritakan dari sahabat Anas bin Malik Radhiyallâhu ‘anhu. Saat Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wasallam  berada di Mina dan melaksanakan lempar Jumrah, kemudian pergi ke tempat beliau beliau di Mina dan menyembeleh kurban dan berkata kepada tukang cukur, “Ambil,” sambil mengatakan demikian beliau berisyarah ke bagian kanan kemudian bagian kiri. Kemudian beliau membagikan potongan rambutnya kepada orang-orang Islam. Menurut Imam Nawawi, Hadis ini mengandung beberapa banyak faedah yang di antaranya; hukum sunahnya memulai dari sisi kanan saat mencukur, sucinya rambut anak Adam yang telah lepas, mengambil berkah dengan rambut Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam  dan bolehnya pengambilan rambut Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam  dengan alasan mengambil berkah, serta kesamaan hak antar sahabat Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam  dalam hal pemberian hadiah.
Kisah di atas, sekaligus ulasan dari Imam Nawawi, cukup jelas untuk kita jadikan dalil dalam hal tabarruk. Dalil lainnya adalah, mengenai cerita tokoh kafir Quraiy bernama Urwah bin Mas’ud yang bercerita perihal Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam  dan sahabatnya. Setelah memperhatikan hal ihwal Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam  dan para sahabatnya ia bercerita kepada kawan-kawannya: “Wahai kaum Quraisy, demi Allah Subhânahu wata'âlâ aku sering menjadi delegasi kepada raja Kisra, Kaisar dan raja Najasyi. Demi Allah Subhânahu wata'âlâ belum pernah aku temui raja-raja itu diagungkan oleh pengikut mereka, seperti cara para shahabat dalam mengagungkan Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wasallam . Demi Allah Subhânahu wata'âlâ, jika ia meludah pasti jatuh pada tangan seseorang dari mereka lalu ia usapkan pada wajah dan kulitnya. Jia ia memerintahkan sesuatu, maka mereka bergegas menjalankannya. Jika ia wudhu’ maka mereka berebutan sampai saling bertengkar untuk mendapatkan air sisa wudhu’nya. Jika ia berbicara, mereka tidak berani mengeraskan suara, mereka tidak berani menatap lama karena sangatnya rasa hormat. Telah datang pada kalian pengamatan yang cermat, maka kalian terimalah. (H.R. Ibn Hibban).
Hadis lain menceritakan dari sahabat Anas bin Malik Radhiyallâhu ‘anhu, suatu ketika Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wasallam  masuk ke rumah Ummu Sulaim (ibu Anas), lalu tidur di atas tikar Ummu Sulaim. Saat itu, Ummu Sulaim sedang tidak ada di dalam rumahnya. Di hari yang lain, Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam  datang lagi ke rumahnya dan tidur di tempat yang sama. Ada orang yang memberitahukan Ummu Sulaim bahwa Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam  tidur di rumahnya. Ummu Sulaim datang, dan mendapati keringat Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam   mengenang di permukaan tikar. Maka Ummu Sulaim membuka kotak kecilnya, lalu mengelap keringat Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam  dan memerasnya ke dalam botol. Tiba-tiba Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam  terbangun, dan berkata, “Apa yang kamu lakukan, wahai Ummu Sulaim?” Ummu Sulaim berkata, “Wahai Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam  aku mengharap barakahmu untuk anak-anak kami.” Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam  berkata, “Kamu benar.” (H.R. Muslim).
Bahkan, dalam satu riwayat ‘Abdullah bin Zubair Radhiyallâhu ‘anhu pernah meminum darah bekam Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam . ‘Abdullah bin Zubair Radhiyallâhu ‘anhu bercerita: “Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam  berbekam dan memberikan darahnya padaku, lalu beliau berkata, ‘Pergilah dan tanamkan di tempat yang tidak bisa diendus oleh binatang buas, anjing atau manusia.’ Lalu aku membawanya, lalu meminumnya. Kemudian aku mendatangi Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam , dan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam  betanya, ‘Apa yang kamu perbuat (terhadap darah itu)?’ Aku jawab, ‘Aku telah melakukan seperti yang engkau perintahkan padaku.’ Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam  berkata, ‘Aku tidak melihatmu kecuali engkau telah meminumnya.’ Aku katakan, ‘Ya’. Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam  berkata, ‘Apa yang ummatku peroleh, itu darimu!’” (H.R. Baihaqi).
Banyak lagi dalil-dalil tabarruk yang dilakukan oleh sahabat Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam . Imam Bukhari dan Imam Muslim sama-sama meriwayatkan perihal Asma’ bin Abu Bakar Radhiyallâhu ‘anhu yang menunjukkan jubah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam  kepada ‘Abdullah bin Kaisan, sahayanya dan berkata, “Ini adalah jubah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam , yang dulunya disimpan oleh `Aisyah, hingga `Aisyah wafat. Sekarang aku simpan! Dulu Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam  mengenakan jubbah ini. Kami mencucinya (dan airnya kami berikan) kepada orang yang sakit untuk penyembuhan.
Menilik Hadis dan kisah sahabat di atas kita temukan hikmah dalam hal tabarruk. Dalam hal ini, ternyata tabarruk pernah dilakukan oleh sahabat Nabi. Tentunya kita tidak bisa mencap ‘Abdullah bin Zubair Radhiyallâhu ‘anhu telah melakukan syirik, karena telah meminum darah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam . Atau yang dilakukan oleh Asma’ binti Abi Bakar yang mencari keberkahan dengan minum air perasan dari jubah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam . Bagitu juga tabarruk dari Ummu Sulaim yang telah mengumpulkan keringat Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam  yang tujuannya untuk mengambil berkah bagi anak-anaknya. Apalagi, pengambilan berkah ini mendapat restu dari Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam . Bahkan, beliau sendiri yang memberikan rambutnya kepada sahabat ketika itu.
Ini mengindikasikan bahwa tabarruk diperbolehkan dalam agama, selama tidak melanggar syariat Islam. Artinya, tidak memiliki keyakinan bahwa benda atau perbuatan itulah yang bisa mendatangkan manfaat, karena Allah Subhânahu wata'âlâ yang dapat memberi manfaat dan mudharrat. Jika sampai mempertuhankan barang-barang tersebut tentunya diharamkan oleh Islam, karena termasuk perbuatan syirik. Meskipun ada hal yang menyimpang dari tujuan awal dalam tabarruk dengan anggapan bahwa orang yang dijadikan tabarruk dapat memberikan manfaat dan mudharrat bukan berarti harus meninggalkannya sama sekali. Dalam istilah Bâfadhal al-Hadhrami disebutkan “al-Haqqu la yutraku bil bathil”. yang benar tidak bisa ditinggalkan sebab ada kebatilan di dalamnya.
Untuk itu, segala bentuk keyakinan bahwa makam dan benda-benda keramat lainnya dapat mendatangkan manfaat harus dihindari. Segala bentuk tabarruk hanyalah dijadikan fasilitas atau jalan mencapai yang diinginkan dan diharapkan keberhasilannya atas pertolongan Allah Subhânahu wata'âlâ melalui hal-hal yang berkaitan dengan kekasih Allah Subhânahu wata'âlâ. Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.